Sejarah Pendidikan Amerika




BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pedagogik menurut Sadulloh (2010, hlm. 1) merupakan ilmu yang membicarakan pendidikan, yakni ilmu pendidikan anak. Jadi, pedagogik menjajal menerangkan perihal seluk-beluk pendidikan anak, pedagogik merupakan teori pendidikan anak. Pedagogik berasal dari Bahasa Yunani, “paedos” yang bermakna anak lelaki dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Hoogveld dalam Sadulloh (2010, hlm. 2) mendefinisikan pedagogik merupakan ilmu yang mempelajari kendala membimbing anak ke arah tujuan tertentu, yakni biar kelak ia bisa secara berdikari mengakhiri kiprah hidupnya. Sehingga dengan kata lain pedagogik merupakan ilmu mendidik anak.   
            Landasan pedagogik merupakan ilmu dan bidang studi yang menjadi dasar bagi siapa pun yang mau menjadi pendidik agar para pendidik sanggup mengerti dan menerapkan pendekatan pembelajaran di banyak sekali suasana pendidikan dengan sarat tanggung jawab.
                        Seorang pendidik mesti mengenali perihal hukum-hukum yang bermitra dengan dunia pendidikan, biar para pendidik sanggup menyodorkan pengajaran yang cocok dengan karakteristik penerima didik, tempat mengajar, dan kebiasaan yang ada di lingkungan sekolah yang menjadi tempat pendidikan berlangsung. Seorang pendidik juga mesti mengenali hak dan kewajibannya selaku pendidik, serta hak dan keharusan penerima didiknya, agar tidak terjadi kekeliruan dan sanggup menjadi pendidik yang profesional dan sanggup menjadi teladan yang bagus untuk penerima didik dan penduduk sekitar.
Pendidikan sudah sepantasnya menegaskan masa depan suatu negara. Bila visi pendidikan tidak jelas, yang dipertaruhkan yakni kemakmuran dan perkembangan bangsa. Visi pendidikan mesti diterjemahkan ke dalam metode pendidikan yang mempunyai sasaran jelas, dan tanggap terhadap masalah-masalah bangsa. Karena itu, pergantian dalam subsistem pendidikan merupakan suatu hal yang sungguh wajar, lantaran kepedulian untuk menyesuaikan perkembangan yang diubahsuaikan dengan perkembangan zaman. Sudah seyogyanya metode pendidikan tidak boleh jalan di tempat, tetapi setiap pergantian juga mesti disertai dan dilandasi visi yang mantap dalam menjawab tantangan zaman.
Di Indonesia, berubahnya subsistem pendidikan (kurikulum, UU) biasanya tidak ditanggapi dengan antusiasme, tetapi malah sebaliknya bikin penduduk ragu apakah penguasa di Indonesia mempunyai visi pendidikan yang terang atau tidak. Visi pendidikan dikehendaki bisa menegaskan tujuan pendidikan yang jelas. Karena, tujuan pendidikan yang terang pada gilirannya akan mengarahkan ke pencapaian kompetensi yang diperlukan serta metode pembelajaran yang efektif. Dan pada akhirnya, kelak pendidikan bisa menjawab permintaan untuk mensejahterakan penduduk dan perkembangan bangsa. Setidaknya ada empat tujuan yang menjadi idealisme pendidikan dalam Fadjrin (2013), antara lain selaku berikut:
1.      Perolehan pengetahuan dan kemampuan (kompetensi) atau kesanggupan menjawab permohonan pasar.
2.      Orientasi humanistic.
3.      Menjawab tantangan-tantangan sosial, ekonomi, serta kendala keadilan.
4.      Kemajuan ilmu itu sendiri.
Dari keempat tujuan pendidikan di atas, setidaknya poin nomor 2 yang berorientasi pada tujuan memanusiakan insan atau humanistis, menjadi poin yang penting dalam proses pendidikan, dan sudah sepantasnya bahwa pendidikan mesti menjunjung hak-hak penerima didik dalam memperoleh informasi pengetahuan.
            Laporan ini berisi ringkasan chapter 5 Historical Development of American Education” dari buku Foundations of Education 11thedition  karangan  Ornstein, Levine dan Gutek halaman 119-154 yang diterbitkan oleh WordWorh, Cengage Learning. Laporan ini dibentuk untuk menyanggupi kiprah kelompok mata kuliah landasan pedagogik pada kegiatan studi administrasi pendidikan sekolah pascasarjana UPI semester 2 (dua).
Bab ini membahas sejarah penerapan pendidikan di Amerika. Terdapat beberapa komentar perihal bagaimana individu dan kelompok forum pendidikan terbentuk di Amerika Serikat. Bab ini mengkaji (1) masa kolonial, di saat Eropa menenteng wangsit dan institusi pendidikan mereka ke Amerika Utara, (2) penciptaan metode pendidikan unik Amerika selama era revolusioner dan era nasional awal, (3) difusi pendidikan universal ke dalam sekolah umum, (4) pengembangan pendidikan menengah dari sekolah tata bahasa Latin, lewat akademi, hingga sekolah tinggi komprehensif di saat ini, (5) pengembangan institusi pendidikan tinggi, (6) pendidikan kumpulan bermacam-macam budaya; dan (7) tren dalam sejarah pendidikan Amerika mirip perkembangan teknologi pendidikan dan hadirnya globalisasi.
Dalam kepingan ini, dihadapkan mengenai sejarah pendidikan Amerika dengan menilai bagaimana tren dan perkembangan ini membentuk pendidikan kita sendiri. Kita sanggup merenungkan bagaimana insiden sejarah sanggup merubah tujuan pendidikan Amerika.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang kendala di atas, maka Fokus pertanyaan yang merupakan permasalahan pada kepingan ini yakni :
1.   Bagaimana Amerika mengadaptasikan ide dan lembaga pendidikan Eropa untuk kehidupan di dunia mendatang?
2.   Bagaimana pergantian sosial dan politik mempengaruhi sekolah lazim di Amerika Serikat?
3.   Bagaimana jenjang pendidikan Amerika meningkat dan apakah masih melakukan pekerjaan efektif hingga di saat ini?
4.   Bagaimana Amerika Serikat menjadi penduduk dengan beragam budaya dan apa implikasi pluralisme budaya pada sekolah kontemporer?
5.   Apa tren atau kecenderungan yang ada dalam sejarah pendidikan Amerika

C.  Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan kendala di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengenali dan mendeskripsikan :
1.      Amerika mengadaptasikan ide dan lembaga pendidikan Eropa untuk kehidupan di dunia mendatang.
2.      Perubahan sosial dan politik mempengaruhi sekolah lazim di Amerika Serikat.
3.      Jenjang pendidikan Amerika meningkat dan apakah masih melakukan pekerjaan efektif hingga di saat ini.
4.      Amerika Serikat menjadi penduduk dengan beragam budaya dan implikasi pluralisme budaya pada sekolah kontemporer.
5.      Tren atau kecenderungan yang ada dalam sejarah pendidikan Amerika.









BAB II
INTISARI BAHASAN
SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN AMERIKA

A.      Masa Kolonial
Dampak yang Dirasakan oleh Penduduk Asli Amerika
Kolonisasi Amerika Utara pada periode XVII dan XVIII menyebabkan perpaduan budaya yang kompleks dan seringnya terjadi pertentangan kekerasan antara orang Eropa dan pribumi orisinil Amerika. Terutama di sepanjang pantai Atlantik, Eropa menenteng penyakit menular mirip campak dan cacar, dimana penduduk orisinil Amerika tidak mempunyai kekebalan dan membinasakan mereka.
Banyak Kelompok Etnis di antara Kolonis
Para kolonis Eropa berasal dari banyak sekali latar belakang etnis dan bahasa. Pemukiman Perancis diresmikan di Kanada dan Mississippi Valley, sedangkan Spanyol di Meksiko, Florida, dan Southwest, Belanda di Belanda Baru, kini New York State, dan Inggris dalam tiga belas koloni orisinil yang menjadi Amerika Serikat setelah perang Revolusioner. Inggris, yang mengalahkan Belanda dan Perancis, mempunyai efek paling besar pada politik, penduduk dan pendidikan kolonial Amerika.
Koloni-koloni ini pada mulanya bikin metode sekolah kelas sosial ekonomi berbasis dual-track bahwa yang mereka temukan di Eropa. Anak lelaki dan perempuan dari kelompok sosial ekonomi rendah menghadiri sekolah dasar di mana mereka berguru membaca, menulis, berhitung, dan agama. Sementara itu, anak lelaki kelompok atas bersekolah di sekolah tata bahasa Latin, sekolah persiapan yang mengajarkan bahasa dan sastra Latin dan Yunani yang diperlukan untuk masuk ke perguruan tinggi kolonial. (Untuk asal-usul metode sekolah dual-track, lihat kepingan perihal World Roots of American Education.)

