Teori Belajar



TEORI BELAJAR


A.    LATAR BELAKANG
Belajar yakni suatu proses perubahan tingkah laris yang terjadi selaku suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Belajar melibatkan proses mental dan emosional atau proses berpikir dan mencicipi dimana akseptor didik dibilang berguru jikalau pikiran dan perasaannya aktif, oleh lantaran itu berguru ialah suatu hal yang paling vital dalam setiap jerih payah penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan, sehingga tanpa proses berguru takkan pernah ada pendidikan.
Proses berguru itu terjadi secara internal dan bersifat pribadi dalam diri akseptor didik. Belajar dan pembelajaran bermitra sungguh erat lantaran pembelajaran ialah suatu proses yang dipakai dalam belajar. Belajar dan pembelajaran juga terjadi secara bersama-sama dan beriringan. Pembelajaran ialah suatu aktifitas yang dengan sengaja untuk memodifikasi banyak sekali kondisi yang diarahkan pada tercapainya suatu tujuan yakni tercapainya tujuan pendidikan.
Sebagai kandidat pendidik kelak yang tidak cuma difungsikan selaku tenaga pengajar tetapi juga selaku orang renta kedua dilingkungan sekolah, diharapkan sanggup mengetahui kondisi kejiwaan dan mengetahui karakteristik dari akseptor didiknya. Serta mengenali model pembelajaran yang dikuasai olah akseptor didiknya. Beberapa teori berguru yang lazim dipakai dalam belajar, yakni teori behavioristik, kontruktivistik, dan reenforcemen.
Teori Konstruktivisme  didefinisikan sebagai  pembelajaran  yang  bersifat generatif, yakni langkah-langkah mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang mengetahui hakikat berguru selaku kesibukan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih mengetahui berguru selaku kesibukan insan membangun atau bikin wawasan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya.Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari guru terhadap orang lain, lantaran setiap orang mempunyai denah sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan wawasan ialah proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan fasilitas untuk meraih suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu denah yang baru.



B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang kendala diatas, penulis mengajukan beberapa rumusan kendala selaku berikut.
1.      Apa yang dimaksud dengan teori belajar?
2.      Apa yang dimaksud dengan teori berguru behaviorisme?
3.      Apa yang dimaksud dengan teori berguru konstruktivisme?
4.      Apa perbedaan teori berguru behaviorisme dengan teori berguru konstruktivisme?
5.      Apa yang dimaksud dengan teori berguru reinforcement?

C.    TUJUAN MASALAH
Sejalan dengan rumusan kendala di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengenali dan mendeskripsikan :
1.      Teori belajar.
2.      Teori berguru behaviorisme.
3.      Teori berguru konstruktivisme.
4.      Perbedaan teori berguru behaviorisme dengan teori berguru konstruktivisme.
5.      Teori berguru reinforcement.

D.    MANFAAT PENULISAN MAKALAH
Makalah ini disusun dengan impian menyediakan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah  ini berkhasiat selaku penengembangan  konsep observasi langkah-langkah kelas. Secara simpel makalah diharapkan berharga bagi :
1.        Penulis, selaku wahana penembahan pengetahuan dan konsep keilmuan utamanya tentang pengertian teori belajar.
2.        Pembaca  atau guru, selaku media informasi tentang pengertian teori belajar.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    TEORI BELAJAR
Teori yakni serangkaian serpihan atau variable, definisi, dan dalil yang saling bermitra yang mendatangkan sebuat persepsi sistematis mengenai fenomena dengan memutuskan kekerabatan antar variabel, dengan maksud menerangkan fenomena alamiah. Sedangkan berguru yakni proses internal yang kompleks. Hal ini lantaran melibatkan seluruh mental, seumpama ranah kognitif, afektif, dam psikomotorik. Dari sisi guru, proses berguru tersebut sanggup diamati secara langsung, artinya proses berguru yang ialah proses internal siswa yang sanggup diamati dan dipahami oleh guru.
Kimble dalam Hergenhahn dan Olson (1993) mendefinisikan berguru selaku “a relatively permanen change in behavioral potentiality that occurs as a result of reinforced practice.” Dimana belajar merupakan  perubahan yang relatif permanen dalam sikap atau potensi sikap yang ialah hasil dan pengalaman dan tidak dicirikan oleh keadaan-keadaan diri yang sifatnya sementara seumpama yang disebabkan oleh sakit, kecapekan atau obat-obatan”. Meskipun pengertian tersebut kelihatannya sudah menjadi kecenderungan terkenal yang dapat diterima umum, tetapi banyak sekali pihak yang menyatakan pengertian itu jauh dari dapat diterima secara universal. Teori berguru yang menjadi dasar upaya pendidikan banyak mempengaruhi kurikulum, metode berguru mengajar, tata kelola pendidikan, prasarana dan fasilitas pendidikan, serta permintaan kompetensi guru dan kepala sekolah. Oleh lantaran itu, teori berguru intinya ialah titik sentral dan semua permasalahan pendidikan dan upaya menyaksikan implikasi teori-teori berguru tersebut terhadap upaya pendidikan serta proses berguru motorik akan sungguh bermanfaat.

B.     TEORI BELAJAR BEHAVIORISME
1.      Konsep Dasar Teori Belajar Behaviorisme
Teori Belajar behaviorisme yakni teori berguru yang menekankan pada tingkah laris insan selaku jawaban dari interaksi antara stimulus dan respon. teori behaviorisme ialah suatu teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner. Kemudian teori ini menjelma aliran psikologi berguru yang besar lengan berkuasa terhadap pengembangan teori pendidikan dan pembelajaran yang dimengerti selaku aliran behaviorisme. Aliran ini menekankan pada terbentuknya sikap yang terlihat selaku hasil belajar. 
Teori behaviorisme dengan model kekerabatan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang berguru selaku individu yang pasif. Respon atau sikap tertentu dengan menggunakan metode training atau pembiasaan semata. Munculnya sikap akan kian kokoh bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Seseorang dianggap sudah berguru sesuatu jikalau beliau sanggup menampilkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam berguru yang penting yakni input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.         
Stimulus yakni segala hal yang diberikan oleh guru terhadap pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau respon pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak sanggup diamati dan tidak sanggup diukur. Yang sanggup diamati yakni stimulus dan respon. Oleh lantaran itu sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan sesuatu yang diterima oleh pelajar (respon) mesti sanggup diamati dan diukur. Teori ini memprioritaskan pengukuran, alasannya yakni pengukuran ialah suatu hal penting untuk menyaksikan perubahan tingkah laris tersebut terjadi atau tidak.

