Pembiayaan Pendidikan



Landasan pedagogik merupakan ilmu dan bidang studi yang menjadi dasar bagi siapa pun yang mau menjadi pendidik supaya para pendidik sanggup mengetahui wacana seluk-beluk pendidikan anak, dengan mengetahui hal tersebut diharapkan pendidik sanggup menyediakan pelayanan terhadap peserta biar peserta didik sanggup bisa secara mandiri.
            Makalah ini berisi ringkasan chapter 8 “Financing Public Educatiom” dari buku Foundations of Education 11th edition karangan  Ornstein, Levine, Gutek dan David E. Vocke halaman 220-241 yang diterbitkan oleh WodsWorth Cengage Learning.  Laporan ini dibentuk untuk menyanggupi tugas individu mata kuliah landasan pedagogik pada Program Studi Administrasi Pendidikan Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
            Dalam Chapter ini menyuguhkan citra lazim mengenai sistem pembiayaan lazim pendidikan di Amerika Serikat.  Topik utama dalam pembahasaan chapter ini merupakan pembiayaan sekolah yang dipungut/diambil dari pajak baik pajak daerah, negara cuilan atau pun negara federal.
            Pun ada pembahasan wacana system pendanaan pendidikan di Indonesia beserta permasalahannya.
            Kenapa pembiayaan pendidikan mesti dipelajari? Karena mau tidak mau faktor pembiayaan itu sungguh penting bagi kelancaran jalannya praktek pendidikan. Praktek pendidikan sanggup berjalan dengan baik apabila ada bantuan pembiayaan yang baik, demikaian pula sebaliknya.




BAB II
DANA  PENDIDIKAN  UMUM


Pendidikan di Amerika Serikat merupakan persoalan yang senantiasa menjadi perhatian. Pada tahun 2005, ongkos pendidikan umum (K - 12) lebih dari $455 milyar per tahun. Sekolah dasar dan sekolah menengah mewakili 4,7 persen dari bikinan setempat negara. Tiga sumber utama pemasukan kotor (bruto) untuk sekolah lazim merupakan daerah, negara bagian, dan federal. Gambar 8.1 menunjukkan pemasukan dari sumber federal meningkat dari kurang dari setengah persen pada 1929-1930 menjadi 8,5 persen (mencapai tinggi hampir 10 persen pada 1979-1980). Kontribusi negara cuilan juga meningkat dari kurang dari 17 persen pada tahun 1929-1930 menjadi nyaris 50 persen pada tahun 2004. Jika peran serta dari negara cuilan dan federal meningkat, pemasukan kawasan malah jatuh secara proporsional, dari lebih dari 80 persen menjadi 43 persen.
Meskipun persentase dana yang dipersiapkan oleh tiga sumber telah berubah, jumlah total duit untuk sekolah lebih berkonsentrasi pada sekolah di daerah-daerah. Karena sebagian besar peningkatan ongkos yang berhubungan dengan sekolah sudah melampaui inflasi dalam beberapa tahun terakhir, bisnis sekolah mengalami kesusahan keuangan yang serius. Sejak pertengahan 1980, anggota dewan sekolah menempatkan "kurangnya bantuan keuangan" selaku tantangan nomor satu yang mereka hadapi.
Bab ini membahas argumentasi perubahan pembiayaan sekolah secara keseluruhan dan ketidakpastiannya. Pendidik di masa ini mesti mempunyai persoalan dengan kekurangan anggaran, pemerataan dalam pembiayaan sekolah, halangan wajib pajak, dan banyak sekali planning untuk merestrukturisasi metode bantuan keuangan.
Sumber Pajak Pendapatan Sekolah
Pendanaan sekolah negeri paling bergantung pada pemasukan yang dihasilkan dari pajak, utamanya pajak properti daerah, pajak penghasilan dan pemasaran negara. Pajak tertentu dianggap baik dibandingkan dengan yang lain. Berikut ini kriteria-kriteria yang dipakai untuk menganalisa pajak:
1.      Pajak sebaiknya tidak memunculkan distorsi (penyimpangan) ekonomi yang tidak diinginkan. Hal ini tidak mesti merubah pola belanja pelanggan atau memunculkan relokasi bisnis, industri, atau masyarakat.
2.      Pajak mesti adil. Harus didasarkan pada kesanggupan wajib pajak untuk membayar. Mereka yang mempunyai pemasukan lebih besar atau dengan nilai properti yang lebih besar mesti mengeluarkan duit pajak lebih. Pajak seperti ini disebut pajak progresif. Pajak tidak adil dan yang membayarnya merupakan kalangan berpenghasilan rendah untuk mengeluarkan duit proporsi yang lebih tinggi dari pemasukan mereka dibandingkan dengan kalangan yang berpenghasilan tinggi disebut pajak regresif.
3.      Pajak mesti mudah dikumpulkan.
4.      Pajak mesti menyikapi perubahan kondisi ekonomi, peningkatan inflasi selama dan dalam penurunan resesi. Pajak Responsif merupakan elastis, yang tidak responsif merupakan tidak elastis.


Pembiayaan Daerah untuk Sekolah Negeri
Meskipun negara bertanggung jawab untuk pendidikan, secara tradisional banyak tanggung jawab ini telah jatuh ke kawasan sekolah setempat. Ikhtisar 8.1 merangkum sumber pemasukan pemerintah dan pola pengeluaran untuk pendidikan di tingkat daerah, negara bagian, dan federal. Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, peran serta kawasan terhadap pendanaan sekolah sudah menurun selama beberapa dekade terakhir namun masih berjumlah lebih dari 42 persen dari total.
Pajak Properti
Pajak properti merupakan sumber utama pemasukan bagi kawasan sekolah setempat, terhitung 77 persen dari dana setempat nasional. Dalam sebelas negara, tergolong enam negara-negara cuilan New England, pajak properti meraih lebih dari 98 persen dari pemasukan sekolah setempat.
Pajak properti diputuskan oleh harga jual pertama dari properti - harga jual kemungkinan untuk properti. Harga jual dikonversi menjadi harga taksiran menggunakan indeks tertentu atau rasio, seumpama seperempat atau sepertiga; misalnya, suatu properti dengan harga jual sebesar $200.000 mungkin mempunyai harga taksiran cuma $50.000. Harga taksiran biasanya kurang dari harga pasar. Sehingga, tarif pajak daerah, dinyatakan dalam a mill, dipakai untuk harga taksiran. A mill mewakili seperseribu dolar, jadi tarif pajak dari 25 mills sebesar $25 untuk setiap $1.000 dari harga taksiran (atau $25 x 50 = $1.250 pajak).
Pajak properti bukan pajak yang adil. Praktek penilaian yang berlainan dan kurangnya valuasi (nilai mata uang) yang serupa sanggup memunculkan orang yang mempunyai properti yang setara mengeluarkan duit pajak yang berbeda. Selain itu, pajak properti mungkin gagal untuk mendistribusikan beban pajak sesuai dengan kemampuan untuk membayar. Beberapa pensiunan mungkin mempunyai rumah yang harga jualnya sudah meningkat secara substansial, bersama dengan pajak mereka namun lantaran pemasukan mereka tetap, mereka tidak bisa mengeluarkan duit peningkatan pajak. Dalam hal ini, pajak properti regresif.
Selain itu, pajak properti tidak secepatnya responsif terhadap perubahan kondisi ekonomi. Beberapa negara menganggap kembali properti setiap satu atau dua tahun, tetapi negara lain menganggap kembali cuma setiap tiga hingga empat tahun. Dengan demikian harga taksiran properti dan pajak yang bekerjsama seringkali didasarkan pada pasar yang sudah kadaluarsa (outdate market condition).
Ikhtisar 8.1
Sumber Penghasilan Menurut Tingkat dan Pola Pengeluaran
Tingkat
Pendapatan
Sumber Pengeluaran Pola
Daerah








Negara bagian










Federal



Properti pajak
Hak Produk
Pajak khusus dan retribusi
Pajak penghasilan pribadi





Pajak Penjualan
Pajak lainnya: pajak cukai, pajak pesangon
Lotere







U.S.Treasury
Pendanaan untuk sekolah negeri di daerah. Daerah bervariasi luas dalam kesanggupan mereka untuk membiayai sekolah mereka, dan tunjangan negara tidak selalu menyamakan perbedaan tersebut.