Koloni Inggris Baru
            Koloni Inggris Baru mirip Massachusetts, Connecticut, dan New Hampshire yakni wadah untuk pengembangan ide-ide dan forum pendidikan Amerika. Massachusetts memberlakukan aturan pendidikan formal yang pertama di British Amerika Utara. (Lihat Ikhtisar 5.1 untuk insiden penting dalam pendidikan Amerika.)
Sekolah Puritan (Orang yang Fanatik dengan Agama)
Penjajah Massachusetts percaya bahwa orang-orang berpendidikan yang tahu perintah Allah mirip diwartakan oleh menteri Puritan mereka, bisa menahan godaan iblis. Mengikuti imbauan Protestan mereka untuk membaca Alkitab, sekolah gereja difungsikan untuk menekankan kegiatan membaca, menulis, dan agama.
Sekolah untuk Pemanfaatan Ekonomi dan Sosial
            Setelah teologi John Calvin, sekolah Puritan dibina dengan tujuan ekonomi maupun agama. Menurut etos kerja mereka, penduduk Puritan yang bagus yakni di saat menjadi usahawan dan petani yang tekun dan ekonomis yang menghadiri gereja, membaca Alkitab, dan melakukan pekerjaan keras. Adanya jalinan antara nilai-nilai agama dan pekerjaan, sekolah Puritan menekankan nilai-nilai ketepatan waktu, kejujuran, ketaatan terhadap otoritas, dan kerja keras, pendidikan Amerika terus menekankan korelasi antara pendidikan dan produktivitas ekonomi.
Anak-Anak Dianggap Penuh Dosa
Anggapan tidak baik terhadap Anak. Konsep belum dewasa Puritan, alam membentuk kolonial New England dengan membesarkan anak dan berkeyakinan akan pendidikan. Anak-anak dianggap selaku bejat, atau condong selaku sumber kejahatan. Bermain dengan belum dewasa dipandang selaku kemalasan dan obrolan belum dewasa dianggap selaku omong kosong. Mengikuti pepatah “Spare the rod and spoil the child,” digunakan guru Puritan untuk membangun kedisiplinan dan sering memberlakukan eksekusi fisik terhadap anak-anak. Untuk menumbuhkan etos kerja mereka, kaum Puritan menghendaki belum dewasa mereka untuk menjadi lebih tekun dan menolong pekerjaan rumah tangga dan pertanian. Comenius, Rousseau, Pestalozzi, dan aktivis pendidikan lain yang dibahas dalam kepingan perihal aktivis pada Pengajaran dan Pembelajaran menantang persepsi terhadap belum dewasa Puritan.


Seorang Guru untuk Setiap Kota
 "Old Deluder Satan". Tak usang setelah menetap Massachusetts, kaum Puritan mulai mendirikan sekolah. Pada tahun 1642, Pengadilan Umum Massachusetts mengesahkan UU yang meminta orang bau tanah dan wali untuk menegaskan bahwa belum dewasa dalam perawatan mereka untuk berguru membaca dan mengerti prinsip-prinsip agama dan aturan persemakmuran itu. Pada 1647, di Pengadilan Umum mengesahkan Aksi "Old Deluder Satan”, undang-undang yang dimaksudkan untuk mengecoh Setan, yang kaum Puritan percaya, mendustai orang-orang kurang pandai dalam berbuat dosa. Hukum dikehendaki setiap kota dari lima puluh atau lebih keluarga, dalam memberdayakan guru bahasa Latin untuk menyiapkan para cowok biar bisa masuk Harvard College.
The Three Rs, Plus Agama
Sekolah Perkotaan. Koloni New England bikin metode dual-track Eropa, mendirikan kota sekolah dasar bagi mayoritas siswa dan sekolah tata bahasa Latin untuk anak lelaki kelompok atas. Sekolah Perkotaan New England, suatu forum setempat yang terkontrol, terdapat siswa lelaki maupun perempuan dari usia 6-14 tahun. Kehadiran tidak teratur, tergantung pada kondisi cuaca dan keperluan belum dewasa untuk melakukan pekerjaan di pertanian keluarga. Kurikulum sekolah tergolong membaca, menulis, berhitung, pedoman agama, dan himne keagamaan. Anak-anak berguru alfabet, suku kata, kata, dan kalimat dengan menghafal abjad, selembar perkamen ditutupi oleh materi transparan yang dibentuk oleh tanduk sapi secara merata. Anak-anak yang yang lain membaca New England Primer, yang merupakan pedoman keagamaan mirip Westminster katekismus, Sepuluh Perintah Allah, Doa Bapa Kami, dan Creed Rasul. Serta, Aritmatika utamanya menghitung, menambahkan, dan mengurangi.
Suasana Sekolah Perkotaan
            Sekolah Perkotaan New England, merupakan bentuk permulaan pendidikan, yang didominasi oleh metode meja mimbar bagi guru di depan satu kamar. Murid duduk di dingklik kayu, mereka menghafal kiprah mereka sebelum dituntun untuk membaca. Kebanyakan guru laki-laki, beberapa di antaranya sementara mengajar di sekolah sambil menyiapkan pelayanan. Guru yang lain mengambil pekerjaan untuk mengeluarkan duit hutang sehingga menjalankan perjalanan mereka ke Amerika Utara. Sangat sedikit guru SD dilatih dalam metode pendidikan, dan mereka sering mengandalkan eksekusi fisik untuk menjaga kedisiplinan.
Kelas Klasik bagi Laki-laki Kalangan Atas
Sekolah Tata Bahasa Latin. Anak lelaki kelompok atas bersekolah di sekolah tata bahasa Latin, yang menyiapkan mereka untuk masuk perguruan tinggi. Anak lelaki biasanya sudah berguru membaca dan menulis bahasa Inggris dari guru privat. Memasuki sekolah tata bahasa Latin pada usia delapan, siswa akan mengakhiri studinya di usia lima belas atau enam belas. Ia berguru penulis Latin mirip Cicero, Terence, Caesar, Livy, Vergil, dan Horace. Informasi lebih lanjut siswa diajari oleh penulis Yunani mirip Isokrates, Hesiod, dan Homer. Namun, cuma sedikit perhatian di saat mengajarkan matematika, ilmu pengetahuan, atau bahasa modern. Para pengampu bahasa Latin yang mengajar di sekolah ini pada biasanya lulusan perguruan tinggi yang dibayar dengan lebih baik dan menikmati status sosial lebih tinggi dibandingkan dengan guru SD. Menyerupai sekolah humanis klasik, sekolah tata bahasa Latin yakni salah satu link terdekat kolonial Amerika untuk pendidikan Eropa. (Lihat kepingan perihal Akar Dunia Pendidikan Amerika untuk sekolah humanis.)
Harvard College
            Setelah mengakhiri sekolah dasar Latin, cowok kelompok atas New England berupaya masuk ke Harvard College. Didirikan pada tahun 1636, Harvard diresmikan pada kepercayaan bahwa menteri Puritan masa depan dan pemimpin lain memerlukan pendidikan lewat proses klasik dan teologis. Siswa mesti memperlihatkan kompetensi dalam bahasa Latin dan Yunani selama di Harvard, di mana kurikulum didasarkan pada seni liberal dan studi agama. Diyakini bahwa menteri dan pemimpin yang lain memerlukan pendidikan seni liberal, Harvard mengajarkan tata bahasa, logika, retorika, matematika, geometri, astronomi, etika, filsafat, dan ilmu pengetahuan alam. Khususnya, penting bagi menteri masa depan untuk mengerti teologi Calvin, Ibrani, Yunani, dan sejarah kuno.


Koloni Atlantik Tengah
Budaya Beragam
Meskipun kawasan kolonial lain-Koloni Atlantik Tengah dan selatan-berbagi latar belakang budaya Eropa dengan New England, mereka berlainan dalam pendekatan mereka terhadap pendidikan dan sekolah. Koloni Atlantik Tengah-New York, New Jersey, Delaware, Pennsylvania dan-yang lebih bervariasi dibandingkan dengan budaya Puritan New England. Dengan bahasa lazim bahasa Inggris dan agama Puritan, New England mempunyai budaya jauh lebih homogen dibandingkan dengan Atlantik Tengah. Orang Belanda sudah menetap di New Netherlands, yang kemudian menjadi New York, Swedia sudah menetap di Delaware dan beberapa orang Jerman yang terletak di Pennsylvania. Keragaman etnis, bahasa, dan agama di Koloni Atlantik Tengah mempengaruhi pendidikan. Sementara Puritan New England bikin sekolah perkotaan yang agak seragam, berlainan dengan gereja-gereja di koloni Atlantik Tengah yang mendirikan sekolah-sekolah paroki untuk mendidik belum dewasa dalam kepercayaan agama mereka dan prakteknya dalam keseharian.
Sekolah Swasta
New York. Belanda mulanya menetap di New Amsterdam, yang berganti nama menjadi "New York” setelah penaklukan oleh Inggris. Anggota Gereja Reformed, kolonis Belanda mendirikan sekolah paroki bahasa Belanda untuk mengajar membaca, menulis, dan agama. Sekolah-sekolah paroki Belanda terus berfungsi di bawah pemerintahan Inggris di saat Gereja Inggris mendirikan amal dan misionaris sekolah. Shen New York City menjadi pelabuhan penting untuk komersial, pelabuhan pribadi untuk sekolah yang meraup keuntungan, yang disebut sekolah swasta ventura, memperlihatkan navigasi, survei, pembukuan, bahasa Spanyol, bahasa Perancis, dan geografi.
Sekolah Quaker
            Pennsylvania. Sebagai suatu koloni yang diresmikan oleh William Penn, Pennsylvania menjadi tempat proteksi bagi Masyarakat Friends, atau Quakers, suatu agama yang dianiaya di Inggris. Sebagai pasifis protes keras, Quaker menolak untuk mendukung upaya perang atau melayani dalam hal militer. Karena toleransi mereka, kaum Quaker menyambut anggota gereja kecil lainnya, mirip pietists Jerman, ke Pennsylvania. Sekolah Quaker terbuka untuk semua anak, tergolong kulit gelap dan penduduk orisinil Amerika. (Philadelphia mempunyai komunitas kecil Afrika-Amerika, dan beberapa penduduk orisinil Amerika tetap dalam koloni.) Selain sekolah Quaker mengajarkan membaca, menulis, berhitung, dan agama didapatkan di sekolah dasar kolonial lainnya, mereka juga dianggap unik dalam memperlihatkan pembinaan kejuruan, kerajinan, dan pertanian. Menolak iman kebobrokan anak dan penggunaan eksekusi fisik, guru Quaker menggunakan bujuk rayu (penguatan) untuk memotivasi murid mereka.