2.      Teori Dalam Pandangan Behaviorisme
Teori berguru dalam persepsi behaviorisme ada tiga yaitu:
a.      Teori Pengkondisian Klasikal dari Pavlov
Classic conditioning ( pengkondisian atau tolok ukur klasik) merupakan proses yang dikemukakan Pavlov lewat percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang orisinil dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dijalankan Pavlov dan piawai lain sepertinya sungguh terpengaruh persepsi behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.
Untuk mengetahui teori kondisioning klasik secara menyeluruh perlu dipahami ada dua jenis stimulus dan dua jenis respon. Dua jenis stimulus tersebut adalah :
i.        Stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS), yakni stimulus yang secara otomatis menciptakan respon tanpa didahului dengan pembelajaran apapun (contoh: makanan).
ii.      Stimulus terkondisi (conditioned stimulus-CS), yakni stimulus yang sebelumnya bersifat netral, akhirnya mendatangkan suatu respon yang terkondisi sesudah diasosiasikan dengan stimulus tidak terkondisi (contoh : bunyi bel sebelum masakan datang).
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, sikap insan sanggup berganti sesuai dengan apa yang diinginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan hewan (anjing) lantaran ia menilai hewan mempunyai kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki insan berlawanan dengan binatang.Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi pipi pada seekor anjing.
Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kini sebelum masakan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan yakni sinar merah terlebih dahulu, gres makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dijalankan berulang-ulang, maka pada suatu di saat dengan cuma menampilkan sinar merah saja tanpa masakan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan yakni rangsangan wajar, sedang sinar merah yakni rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dijalankan berulang-ulang, rangsangan bikinan ini akan membuat syarat(kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut : Refleks Bersyarat atau Conditioned Respons.
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun sanggup dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dijalankan pada manusia, yang ternyata ditemukan banyak refleks bersyarat yang timbul tidak disadari manusia. Melalui eksperimen tersebut Pavlov menampilkan bahwa berguru sanggup mempengaruhi sikap seseorang. Generalisasi, Deskriminasi, Pelemahan.
Faktor lain yang juga penting dalam teori berguru pengkondisian klasik Pavlov yakni generalisasi,deskriminasi,dan pelemahan.
                                   i.      Generalisasi
Dalam mempelajari respon terhadap stimulus serupa, anjing akan mengeluarkan air liur begitu mendengar suara-suara  yang seumpama dengan bel, teladan bunyi peluit (karena anjing mengeluarkan air liur di saat bel dipasangkan dengan makanan). Jadi, generalisasi melibatkan kecenderungan dari stimulus gres yang serupa dengan stimulus terkondisi orisinil untuk menciptakan respon serupa. Contoh, seorang akseptor didik merasa nervous di saat dikritik atas hasil ujian yang jelek pada mata pelajaran matematika. Ketika menyiapkan ujian Fisika, akseptor didik tersbut akan mencicipi nervous lantaran kedua pelajaran sama-sama berupa hitungan. Kaprikornus kegugupan akseptor didik tersebut hasil generalisasi dari melaksanakan ujian mata pelajaran satu terhadap mata pelajaran lain yang mirip.
                                 ii.      Deskriminasi
Organisme menanggapi stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya. Pavlov menyediakan masakan terhadap anjing cuma sesudah bunyi bel, bukan sesudah bunyi yang lain untuk menciptakan deskriminasi. Contoh, dalam mengalami ujian dikelas yang berbeda, pesrta didik tidak merasa sama gelisahnya di saat menghadapi ujian bahasa Indonesia dan sejarah lantaran keduanya ialah subjek yang berbeda.
                               iii.      Pelemahan (extincition)
Proses melemahnya stimulus yang terkondisi dengan cara menetralisir stimulus tak terkondisi. Pavlov membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak disertai makanan. Akhirnya, dengan cuma mendengar bunyi bel, anjing tidak mngeluarkan air liur. Contoh, kritikan guru yang terus menerus pada hasil ujian yang jelek, bikin akseptor didik tidak termotivasi belajar. Padahal, sebelumnya akseptor didik pernah mendapat nilai ujian yang elok dan sungguh termotivasi belajar.
Dalam bidang pendidikan, teori kondisioning klasik dipakai untuk berbagi sikap yang menguntungkan terhadap peserta didik untuk termotivasi berguru dan menolong guru untuk melatih kebiasaan positif peserta didik.

b.      Teori Connetionisme Thorndike
Menurut Thorndike, berguru ialah insiden terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Dalam eksperimennya, Thorndike menggunakan kucing. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam kandang (puzzle box) tersebut dimengerti bahwa agar tercapai kekerabatan antara stimulus dan respons, perlu adanya kesanggupan untuk memutuskan respons yang cocok serta lewat usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.
Bentuk paling dasar dari berguru yakni “trial and error learning or selecting and connecting learning” dan berjalan menurut hukum-hukum tertentu. Oleh lantaran itu teori berguru yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori berguru koneksionisme atau teori asosiasi. Dari percobaan ini Thorndike mendapatkan hukum-hukum berguru selaku berikut :
i.        Hukum Kesiapan (law of readiness), yakni kian siap suatu organisme menerima suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laris tersebut akan membuat kepuasan individu sehingga perkumpulan condong diperkuat.
ii.      Hukum Latihan (law of exercise), yakni kian sering tingkah laris diulang/dilatih (digunakan), maka perkumpulan tersebut akan kian kuat. Prinsip law of exercise yakni koneksi antara kondisi (yang ialah perangsang) dengan langkah-langkah akan menjadi lebih kokoh lantaran latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Sehingga prinsip dari hokum ini menampilkan bahwa prinsip utama dalam berguru yakni ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan kian dikuasai.
iii.    Hukum akibat (law of effect), yakni kekerabatan stimulus respon condong diperkuat bila akhirnya mengasyikkan dan condong diperlemah jikalau akhirnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kokoh atau makin lemahnya koneksi selaku hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai jawaban mengasyikkan condong dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang dibarengi jawaban tidak mengasyikkan condong dilarang dan tidak akan diulangi. 
Selain tiga aturan di atas Thorndike juga menyertakan hokum yang lain dalam berguru yakni Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response), Hukum Sikap (Set/Attitude), Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Prepotency of Element), Hukum Respon by Analogy, dan Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting).