Kemampuan negara bervariasi dalam membiayai pendidikan. Daerah didanai dengan menggunakan kombinasi dari empat rencana: datar hibah, yayasan, persamaan kekuatan, atau banyaknya siswa. Banyak negara berusaha keras untuk menyediakan pendidikan yang mencukupi untuk semua siswa.

Pendanaan didistribusikan terutama kepada negara-negara untuk tujuan tertentu, misalnya peningkatan membaca dan pendidikan khusus. Peraturan No Child Left Behind mewajibkan negara menunjukkan kemajuan tahunan yang mencukupi dalam prestasi siswa dan penyediaan guru yang berkualitas di setiap daerah.

Sumber Lain Pendanaan Daerah
Selain pajak properti, sekolah sanggup menghimpun pemasukan lewat pajak penghasilan khusus dan pajak yang lain atau biaya. Beberapa kota, utamanya desa-desa kecil dan kota-kota, tergantung pada sumber seumpama denda kemudian lintas dan izin bangunan dalam menolong penigkatan keuangan untuk sekolah.
Retribusi – merupakan ongkos yang dikenakan untuk memakai kepraktisan atau layanan tertentu. Retribusi sanggup dikenakan pada layanan bus, buku teks, kegiatan atletik dan rekreasi, kelas prasekolah, dan acara di luar sekolah (after-school centers). Pada tahun 2006, lebih dari tiga puluh negara diizinkan sekolah untuk menganggap retribusi pada siswa, dan banyak sekolah yang melakukannya. Saat ini, retribusi meraih 20 persen dari pendapatan di yurisdiksi daerah. Karena mereka tidak didasarkan pada kesanggupan membayar, retribusi dianggap selaku pajak regresif.
Beberapa dewan sekolah sudah menandatangani kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan untuk hak produk eksklusif. Misalnya, sekolah Jefferson County (Colorado) menandatangani kontrak pribadi dengan produk Pepsi. Hal ini diperkirakan menyediakan $7.300.000 pemasukan untuk kawasan selama lebih dari tujuh tahun. Sekolah kawasan lain sudah mengembangkan kampanye penggalangan dana jutaan dolar dengan sponsor perusahaan, menghasilkan sumbangan tunai untuk stadion baru, auditorium, papan nilai, dan pembelian peralatan. Namun, kontrak ini dinegosiasikan di kawasan oleh kawasan utama, dengan beberapa kawasan memperoleh laba tinggi sementara yang lain berjuang untuk mendanai ongkos sekolah kawasan mereka.
Sumber Daya Lokal dan Disparitas
Meskipun mendapat tunjangan dari negara cuilan dan federal, beberapa sekolah kawasan mengalami kesusahan yang lebih besar dalam mendukung keberlangsungan pendidikan. Sekolah kawasan yang terletak di kawasan kaya atau kawasan dengan pajak dasar yang besar (misalnya, lingkungan perumahan, sentra perbelanjaan, bisnis, dan industri) menciptakan pemasukan lebih dari sekolah kawasan yang terletak di kawasan miskin. Akibatnya, di pada biasanya negara bagian, lima sekolah kawasan terkaya sering menghabiskan dua hingga empat kali lebih per siswa dari lima sekolah kawasan termiskin. Seperti yang kita diskusikan nanti dalam cuilan ini, pengadilan negara dan legislatif sudah berupaya untuk mengurangi kesenjangan tersebut melalui reformasi dalam metode keuangan pendidikan. Bagaimanapun juga, di pada biasanya negara cuilan substansial kesenjangan dalam pendanaan ini masih menjadi kendala.
Meskipun persoalan keuangan mensugesti banyak wilayah pedesaan dan pinggiran kota, tetapi persoalan keuangan paling besar biasanya didapatkan di kota-kota besar. Kota-kota terusik oleh apa yang sering disebut beban kota, suatu krisis keuangan parah yang disebabkan oleh kepadatan penduduk dan banyaknya jumlah penduduk berpenghasilan rendah. Penambahan pengeluaran yang diharapkan untuk layanan sosial dan ongkos perawatan untuk mencegah kota-kota besar dari mengabdikan selaku persentase besar dari total pemasukan pajak mereka ke sekolah sebagaimana yang dijalankan oleh kota di pinggiran dan pedesaan.
Masalah lain merupakan bahwa sekolah-sekolah kota mempunyai jumlah siswa yang lebih banyak berkebutuhan khusus - yaitu, siswa bilingual (English language learner), siswa berpenghasilan rendah, dan siswa penyandang cacat. Siswa-siswa ini memerlukan agenda dan layanan yang berhubungan yang mungkin memerlukan ongkos 50 hingga 100 persen lebih per siswa dibandingkan dengan agenda dasarnya.
Meskipun mereka memerlukan lebih banyak pendapatan, kota sering tidak sanggup meningkatkan pajak secara realistis. Ironisnya, peningkatan pajak berkontribusi terhadap penurunan sekolah perkotaan karena mereka memunculkan jerih payah dan warga berpenghasilan menengah untuk beralih ke pinggiran kota. Dengan demikian, dasar pajak kota dirusak. Pelayanan yang menurun memunculkan kurangnya pemasukan juga memunculkan warga untuk pergi – suasana lemah (a no-win situation).
"Pajak adalah sumber utama kawasan dan negara dari pendanaan sekolah. Pajak properti, pajak penghasilan pribadi, dan pajak penjualan menyediakan pendanaan yang banyak bagi sekolah. Sejarahnya, warga di banyak negara bagian telah menolak kenaikan pajak”.