Koloni Selatan
 Bagian selatan koloni-Maryland, Virginia, Carolina, dan Georgia masih disuguhkan pola ekonomi dan pendidikan lain. Kecuali untuk kota tidewater meningkat mirip Charleston dan Williamsburg, penduduk selatan pada biasanya lebih tersebar dibandingkan dengan di New England atau di koloni Atlantik Tengah. Hal ini bikin sulit bagi keluarga pedesaan untuk membangun sekolah berlokasi sentral. Selain itu, metode perbudakan, yang menggunakan pekerja paksa dari tawanan Afrika di perkebunan, secara mendalam membentuk budaya, ekonomi, dan politik di Selatan.
Tutor Swasta
Anak-anak unggul secara ekonomi dari pemilik perkebunan, berkulit putih dan kaya raya, sering berguru dengan guru privat. Beberapa keluarga mengirim anak mereka ke sekolah swasta yang disponsori oleh Gereja Inggris di kota-kota mirip Williamsburg atau Charleston.
            Meskipun perbudakan ada di seluruh koloni, penduduk paling besar diperbudak Afrika berada di Selatan. Afrika disandera dengan paksa dan secara brutal dimuat ke dalam kapal-kapal budak ke Amerika Utara untuk melakukan pekerjaan pada perkebunan selatan. Budak Afrika ini dilatih selaku pekerja pertanian lapangan, pengrajin, atau pembantu rumah tangga, tetapi mereka biasanya dihentikan untuk berguru membaca atau menulis. Beberapa pengecualian berguru membaca diam-diam. Seiring waktu, warisan Afrika menjadi dasar agama dan budaya Amerika-Afrika.
Bias Kelas di Sekolah
Sistem budak juga membuat perekonomian yang tidak menguntungkan, bagi penduduk kulit putih non budak. Sementara pemilik perkebunan kaya menempati lahan paling produktif, para petani miskin malah menetap di pedalaman kurang subur atau kawasan pegunungan. Orang kaya pemilik perkebunan elit yang mempunyai efek secara politik difokuskan pada kegiatan pendidikan belum dewasa mereka sendiri tetapi juga mendirikan beberapa sekolah untuk seluruh penduduk.

Pendidikan Kolonial: Gambaran Singkat
Paralel Antardaerah
Meskipun perbedaan agama dan bahasa daerah, New England, Atlantik Tengah, dan koloni selatan yakni koloni Inggris yang mengikuti pola pendidikan Eropa Barat. Sekolah dioperasikan oleh gereja-gereja yang berlainan di koloni Atlantik Tengah selaku aktivis dari sekolah swasta berbasis agama. Kesempatan pendidikan ini berbasis gender di ketiga wilayah tersebut. Baik anak perempuan maupun anak lelaki menghadiri sekolah dasar, tetapi sekolah tata bahasa Latin dan perguruan tinggi cuma ditawarkan untuk laki-laki.
 Diskriminasi Gender
Pendidikan perempuan terbatas pada sekolah dasar, di mana mereka berguru dasar-dasar (membaca dan menulis) untuk menyanggupi tanggung jawab keluarga dan agama. Banyak, utamanya lelaki yang mengendalikan forum pendidikan, percaya bahwa perempuan intelektual bisa berguru ke tahap yang lebih tinggi.
Pelacakan oleh Kelas Sosial
Sistem sekolah dual-track kolonial merefleksikan orientasi kelas Eropa. Sekolah dasar menawarkan kelas kesanggupan dasar membaca tetapi berkecil hati atas metode mobilitas sosial di antara sesama. Hanya beberapa murid yang mengakhiri sekolah dasar bisa maju ke sekolah tata bahasa Latin dan perguruan kolonial. Anak-anak dari kelompok atas menghadiri sekolah persiapan tata bahasa Latin, kalau berhasil, mereka bisa memasuki perguruan tinggi. Selama periode kesembilan belas, perbatasan egalitarianisme, demokratisasi politik, dan pergantian ekonomi akan mengikis struktur pendidikan berbasis Eropa untuk bikin metode pendidikan lazim Amerika universal.
            Pada masa penjajahan, 1760-1770-an, koloni Amerika Inggris mengalami pertumbuhan populasi dan ekonomi. Pengusaha di kota-kota komersial New York, Boston, Philadelphia, dan Charleston, serta pemukiman di perbatasan, utamanya Presbiterian Skotlandia-Irlandia, mulai menolak perpajakan oleh pemerintah Inggris. Perlawanan mereka terhadap pajak tanpa persetujuan pemerintah Inggris berkembang menjadi suatu gerakan revolusioner untuk kemerdekaan.

B.       Periode Awal Nasional
Ordonansi Northwest
Revolusi Amerika, yang dimulai pada tahun 1776, mengakhiri kekuasaan Inggris di tiga belas koloni. Para pemberontak berhasil bikin suatu republik dengan penyeleksian pemerintahan perwakilan. Meskipun satuan sekolah dasar dan sekolah tata bahasa Latin berlanjut hingga periode nasional awal, beberapa pemimpin gres republik ingin bikin sekolah yang menekankan identitas budaya Amerika dan proses politik yang demokratis.
Beroperasi di bawah Artikel Konfederasi, Kongres mengesahkan undang-undang pendidikan federal yang paling permulaan dengan The Northwest Ordonance 1785. Ordonansi Northwest bikin kepingan dari setiap tiga puluh enam mil persegi kota untuk pendidikan. Ordonansi Northwest menetapkan pemimpin dalam pemanfaatan tanah hibah federal untuk pendidikan di periode kesembilan belas.
Tradisi Pengawasan Daerah
Konstitusi AS, yang disahkan dan menjadi aturan negara, tidak secara khusus menangani pendidikan. Kalimat Amandemen “reserved powers” ke-sepuluh (yang berhak untuk menyatakan semua kekuatan tidak secara khusus didelegasikan terhadap pemerintah federal atau dihentikan bagi suatu negara oleh Konstitusi) meninggalkan tanggung jawab untuk bikin pendidikan dengan masing-masing negara tersebut. Tradisi New England terhadap pengontrolan sekolah setempat juga menyodorkan pertolongan terhadap suatu negara dan wilayah setempat dibandingkan dengan metode sekolah nasional di Amerika Serikat.
Gagasan Pendidikan Baru untuk Negara yang Baru
Selama periode nasional awal, beberapa pemimpin, tergolong Benjamin Franklin, Thomas Jefferson, Benjamin Rush, dan Noah Webster, konsep proposal dikembangkan untuk sekolah-sekolah di republik baru. Rencana ini biasanya menilai bahwa pendidikan Amerika harus: (1) menyiapkan orang-orang untuk kewarganegaraan republik, (2) meliputi kemampuan kebergunaan dan ilmiah, dan mata pelajaran untuk menolong dalam mengembangkan hamparan luas bangsa tanah perbatasan dan sumber daya alam yang melimpah, dan (3) menghapus perilaku Eropa dan bikin budaya unik Amerika. Masalah budaya unik Amerika diperdebatkan dalam The Taking Issue Box.

Franklin: Akademi
Akademi Franklin
Benjamin Franklin (1706-1790), seorang negarawan, ilmuwan, dan humas terkemuka, mendirikan suatu akademi, suatu sekolah menengah swasta, dan menggambarkan kurikulum dalam bukunya "Proposal Terkait dengan Pendidikan Pemuda di Pennsylvania.”Penekanan Franklin pada pengetahuan dan ilmu yang berkhasiat ini, berbeda utamanya pada sekolah tata bahasa Latin tradisional. Tata bahasa, komposisi, retorika, dan public speaking dalam bahasa Inggris, diganti dengan bahasa Latin dan Yunani selaku studi bahasa utama. Siswa juga bisa menegaskan bahasa kedua berhubungan dengan karir masa depan mereka. Misalnya, kandidat pendeta bisa menegaskan bahasa Latin dan Yunani, dan mereka berencana untuk karir komersial sanggup menegaskan Perancis, Spanyol, atau Jerman. Matematika diajarkan untuk penggunaan gampang dalam pembukuan, survei, dan rekayasa bukan selaku subjek abstrak. Sejarah dan biografi menyodorkan model moral bagi siswa untuk berguru bagaimana orang-orang penting bisa bikin keputusan politik dan etika mereka.

Penekanan pada Keterampilan Sains dan Keterampilan Praktis
Sesuai pandangan, Franklin, seorang ilmuwan amatir, mengakui pentingnya masa depan ilmu pengetahuan, penemuan, dan teknologi. Kurikulum yang dibuatnya memperlihatkan kemampuan kebergunaan, dimana dipraktekkan pada sekolah yang mengabaikan kegiatan pembelajaran tradisional, mirip pertukangan, pengerjaan kapal, ukiran, percetakan, dan pertanian. Pada pertengahan periode kesembilan belas, Amerika Serikat mempunyai banyak perguruan tinggi yang mirip planning Franklin.