c.     Teori Operant Conditioning dari B.F.Skinner
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang berguru bisa memenangkan konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia bisa menerangkan konsep berguru secara sederhana dan sanggup menampilkan konsepnya tentang berguru secara komprehensif. Menurut Skinner, kekerabatan antara stimulus dan respons yang terjadi lewat interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan membuat perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.
Oleh alasannya yakni itu, untuk mengetahui tingkah laris seseorang secara benar perlu terlebih dulu mengetahui kekerabatan antara stimulus satu dengan lainnya, serta mengetahui respons yang mungkin dimunculkan dan banyak sekali konsekuensi yang mungkin akan timbul selaku jawaban dari respons tersebut.
Skinner juga mengemukakan bahwa, dengan menggunakan perubahan-perubahan mental selaku alat untuk menerangkan tingkah laris cuma akan memperbesar rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang dipergunakan perlu klarifikasi lagi, demikian seterusnya. Dari semua pendukung teori behavioristik,teori Skinnerlah yang terbesar pengaruhnya. Program-program pembelajaran seumpama Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep kekerabatan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), ialah program-program pembelajaran yang menerapkan teori berguru yang dikemukakan oleh Skinner.
i.        Penguatan (Reinforcement)
Menurut Skinner, untuk memperkuat sikap atau memastikan sikap diperlukan suatu penguatan (reinforcement). Ada juga jenis penguatan, yakni penguatan positif dan penguatan negative.
a)      Penguatan positif (positive reninforcement) 
Didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan meningkat lantaran dibarengi oleh suatu stimulus yang mengandung penghargaan. Jadi, sikap yang diharapkan akan meningkat lantaran dibarengi oleh stimulus menyenangkan. Contoh, akseptor didik yang senantiasa bersungguh-sungguh berguru sehingga mendapat rangking satu akan diberi kado sepeda oleh orang tuanya. Perilaku yang ingin diulang atau ditingkatkan yakni bersungguh-sungguh berguru sehingga menjadi rangking satu dan penguatan positif/stimulus mengasyikkan yakni pemberian sepeda.
b)      Penguatan negatif (negative reinforcement)
Didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan meningkat lantaran dibarengi dengan suatu stimulus yang tidak mengasyikkan yang ingin dihilangkan. Jadi, sikap yang diharapkan akan meningkat lantaran dibarengi dengan penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik sering mengajukan pertanyaan dan guru menghilangkan/tidak mengkritik terhadap pertanyaan yang tidak berkenan dihati guru sehingga akseptor didik akan sering bertanya. Jadi, sikap yang ingin diulangi atau ditingkatkan adalah sering mengajukan pertanyaan dan stimulus yang tidak mengasyikkan yang ingin dihilangkan yakni kritikan guru sehingga akseptor didik tidak aib dan akan sering mengajukan pertanyaan lantaran guru tidak mengkritik pertanyaan yang tidak berbobot/melenceng.
c)      Hukuman
Hukuman (punishmen) yaitu suatu konsekuensi yang menurunkan peluang terjadinya suatu perilaku. Jadi, sikap yang tidak diharapkan akan menurun atau bahkan hilang lantaran diberikan suatu stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, akseptor didik yang bertingkah mencontoh akan diberikan sanksi, yakni jawabannya tidak diperiksa dan nilainya 0 (stimulus yang tidak menyenangkan/hukuman). Perilaku yang ingin dihilangkan yakni sikap mencontoh dan jawaban tidak diperiksa serta nilai 0 (stimulus yang tidak mengasyikkan atau hukuman).
Perbedaan antara penguatan negatif dan eksekusi terletak pada sikap yang ditimbulkan. Pada penguatan negatif, menetralisir stimulus yang tidak mengasyikkan (kritik) untuk mengembangkan sikap yang diharapkan (sering bertanya). Pada hukuman, pemberian stimulus yang tidak mengasyikkan nilai 0 untuk menetralisir sikap yang tidak diharapkan (perilaku mencontek).

         3.            Kelebihan dan Kekurangan Teori Behavioristik
a.      Kelebihan Teori Behavioristik
Kelebihan teori behaviorisme yakni selaku berikut:
i.        Teori ini cocok dipraktekkan untuk melatih bawah umur yang masih memerlukan dominansi kiprah orang dewasa, suka mengulangi dan mesti dibiasakan, suka menggandakan dan bahagia dengan bentuk-bentuk penghargaan eksklusif seumpama diberi permen atau pujian.
ii.      Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada suasana dan kondisi belajar
b.      Kelemahan Teori Behavioristik
Kelemahan teori behaviorisme yakni selaku berikut:
i.        Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat mekanistik, dan cuma berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur.
ii.      Murid cuma menyimak dengan tertib klarifikasi guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang selaku cara berguru yang efektif. Penggunaan eksekusi selaku salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa (teori skinner) baik eksekusi lisan maupun fisik seumpama kata-kata kasar, ejekan,  jeweran yang justru berakibat jelek pada siswa.