Keuangan Negara dari Sekolah Umum
Meskipun negara banyak mempunyai perwakilan kekuasaan pendidikan dan tanggung jawab untuk sekolah kawasan setempat, setiap negara tetap bertanggung jawab secara aturan atas mendidik anak-anak dan pemuda, dan jumlah dana pendidikan oleh negara terus meningkat; kini sekolah dasar dan sekolah menengah dijumlah selaku klasifikasi paling besar dalam rata-rata pembiayaan lazim negara, yakni pada 34,4 persen (lihat gambar 8.1). Pada cuilan ini kita melihat jenis utama pajak negara yang digunakan untuk membiayai pendidikan, variasi dalam pembiayaan sekolah dari negara cuilan ke negara cuilan yang lain, metode tunjangan negara yang dibagi antara daerah setempat, dan peran pengadilan negara dalam mempromosikan reformasi keuangan sekolah.
Sumber Penerimaan Negara Bagian
Pajak penjualan dan pajak pemasukan pribadi adalah dua sumber utama penerimaan negara. Karena negara sewaktu ini membayar hampir 50 persen dari biaya sekolah dasar negeri dan pendidikan menengah (lihat Gambar 8.1), kedua pajak merupakan elemen penting dalam dukungan keseluruhan sekolah negeri.
Pajak Penjualan
Pada tahun 2006, empat puluh lima negara mempunyai pajak pemasaran di seluruh negara bagian, dengan pajak tersebut membentuk sepertiga dari pemasukan negara. Rata-ratanya meraih 6,8 persen, dan empat negara bagian, Lousiana, New York, Tennessee, dan Washington, mempunyai rata-rata 8,25 persen.
Pajak pemasaran lebih baik dibandingkan dengan kemungkinan pajak penggalangan dana lainnya. Sebagai contoh, pajak pemasaran menyanggupi standar ekuitas apabila basis pajak tidak tergolong masakan dan obat-obatan. (Jika tidak, bagaimanapun, kalangan berpenghasilan rendah yang menderita lantaran mereka menghabiskan sebagian besar pemasukan mereka pada materi pokok seumpama masakan dan obat-obatan). Pajak pemasaran mudah untuk dikelola dan dikumpulkan, tidak memerlukan penilaian periodik atau memerlukan banding aturan (seperti pajak properti). Pajak pemasaran juga elastis, lantaran pendapatan berasal dari kecenderungan paralel perekonomian. Ketika negara dalam krisis ekonomi, pemasukan pajak pemasaran cukup menurun untuk mengurangi pemasukan negara. Namun, pajak memiliki kegunaan karena peningkatannya relatif kecil dalam jumlah besar dari pendapatan.
Pajak Penghasilan Pribadi
Pajak penghasilan pribadi merupakan sumber paling besar penerimaan pajak negara, yang mewakili lebih dari 35 persen dari pemasukan negara. Hanya sembilan negara cuilan yang tidak memungut pajak pemasukan pribadi negara. Sama seumpama tingkat pajak pemasaran bervariasi antara negara – dari 3 hingga 8,25 persen - pajak pemasukan negara, juga bervariasi menurut persentase progressive dari pemasukan pribadi.
Sebuah pajak penghasilan yang dirancang dengan baik sebaiknya tidak memunculkan distorsi ekonomi. Dengan asumsi tidak ada celah, hal tersebut relatif tinggi dalam hal ekuitas, yang merefleksikan pemasukan wajib pajak dan kesanggupan untuk membayar. Pajak penghasilan juga lebih adil dibandingkan dengan pajak yang lain karena biasanya menimbang-nimbang kondisi khusus dari wajib pajak, seumpama tanggungan, penyakit, biaya pindah, dan sejenisnya. Secara umum, pajak penerimaan negara sudah menjadi lebih progresif lantaran meningkatnya pemotongan standar dan pembebasan pribadi, dan beberapa negara cuilan sudah menetralisir pajak pada keluarga miskin secara keseluruan.
Pajak penghasilan pribadi mudah untuk dikumpulkan, biasanya lewat pemotongan gaji. Hal ini juga sungguh elastis, memungkinkan pemerintah negara cuilan untuk menyediakan bermacam-macam tarif sesuai dengan tingkat ekonomi. Namun, elastisitas menjadikannya rentan terhadap resesi, yang memunculkan penurunan pendapatan.
Pajak Lain dari Negara Bagian
Pajak lain berkontribusi dalam jumlah terbatas pada pendidikan. Ini termasuk (1) pajak cukai pada produk materi bakar bermotor, minuman keras, dan produk tembakau; (2) real estate dan pajak hadiah; (3) pajak pemotongan (pada output dari mineral dan minyak); dan (4) pajak penghasilan perusahaan.
Kecenderungan lain muncul pada 40 tahun kebelakang untuk mendirikan lotere (arisan) negara cuilan dan inisiatif bentuk permainan yang lain untuk mendukung pendidikan. Meskipun tujuan permulaan yang utama adalah lotere, dana telah dialihkan untuk memenuhi prioritas sosial lainnya seperti perawatan kesehatan, lembaga kesejahteraan sosial, dan perbaikan jalan. Akibatnya, di sebagian besar empat puluh dua negara di mana terdapat lotere, dua puluh empat cuilan dari pemasukan lotere dipakai untuk pendidikan, namun lotere menyediakan kontribusi kurang dari 2 persen dari total pendapatan negara untuk pendidikan. Lotere agak regresif karena kebanyakan individu yang berpenghasilan rendah yang bermain lotere daripada individu yang berpenghasilan tinggi, dan mereka menghabiskan lebih besar persentase dari pemasukan tahunan mereka pada hal ini.
Kemampuan Negara Bagian untuk Membiayai Pendidikan
Beberapa siswa lebih mujur dibandingkan dengan yang lain, cuma dengan ketidaksengajaan geografis. Negara tempat tinggal mempunyai banyak relevansinya dengan jenis dan mutu pendidikan yang diterima anak. Pada tahun 2006, empat belas negara menghabiskan lebih dari sepuluh ribu dolar tiap tahun untuk mendidik siswa. Sebaliknya, tiga belas negara menghabiskan kurang dari delapan ribu dolar per siswa. Dan Utah menghabiskan kurang dari enam ribu dolar per siswa (lihat Gambar 8.2).
Apakah angka-angka ini memiliki arti bahwa beberapa negara menetapkan prioritas pendidikan mereka lebih tinggi dari negara-negara lain? Tidak, mereka merefleksikan apa yang mereka mampu, banyak yang mesti dijalankan dengan nilai pemasukan pribadi dan properti penghuninya. Kita mesti menimbang-nimbang apakah negara menghabiskan semua layanan dan fungsi, seumpama perumahan, transportasi, dan perawatan medis.
Sebagai contoh, pada tahun 2006, Oklahoma menghabiskan $ 6.941 per siswa – ketiga terendah, secara nasional dan jauh dari rata-rata nasional $ 9.154 – disamping itu jumlah ini mewakili 2,7 persen dari pemasukan per kapita Oklahoma (pendapatan rata-rata untuk setiap orang yang tinggal di negara bagian). Rata-rata nasional merupakan 2,5 persen dari pemasukan per kapita.
Dukungan Pendidikan dan Penuaan Penduduk Amerika (The Graying of America)
Faktor lain yang mengurangi kemampuan negara untuk membiayai pendidikan negeri merupakan populasi yang menua. Usia rata-rata dari penduduk AS terus bertambah sejak tahun 1900. Proporsi orang tua dari enam puluh lima merupakan 4,1 persen pada tahun 1900. Pada tahun 2000, menjadi 12,4 persen dan kemungkinan akan meraih 24 persen atau lebih di tahun 2050. Orang renta yang tidak lagi mempunyai anak di sekolah biasanya lebih tahan terhadap peningkatan pajak untuk sekolah. Perubahan gres di pola pengeluaran pemerintah merefleksikan perilaku ini. Melalui tahun 1980-an, belanja pendidikan per siswa melampaui inflasi sekitar 30 persen. Namun, itu cuma berkembang pada rata-rata inflasi sekitar 6 persen pada tahun 1990. Pada sewaktu yang sama, pengeluaran kementrian kesehatan – untuk takaran orang renta meningkat.
Kenaikan rata-rata usia merupakan tren nasional, tetapi beberapa bagian negara tersebut "beruban" lebih singkat dibandingkan dengan yang lain. Pada tamat tiga dekade pada 1900-an, Negara cuilan Frostbelt, seumpama New York, Pennsylvania, Illinois, Iowa, dan Michigan, kehilangan sejumlah besar pemuda di kawasan Selatan dan Barat. Di banyak kawasan di Timur Laut dan Midwest, populasi orang renta kian tidak menyediakan bantuan keuangan dan dukungan politik untuk sekolah. Sebaliknya, kawasan dengan di registrasi mahasiswa dalam jumlah banyak, seperti di Tenggara dan Barat Daya, sanggup mengimbangi kuatnya pengaruh kelompok usia yang lebih tua.
Bantuan Negara Bagian untuk Sekolah di Daerah
Amerika memakai empat metode dasar untuk membiayai sekolah negeri. Beberapa negara cuilan mempunyai seni tata kelola keuangan yang memadukan beberapa metode.
1.       Flat Grant Model. Ini merupakan metode tertua dan paling tidak setara dalam pembiayaan sekolah. Bantuan negara untuk sekolah kawasan setempat didasarkan pada jumlah tetap dikalikan dengan jumlah siswa yang hadir. Hal ini gagal untuk menimbang-nimbang siswa dengan keperluan khusus (siswa bilingual memerlukan ongkos lebih untuk mendidik dibandingkan dengan asli berbahasa Inggris), agenda khusus (pendidikan kejuruan dan khusus), atau kondisi keuangan dari sekolah daerah.