Jefferson: Pendidikan untuk Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan
Thomas Jefferson (1743-1826), penulis Deklarasi Kemerdekaan dan presiden ketiga Amerika Serikat, mengungkapkan filosofi pendidikannya dalam bukunya "Bill for the More General Diffusion of Knowledge,”diperkenalkan terhadap legislatif Virginia pada tahun 1779. Jefferson juga pendiri utama dari University of Virginia. Tujuan utama Pendidikan, yang diungkapkan oleh Jefferson, yakni untuk mengiklankan suatu penduduk demokratis dan warga negara yang berpengetahuan dan baik. Berkomitmen untuk memisahkan gereja dan negara, ia percaya bahwa negara mempunyai kiprah pendidikan dasar, tidak mirip gereja. Sekolah yang disponsori negara, yang bukan milik swasta, akan dibiayai dengan pajak umum.
Rencana Jefferson
Dalam kegiatan yang disusun oleh Jefferson, walaupun tidak terlaksana, Ia mengangkat isu-isu penting bagi negara baru. Misalnya, dipromosikan sekolah lazim milik negara dan berupaya untuk bikin persamaan dan keistimewaan dalam pendidikan. Itu akan membagi Virginia ke dalam beberapa kepingan distrik. Tidak membolehkan peebudakan anak, kegiatan ini menetapkan bahwa belum dewasa memperoleh pendidikan secara gratis, baik perempuan dan laki-laki, bisa mengikuti sekolah dasar di masing-masing daerah, di mana mereka akan berguru membaca, menulis, berhitung, dan sejarah. Negara akan mengeluarkan duit untuk tiga tahun pertama pendidikam siswa tersebut. Program Jefferson juga akan mendirikan dua puluh sekolah tata bahasa di seluruh negara untuk penyediaan pendidikan menengah bagi anak laki-laki. Di sekolah-sekolah tata bahasa, siswa akan berguru bahasa Latin, Yunani, Inggris, geografi, dan matematika yang lebih tinggi.
Beasiswa Berdasarkan Prestasi
Rancangan kegiatan Jefferson mengantisipasi pemikiran beasiswa prestasi akademis. Di setiap sekolah daerah, siswa lelaki yang paling berprestasi baik bisa ataupun tidak dapat untuk mengeluarkan duit uang sekolah, akan memperoleh bantuan negara berupa extra beasiswa untuk melanjutkan pendidkan di College of William and Mary.
 Rencana Jefferson mewakili suatu kompromi permulaan atas isu-isu kesetaraan dan keistimewaan dalam pendidikan Amerika. Sedangkan penyediaan sekolah dasar bagi pada biasanya anak yakni langkah menuju ekuitas, konsep selektivitas akademik condong ke arah pemikiran sekolah menengah selaku "sistem penyeleksian" yang mengidentifikasi dan mendidik siswa yang paling bisa secara akademis.

Benjamin Rush: Sekolah Gereja-Terkait
            Benjamin Rush (1745-1813), seorang dokter ternama dan pendidik kesehatan pada permulaan terbentuknya republik, tidak mirip prinsip Jefferson untuk memisahkan gereja dan negara. Melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan, pemerintah republik, dan agama, Rush menginginkan prinsip Injil dan Nasrani diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi. Mengantisipasi teori kekinian "perancangan kecerdasaaan,” Rush percaya bahwa ilmu berasal dari kesempurnaan planning Tuhan dalam bikin tatanan alam.
Agama dan Sains
Tidak mirip Jefferson, Rush tidak percaya bahwa bantuan pemerintah terhadap sekolah gereja mengancam keleluasaan beragama dan keleluasaan menyelidiki.
Rencana Rush untuk metode yang komprehensif, sekolah dan perguruan tinggi negeri dikombinasikan demi kepentingan swasta dan publik. Kelompok warga negara, khususnya anggota gereja, akan menghimpun duit untuk sekolah dan kemudian akan memperoleh sertifikat penugasan dari negara untuk menyanggupi syarat untuk memperoleh dana publik. Menekankan akar bangsa Kristen, Rush ingin sekolah-sekolah menjadi sekolah golongan agama tertentu yang terkontrol, dan memperlihatkan pendidikan berbasis agama.
Seorang promotor yang membicarakan pendidikan bagi perempuan, Rush menolak bias gender, bahwa perempuan lebih rendah secara intelektual dibandingkan lelaki dan perempuan cuma memerlukan pendidikan yang terbatas. Menegaskan bahwa kekuatan intelektual perempuan sebaiknya dianggap setara dengan laki-laki, ia menganjurkan metode perguruan tinggi dan PT untuk perempuan.

Webster: Guru untuk Republik
Belajar Budaya Amerika lewat Bahasa
Noah Webster (1758-1843), seorang pendidik dan luar biasa kamus terkemuka, yakni salah satu nasionalis budaya ternama di permulaan republik ini. Webster menginginkan Amerika Serikat untuk mempunyai budaya berdikari dengan "bahasa maupun pemerintah”-nya sendiri. Percaya bahwa bahasa dan sastra akan membangun rasa identitas nasional, Webster melakukan pekerjaan untuk membangun Amerika yang mempunyai bahasa Inggris yang khas, dengan idiom, pengucapan, dan gaya tersendiri.
Pengaruh Webster pada "Amerikanisasi"
Ia percaya bahwa buku teks mempunyai efek mempunyai efek pada pengajaran dan pembelajaran, Webster menulis ejaan dan membaca buku-buku yang menekankan pada identitas dan prestasi Amerika. Kamus Amerika-nya diterbitkan pada tahun 1828 setelah menjalankan observasi intensif selama bertahun-tahun.
Terhormat selaku "guru republik ini,” Noah Webster mengiklankan suatu identitas Amerika monokultural dengan bahasa nasional tersendiri. Selama bertahun-tahun, sekolah lazim sudah "Amerikanisasi” belum dewasa pendatang dengan memberlakukan model budaya monolitik pada mereka. Sekarang, kegiatan pendidikan multikultural dan bilingual, mengakui keanekaragaman Amerika, berupaya untuk memperbaiki kerumitan dalam kendala nasionalisme budaya.
Gerakan menuju Sekolah Umum
Sekolah Minggu
Sebelum sekolah lazim diresmikan pada periode kesembilan belas, ada upaya untuk menggunakan bantuan sukarela swasta alternatif untuk sekolah dikenai pajak yang didukung, mirip Sekolah Minggu dan sekolah bersifat nasihat. Selama waktu itu, banyak belum dewasa melakukan pekerjaan di pabrik-pabrik dari Industrialisasi Timur Laut. Individu dan organisasi filantropis mendirikan sekolah Minggu di kota-kota besar mirip New York dan Philadelphia. Terbuka cuma pada hari Minggu di saat pabrik ditutup, sekolah ahad menyodorkan minimal pendidikan dasar, yang berisikan menulis, membaca, aritmatika, dan agama.
Mahasiswa selaku Asisten Guru
Metode monitorial mempergunakan siswa (monitor) yang lebih berpengalaman, dilatih oleh guru senior selaku guru bantu dalam mengajar, mengabsen, dan menjaga ketertiban kelas. Misalnya, guru senior akan melatih siswa (monitor) dalam kemampuan tertentu, mirip menyertakan angka satu digit. Monitor ini kemudian akan mengajarkan kemampuan yang dimilikinya di kelas siswa yang lebih anabawang atau kurang berpengalaman. Dirancang untuk mengajarkan kemampuan dasar terhadap seluruh siswa, para orang gemar memberi secara pribadi yang menginginkan suatu metode sekolah besar namun murah sudah siap mendanai sekolah monitorial ini. Seperti sekolah Minggu, sekolah ini terkenal di kota-kota timur besar. Sebagai contoh, lebih dari 600.000 belum dewasa bersekolah di sekolah monitorial New York Free School Society. Pada tahun 1840-an, sekolah lazim mengambil alih sekolah monitorial di saat penduduk menyadari kehabisan pendidikan mereka.

Sekolah Umum
Pengembangan Sekolah Umum
Gerakan sekolah lazim dari setengah periode kesembilan belas pertama sungguh penting dalam pendidikan Amerika lantaran sekolah lazim ini dikendalikan oleh publik dan mendanai pendidikan dasar. Sekolah umum, cikal bakal sekolah dasar negeri di saat ini, memperlihatkan kurikulum dasar dalam hal membaca, menulis, mengeja, dan berhitung.
Satu Sekolah untuk Beragam Program Kelas
Kerja Lembur, sejarah, geografi, kebersihan, dan bernyanyi ditambahkan. Sekolah ini disebut sekolah "umum” lantaran itu terbuka untuk belum dewasa dari semua kelompok sosial dan ekonomi. Namun secara historis, belum dewasa budak Amerika di wilayah selatan dikeluarkan dari sekolah lazim hingga timbul Perang Saudara dan dibuatnya Amandemen Ketigabelas mengakhiri perbudakan.
Perbedaan antara Daerah
Karena tradisi pengawasan setempat dan Amandemen Kesepuluh dalam pemesanan pendidikan Konstitusi AS terhadap negara, Amerika Serikat, mirip Perancis dan Jepang, tidak membentuk metode pendidikan nasional. Pola dimana sekolah lazim diresmikan berlainan dari negara satu ke negara yang lain dan bahkan dalam kondisi tertentu. Terutama di perbatasan barat, di mana ada banyak sekolah kecil, sumber daya dan bantuan untuk sekolah berlainan secara signifikan dari satu kawasan (kabupaten) ke kawasan yang lain. Karena sejarah ini, pendanaan sekolah lazim masih sungguh bervariasi di Amerika Serikat.
Gerakan sekolah lazim hadir antara tahun 1820 dan 1850. Negara New England kepingan Massachusetts dan Connecticut, dengan sekolah tradisi kota dan daerah, yakni yang paling permulaan untuk mendirikan sekolah umum. Pada tahun 1826, Massachusetts memerlukan setiap kota untuk menegaskan komite sekolah bertanggung jawab untuk semua sekolah di wilayah yurisdiksinya. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1836, Massachusetts mendirikan departemen pendidikan negara yang pertama. Connecticut kemudian menjiplak keberhasilan negara tetangganya itu. Negara-negara utara yang lain biasanya mengadopsi model sekolah lazim New England. Sebagai perbatasan yang bergerak ke arah barat dan negara-negara gres di bawah Union, mereka juga mendirikan metode sekolah dasar bagi lazim atau publik. Di Selatan, dengan beberapa pengecualian mirip North Carolina, sekolah lazim pada biasanya tidak diresmikan hingga masa Rekonstruksi, 1865-1876, setelah Perang Sipil.