C.    TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
1.      Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme  didefinisikan sebagai  pembelajaran  yang  bersifat generatif, yakni langkah-langkah mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang mengetahui hakikat berguru selaku kesibukan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih mengetahui berguru selaku kesibukan insan membangun atau bikin wawasan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari guru terhadap orang lain, lantaran setiap orang mempunyai denah sendiri tentang apa yang diketahuinya.
Menurut Slavin (2006) teori konstruktivistik yakni teori yang menyatakan bahwa akseptor didik secara perorangan mesti mendapatkan dan mentransformasi informasi kompleks, menganalisa informasi yang gres terhadap aturan-aturan informasi yang lama, dan merevisi aturan-aturan yang usang bila sudah tidak sesuai lagi. Pembentukan wawasan ialah proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan fasilitas untuk meraih suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu denah yang baru. Proses asimilasi adalah perembesan informasi gres dalam pikiran. Sedangkan, fasilitas yakni menyusun kembali struktur pikiran lantaran adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pengertian tentang berguru yang lebih menekankan pada proses dibandingkan dengan hasil. Hasil berguru selaku tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan taktik dalam berguru juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan taktik berguru akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan denah berpikir seseorang. Sebagai upaya menerima pengertian atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang dijumpai dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan kepercayaan yang dimiliki.
2.      Ragam Teori Konstruktivistik
a.      Konstruktivistik Kognitif
Ketidakpuasan terhadap behaviorisme yang konsentrasi pada tingkah laris teramati sudah menenteng Jean Piaget untuk berbagi satu pendekatan berguru yang lebih meletakkan perhatian pada “apa yang terjadi pada kepala anak”. Pengertian berguru menurut konstruktivistik kognitif yakni proses perubahan dalam struktur kognitif seorang individu selaku hasil konstruksi wawasan yang bersifat perorangan dan internal. Adapun konsep pokok Jean Piaget selaku berikut:
i.        Equilibrium/Disequilibrium
Situasi ketidaktahuan atau pertentangan dalam diri individu yang disebabkan rasa ingin tahu, memunculkan seseorang berada dalam ketidakseimbangan yang disebut disequilibrium. Manusia berupaya menangani kondisi disequilibrium yang tidak mengasyikkan dengan bertanya, membaca, mengunjungi kejadian, dan semacamnya mudah-mudahan tercipta kondisi equilibrium. Sehingga disequilibrium menjadi drive for equilibration atau menjadi dorongan/motivasi untuk bertindak.
ii.      Organisasi & Skema
Perlu dimengerti bahwa apa yang dipelajari anak tidak masuk begitu saja kealam berpikir anak, atau dengan kata lain apa yang masuk, tidak tersimpan secara kacau ke dalam otak. Apa yang masuk akan disusun sedemikian rupa mudah-mudahan berhubungan dengan kerangka berpikir yang dimilikinya yang disebut pengorganisasian.
Setiap struktur atau hirarki dari pengorganisasian semua wawasan yang dimiliki individu berisikan bagian-bagian yang saling bermitra dan membentuk kerangka struktur yang disebut skema. Dalam pembelajaran, tiap materi yang dipelajari semestinya dikaitkan dengan pengalaman anak sebelumnya (skema) mudah-mudahan terkoneksi dengan struktur kognitif siswa.
iii.    Adaptasi : Asimilasi & Akomodasi
Terkadang dikala menerima pengalaman gres dan pada dikala bersama-sama kita mengenali bahwa pengalaman sebelumnya yang sudah dimiliki ternyata sudah tidak sesuai lagi. Proses penyesuaian denah dengan pengalaman gres dalam upaya menjaga equilibrium disebut adaptasi.
Asimilasi yakni perembesan informasi gres dalam pikiran. Sedangkan fasilitas yakni proses mental yang termasuk pembentukan denah gres yang cocok dengan rangsangan gres atau memodifikasi denah yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Selain Piaget, ada tokoh konstruktivistik kognitif lain yakni Jerome Bruner dengan discovery learning (belajar penemuan) di mana siswa berguru dengan caranya sendiri untuk mendapatkan prinsip-prinsip dasar. Dalam discovery learning siswa didorong untuk berguru lebih jauh lagi menurut caranya sendiri lewat keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa mendapat pengalaman-pengalaman serta melaksanakan eksperimen.

b.      Konstruktivistik Sosial
Berbeda dengan konstruktivistik kognitif dimana anak condong lebih bebas mengkonstruk sendiri pengetahuannya dan  kiprah guru yang akhirnya kabur dan tidak terang selaku pengajar. Sebaliknya, konstruktivistik sosial yang dipelopori Vygotsky mengedepankan pengkonstruksian wawasan dalam konteks sosial sehingga kiprah guru menjadi terang dalam menolong anak meraih kemandirian. Dari Piaget ke Vygotsky ada pergantian konseptual dari perorangan ke kolaborasi, interaksi sosial, dan acara sosiakultural. Pengertian berguru menurut konstruktivistik sosial yakni proses perubahan sikap yang terjadi selaku jawaban hadirnya pengertian gres yang dibangun dalam konteks sosial sebelum menjadi serpihan pribadi individu.
Menurut Santrock (2008) salah satu estimasi penting dari konstruktivistik sosial adalah situated cognition yaitu inspirasi bahwa pemikiran senantiasa diposisikan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam benak seseorang. Konsep situated cognition menyatakan bahwa wawasan dilekatkan dan dihubungkan pada konteks di mana wawasan tersebut dikembangkan. Kaprikornus idealnya, suasana pembelajaran diciptakan semirip mungkin dengan suasana dunia nyata.
Menurut Vygotsky dalam Slavin (2008) ada empat prinsip konstruktivistik sosial:
i.        Pembelajaran Sosial (social learning)
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai yakni pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa berguru lewat interaksi bareng dengan orang berilmu balig cukup akal atau sobat yang lebih cakap. Pembelajaran kooperatif yakni pembelajaran yang terjadi di saat murid melakukan pekerjaan dalam golongan kecil untuk saling menolong dalam belajar.
ii.      Zone of Proximal Development (ZPD)
Bahwa siswa akan mempelajari konsep-konsep dengan baik jikalau berada dalam ZPD. Siswa melakukan pekerjaan dalam ZPD jikalau siswa tidak sanggup memecahkan kendala sendiri, tetapi sanggup memecahkan kendala itu sesudah mendapat pertolongan orang berilmu balig cukup akal atau temannya (peer). Bantuan atau support diberikan mudah-mudahan siswa bisa menjalankan kiprah atau soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dibandingkan dengan tingkat perkembangan kognitif anak.
Bila materi yang diberikan di luar ZPD maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, materi tersebut tidak menantang atau terlalu gampang untuk diselesaikan. Kedua, materi yang dihidangkan terlalu tinggi dibandingkan kesanggupan permulaan sehingga anak kesusahan untuk menguasai terlebih menyelesaikannya, bahkan anak bisa mengalami frustasi.


iii.    Cognitive Apprenticeship
Yaitu proses yang dipakai seorang pelajar secara sedikit demi sedikit menerima keahlian lewat interaksi dengan pakar, bisa orang berilmu balig cukup akal atau sobat yang lebih tua/lebih pandai.  Pengajaran siswa yakni suatu bentuk masa magang/pelatihan. Awalnya, guru memberi teladan terhadap siswa kemudian menolong murid menjalankan kiprah tersebut. Guru mendorong siswa untuk melanjutkan tugasnya secara mandiri.
iv.    Pembelajaran Termediasi (Mediated Learning)
Vygostky menekankan pada scaffolding yaitu pertolongan yang diberikan oleh orang lain terhadap anak untuk membantunya meraih kemandirian. Siswa diberi  masalah  yang  kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi pertolongan seperlunya dalam memecahkan kendala siswa. Bantuan yang diberikan guru sanggup berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan kendala ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa sanggup mandiri.
Vygotsky mengemukakan tiga klasifikasi pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu:
1)      Siswa meraih kesuksesan dengan baik.
2)      Siswa meraih kesuksesan dengan bantuan.
3)      Siswa gagal menjangkau keberhasilan.