Sisa tiga metode masing-masing mengejar kesetaraan yang lebih besar dari peluang pendidikan dengan mengalokasikan lebih banyak dana untuk sekolah kawasan paling membutuhkan bantuan.
2.      Foundation Plan. Pendekatan ini yang paling umum, dipakai oleh dua puluh lima negara cuilan dan Negara Bagian Columbia, menjamin suatu yayasan, atau pengeluaran minimum tahunan per siswa, untuk semua sekolah kawasan di Amerika. Namun, reformis biasanya mempertimbangkan tingkat minimum terlalu rendah, dan sekolah kawasan yang kaya dengan mudah melampaui itu. Sekolah di kawasan dengan persentase bawah umur dari keluarga berpenghasilan rendah yang tinggi dari menderita dengan planning ini.
3.       Power – equalizing Plan. Banyak negara cuilan sudah mengadopsi beberapa bentuk yang lebih gres rencana. Setiap sekolah kawasan berhak untuk menciptakan budget belanja sendiri, namun negara cuilan mengeluarkan duit persentase dari pengeluaran sekolah setempat berdasarkan kekayaan daerah. Sekolah di kawasan kaya mendapatkan sedikit duit dan kawasan yang miskin mendapatkan lebih banyak.
4.       Weighted Student Plan. Siswa terhitung dalam proporsi sesuai karakteristik khusus mereka (yaitu cacat, berkebutuhan khusus, berpendapatan rendah, dan sebagainya) atau agenda khusus (misalnya, kejuruan atau English for Speaker of Other Languages [ESOL]) untuk menegaskan ongkos instruksi per siswa. Sebagai contoh, negara sanggup menyediakan empat ribu dolar untuk setiap mahasiswa biasa, 1,5 kali jumlah tersebut (enam ribu dolar) untuk siswa SMK, dan 2 kali jumlah tersebut (delapan ribu dolar) bagi siswa dengan keperluan khusus. Rencana ini sering dipakai bareng dengan planning yayasan.
Pengadilan dan Reformasi Keuangan Sekolah
Upaya untuk menyamakan peluang pendidikan antar sekolah kawasan dalam suatu negara sudah didorong oleh serangkaian keputusan pengadilan yang sudah merubah secara fundamental pembiayaan sekolah negeri di pada biasanya negara. Pada tahun 1971 keputusan penting di Serrano v. Priest merubah radikal cara California mengalokasikan dana pendidikan. California, seperti nyaris semua negara, bergantung pada pajak properti setempat untuk mendukung sekolah, dan penggugat beropini bahwa metode pembiayaan ini memunculkan perbedaan inkonstitusional
dalam pengeluaran antara sekolah daeah yang kaya dan miskin. Hal ini disetujui oleh Pengadilan Tinggi California.
Setelah keputusan Serrano, Mahkamah Agung Amerika menetapkan pada tahun 1973 di San Antonio v. Rodriguez bahwa kesenjangan pengeluaran menurut perbedaan pajak properti lokal antara sekolah kawasan dalam suatu negara cuilan konstitusional di bawah Konstitusi AS tapi mungkin tidak konstitusional di bawah konstitusi negara bagian. Keputusan Rodriguez menempatkan isu ketidakadilan di bidang keuangan sekolah di tangan pengadilan negara dan legislatif, di mana banyak orang percaya itu sudah dimiliki.
Sejak Rodriguez, pengadilan negara tertentu sudah menetapkan bahwa pembiayaan sekolah adalah inkonstitusional jikalau mereka menciptakan perbedaan besar dalam pengeluaran per siswa menurut perbedaan kekayaan di antara sekolah daerah. Misalnya, dalam Rose v. Council for Better Education (1989), Mahkamah Agung Kentucky menyatakan seluruh keadaan metode pendidikan, tergolong metode sekolah pendanaan dengan pajak properti, inkonstitusional. Keputusan ini mendorong legislatif untuk mengoptimalkan rata-rata pendidikan menghabiskan 30 persen dan untuk melaksanakan planning ekspansi reformasi pendidikan (dijelaskan dalam cuilan wacana Efektivitas Sekolah dan Reformasi di Amerika). Setelah persoalan di Kentucky, persoalan yang serupa terjadi di tiga puluh negara bagian, dan persoalan pendanaan tidak sama sedang ditinjau kembali berulang-ulang di tubuh legislatif negara bagian.
Keputusan pengadilan baru-baru ini sudah berkonsentrasi pada kesesuaian, penyediaan sumber daya yang cukup untuk menolong siswa memperoleh tingkat profesi dari metode cobaan negara, dan keadilan, kepercayaan bahwa siswa di sekolah kawasan miskin mempunyai hak untuk kesempatan pendidikan yang serupa dengan siswa dari kawasan berpendapatan tinggi. Singkatnya, negara perlu menutup kesenjangan antara metode pendidikan terbaik dan terburuk dalam metode keuangan pendidikan. Beberapa negara cuilan juga perlu faktor sekolah swasta ke dalam planning distribusi mereka. Pada bulan Juni 2003, Mahkamah Agung AS, dalam five-to-four vote, mengeluarkan keputusan agenda voucher Cleveland (Ohio). Program ini menyediakan negara cuilan duit dalam bentuk voucher pendidikan untuk siswa berpendapatan rendah di sekolah swasta. Mahkamah menyatakan agenda voucher konstitusi selama layanan perbaikan yang setara dipersiapkan untuk siswa berpendapatan rendah atau siswa remedial di sekolah negeri. Undang-undang negara cuilan yang menyusul pada tahun setelah 2005, ekspansi ongkos voucher hingga ke siswa sekolah negeri di Ohio pada sekolah yang dikategorikan menjadi “gawat pendidikan”. Sebanyak 14.000 siswa menyanggupi syarat untuk mendapatkan voucher Ohio.
Namun beberapa kritikus reformasi keuangan sekolah beropini bahwa jikalau cuma uang saja menciptakan sedikit perbedaan dalam mutu pendidikan. Mereka berpendapat bahwa komitmen permintaan peningkatan pendidikan dan tanggung jawab selaku cuilan dari siswa, guru, dan orang tua. Selain itu, kecuali kita mengatasi berbagai faktor sosial dan kognitif, utamanya struktur keluarga, upaya reformasi mungkin tidak berguna. Dengan tidak diselesaikan semua persoalan ini, reformasi keuangan sekolah akan hangat diperdebatkan selama beberapa tahun yang mau datang.
Pendanaan Pendidikan Federal
Sampai pertengahan kurun kedua puluh, pemerintahan federal memberi negara cuilan (atau sekolah daerah) sedikit tunjangan keuangan dalam mendidik siswa Amerika (lihat cuilan Perkembangan Sejarah Pendidikan Amerika). Sikap ini sejalan dengan keyakinan secara lazim dikuasai bahwa pemerintah federal mesti mempunyai sedikit kiprah terhadap pendidikan, yang merupakan tanggung jawab negara bagian. Meskipun aturan nasional tertentu dan agenda pemerintah federal memiliki pengaruh yang signifikan terhadap bagaimana perkembangan pendidikan di Amerika Serikat, program-program ini dijalankan secara tidak sistematis atau cuilan yang secara luas diketahui selaku planning nasional untuk pendidikan. Setelah Uni Soviet meluncurkan satelit Sputnik pada tahun 1957, kebijakan nasional menjadi lebih erat terkait dengan pendidikan dan pendanaan pemerintah federal meningkat secara dramatis dan terkonsentrasi pada hal yang spesifik, kawasan target. Peningkatan tunjangan pemerintah federal yang yang dialokasikan untuk peningkatan ilmu pengetahuan, matematika, dan kode bahasa asing dan untuk pendidikan guru.
Dari pertengahan tahun 1960 hingga tahun 1970, kekuatan sarat dari pemerintah federal masuk dan berperan untuk menciptakan keputusan Mahkamah Agung AS pada desegregasi sekolah. Dorongan itu tiba dari Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964, yang menyatakan bahwa semua program yang didukung oleh dana federal mesti diadministrasikan dan dijalankan tanpa diskriminasi atau semua dana federal tersebut akan dicabut.
Selain upaya-upaya desegregasi tersebut, keperluan pendidikan kalangan minoritas dan perempuan mendapatkan perhatian dan pendanaan dari pertengahan tahun 1960 hingga tamat tahun 1970. Beragam kalangan seumpama mahasiswa bilingual, penduduk orisinil Amerika, siswa berpenghasilan rendah, dan siswa dengan keperluan khusus menjadi targetkan untuk agenda khusus.
Tren Bantuan Pemerintah Federal Saat Ini untuk Pendidikan
Pada tahun 1980, metode tata kelola dari kepemerintahan Reagan menenteng konservatisme gres di tingkat federal, dan tren niknya peran serta pemerintah federal hingga berakhirnya persekolahan umum. Pendidikan federal menghentikan penurunan pembelajaran pada dekade tersebut (bandingkan Tabel 8.1 dengan Gambar 8.1). Selama masa tersebut metode pendanaan sekolah juga berubah. Hibah kategoris (categorial grants) (target pendanaan untuk kalangan tertentu dan dirancang dengan tujuan tertentu) menyediakan jalan untuk pemblokiran hibah (block grants) (pendanaan untuk tujuan lazim tanpa klasifikasi yang tepat). Langkah ini merupakan cuilan dari “federalisme baru” yang mengalihkan tanggung jawab bagi banyak agenda sosial dan pendidikan pemerintah federal dari tingkat nasional hingga pemerintahan negara cuilan lantaran negara cuilan yang mempunyai kedekatan dengan agenda mengenali cara yang terbaik untuk membelanjakan dana.