Tiga Tahapan Legislasi
Legislatif negara biasanya mendirikan sekolah-sekolah lazim dengan urutan berikut ini:
1.      mereka diizinkan untuk menertibkan warga distrik yang bersekolah dengan persetujuan penanggungjawab kawasan lokal.
2.      mereka sengaja mendorong, tetapi tidak memerintah, mendirikan kawasan persekolahan, penyeleksian dewan sekolah, dan pengadaan pungutan pajak untuk mendanai sekolah.
3.      mereka bikin sekolah lazim wajib oleh mandat pembentukan kabupaten, penyeleksian papan, dan memaksimalkan pajak untuk mendukung sekolah.

Sekolah lazim menggunakan dasar dari metode sekolah lazim Amerika. Kemudian pada periode kesembilan belas, peningkatan mutu pendidikan Amerika berhasil dengan dibangunnya sekolah menengah yang terhubung dengan sekolah dasar hingga perguruan tinggi atau universitas negara. Horace Mann yakni pemimpin yang paling menonjolkan eksistensi sekolah lazim ini.

Mann: Perjuangan untuk Sekolah Umum
Ketika legislatif Massachusetts membentuk dewan pendidikan negara pada tahun 1837, maka terpilihlah Horrace Mann (1796-1859), seorang pemimpin politik ternama Whig dan penunjang teguh sekolah umum, selaku sekretaris. Laporan Tahunannya mengungkapkan filosofi pendidikan dan opini perihal isu-isu pendidikan. Apalagi selaku editor Journal Sekolah umum, Mann berupaya untuk mengungguli bantuan nasional untuk sekolah umum. (Untuk pengangkatan Mann dan kegiatan yang lain dalam pendidikan Amerika, lihat Ikhtisar 5.1)
Bangunan untuk Sekolah Umum
Mann menggunakan kecerdasan politik untuk memobilisasi bantuan dan membangun koalisi untuk pendidikan umum. Dia meyakinkan faedah pengadaan wajib pajak terhadap kepentingan pribadi penduduk untuk mendukung sekolah umum. Dia menerapkan teori kepengurusan Calvinis untuk kampanye sekolah umumnya, Mann beropini bahwa orang kaya, selaku pramusaji masyarakat, mempunyai tanggung jawab khusus untuk menyodorkan pendidikan bagi publik. Dia menyampaikan terhadap usahawan bahwa pajak yang menolong pendidikan lazim yakni investasi dalam pertumbuhan ekonomi Massachusetts itu. Sekolah lazim akan melatih pekerja lebih tekun untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab yang taat hukum, bersusah payah dan tekun. Mann meyakini bahwa sekolah lazim yang menyekolahkan anak buruh dan petani akan menjadi metode pemerata sosial yang baik, mengembangkan belum dewasa mereka dengan kemampuan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menaiki kenaikan ekonomi.
Sekolah Negeri dan Masyarakat Demokratis
Dalam pengembangan konsep Jefferson untuk pendidikan kewarganegaraan, Mann beropini bahwa pendidikan lazim itu perlu bagi suatu penduduk demokratis. Warga perlu melek untuk bikin keputusan cerdas dan bertanggung jawab selaku pemilih dan anggotanya, pejabat publik terpilih, dan PNS. Sementara Jefferson berupaya untuk meningkatkan peluang pendidikan bagi lelaki muda berbakat secara akademis, Mann ingin menyodorkan kesetaraan penduduk biar bisa bersekolah. Sementara sekolah-sekolah lazim akan meminimalisir perbedaan kelas sosial, Mann dan Whig, meyakini kelompok sosial atas masih mesti mengontrol metode ekonomi dan politik. Sama mirip Webster, Mann mendukung suatu kebijakan "Amerikanisasi”, dengan alasan, bahwa metode sekolah lazim akan melengkapi Amerika Serikat, selaku bangsa pendatang, dengan menyatukan budaya yang beragam.
Pajak Sekolah
Mann membentuk filosofi sekolah negeri sehingga sekolah lazim tersebut: (1) dikontrol selaku suatu metode di seluruh negara bagian, dibiayai oleh pajak kawasan dan negara, (2) pemerintah secara langsung oleh dewan sekolah yang dipilih, (3) dikelola oleh guru terlatih; (4) bebas dari pengawasan gereja.
Sekolah wajar dan Pendidikan Perempuan
Selain menawarkan pendidikan dasar yang disokong negara untuk sebagian besar belum dewasa Amerika, gerakan sekolah lazim mempunyai dua konsekuensi perhiasan yang penting: (1) sekolah ini menyebabkan hadirnya sekolah normal, yang menertibkan pola persiapan guru, dan (2) sekolah ini bikin sekolah dasar mengajar suatu jalur karir penting bagi perempuan.
Perkembangan Sekolah normal
Penamaannya setelah French ecole normale di mana mereka dimodelkan, sekolah yang wajar yakni forum dua tahun yang menawarkan kursus sejarah dan filsafat pendidikan, metode pengajaran, dan praktek atau demonstrasi mengajar bagi kandidat guru. Program sekolah wajar membentuk kegiatan masa sekarang yang meliputi kursus mengenai dasar-dasar budaya dan psikologis, metode pengajaran, teknologi pendidikan, dan pengalaman klinis yang disupervisi dan praktek mengajar. Pada final periode kesembilan belas, banyak sekolah wajar yang ditata ulang selama empat tahun perguruan tinggi kependidikan guru.
Memperluas Peluang untuk Perempuan
Pendirian sekolah lazim bikin pembinaan guru, dan banyak perempuan yang terpesona pada karir mengajar dalam pengembangan metode sekolah dasar. Sekolah-sekolah wajar menyiapkan perempuan untuk karir ini dan pada di saat yang serupa membuka peluang untuk memasuki pendidikan tinggi yang sebelumnya mengabaikan mereka. Meskipun honor yang rendah dan permintaan kondisi, karir mengajar menyodorkan peluang perempuan kelompok menengah  untuk berkarir di luar rumah. Sampai Perang Sipil, sebagian besar guru sekolah penduduk pedesaan yakni laki-laki. Pada tahun 1900, 71% guru pedesaan yakni perempuan.

Catharine Beecher : Mempersiapkan Perempuan selaku Guru
Reformasi dan Hak-Hak Perempuan
Pada periode kesembilan belas, para pemimpin feminis mirip Elizabeth Cady Stanton, Emma Willard, dan Susan B. Anthony mengatakan untuk kesetaraan pendidikan dan politik perempuan. Yang paling menonjol di antara pejuang-pejuang perempuan itu yakni Catharine Beecher (1800-1878), seorang pendidik guru, yang menghubungkan sekolah lazim untuk pendidikan perempuan. Beecher mendirikan dan mengoperasikan Hartford Female Seminary, di Hartford, Connecticut, dari 1823 hingga 1831. Dia kemudian bikin Lembaga Perempuan Barat selaku model untuk suatu jaringan yang menganjurkan forum pendidikan guru.
Sebuah Peran Kunci untuk Perempuan
Pengajaran menurut Beecher beralasan memberi perempuan suatu jalur karir yang berkhasiat dalam korelasi sosial pada suatu waktu walaupun peluang mereka memperoleh pendidikan tinggi dan posisi profesional yang sungguh terbatas. Yang penting, itu bikin perempuan berdikari secara finansial dan memberi mereka peluang untuk membentuk generasi masa depan moral.
Membayangkan mengajar sekolah dasar selaku profesi wanita, Beecher berkontribusi terhadap cara perempuan mengajar ilmu dasar. Perguruan tinggi perempuan akan membuka pendidikan tinggi untuk perempuan dan menyiapkan mereka untuk menjadi staf metode sekolah lazim yang berkembang. Dia beropini bahwa sembilan puluh ribu guru dikehendaki untuk menenteng peradaban ke perbatasan barat yang masih liar kehidupannya. Beecher yakni kepingan dari jaringan pendidik perempuan mirip Emma Williard, Zilpa Grant, dan Mary Lyon yang menyiapkan perempuan untuk berkarir mengajar.
Sebagai seorang pendidik guru, Beecher mempunyai wangsit yang terang perihal persiapan dan praktek kelas. Dalam proyek mereka, siswa akan mempelajari moralitas Nasrani evangelis, membicarakan misi membudayakan perempuan selaku guru, dan mengamati guru yang berpengalaman. Dalam prakteknya, guru perempuan dikehendaki untuk menggunakan “sensibilitas” mereka, pengetahuan intuitif mereka perihal anak-anak, untuk mengurus kelas mereka, mengajarkan kurikulum lazim yang mendorong literasi dan kesopanan, dan bertindak selaku penasehat moral.