Dari uraian di atas maka secara garis besar perbedaan antara konstruktivistik kognitif dan konstruktivistik sosial selaku berikut:
Aspek
Konstruktivistik Kognitif
Konstruktivistik Sosial
Pengetahuan
Dibangun secara perorangan dan internal. Sistem wawasan secara aktif dibangun oleh pembelajar menurut struktur yang sudah ada.
Dibangun dalam konteks sosial sebelum menjadi serpihan pribadi individu.
Pandangan terhadap interaksi
Menimbulkan disequilibration yang mendorong individu mengadaptasi skema-skema yang ada.
Meningkatkan pengertian yang sudah ada sebelumnya dari hasil interaksi.
Belajar
Proses asimilasi dan fasilitas aktif pengetahuan-pengetahuan gres ke dalam struktur kognitif yang sudah ada.
Integrasi siswa ke dalam komunitas pengetahuan. Kolaborasi informasi gres untuk mengembangkan pemahaman
Strategi belajar
Experience based & discovery oriented
Sharing & Cooperative learning
Peran guru
Minimal & lebih membiarkan siswa mendapatkan sendiri inspirasi sehingga posisi guru selaku pengajar menjadi kabur
Penting dalam menolong (scaffolding) siswa meraih kemandirian lewat interaksi sosial.

Adapun implikasi dari teori berguru konstruktivisme dalam pendidikan yakni selaku berikut:
1)        Tujuan pendidikan menurut teori berguru konstruktivisme yakni menciptakan individu atau anak yang mempunyai kesanggupan berfikir untuk menyelesaikan setiap kendala yang dihadapi.
2)        Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi suasana yang memungkinkan wawasan dan keahlian sanggup dikonstruksi oleh akseptor didik. Selain itu, latihan memecahkan kendala sering kali dijalankan lewat berguru golongan dengan  menganalisis kendala dalam kehidupan sehari-hari.
3)        Peserta didik diharapkan senantiasa aktif dan sanggup mendapatkan cara berguru yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi selaku mediator, fasilitor, dan sobat yang bikin suasana yang aman untuk terjadinya konstruksi wawasan pada diri akseptor didik.

3.      Prinsip-prinsip Konstruktivistik dalam Pembelajaran
Menurut Hitipeuw (2009) prinsip-prinsip utama konstruktivistik dalam pembelajaran di kelas adalah :
a.       The best learning is situated learning. Pembelajar memecahkan masalah, menjalankan tugas, berguru materi gres dalam suatu konteks yang berharga bagi pembelajar dan berhubungan dengan dunia nyata.
b.      Pembelajar dalam proses belajarnya mendapatkan scaffolding yang bisa tiba dari guru atau sobat dalam berbagi pengertian atau keahlian barunya. Di sini, konstruktivistik mendorong apprenticeship approach (cognitive apprenticeship), menunjukkan pada proses di mana seorang pembelajar menerima keahlian pelan-pelan lewat interaksi dengan seorang ahli, apakah seorang berilmu balig cukup akal atau dua orang yang lebih maju darinya.
c.       Mengkaitkan semua kesibukan berguru ke dalam kiprah atau problema yang lebih besar. Tujuannya mudah-mudahan pembelajar sanggup menyaksikan relevansi tujuan belajarnya yang spesifik dan kaitannya dengan kiprah yang lebih besar dan kompleks sehingga kelak mereka sanggup berfungsi lebih efektif dalam kehidupan nyata.
d.      Membantu pembelajar dalam berbagi rasa mempunyai atas semua kendala dan tugasnya. Kaprikornus bukan sekedar lulus tes.
e.       Mendesain kiprah yang autentik. Membuat tugas-tugas yang menantang kognitif siswa dalam berguru sains misalnya seumpama layaknya ilmuwan. Problem atau kiprah bisa dinego dengan pembelajar mudah-mudahan sesuai dengan permintaan kognitif dan sanggup mendorong rasa memiliki.
f.       Mendesain kiprah dan lingkungan berguru yang mencerminkan kompleksitas lingkungan yang kelak pembelajar diharapkan berfungsi di dalamnya.
g.      Memberi peluang bagi pembelajar untuk mempunyai dan mendapatkan solusi.
h.      Mendesain lingkungan pembelajar yang mendukung dan menantang pemikiran pembelajar. Di sini guru bertindak selaku konsultan atau instruktur sesuai dengan konsep scaffolding zone of proximal development dari Vygotsky.
Selain prinsip di atas, ada beberapa hal yang mesti diamati dalam proses pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
a.       Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan;
b.      Mengutamakan proses;
c.       Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial;
d.      Pembelajaran dijalankan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.

4.      Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik
a.      Kelebihan :
i.        Pembelajaran konstruktivistik menyediakan peluang terhadap siswa untuk mengungkapkan ide secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.
ii.      Pembelajaran konstruktivistik memberi pengalaman yang bermitra dengan ide yang sudah dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan menggabungkan ide tentang fenomena yang menantang siswa.
iii.    Pembelajaran konstruktivistik memberi siswa peluang untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini sanggup mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada dikala yang tepat.
iv.    Pembelajaran konstruktivistik memberi peluang terhadap siswa untuk menjajal ide gres mudah-mudahan siswa terdorong untuk menerima kepercayaan diri dengan menggunakan banyak sekali konteks.
v.      Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa untuk menimbang-nimbang perubahan ide merka sesudah menyadari pertumbuhan mereka serta memberi peluang siswa untuk mengidentifikasi perubahan ide mereka.
vi.    Pembelajaran konstruktivisme menyediakan lingkungan berguru yang aman yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menyingkir dari kesan senantiasa ada satu jawaban yang benar.
b.      Kelemahan
i.        Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak sesuai dengan hasil konstruksi para piawai sehingga memunculkan miskonsepsi.
ii.      Konstruktivistik menanamkan mudah-mudahan siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini niscaya memerlukan waktu yang usang dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
iii.    Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, lantaran tidak semua sekolah mempunyai fasilitas prasarana yang sanggup menolong keaktifan dan kreativitas siswa.