Pada tahun 1990 terlihat pergantian tren yang lain dalam keterlibatan pemerintahan federal pada pendanaan sekolah K-12 (sekolah dasar). Pemerintah federal melaksanakan 2000 program, dengan bantuan metode tata kelola G. H. W. Bush dan Clinton, membalikkan penurunan keuangan federal yang semestinya untuk mendukung agenda pendidikan. Penekanan pada pemblokiran hibah (block grant) selaku agenda kategorial menjadi berganti kembali. Target utama untuk tunjangan pemerintah federal yang didistribusikan terhadap negara cuilan berganti menjadi standar kurikulum.
Tren yang condong terhadap pendanaan kategorial memasuki saat-saat di permulaan milenium baru. No Child Left Behind timbul pada tahun 2002, memfokuskan pendanaan federal untuk standar, tes, perkiraan keuangan, dan mutu guru. Negara dituntut untuk mengolah standar kurikulum, menyebarkan penilaian pada standar membaca dan matematika untuk tingkat 3 hingga 8 dan juga di sekolah tinggi, serta menciptakan rancangan keuangan. Sebagai tambahan, metode sekolah mesti menegaskan bahwa semua guru berkulitas tinggi selama tahuan pedoman 2005-2006.
                Pada pasal dari NCLB, pemerintah federal menjadi lebih terlibat dalam pendidikan di ranah negara dan kawasan dalam menerapkan secara aktif kebijakan pendidikan. Hukum tidak cuma mengharuskan penilaian dikembangakan dan diadministrasikan. Hukum juga mengharuskan penilaian kerja untuk “Adequate Yearly Progress” [peningkatan tahuan yang cukup] (AYP) diadakan untuk menegaskan bahwa semua siswa berhasil dalam meraih standar sebagaimana yang sudah diukur dalam penilaian. Sebagai tambahan, hasilnya dikelompokkan menurut suku, pemasukan keluarga, bahasa sehari-hari, dan kekurangan siswa, serta sekolah cuma sanggup menjumpai AYP sewaktu setiap kalangan siswa berjumpa AYP. Sekarang ini, NCLB menuntut siswa untuk berhasil dalam tes wilayah pada 2014.
Kritik untuk isi dari NCLB bahwa pendanaan federal untuk negara cuilan sudah tertinggal di belakang kesanggupan negara cuilan untuk mendanai ongkos pengidentifikasian dan pengadminstrasian hasil tes, membangun standar untuk membedakan guru dengan kualifikasi tinggi, dan kesepakatan lainnya. Kekurangan dana ini memunculkan kekesalan pada perkantoran sekolah di level nagara cuilan maupun daerah. Beberapa kritik menyebut NCLB selaku “perintah tidak didanai,” persyaratan federal yang memerlukan ongkos pada cuilan lain atau pendanaan federal yang kurang dari cukup. The National Education Association (NEA) dan beberapa departemen pendidikan negeri bekerjsama terlibat dalam somasi dengan Departemen Pendidikan A.S. menantang aturan selaku perintah yang tidak didanai. Mereka beropini bahwa suatu kawasan atau negara cuilan ”tidak sanggup dipaksa untuk memakai sumber daya mereka untuk melaksanakan perintah NCLB.” Hal ini menampilkan bagaimana pengadilan federal akan menyelesaikan perkelahian ini.
   Sejalan dengan peralihan kita pada kurun yang mau tiba dengan metode pemerintahan yang baru, peraturan pemerintah federal dalam pendidikan nampaknya akan meningkat. Agenda pendidikan dari pemerintahan Obama meliputi merubah NCLB, merekomendasikan untuk pendanaan sarat terhadap aturan dan merubah kesepakatan terkait penilaian siswa, metode akuntabilatas sekolah, pendidikan usia dini, jalur masuk perguruan tinggi, dan pengangkatan guru.
Akhirnya, seumpama yang kita diskusikan nanti dalam bab, pilihan sekolah dalam bentuk charter school nampaknya menjadi alternatif konsep pendanaan yang terkenal dengan legislator, masyarakat, dan bahkan pengadilan. Tekanan meningkat untuk pilihan sekolah oleh orang renta yang tidak puas dengan sekolah negeri dan siswa yang bersekolah di kawasan miskin. Di Milwaukee, Wisconsin, dan Cleveland, Ohio, misalnya, negara mengeluarkan duit iuran sekolah untuk siswa berpenghasilan rendah. Sekarang Mahkamah Agung AS sudah menyepakati voucher untuk siswa sekolah swasta, duit penduduk yang lebih minim mungkin tersedia untuk pendidikan umum.
Tren Keuangan Sekolah
Krisis keuangan dalam pendidikan terkadang menjadi berita utama. Misalnya, krisis nasional mengakibatkan penurunan penerimaan negara dalam jumlah yang besar. Ditambah dengan meningkatnya biaya dan masalah anggaran lain, kerugian pemasukan negara mengakibatkan banyak sekolah di daerah dalam situasi fiskal yang suram. Meskipun krisis bisa tiba dan pergi dengan perubahan dalam perekonomian dan dalam anggaran federal dan negara, kita masih menghadapi beberapa kekhawatiran jangka panjang tentang keuangan sekolah. Saat kita mencermati tren sejarah, perlu dikenang bahwa pendidik saat ini sedang diminta untuk menunjukkan bukti bahwa mereka menghabiskan uang rakyat dengan bijaksana.
Perlawanan Wajib Pajak
Dimulai pada tamat tahun 1970, pemberontakan pajak menyerbu negara, menjadi peredam pada gerakan reformasi keuangan sekolah. Di California sebanyak 1.978 inisiatif wajib pajak yang disebut selaku Proposisi 13 menetapkan pajak maksimum 1 persen pada nilai pasar masuk akal dari properti dan terbatasnya peningkatan valuasi dinilai untuk 2 persen per tahun. Pada tahun 2006, empat puluh tiga negara sudah membebankan beberapa macam pembatasan pajak properti atau pencabutannya.
Sebagai hasil dari resistensi wajib pajak, tiga puluh lima negara sudah memperkenalkan circuit-breaker agenda yang menyediakan populasi terpilih (seperti orang renta dan pemilik rumah pertama kali) kredit untuk pembayaran pajak properti.
Gerakan reformasi pendidikan tamat kurun kedua puluh menekankan keperluan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Wajib pajak nampaknya bersedia untuk mendukung peningkatan belanja pendidikan untuk tujuan tersebut, tetapi mesti waspada. Mereka menampilkan ketertarikan di hasil: apa yang kita dapatkan untuk duit yang kita belanjakan? Kekhawatiran ini sudah memunculkan peningkatan akuntabilitas pendidik untuk penggunaan dana masyarakat.
Gerakan Akuntabilitas
Meskipun definisi akuntabilitas bervariasi, ungkapan biasanya mengacu pada gagasan bahwa guru, administrator, anggota dewan sekolah, dan bahkan siswa sendiri harus bertanggung jawab atas hasil dari jerih payah mereka. Guru mesti menyanggupi beberapa standar kompetensi, dan sekolah mesti memikirkan metode-metode yang berhubungan dengan hasil keluaran.
Gerakan akuntabilitas berasal dari banyak sekali faktor. Orang renta menyadari bahwa pendidikan sungguh penting untuk keberhasilan dan bahwa bawah umur negara tetangga gagal untuk berguru dengan baik. Karena ongkos pendidikan sudah meningkat, orang renta menuntut untuk mengenali apa yang mereka bayar. Pada survei terakhir, 80 persen orang Amerika percaya bahwa terdapat kehendak untuk akuntabilitas yang lebih baik dalam pendidikan umum. Wajib pajak, yang ingin mencukupi pada belanja sekolah, ingin pendidik bertanggung jawab atas hasil dari pendidikan.
Selain itu, pendanaan federal kini bergantung pada bukti yang memuaskan kemajuan pendidikan. Peralihan akuntabilitas dekade yang kemudian nampaknya menjadi tekanan yang meliputi banyak hal pada akuntabilitas dalam pemerintahan federal. Aksi No Child Left Behind disebut selaku penerapan dari agenda penilaian seluruh negara bagian dalam membaca dan matematika untuk semua anak di kelas 3 hingga 8. Tujuannya merupakan selaku argumentasi penilaian sekolah untuk penilaian kinerja seluruh siswanya. Jadi, jikalau suatu sekolah gagal untuk menyanggupi standar peningkatan tahunan (adequate yearly progress) [AYP] dalam beberapa tahun, hukuman sanggup diberikan terhadap sekolah. Sebagai contoh, jikalau suatu sekolah tidak menyanggupi AYP selama tiga tahun berturut-turut, siswa dari keluarga berpenghasilan rendah dipersiapkan pelayanan pelajaran tambahan. Jika suatu sekolah tidak menyanggupi AYP selama lima tahun berturut-turut, kawasan mesti menyusun planning untuk membangun kembali, atau menciptakan perubahan radikal terhadap sekolah. Perubahan ini berakibat secara drastis untuk pendanaan sekolah baik di tingkat negara cuilan dan daerah.
Banyak pendidik takut konsep sederhana dari akuntabilitas yang menempatkan tanggung jawab hanya pada guru atau kepala sekolah, mengabaikan kiprah orang tua, warga masyarakat, anggota dewan sekolah, pembayar pajak, dan siswa itu sendiri. No Child Left Behind nampaknya disusun ulang oleh Pemerintahan Obama dengan beberapa penyesuaian lantaran legislator dan pembuat kebijaksanaan percaya bahwa keputusan yang besar berpeluang positif untuk mendorong akuntabilitas sekolah dan pembelajaran siswa. Hal ini sanggup mempertahankan akuntabilitas dan menenteng orang tua, guru, direktur sekolah, dan masyarakat dalam diskusi bermakna dari kinerja siswa.