Sekolah Satu Atap
Demokrasi langsung dalam Daerah Kecil
Daerah persekolahan lokal, seringkali cuma mempunyai satu ruang kelas atau satu atap, nyaris suatu demokrasi langsung di mana dewan sekolah yang diseleksi menetapkan tarif pajak dan memberdayakan dan memantau guru di sekolah tersebut. Banyak kawasan kecil dikonsolidasikan menjadi kawasan yang lebih besar pada permulaan periode kedua puluh, mirip yang diterangkan dalam kepingan perihal Pemerintahan dan Administrasi Pendidikan Publik.
Sertifikasi guru sederhana namun kacau: setiap dewan sekolah mengeluarkan sertifikat sendiri untuk guru, dimana kawasan lain sering menolak untuk mengakuinya. Saat ini sertifikasi dan legalisasi negara dijalankan lebih seragam oleh Dewan Nasional untuk Akreditasi Pendidikan Guru yakni suatu langkah menuju profesionalisasi yang lebih baik bagi para guru.
Gedung Sekolah Khusus
Di perbatasan barat, sekolah satu atap yang yang dibikin dari kayu merupakan konstruksi bangunan penduduk yang pertama. Pada 1870-an, gedung sekolah berdinding kayu, dicat putih atau merah, menutupi struktur kayu mentah tersebut. Bangunan-bangunan makin dikembangkan, dipanasi oleh kompor pembakaran kayu, tergolong papan tulis yang yang dibikin dari watu dan ruang ganti. Meja guru diposisikan di atas panggung di depan ruangan. Banyak ruang kelas mempunyai meja ganda besar yang diduduki dua murid. Kemudian, sering digantikan dengan meja tunggal, masing-masing dengan suatu perangkat komputer menempel pada kepingan belakang bangku di depannya. Jadi, semua meja yang bergerak dan dikontrol dalam baris lurus.
Kurikulum Dasar
Para murid, sekitar usia 5-17 tahun, mempelajari kurikulum dasar membaca, menulis, tata bahasa, ejaan, aritmatika, sejarah, geografi, musik, gambar, dan kebersihan. Banyak guru menggunakan metode hafalan, di mana setiap murid berdiri membacakan suatu pelajaran sebelumnya yang mesti dihafal murid. Kemudian pada periode kesembilan belas, guru yang mengisi sekolah wajar menggunakan metode Pestalozzi dan Herbart, utamanya pembelajaran kelompok secara bersama, untuk meningkatkan pengajaran mereka. Sekolah menekankan nilai-nilai ketepatan waktu, kejujuran, dan kerja keras. Para guru sekolah satu satu atap di pedesaan, dikehendaki menjadi orang yang disiplin mirip instruktur, yag mesti “menjadi petugas kebersihan mereka sendiri, pemecah rekor dan pengelola sekolah."
McGuffey Readers
120 Juta Salinan
Pengembangan sekolah dasar negeri dan kegiatan pendidikan guru menimbulkan permintaan penyediaan buku paket. William Holmes McGuffey (1800-1873), pendeta, profesor, dan pimpinan kampus, menulis terlalu banyak hingga mempopulerkan McGuffey Readers. Menegaskan kembali nilai-nilai kebenaran, kelas menengah, Orang Amerika penganut Protestan, pembaca McGuffey menekankan literasi, kerja keras, ketekunan, ketepatan waktu, patriotisme, dan kesopanan. Menekankan patriotisme dan heroisme, pilihan bacaan tergolong pidato dari Patrick Henry, Daniel Webster, dan George Washington. Lebih dari 120 juta eksemplar McGuffey Readers yang dijual antara tahun 1836 dan 1920.

C.      Pengembangan Sekolah Menengah Amerika
Melengkapi Jenjang Pendidikan
Dengan berdirinya sekolah dasar negeri, jenjang paling rendah dari jenjang pendidikan Amerika yang ada di saat ini. Jenjang teratas dipenuhi oleh perguruan tinggi negara. Namun, jenjang ini ada pada titik ekstrem atas dan bawah yang masih terputus di tengah. Pada kepingan ini, kita meneliti bagaimana sekolah menengah lazim mengakhiri jenjangnya.

Akademi: Pelopor Sekolah Menengah
Akademi Menggantikan Grammar School
Diprakarsai oleh Benjamin Franklin, perguruan tinggi digantikan dengan sekolah tata bahasa Latin masa kolonial selaku sekolah menengah utama pada paruh pertama periode kesembilan belas pertama. Pada tahun 1855, lebih dari 6.000 perguruan tinggi AS mempunyai 263.000 siswa. Berbeda dengan sekolah tata bahasa Latin, yang secara pribadi didatangi oleh lelaki yang menyiapkan diri untuk masuk perguruan tinggi, baik itu perguruan tinggi yang cuma mempunyai satu jenis gender dan maupun perguruan tinggi untuk lelaki dan perempuan. Mereka memperlihatkan persiapan perguruan tinggi serta banyak sekali kegiatan lainnya.
Kurikulum yang Meluas dan Kumpulan Siswa
Program Akademi disertai tiga pola : (1) kurikulum persiapan kuliah tradisional dengan pemfokusan pada bahasa Latin dan Yunani, (2) kegiatan bahasa Inggris, suatu kurikulum lazim bagi mereka berencana untuk mengakhiri pendidikan formal mereka dengan selesainya sekolah menengah, dan (3) pembinaan (sekolah) normal, yang menyiapkan guru sekolah dasar. Beberapa lelaki menghadiri perguruan tinggi militer mirip Citadel di South Carolina.
Akademi untuk Perempuan
Beberapa perguruan tinggi diresmikan untuk mendidik perempuan muda. Sebagai contoh, pada tahun 1821, Emma Willard, pemimpin dalam gerakan hak-hak perempuan, mendirikan New York’s Troy Female Seminary. Seiring dengan kegiatan ilmu negeri, perguruan tinggi perempuan memperlihatkan bahasa klasik dan modern, ilmu pengetahuan, matematika, seni, musik, dan pendidikan keguruan, atau sekolah normal, dan kurikulum. Sementara sebagian besar perguruan tinggi yakni milik swasta, ada beberapa semipublik dimana mereka sebagian dibiayai oleh kota dan negara. Akademi-akademi ini yakni sekolah menengah terkenal hingga tahun 1870-an, di saat sekolah menengah lazim mulai menyiapkan mereka. Akademi swasta tetap menyodorkan pendidikan menengah untuk persentase kecil dari populasi.

Sekolah Tinggi
Pajak untuk Sekolah Menengah Atas Negeri
Meskipun sedikit dari sekolah menengah, mirip Boston English Classical School, yang beroperasi di permulaan periode kesembilan belas, sekolah menengah menjadi sekolah menengah mayoritas setelah 1860. Pada 1870-an, pengadilan menetapkan dalam serangkaian kendala (terutama Kalamazoo, Michigan, kendala pada tahun 1874) bahwa kawasan persekolahan bisa memungut pajak untuk membangun dan mendukung sekolah menengah umum. Pada tahun 1890, sekolah menengah lazim yang didatangi lebih dari dua kali sebanyak siswa perguruan tinggi swasta.

Kewajiban Kehadiran (Bersekolah)
Pada final periode kesembilan belas dan permulaan periode kedua puluh, negara kepingan mengesahkan undang-undang “kewajiban bersekolah” yang dibentuk untuk rentang usia siswa yang mesti bersekolah. Sementara siswa bisa hadir di sekolah non publik yang disetujui, negara menetapkan tolok ukur minimum untuk semua sekolah.
Para mendukung perkembangan undang-undang keharusan hadir bersekolah. Mereka melakukan pekerjaan untuk pemberlakuan undang-undang pekerja anak, mirip Keating-Owen Child Labor Act of 1916, yang mana pekerja belum dewasa dan remaja terbatas sehingga mereka akan bersekolah ketimbang memasuki lapangan kerja. Ada unsur pengawasan sosial dalam kegiatan perkembangan sepanjang sekolah tinggi sanggup membentuk remaja menjadi model perkembangan dari warga Amerika yang baik. Kewajiban hadir kadang-kadang ditentang oleh orang bau tanah pendatang, yang takut itu yakni seni tata kelola untuk mengikis warisan etnis belum dewasa mereka, dan kelompok petani, yang memerlukan belum dewasa mereka untuk melakukan pekerjaan di pertanian.
Urbanisasi dan Sekolah Menengah. Pada final periode kesembilan belas dan permulaan periode kedua puluh, konvergensi beberapa tren sosial ekonomi dan pendidikan yang signifikan bikin iklim yang menguntungkan bagi pendirian sekolah tinggi. Amerika Serikat berganti dari penduduk pertanian dan pedesaan menuju negara industri dan perkotaan. Sebagai contoh, populasi New York City empat kali lipat antara 1860 dan 1910. Pada 1930, lebih dari 25% dari siapa pun Amerika yang tinggal di tujuh kawasan perkotaan besar: New York, Chicago, Philadelphia, Boston, Detroit, Los Angeles, dan Cleveland. Sekolah menengah yakni respon pendidikan terhadap keperluan penduduk perkotaan dan industri untuk pekerjaan lebih khusus, profesi, dan jasa. Pendampingan pergantian sosial ekonomi yakni perkembangan penting dalam psikologi remaja. G. Stanley Hall, misalnya, beropini bahwa remaja, selama tahap penting dalam perkembangan mereka, yakni yang terbaik dididik di sekolah tinggi.