D.    PERBEDAAN ANTARA TEORI BEHAVIORISTIK DENGAN TEORI KONSTRUKTIVISTIK
Sebelum membahas lebih jauh tentang teori berguru dan pembelajaran konstruktivistik maka lebih dulu perlu dihidangkan perbandingan antara teori behavioristik dengan teori konstruktivistik mengingat keduanya mempunyai perbedaan yang cukup mendasar.

Aspek
Behavioristik
Konstruktivistik
Pengetahuan
Objektif, pasti, dan tidak berubah. Pengetahuan sudah terencana dengan rapi
Tidak objektif, temporer, senantiasa berubah, dan tidak menentu.
Belajar
Perolehan pengetahuan
Penyusunan wawasan dari pengalaman nyata, acara kolaboratif, refleksi serta interpretasi
Mengajar
Pemindahan wawasan ke orang yang belajar
Penataan lingkungan mudah-mudahan siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan
Pemahaman
Siswa diharapkan mempunyai pengertian yangs sama terhadap wawasan yang diajarkan
Siswa akan mempunyai pengertian yang berlawanan terhadap wawasan tergantung pada pengalaman, dan persepektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya
Mind
Men-jiplak struktur wawasan lewat proses berpikir yang sanggup dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan diputuskan oleh karakteristik struktur pengetahuan
Sebagat alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik

E.     TEORI BELAJAR REINFORCEMENT
1.      Pengertian teori berguru reinforcement
Istilah reinforcement dalam dunia psikologi secara lazim sering diartikan selaku penguat sikap individu. Perilaku yang diberikan reinforcement sanggup berakibat diulanginya sikap atau dihentikannya perilaku. Sedangkan pengertian fundamental dari reinforcement yakni selaku penghematan keperluan biologis. Artinya suatu sikap yang sudah dikenai reinforcement maka dianggap keperluan biologisnya sudah terpenuhi. Sebagai teladan masakan yang sanggup bikin puas rasa lapar atau air yang sanggup menuaskan rasa haus .


2.      Tokoh teori berguru reinforment
a.       Clark Leonard Hull dilahirkan di Akron, New York pada 24 Mei 1884. Ia dibesarkan di Michigan, (1943,1952) menyampaikan bahwa berkurangnya stimulus yang ialah ciri keperluan biologis yakni yang gotong royong membentuk reinforcement. (Walker,1973). Penguat yang dimaksudkan oleh Hull di atas sanggup kita sebut selaku penguat utama (Primary reinforcers) yaitu  penguat yang memengaruhi perilaku tanpa perlu belajar, seperti: makanan, minuman. Ini disebut penguat alami. Sedangkan penguat yang di luar pemenuhan keperluan biologis disebut dengan penguat skunder (Secondar reinforcers) yakni penguat yang membutuhkan  tenaga penguat karena sudah diasosiasikan dengan penguat utama, seumpama memuji seseorang. Pada prinsipnya penguat yang paling banyak mempengaruhi kehidupan yakni penguat skunder (yang terkondisikan). Sebagai teladan yang paling menonjol yakni duit dan penghargaan. Walaupun duit sering digandengkan dengan penguat primer dimana duit diperlukan untuk berbelanja makanan, minuman, dan kenyamanan, tetapi penghargaan tetap bisa berdiri sendiri tanpa digandeng dengan penguat primer lantaran pemberian penghargaan sanggup menjaga dan mengembangkan acara dan produktivitas individu.(Atkinson,).
b.      Burrhus Frederic Skinner yakni tokoh yang memperkenalkan teori berguru penguatan berkebangsaan Amerika (1938, 1948, 1953) menyampaikan bahwa setiap stimulus yang sanggup memungkinkan peningkatan dari suatu respon disebut selaku suatu reinforcement. Jika suatu stimulus dimengerti sanggup menjadi penguat pada suatu situasi, maka ia sanggup dipakai sebagi reinforcement pada sikap yang lain. (dalam Walker, 1973). Contohnya yakni pemberian penguat positif (hadiah) berupa duit pada atlit yang berprestasi sanggup juga dipraktekkan terhadap siswa yang berprestasi.

3.      Penguatan  (Reinforcement) dan eksekusi (punishment)
Menurut Skinner (J.W. Santrock, 272) unsur yang paling penting dalam berguru yakni adanya penguatan (reinforcement ) dan eksekusi (punishment).
a.      Penguatan (reinforcement )
1)   Reinforcement positif
Disebut reinforcement positif apabila suatu stimulus terentu (menyenangkan) ditunjukkan atau diberikan sehabis suatu perbuatan dilakukan. Misalnya, duit atau kebanggaan diberikan terhadap seorang anak yang menerima nilai A pada mata pelajaran tertentu.
2)   Reinforcement negative
Dinamakan reinforcement negative apabila suatu stimulus tertentu (tidak menyenangkan) ditolak atau dihindari. Reinforcement negative memperkuat tingkah laris dengan cara menyingkir dari stimulus yang tidak menyenangkan. Kalau suatu perbuatan tertentu memunculkan seseorang menyingkir dari sesuatu yang tidak menyenangkan, yang bersangkutan condong mengulangi perbuatan yang serupa apabila pada suatu dikala menghadapi suasana yang serupa. Misalnya, murid yang berungkali diundang menghadap Kepsek, pelanggaran disiplin yang dilakukannya itu menjadi bertambah kokoh lantaran beliau tetap saja melakukannya.
b.      Hukuman (punishment).
Reinforcement negative sering kali dikacaukan dengan hukuman. Proses reinforcement senantiasa berupa memperkuat tingkah laku. Sebaliknya, eksekusi mengandung penghematan atau aksentuasi tingkah laku.  Suatu perbuatan yang dibarengi hukuman, kecil kemungkinannya diulangi lagi pada situasi-situasi yang serupa di dikala lain. Hukuman dibedakan menjadi dua:
ü  Presentation punishment
Terjadi apabila stimulus yang tidak mengasyikkan ditunjukkan atau diberikan. Misalnya, guru menyediakan tugas-tugas aksesori lantaran kesalahan-kesalanan yang dibentuk murid.
ü  Removal punishment
Terjadi apabila stimulus tidak ditunjukkan atau diberikan, artinya menetralisir sesuatu yang mengasyikkan atau diinginkan. Misalnya bawah umur tidak diperkenankan nonton tv selama sepekan sehingga tidak mau belajar.