Kredit Pajak, Voucher Pendidikan, dan Pilihan Sekolah
Kredit pajak memungkinkan orang renta untuk mengklaim penghematan pajak untuk ongkos pendidikan dengan tujuan menyekolahkan anak mereka ke sekolah swasta. Sejak tahun 1950, Minnesota memakai potongan pajak untuk ekspansi pendidikan; kini Iowa dan Illinois  juga memakai jenis kredit pajak yang serupa untuk perluasan. Gerakan kredit pajak merefleksikan kehendak penduduk untuk meningkatkan pilihan di sekolah-sekolah serta penelusuran berkesinambungan dari sekolah swasta selaku dukungan. Masalah ini menjadi persoalan utama, bagaimanapun juga dengan ketidakstabilan kepercayaan pada sekolah negeri.
Penggunaan voucher pendidikan merupakan tren lain dalam reformasi keuangan sekolah. Di bawah sistem voucher, sekolah di negara cuilan ataupun kawasan menyediakan orangtua dari anak usia sekolah voucher subsidi pajak atau hibah datar yang mewakili ongkos pendidikan bawah umur mereka. Anak-anak kemudian memakai voucher ini untuk memasuki sekolah yang diseleksi oleh keluarga mereka. Pada tahun 2007 – 2008 rata-rata 55.000 siswa di Florida, Ohio, Wisconsin, dan Washington DC memakai voucher keuangan lazim untuk memasuki sekolah swasta. Mahkamah Agung AS menyepakati planning voucher Cleveland untuk siswa berpenghasilan rendah, dibahas sebelumnya dalam cuilan ini, yang niscaya untuk meningkatkan penggunaan voucher di sekolah swasta.
Perdebatan wacana agenda kredit pajak dan voucher sudah ramai dan emosional. NEA, AFT, dan organisasi pendidikan yang lain beropini bahwa voucher atau pajak kredit meningkatkan segregasi, membagi penduduk sepanjang garis sosial ekonomi, dan mengurangi bantuan keuangan untuk sekolah negeri. Pendapat yang melawan juga berpendapat bahwa agenda tersebut tidak menyediakan bantuan konstitusional bagi sekolah yang terkait dengan gereja, menghancurkan metode sekolah negeri dengan mendukung dan mendorong siswa ke sekolah swasta, dan menyedot banyak budget sekolah negeri ataupun harta negara bagian.
Para pendukung kredit pajak ongkos dan voucher biasanya menghubungkan persoalan dengan konsep pilihan sekolah, yang dibahas secara rinci dalam cuilan Efektivitas Sekolah dan Reformasi di Amerika Serikat. Dengan melebarkan pilihan sekolah rata-rata masyarakat, pendukung berpendapat, kita sanggup meningkatkan kompetisi di antara sekolah dan meningkatkan tingkat keseluruhan mutu pendidikan. Idenya merupakan mendasarkan pendidikan untuk mengikuti aturan pasar: jikalau siswa dan orang renta sanggup memilih sekolah, sekolah yang efektif akan tetap beroperasi dan yang kurang diharapkan akan keluar dari bisnis atau meningkatkan diri.
Selain itu, pendukung ongkos kredit pajak dan agenda voucher menyatakan bahwa kredit tersebut tidak konstitusional dan tidak serius mengurangi pemasukan federal atau menghambat upaya pungutan pajak sekolah negeri. Mereka juga beropini bahwa program-program memperluas kesempatan bagi siswa untuk memasuki sekolah di luar sentra kota, sehingga kredit pajak atau voucher tidak berkontribusi, dan bahkan mungkin mengurangi, isolasi ras dan sosial ekonomi. Banyak pendukung juga percaya bahwa kredit pajak atau voucher, selain memberikan orang renta pilihan dalam menegaskan sekolah, merangsang perbaikan sekolah negeri, terutama ketika keluarga mempunyai pilihan sekolah negeri di daerah.
Variasi pada pilihan tema sekolah merupakan konsep sekolah sewaan, dibahas dalam cuilan wacana Pemerintahan dan Administrasi Pendidikan Publik. Dalam pertukaran kebebasan dari ratusan aturan dan peraturan, sekolah sewaan diadakan secara akuntabel untuk hasil akademik khusus dan risiko kehilangan sewa jikalau mereka gagal untuk mencapai tujuan akademik. Kebanyakan penyelenggara sekolah sewaan menghadapi tantangan budget yang signifikan. Banyak dewan sekolah yang hemat dalam mengalokasikan dana operasional untuk sekolah sewaan, takut menyedot keuangan yang sudah berada pada budget ketat.
Memperlancar Anggaran Sekolah
Dalam era kewaspadaan wajib pajak, permintaan akuntabilitas, dan kekurangan pada budget negara, dewan sekolah sedang ditekan untuk menetralisir pengeluaran yang tidak perlu sebelum merekomendasikan kenaikan pajak. Tidak mesti hasil keluaran sekolah mengukur hingga standar yang diharapkan, tetapi budget mesti berdiri untuk menutup pemeriksaan. Pemimpin perusahaan sering terlibat di dewan sekolah, dan pemuka agama menjadikannya baik dan efisiensi - begitu umum dalam penduduk bisnis - mempunyai pengaruh yang cukup pada pendidikan Amerika. Kita mesti terus menyaksikan tren yang signifikan berikut ini.
1.       Ukuran sekolah. Penelitian wacana ukuran sekolah menyarankan bahwa yang lebih kecil maka lebih baik, dan bahwa sekolah yang lebih kecil mengirimkan siswa pada pencapaian prestasi yang lebih tinggi dan mengembangan pribadi. Pendukung dari lingkungan sekolah yang kecil berasumsi bahwa jikalau meningkatnya prestasi siswa merupakan tujuan dari daerah, maka sekolah yang kecil, dengan lingkungan yang lebih responsif pada siswa lebih efisien dalam mendidik siswa.
2.      Modernisasi bangunan tua. Daripada membangun sekolah baru, banyak kawasan yang menegaskan untuk mengurangi duit dengan mempertahankan dan modernisasi bangunan renta mereka. Sebanyak 75 persen dari sekolah di AS dibangun sebelum tahun 1970, hal ini merupakan pilihan yang mau diseleksi oleh beberapa daerah. Seperti yang mau kita lihat, bagaimanapun, pada cuilan berikutnya, bangunan renta sanggup menyebabkan pelonggaran anggaran yang mereka miliki.
3.       Kebutuhan guru. Seiring berlalunya tahun, keperluan akan guru akan terus berjalan untuk naik paling tidak dekade yang mau datang. Kesatuan mengajar berjalan untuk umur dan jumlah guru pensiun dari 2010 hingga 2020 akan menjadi yang terbanyak pada beberapa dekade sejak perang dunia kedua.
4.       Pengurangan administrasi. Banyak kawasan yang mendapatkan kemungkinkan untuk beroperasi dengan jumlah staf kantor sentra yang lebih sedikit. Pengurangan ini memunculkan tingkat kekecewaan menurun dibandingkan dengan penghematan tenaga pengajar.
5.       Penghematan energi. Beberapa sekolah menurunkan suhu, menangguhkan pemanasan sekolah setiap pagi, mengurangi panas di lorong, dan berbelanja energi secara langsung dari distributor gas dan minyak.
Infrastruktur Sekolah dan Masalah Lingkungan
Infrastruktur sekolah di AS dalam kondisi rusak parah. Dengan infrastruktur yang kami maksud merupakan fasilitas fisik dasar dari tumbuhan sekolah (pipa, terusan pembuangan, pemanas, listrik, atap, alat pertukangan, dan sebagainya). Ahli bangunan memperkirakan bahwa sekolah di Amerika Serikat memburuk lebih singkat dari yang mereka sanggup diperbaiki dan lebih singkat dibandingkan dengan pada biasanya kepraktisan lazim lainnya. Pipa, jendela, kabel listrik, dan metode penghangat di banyak sekolah sudah sungguh kadaluarsa; atap di bawah kode, dan eksterior kerikil bata, batu, dan kayu rusak parah. Pada tahun 2005, Perkumpulan Insinyur Amerika memperkirakan ongkos moderenisasi sekolah negeri antara $ 127 milyar dan $ 320 milyar.
Bahaya lingkungan dalam gedung sekolah merupakan persoalan khusus. Sebagai contoh, Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) sudah mengutus pemerintah dan pemilik properti komersial, tergolong sekolah daerah, untuk membersihkan bangunan yang sarat dengan asbes. Meskipun sulit untuk mengkalkulasikan biayanya, asumsi tagihan untuk sekolah merupakan $ 3.1 miliar, yang mau meliputi sekitar 45.000 sekolah di 3.100 negara bagian. Bahaya pemanis seumpama gas radon, cat timbal, dan peningkatan seismik juga mewakili kekurangan duit sekolah di banyak daerah.
Bahkan selaku dewan sekolah berjuang untuk menyanggupi keperluan infrastruktur yang sudah menua, Biro Sensus Amerika Serikat sudah merubah proyeksi untuk pertumbuhan populasi usia sekolah. Menggunakan data sensus 2000 selaku dasar, distributor kini mengharapkan pertumbuhan usia sekolah biar tetap stabil hingga 2017. Pendaftaran sekolah dasar dan negeri diperkirakan akan meningkat sebesar 40 persen dalam periode yang sama. Di samping perbaikan, kekalutan meningkat wacana dari mana duit tersebut akan datang untuk membangun ruang kelas pemanis yang terus kami butuhkan.
