Upaya Standarisasi Kurikulum
Pembentukan Kurikulum Sekolah Tinggi. Pendidik condong memperdebatkan tujuan sekolah tinggi. Sementara profesor seni liberal dan ilmu kuliah menyaksikan Onsthem selaku forum pendikan keguruan, pendidik kejuruan ingin sekolah tinggi untuk menyiapkan remaja yang dapat memasuki dunia kerja. Di beberapa kota besar, sekolah tinggi, yang disebut “perguruan rakyat,” memperlihatkan seni liberal dan ilmu pengetahuan serta kegiatan yang bermitra dengan pekerjaan. Pada tahun 1892, The National Education Association (NEA) membentuk Committee of Ten, diketuai oleh Presiden Universitas Harvard Charles Eliot, untuk menegaskan misi dan tujuan sekolah menengah. Panitia bikin dua rekomendasi penting: (1) mata pelajaran mesti diajarkan seragam untuk mahasiswa lelaki dan perempuan dan bisa menyiapkan mereka untuk mengakhiri pendidikan formal setelah lulus, dan (2) delapan tahun sekolah dasar dan empat tahun pendidikan menengah. Ini mengidentifikasi empat kurikulum yang cocok untuk sekolah menengah: klasik, bahasa Latin ilmiah, bahasa modern, dan bahasa Inggris. Namun, rekomendasi ini merefleksikan suatu orientasi persiapan kuliah lazim sejak setiap kurikulum menyiapkan kelas bahasa asing, matematika, ilmu pengetahuan, bahasa Inggris dan sejarah.
Meningkatnya Keragaman
Pada tahun 1918, semua negara sudah memberlakukan undang-undang keharusan hadir bersekolah, dengan tiga puluh negara yang mengharuskan waktu kehadiran sarat hingga usia enam belas. Meningkatkan angka partisipasi sekolah bikin siswa sekolah menengah lebih mewakili populasi remaja lazim dan budaya lebih bervariasi dibandingkan dengan di masa kemudian di saat siswa utamanya berasal dari kelas menengah ke atas dan atas.
Komisi NEA, Reorganization of Secondary Education dalam Prinsip Kardinal Pendidikan Menengah (1918) menyikapi pergantian sosial ekonomi dalam populasi siswa sekolah menengah. Komisi mendefinisi ulang sekolah menengah selaku forum yang komprehensif melayani penduduk sosial, budaya, dan ekonomi bermacam-macam di negara. Hal ini menyebabkan hadirnya bermacam-macam kurikulum untuk menyanggupi pertanian, komersial, industri, dan domestik serta keperluan persiapan perguruan tinggi, sambil menjaga karakter sosial secara integratif dan komprehensif. Rekomendasi komisi merefleksikan wangsit kurikulum Herbert Spencer yang dibahas dalam kepingan perihal Perintis Belajar Mengajar.





BAB  III
PEMBAHASAN
SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA

Bongkar pasang kurikulum di Indonesia seringkali bikin bingung mirip apa pelaksanaan pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan sepantasnya menjadi contoh untuk meraih masa depan yang baik. Kemajuan suatu bangsa di ukur dari mutu pendidikannya. Bila pendidikan disatu bangsa tersebut kurang, maka kesanggupan untuk berkompetisi pun kurang.  Tujuan dari pendidikan mesti mempunyai sasaran yang terang dan bisa menanggulangi setiap kendala yang dihadapi. Pembaharuan dalam pendidikan penting guna menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kembali ke masa sebelum kemerdekaan, kita akan menyaksikan bagaimana perkembangan pendidikan di Indonesia pada zaman dahulu.  Pendidikan pada masa prakemerdekaan menyebabkan banyak persoalan, pendidikan pada di saat itu masih di pengaruhi kolonialis, bangsa ini dituntut untuk mengabdi terhadap penjajah pasca kemerdekaan selaku kepentingan bagi penguasa di saat itu. Pada masa penjajahan bentuk pendidikan dipusatkan untuk mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan yang laksanakan berencana agar bangsa ini bertekuk lutut di hadapan penjajah, dan tidak membuka peluang agar merdeka dan bangsa ini sudah di butakan sehingga tidak sanggup menyaksikan eksistensi diri selaku bangsa yang sanggup dan bisa untuk meningkat dari kerpurukan. Sejarah pendidikan bangsa ini begitu memilukan. Adanya pendidikan di Indonesia dilatarbelakangi oleh kesadaran masyakarat akan pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa.
Sejarah pendidikan di Indonesia sudah berjalan sejak lama. I Tsing, pendeta Budha yang singgah di kerajaan Sriwijaya pada 687 masehi, menerangkan bahwa Palembang di masa tersebut merupakan pusat agama Budha dimana pemikir dari banyak sekali negara berkumpul disana. Hanya saja, pendidikan di saat itu belum dikontrol dan berkonsentrasi pada pedoman Budha.
Peranan pemerintah dalam menertibkan pelaksanaan pendidikan terjadi sejak 1950 lewat draf undang-undang wajib berguru pendidikan dasar 6 tahun. Prioritas dalam pendidikan makin ditekankan pada era pemerintahan presiden Soeharto yang diwujudkan dalam pendirian nyaris 40.000 sekolah dasar gres pada final 1980an sehingga memungkinkan tercapainya sasaran wajib berguru 6 tahun.
Upaya meningkatkan mutu dan partisipasi pendidikan terus berlanjut hingga kini. Mempelajari sejarah perkembangan pendidikan mestinya bikin kita sanggup mengerti apa saja yang sudah diraih lewat pendidikan dan menganalisa perbaikan yang diperlukan untuk bikin mutu dan partisipasi pendidikan yang lebih baik.

A.      Sejarah Pendidikan pada Zaman Pendudukan Belanda
Memasuki periode ke 16, bangsa Portugis tiba ke Indonesia dengan tujuan jual beli dan berupaya menyebarkan agama katolik. Untuk meraih tujuan tersebut, pendatang Portugis ini mendirikan sekolah yang berencana menyodorkan pendidikan baca, tulis, dan hitung sekaligus memudahkan penyebaran agama katolik. Masuknya masa pendudukan Belanda bikin kegiatan berguru mengajar di sekolah milik pendatang Portugis menjadi terhenti.
Belanda juga menenteng misi serupa Portugis yakni menyebarkan agama Protestan terhadap penduduk setempat. Untuk merealisasikan misi ini, Belanda melanjutkan apa yang dirintis oleh bangsa Portugis dengan mengaktifkan kembali beberapa sekolah berbasis keagamaan dan membangun sekolah gres di beberapa wilayah. Ambon menjadi tempat yang pertama diseleksi oleh Belanda dan setiap tahunnya, beberapa penduduk Ambon dikirim ke Belanda untuk dididik menjadi guru. Memasuki tahun 1627, sudah terdapat 16 sekolah yang menyodorkan pendidikan terhadap sekitar 1300 siswa.
Setelah mengembangkan pendidikan di Ambon, Belanda memperluas pendidikan di pulau Jawa dengan mendirikan sekolah di Jakarta pada tahun 1617. Berbeda dengan Ambon, tidak diketahui apakah ada kandidat guru lulusan dari sekolah ini yang dikirim ke Jakarta. Lulusan dari sekolah tersebut dijanjikan melakukan pekerjaan di banyak sekali kantor administratif milik Belanda.
Memasuki periode ke 19, di saat Van den Bosch menjabat Gubernur Jenderal, Belanda menerapkan metode tanam paksa yang memerlukan banyak tenaga ahli. Keadaan ini bikin Belanda mendirikan 20 sekolah untuk penduduk Indonesia di setiap ibukota karesidenan dimana pelajar cuma boleh berasal dari kelompok bangsawan. Ketika era tanam paksa rampung dan memasuki masa politik etis, beberapa sekolah Belanda mulai memperoleh pelajar dari banyak sekali kelompok yang kemudian meningkat menjadi berjulukan Sekolah Rakjat.
Pada final era periode ke 19 dan permulaan periode ke 20, Belanda memperkenalkan metode pendidikan formal bagi penduduk Indonesia dengan struktur selaku berikut.
·         ELS (Europeesche Lagere School) – Sekolah dasar bagi orang eropa.
·         HIS (Hollandsch-Inlandsche School) – Sekolah dasar bagi pribumi.
·         MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) – Sekolah menengah.
·         AMS (Algeme(e)ne Middelbare School) – Sekolah atas.
·         HBS (Hogere Burger School) – Pra-Universitas.

Memasuki periode ke 20, Belanda memperdalam pendidikan di Indonesia dengan mendirikan sejumlah perguruan tinggi bagi penduduk Indonesia di pulau Jawa. Beberapa perguruan tinggi tersebut adalah:
·         School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) – Sekolah kedokteran di Batavia.
·         Nederland-Indische Artsen School (NIAS) – Sekolah kedokteran di Surabaya.
·         Rechts Hoge School – Sekolah aturan di Batavia.
·         De Technische Hoges School (THS) – Sekolah teknik di Bandung.

B.       Pendidikan Indonesia pada Zaman Pendudukan Jepang
Memasuki masa pendudukan Jepang, metode pendidikan Belanda dihentikan dan digantikan oleh metode pendidikan dari Jepang. Jepang menawarkan sekolah rakyat (Kokumin Gakko) selaku pendidikan dasar, sekolah menengah selaku pendidikan menengah, dan sekolah kejuruan bagi guru. Berbeda dengan metode pendidikan Belanda yang dibatasi bagi kelompok tertentu, pendidikan yang dipraktekkan Jepang tersedia bagi semua kalangan.
Jepang melarang sekolah mengadakan pendidikan dalam bahasa Belanda. Mereka membuat bahasa Indonesia selaku bahasa utama disertai bahasa Jepang selaku bahasa kedua. Selain itu, Jepang juga banyak menanamkan ideologi mental kebangsaan dengan memberlakukan tradisi mirip menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, senam bareng menggunakan lagu Jepang (taiso), mengibarkan bendera, dan penghormatan terhadap kaisar.