4.      Tujuan pemberian reinforcement
Kebiasaan yang jarang sekali dijalankan oleh guru di dalam kelas yakni menyediakan reinforcement (penguatan) terhadap siswa, jarang sekali kita mendengar guru menyampaikan “bagus” atau menghunus jempol terhadap siswa yang sukses menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Padahal salah satu kompetensi profesional yang mesti dimiliki seorang guru yakni bisa menghidupkan motivasi berguru siswa dan reinforcement ialah salah satu cara yang efektif untuk menghidupkan motivasi berguru siswa. Sumantri dan Permana (1999:274) menyebutkan beberapa tujuan yang dapat diraih dari pemberian reinforcement yakni :
a.         Membangkitkan motivasi berguru akseptor didik,
b.         Merangsang akseptor didik berpikir lebih baik,
c.         Menimbulkan perhatian perserta didik,
d.        Menumbuhkan kesanggupan memiliki gagasan secara pribadi,
e.         Mengendalikan dan merubah sikap negatif akseptor didik dalam berguru ke arah sikap yang mendukung belajar.

5.      Manfaat reinforment dalam pembelajaran
Secara lazim reinforcement berharga bagi siswa lantaran akan mengembangkan motivasi berguru siswa dan motivasi berguru ialah salah satu hal yang penting dalam berguru lantaran lewat motivasi maka seseorang akan mau untuk belajar. Bagaimana prosedur tumbuhnya motivasi jawaban reinforcement ? Maslow pernah menyampaikan bahwa setiap insan mempunyai hirarkis keperluan dari mulai keperluan fisiologis, keperluan akan rasa aman, keperluan akan rasa mempunyai dan kasih sayang, keperluan akan penghargaan dan keperluan akan aktualisasi diri.
Sebenarnya reinforcement yang guru berikan ialah salah satu cara untuk menyanggupi keperluan dihargai, dicintai bahkan selaku salah satu bentuk bahwa subjek berguru sudah sukses mengambarkan dirinya (aktualisasi diri), tentunya di saat keperluan subjek berguru tercukupi ini maka ia akan mencicipi kepuasan yang mau mendorongnya untuk kembali melaksanakan hal yang sama.
Pengalaman di dalam kelas di saat salah seorang siswa yang bandel diberikan reinforcement lantaran siswa tersebut secara kebetulan bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan, menampilkan sikap kebiasaan berbuat onar di saat jam pelajaran menjadi menyusut bahkan siswa tersebut berbalik menjadi siswa yang aktif ikut serta di saat pertanyaan di lontarkan terhadap seluruh siswa di kelas.
Dari teladan di atas, selain untuk menghidupkan motivasi, reinforcement juga berkhasiat untuk menjaga sikap yang dikehendaki dari subjek belajar. Dalam sejarah teori belajar, reinforcement dipakai nyaris di setiap aliran teori belajar, teladan pada teori berguru behavioristik yang menekankan terhadap stimulus dan respon, menggunakan reinforcement selaku bentuk stimulus lanjutan untuk menjaga respon yang tepat, teori berguru psikologi humanistik juga menekankan pentingnya motivasi mudah-mudahan siswa bisa mengeluarkan potensi dalam dirinya.

6.      Situasi dalam memberikan reinforment
Namun perlu dikenang bahwa reinforcement yang kita berikan haruslah diberikan dalam suasana dan saat yang tepat mudah-mudahan bisa efektif, terdapat beberapa suasana yang cocok dalam menyediakan penguatan (Aunurrahman, 2009:130) yakni :
a.         Pada dikala akseptor didik menjawab pertanyaan, atau menanggapi stimulus guru atau akseptor didik yang lain,
b.         Pada dikala akseptor didik menyelesaikan PR,
c.         Pada dikala akseptor didik menjalankan tugas-tugas latihan,
d.        Pada waktu perbaikan dan penyempurnaan tugas,
e.         Pada dikala penyelesaian tugas-tugas golongan dan mandiri,
f.          Pada dikala membahas dan membagikan hasil-hasil latihan dan ulangan,
g.         Pada dikala suasana tertentu tatkala akseptor didik mengikuti kesibukan secara sungguh-sungguh.
Apabila seseorang berguru sesuatu yang baru, akan lebih singkat kalau setiap responnya yang benar diberi reinforcement. Praktek seumpama ini disebut reinforcement berkesinambungan. Tetapi sesudah respon sudah dikuasai, lebih baik diberikan reinforcement berselang-seling, yakni menyediakan reinforcement yang tidak setiap kali diberikan, dengan alasan:
a.         Memberikan reinforcement terhadap setiap respon yang benar itu akan menyantap banyak waktu dan tidak praktis.
b.         Reinforcement berselang-seling menolong murid untuk tidak mengharap-harap reinforcement setiap saat.
Secara lazim kita bisa menyampaikan bahwa reinforcement yang cocok diberikan dalam suasana di saat individu tengah melaksanakan acara belajarnya.







BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    KESIMPULAN
Teori berguru yang menjadi dasar upaya pendidikan banyak mempengaruhi kurikulum, metode berguru mengajar, tata kelola pendidikan, prasarana dan fasilitas pendidikan, serta permintaan kompetensi guru dan kepala sekolah. Oleh lantaran itu, teori berguru intinya ialah titik sentral dan semua permasalahan pendidikan dan upaya menyaksikan implikasi teori-teori berguru tersebut terhadap upaya pendidikan serta proses berguru motorik akan sungguh bermanfaat.
Teori behaviorisme dengan model kekerabatan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang berguru selaku individu yang pasif. Respon atau sikap tertentu dengan menggunakan metode training atau pembiasaan semata. Sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan sesuatu yang diterima oleh pelajar (respon) mesti sanggup diamati dan diukur. Teori ini memprioritaskan pengukuran, alasannya yakni pengukuran ialah suatu hal penting untuk menyaksikan perubahan tingkah laris tersebut terjadi atau tidak.
Teori berguru dalam persepsi behaviorisme ada tiga yaitu: Teori Pengkondisian Klasikal dari Pavlov, Teori Connetionisme Thorndike dan Teori Operant Conditioning dari B.F.Skinner. Teori behaviorisme cocok dipraktekkan untuk melatih bawah umur yang masih memerlukan dominansi kiprah orang dewasa, suka mengulangi dan mesti dibiasakan, suka menggandakan dan bahagia dengan bentuk-bentuk penghargaan eksklusif seumpama diberi permen atau pujian. Teori behaviorisme yakni pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat mekanistik, dan cuma berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur.
Teori Konstruktivisme  didefinisikan sebagai  pembelajaran  yang  bersifat generatif, yakni langkah-langkah mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang mengetahui hakikat berguru selaku kesibukan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih mengetahui berguru selaku kesibukan insan membangun atau bikin wawasan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pengertian tentang berguru yang lebih menekankan pada proses dibandingkan dengan hasil. Ragam Teori Konstruktivistik ada dua yakni konstruktivistik kognitif dan konstruktivistik sosial. Pengertian berguru menurut konstruktivistik kognitif yakni proses perubahan dalam struktur kognitif seorang individu selaku hasil konstruksi wawasan yang bersifat perorangan dan internal. Sebaliknya, konstruktivistik sosial yang dipelopori Vygotsky mengedepankan pengkonstruksian wawasan dalam konteks sosial sehingga kiprah guru menjadi terang dalam menolong anak meraih kemandirian.
Dalam teori berguru konstruktivisme peserta didik diharapkan senantiasa aktif dan sanggup mendapatkan cara berguru yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi selaku mediator, fasilitor, dan sobat yang bikin suasana yang aman untuk terjadinya konstruksi wawasan pada diri akseptor didik.
Reinforcement secara lazim sering diartikan selaku penguat sikap individu. Menurut Skinner (J.W. Santrock, 272) unsur yang paling penting dalam berguru yakni adanya penguatan (reinforcement ) dan eksekusi (punishment) yaitu : a.Penguatan (reinforcement ) dibedakan menjadi reinforcement positif apabila suatu stimulus terentu (menyenangkan) ditunjukkan atau diberikan sehabis suatu perbuatan dilakukan. Dan Reinforcement negative apabila suatu stimulus tertentu (tidak menyenangkan) ditolak atau dihindari. Reinforcement negative memperkuat tingkah laris dengan cara menyingkir dari stimulus yang tidak menyenangkan. Kalau suatu perbuatan tertentu memunculkan seseorang menyingkir dari sesuatu yang tidak menyenangkan, yang bersangkutan condong mengulangi perbuatan yang serupa apabila pada suatu dikala menghadapi suasana yang serupa. b. Hukuman (punishment). dibedakan menjadi Presentation punishment Terjadi apabila stimulus yang tidak mengasyikkan ditunjukkan atau diberikan. Misalnya, guru menyediakan tugas-tugas aksesori lantaran kesalahan-kesalanan yang dibentuk murid dan Removal punishment Terjadi apabila stimulus tidak ditunjukkan atau diberikan, artinya menetralisir sesuatu yang mengasyikkan atau diinginkan.
Tujuan pemberian reinforcement yakni menghidupkan motivasi berguru akseptor didik, merangsang akseptor didik berpikir lebih baik, membuat perhatian perserta didik, menumbuhkan kesanggupan memiliki gagasan secara pribadi, menertibkan dan merubah sikap negatif akseptor didik dalam berguru ke arah sikap yang mendukung belajar.
Secara lazim reinforcement berharga bagi siswa lantaran akan mengembangkan motivasi berguru siswa dan menjaga sikap yang dikehendaki dari subjek belajar. Reinforcement yang kita berikan haruslah diberikan dalam suasana dan saat yang tepat mudah-mudahan bisa efektif, yaitu  dalam suasana di saat individu tengah melaksanakan acara .


B.     SARAN
Setelah penulis mempelajari dan menyusun makalah ini, penulis menyadari bahwa kenyataan dilapangan kadang tidak sesempurna teori yang diungkapkan. Banyak hal yang menjadi halangan dalam penerapan teori ini. Namun penulis sungguh berharap besar kelak teori ini sanggup dipakai dan dikembangkan oleh sekolah-sekolah mengingat besarnya faedah dari penerapan konsep teori tersebut meskipun tidak seutuhnya.
Penulis sungguh berharap para guru yang dijadikan ujung tombak dalam pendidikan sanggup menghargai siswanya seumpama ia menghargai dirinya, menyediakan apa-apa yang terbaik bagi siswanya dan membimbing siswanya mudah-mudahan bisa menghadapi hari esok yang sarat rintangan. Juga impian mudah-mudahan bangsa ini sanggup lebih berkarya jikalau siswanya sanggup berperan dalam pembangunan bangsa ini selaku sumbangan dari pengalaman mengenyam pendidikan. Mungkin makalah ini jauh dari kata tepat tetapi ilmu yang terkandug didalamnya mudah-mudahan sanggup berharga bagi siapapun yang membacanya.


DAFTAR PUSTAKA

Aunurrahman.(2009).Belajar dan Pembelajaran. Bandung : Alfabeta
Bell, Margareth E. 1994. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Davies, Ivon K. 1987. Pengelolaan Belajar. Jakarta: Rajawali Pers.
Gredler, Margaret E. Bell. 1994. Belajar dan pembelajaran. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hergenhahn, B.R. and Olson, Mathew H. (1993). An Introduction to Theories of Learning (4th Ed). Prentice Hall. New Jersey.
Hitipeuw, I. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.
Santrock, J. W. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua (terjemahan). Jakarta: Kencana.
Slavin, R. E. 2006. Educational Psychology: Theory and Practice Eighth Edition. USA: Allyn Bacon.
Slavin, R. E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek Edisi Kedelapan (Jilid 2). Jakarta: PT Indeks.
Sumantri, Permana M (1999).Strategi Belajar Mengajar.Jakarta:Depdikbud Dirjen Dikti.




Related : Teori Belajar

0 Komentar untuk "Teori Belajar"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)