BAB III
PEMBAHASAN


3.1.  Jaminan Nilai Konstitusi Terhadap Pendanaan Pendidikan

Penyelenggaraan pendidikan tentu memerlukan ongkos yang cukup, baik yang mesti ditanggung oleh negara, maupun oleh penduduk dan orang renta peserta didik. Pada prinsipnya negara kita sudah menyediakan jaminan terhadap hak pendidikan bagi rakyat. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan:
1.      Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (mencerdaskan kehidupan bangsa);
2.      Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : ”Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib mebiayainya” dan ayat 4 : Negara mengutamakan budget pendidikan sedikitnya 20% dari APBN dan APBD untuk menyanggupi penyelenggaraan pendidikan nasional.
3.      Dan diterangkan lagi pada pasal 49 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 menyatakan alokasi dana pendidikan minimal 20% dari APBN, dan 20% dari APBD selain honor dan ongkos pendidikan kedinasan.
4.      Pasal 34 ayat 1-2 UU No. 20 tahun 2003 menyatakan ”setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun sanggup mengikuti agenda wajib belajar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib berguru minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dalam satu cuilan tersendiri, yakni Bab XIII (Pendanaan Pendidikan) dengan empat pasal (pasal 46, 47, 48 dan 49). Bab ini mengontrol wacana tanggung jawab pendanaan (pasal 46), sumber pendanaan (47), pengelolaan dana pendidikan (pasal 48), dan pengalokasian dana pendidikan (pasal 49) (Anwar Arifin, 2006:83-84). Secara rinci dikontrol dalam pasal pasal selaku berikut :
Pasal 46 wacana tanggung jawab pendanaan
1.        Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bareng antara pemerintah, pemerintah kawasan dan masyarakat.
2.        Pemerintah dan pemerintah kawasan bertanggung jawab menyediakan budget pendidikan sebagaimana dikontrol dalam pasal 31 ayat ( 4 ) Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945.
3.        Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) dikontrol lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

3.2.  Prinsif Pendanaan Pendidikan

Prinsif pendanaan pendidikan diputuskan menurut prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
1.      Prinsip Keadilan
Berarti bahwa besarnya pendanaan pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penduduk diadaptasi dengan kesanggupan masing-masing.
2.      Prinsip Kecukupan
Berarti bahwa pendanaan pendidikan cukup untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menyanggupi Standar Nasional Pendidikan.
3.      Prinsip Keberlanjutan
Berarti bahwa pendanaan pendidikan dapat  dipakai secara berkesinambungan untuk menyediakan layanan pendidikan yang menyanggupi Standar Nasional Pendidikan.

3.3.  Penanggung Jawab Pendanaan Pendidikan

Dalam konteks pendidikan nasional, pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bareng antara pemerintah (pemerintah pusat  maupun pemerintah  daerah)  dan penduduk (penyelenggara satuan pendidikan, peserta didik, orang tua/wali, dan pihak lain yang peduli terhadap pendidikan)
Pemerintah bertanggung jawab atas pendanaan pendidikan dengan mengalokasikan budget pendidikan pada APBN maupun APBD. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional  Pasal 49 mengamanatkan bahwa dana pendidikan selain honor pendidik dan ongkos pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tetapi sayang, amanat ini dimentahkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008,  anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN maupun APBD, di dalamnya tergolong honor pendidik.
Orang tua/wali peserta didik (khususnya bagi peseta didik tingkat SLTA ke bawah). bertanggung jawab  atas biaya  pribadi peserta didik yakni ongkos yang terkait dengan kebutuhan-kebutuhan pokok maupun relatif dari peserta didik itu sendiri, seperti: transport ke sekolah, duit jajan, seragam sekolah, buku-buku penunjang, kursus tambahan, dan sejenisnya. Selain itu,  orang tua/wali peserta didik juga memikul sebagian ongkos satuan pendidikan  untuk menutupi  kekurangan  pendanaan  yang  disediakan  oleh penyelenggara dan/atau satuan pendidikan.
Pihak lain yang  memiliki  perhatian  terhadap  pendidikan dapat  memberikan  sumbangan  pendidikan secara sukarela dan sama sekali tidak mengikat terhadap satuan pendidikan, yang  mesti dikelola secara tranparan dan akuntabel.
Pemenuhan ongkos operasional dan investasi pada SD dan Sekolah Menengah Pertama sewaktu ini ditanggung oleh pemerintah sentra lewat agenda bos pusat, ditanggung oleh pemerintah propinsi lewat agenda bos propinsi, dan kab./kota lewat bos pendamping. Untuk SMA, pemenuhan ongkos operasional cuma ditanggung oleh dana BOS propinsi, sedangkan dari pemerintah sentra dan Pemerintah kawasan tidak ada alokasi secara khusus. Untuk ongkos investasi, dana didapatkan dari pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah kawasan propinsi, maupun pemerintah kawasan kab./kota.

3.4.  Persoalan Pada Pendanaan Pendidikan

Terdapat beberapa problem yang terkait dengan pembiayaan pendidikan di Indonesia,   di antaranya :
1.      Faktor kultural.
Di Indonesia terjadi persepsi yang kurang sempurna terhadap pendidikan. Pendidikan oleh sementara orang dianggap selaku pemborosan atau bahkan konsumtif. Karena itu sewaktu mesti mengeluarkan pembiayaan atau pendanaan pendidikan yang besar dianggap selaku kebijakan yang kurang tepat. Sehingga belum tertanam bahwa pendidikan bukanlah investasi masa depan yang sungguh bermanfaat bagi suatu individu, masyarakat, bangsa dan negara.
2.      Faktor Struktural.
Yaitu terjadinya inkonsistensi dalam implementasi kebijakan. Kebijakan yang senantiasa berubah-rubah akan memunculkan pada ongkos ekonomi tinggi. Sudah menjadi diam-diam lazim di Indonesia setiap kali ganti pejabat maka kebijakan akan berganti dan tidak kontinyu dengan kebijakan selanjutnya.
3.      Manajerial.
Pengaturan pembiayaan pendidikan serta implementasinya masih jauh dari prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Padahal akuntabilitas dan transparansi merupakan kunci keberhasilan pengeloalaan pembiayaan pendidikan (Makalah Seminar Nanang Fatah, 13 september 2006).














BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN


4.1.  Kesimpulan

Pendanaan Pendidikan  di Amerika
1.      Pembiayaan sekolah  didukung oleh negara cuilan dan pemerintah kawasan serta pada tingkat lebih luas oleh pemerintah federal. Secara keseluruhan, sejak permulaan kurun kedua puluh, bantuan negara cuilan sudah meningkat secara drastis dan bantuan kawasan sudah menurun, persentase bantuan pemerintah federal naik hingga permulaan awal tahun 1980 dan kemudian menurun tetapi masih tetap menjadi bantuan yang terbesar.
2.       Walaupun pajak properti merupakan sumber utama pendapatan sekolah daerah, tetapi hal tersebut dianggap selaku pajak regresif.
3.       Terdapat keberagaman dalam kesanggupan keuangan antar negara cuilan dan di dalam negara cuilan (pada tingkat daerah) untuk mendukung pendidikan. Sekolah di kawasan miskin cenderung menerima lebih banyak duit dari negara cuilan dibandingkan dengan sekolah di kawasan kaya, namun jumlahnya jarang memunculkan perubahan yang menyeluruh terhadap pengeluaran setiap siswa.
4.       Reformasi keuangan sekolah, diprakarsai oleh pengadilan dan dilanjutkan oleh legislatif negara bagian, sudah berupaya untuk mengurangi atau menetralisir kesenjangan pendanaan antara kawasan miskin dan kaya. Tujuan utamanya merupakan untuk menyamakan kesempatan pendidikan dan menyediakan kawasan miskin sarana untuk meningkatkan kinerja mereka.
5.       Sejak era Sputnik, pendanaan pemerintah federal untuk pendidikan menjadi kian berafiliasi dengan kebijakan nasional. Sebagaimana perubahan pementingan kebijakan, begitu juga dengan tingkat pendanaannya juga berubah
6.       Kontroversi atas akuntabilitas, kredit pajak ongkos pendidikan, voucher pendidikan, sekolah-sekolah sewaan, dan pilihan sekolah mencerminkan peningkatan kekecewaan penduduk dengan sistem pendidikan.
7.       Kekebalan wajib pajak, utamanya pada peningkatan pajak properti, sanggup menekan budget sekolah.
8.       Memburuknya infrastruktur sekolah dan ancaman lingkungan menimbulkan persoalan yang signifikan bagi banyak sekolah.
Pendanaan pendidikan di Indonesia
1.      Jaminan Nilai Konstitusi Terhadap Pembiayaan Pendidikan
1. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
2. No. 20 tahun 2003  Tentang Sistem Pendidikan Nasional
3. PP No. 48 Tahun 2008
 Tentang  Prinsif Pendanaan Pendidikan
2.      Prinsif pendanaan pendidikan diputuskan menurut prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
3.      Tanggung jawab pendanaan  pendidikan yakni :
a.       Oleh Pemerintah dan Pemda
b.      Oleh Masyarakat atau Penyelenggara Satuan Pendidikan
c.       Peserta didik,Orang renta dan/ atau Wali peserta didik
d.      Bantuan pihak lain atau aneh yang tidak Mengikat
4.      Persoalan pada pendanaan pendidikan
a.  Faktor cultural
b.  Structural
c.  Factor Manajerial

 

4.2.  Saran

1.      Hendaknya  perlu ada ide pelatihan / sosialisasi pendanaan pendidikan di Indonesia yang independen  biar pemerintah kawasan dan penduduk mengetahui kiprah masyarakat dalam pendanaan  pendidikan;
2.      Perlu adanya kebijakan pendanaan pendidikan di Indonesia  yang proporsional dan professional .Sehingga tidak memunculkan kesenjangan antar satuan pendidikan;
3.       Sudah saatnya untuk dicarikan terobosan supaya sanggup terwujudnya cultural of change pada  birokrasi pemerintahan khususnya bidang pendanaan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA


Depdiknas, 2005. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 wacana Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
_________, 2005. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:Depdiknas.
_________, 2005. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 wacana Guru dan Dosen.
Jakarta: Depdiknas.
Fattah, Nanang. 2001. “Studi Tentang Pembiayaan Pendidikan Sekolah Dasar”
http://google.com/htm,download tanggal 24 September 2012.
Ghozali, Abbas, etal. 2004. Analisis Biaya Satuan Dasar dan Menengah. Jakarta: Balitbang, Depdiknas.
Sjahbana, Ali. 1996. “Determinant of school Attainmen in Indonesia: The Role of
Household Characteristics, Opportunity cost, and Quality Adjusted Price of
schooling”     Journal of  Population, Vol 2 No 2, 2012.
Ornstein, Levine, Gutek dan David E. Vocke : Foundations of Education 11th edition , WodsWorth Cengage Learning.      














Related : Pembiayaan Pendidikan

0 Komentar untuk "Pembiayaan Pendidikan"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)