C.      Sejarah Pendidikan Indonesia 1945 – 1965
Setelah Indonesia merdeka, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) menganjurkan pembaruan pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara, yang di saat itu menjabat Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Indonesia, membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran untuk menawarkan struktur, materi pengajaran, dan planning berguru di Indonesia. Kurikulum ini dikehendaki sanggup meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat, meningkatkan pendidikan jasmani, dan pendidikan watak. Dari upaya tersebut, disusunlah kurikulum SR 1947 yang berisikan 15 mata pelajaran.
Memasuki era demokrasi liberal pada 1950, pelaksanaan pendidikan Indonesia dikontrol dalam UU no. 4 Tahun 1950 dan diperbaharui menjadi UU no. 12 tahun 1954. Pendidikan dan pengajaran berencana membentuk insan susila yang mahir dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap kemakmuran penduduk dan tanah air. Seiring dengan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, Indonesia kembali menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 selaku dasar negara. Meskipun demikian, pergantian ini tidak banyak merubah metode pendidikan yang sudah berjalan di Indonesia.
Pada periode ini, pendidikan di Indonesia sudah tersusun atas beberapa jenjang yang merupakan pengembangan dari jenjang yang terdapat pada jaman pendudukan Belanda. Jenjang pendidikan di Indonesia di zaman tersebut sanggup diterangkan selaku berikut.



1)      Taman Kanak-kanak (TK)
TK dibagi menjadi dua kepingan yakni kepingan A (anak 4 tahun) dan kepingan B (anak 5 tahun). Taman Kanak-kanak ditujukan untuk menolong perkembangan anak, serta interaksi anak dengan alam dan lingkungan penduduk sekitar.

2)      Sekolah Dasar (SD)
SD berfungsi selaku forum pendidikan yang mengajarkan dasar pengetahuan yang diperlukan untuk anak. SD mempunyai kiprah penting selaku dasar pembangunan kehidupan bangsa sehingga dikehendaki menjadi forum pendidikan yang lengkap, fungsional, dan ilmiah.

3)      Sekolah Menengah Pertama (SMP)
SMP merupakan forum pendidikan setelah SD dimana siswa dikehendaki sanggup memperdalam keilmuan dasar dan memanfaatkannya selaku kemampuan untuk hidup. Setiap pelajar akan mengambil satu mata pelajaran keahlian spesifik yang cocok dengan minat dan bakatnya.

4)      Sekolah Menengah Atas (SMA)
SMA merupakan forum yang mengajarkan keahlian atau kemampuan spesifik. Oleh lantaran itu, Sekolah Menengan Atas sering disebut juga sekolah kejuruan. Masa pendidikan berjalan 4 tahun dimana lulusan Sekolah Menengan Atas akan memperoleh gelar sarjana muda.

5)      Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi di Indonesia berisikan Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, dan Akademi. Universitas minimum berisikan 4 fakultas yang meliputi bidang keagamaan, ilmu budaya, ilmu sosial, ilmu eksakta, dan teknik. Institut berencana menjalankan pendidikan dan menjalankan penelitian. Sekolah tinggi difokuskan pada pendidikan untuk satu cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan perguruan tinggi menawarkan pendidikan untuk keahlian khusus.

6)      Pendidikan Guru
Pendidikan guru di Indonesia mengalami dinamika sepanjang periode ini. Awalnya, terdapat Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang tergabung dalam Universitas FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Ketidakpuasan atas FKIP bikin departement PP & K mendirikan Institut Pendidikan Guru (IPK) yang menyebabkan pertentangan antar kedua belah pihak. Konflik ini ditengahi oleh Presiden lewat Kepres No. 3/1963 dimana FKIP dan IPG dilebur menjadi IKIP.

D.      Pendidikan Indonesia Era 1965 – 1995
Memasuki tahun 1965, pendidikan di Indonesia mempunyai misi untuk mengajarkan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila. Untuk menjalankan misi tersebut, departemen pendidikan dan kebudayaan menyusun kurikulum yang meliputi prinsip dasar Pancasila.
Implementasi dari misi tersebut diawali dengan pergantian kurikulum di setiap jenjang pendidikan. Melalui kurikulum SD 1968, pendidikan dasar dikehendaki sanggup menyodorkan materi untuk mempertinggi mental budi pekerti, memperkuat kepercayaan agama, serta mempertinggi kecerdasan dan keterampilan. Sementara itu, kurikulum SMP ditambah dengan pembentukan kelompok pembinaan jiwa pancasila, kelompok pembinaan pengetahuan dasar, dan kelompok pembinaan kecakapan khusus. Kurikulum Sekolah Menengan Atas juga disempurnakan dengan tujuan membentuk insan pancasila sejati, menyiapkan untuk masuk ke perguruan tinggi, serta mengajarkan keahlian sesuai minat dan bakat.
Peningkatan pendapatan negara dari pemasaran minyak bikin pemerintah bisa mengalokasikan budget yang lebih besar untuk keperluan pendidikan. Pemerintah kemudian mendirikan SD Inpres (Instruksi Presiden), merekrut lebih banyak guru, mencetak buku pelajaran, dan mendirikan pusat pembinaan keterampilan.
Pada tahun 1989, lewat UU No. 2/1989, jenjang pendidikan di Indonesia diperbaharui menjadi tiga jenis yaitu:
·         Jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP).
·         Jenjang pendidikan menengah (SMU dan SMK).
·         Jenjang pendidikan tinggi.

Pendidikan Indonesia meningkat pesat pada periode ini. Pada 1973, jumlah angka buta huruf di golongan usia muda Indonesia meraih nyaris 20 persen. Pendirian SD Inpres, bareng dengan sekolah lainnya, bikin tingkat buta huruf di Indonesia menurun signifikan. Pemerintah terus berupaya biar pendidikan sanggup menyebar dan dinikmati oleh nyaris seluruh penduduk Indonesia.

E.       Pendidikan Indonesia Era 1995 – 2005
Memasuki tahun 1995, pendidikan Indonesia menekankan pada pengembangan SDM yang dapat menjawab tantangan masa depan. Terdapat empat prioritas utama pelaksanaan pendidikan yaitu:
·         Penuntasan pelaksanaan wajib berguru 9 tahun.
·         Peningkatan mutu semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
·         Menghubungkan keperluan antara pendidikan dan industri.
·         Peningkatan kesanggupan penguasaan iptek.

Pemerintah juga berupaya meningkatkan mutu pendidikan lewat kenaikan jumlah dan mutu pengajar, kenaikan mutu proses berguru mengajar, dan kenaikan mutu lulusan. Pemerintah juga berupaya bikin sekolah unggul dan mengembangkan kurikulum yang menekankan perbaikan metode mengajar dan perbaikan guru.
Pada tahun 1998, suasana politik di Indonesia mengalami gejolak yang menyebabkan lahirnya era reformasi. Sistem pemerintahan berganti dari model sentralisasi menjadi desentralisasi. Penerapan otonomi kawasan bikin penyelenggaraan pendidikan bermetamorfosis otonomi pendidikan, utamanya di jenjang pendidikan tinggi. Pada masa peralihan kekuasaan, pendidikan di Indonesia masih menerapkan kurikulum yang berlaku pada zaman orde baru. Kurikulum ini masih digunakan pada masa pemerintahan presiden Abdurrachman Wahid dengan beberapa perbaikan.
Sistem pendidikan di Indonesia mengalami pergantian pada masa kepresidenan Megawati lewat kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini berbasis pada 3 faktor utama yakni faktor afektif, faktor kognitif, dan faktor psikomotorik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memperbarui kurikulum tersebut menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang meliputi tujuan pendidikan, tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, serta silabus.

F.        Sejarah Pendidikan Indonesia 2005 – Hingga Kini
Pemerintahan presiden SBY berupaya meningkatkan mutu dan kuantitas pendidikan di Indonesia. Upaya tersebut diawali penerbitan Instruksi Presiden No. 5 pada 09 Juni 2006 yang berencana mempercepat solusi wajib berguru 9 tahun. Upaya ini bikin pemerintah melibatkan kegiatan pendidikan penyetaraan mirip paket A, B, dan C biar sanggup mengadopsi kurikulum sesuai dengan tolok ukur yang berlaku.
Jenjang pendidikan di Indonesia secara lazim tidak banyak berubah. Akan tetapi, terdapat lebih banyak forum penyedia pendidikan untuk setiap jenjang pendidikan dimana melibatkan partisipasi pendidikan non-formal. Struktur pendidikan di Indonesia secara lazim sanggup digambarkan selaku berikut (data Kementerian Pendidikan tahun 2007).
Seiring dengan meningkatnya mutu dan partisipasi pendidikan dasar di Indonesia, dan berkembangnya minat terhadap pendidikan menengah, informasi pendidikan di Indonesia kini beralih pada jenjang pendidikan tinggi. Pada tahun 2011, angka partisipasi bersemangat (GER) untuk pendidikan tinggi di Indonesia cuma meraih 25 persen. Angka ini lebih rendah dibanding rata-rata global yang meraih 31 persen dan pada biasanya negara anggota ASEAN. Meskipun demikian, angka ini gotong royong meningkat signifikan dibanding sepuluh tahun yang kemudian dimana angka partisipasi bersemangat pendidikan tinggi di Indonesia cuma meraih 12 persen.
Masuknya era pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi) belum memperlihatkan indikasi hadirnya upaya radikal dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia. Secara fundamental, kebijakan pendidikan masih sejalan tetapi dengan beberapa perbaikan dan penyesuaian. Perubahan banyak terjadi pada tataran teknis dan penduduk masih menunggu upaya pemerintah dalam menanggulangi kendala dan kehabisan dalam metode pendidikan di Indonesia.

G.      Mengukur Kemajuan Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan kalau dijumlah menurut angka partisipasi. Penggalakan wajib berguru 9 tahun mendorong angka partisipasi pendidikan dasar meraih 118 persen (terdapat 18 persen pelajar di luar sasaran usia pendidikan dasar). Angka partisipasi pendidikan menengah juga meningkat hingga meraih 77 persen dimana sejumlah 51 persen berasal dari populasi berusia 15 – 18 tahun (26 persen berasal dari usia yang lebih muda atau lebih tua).
Meskipun angka partisipasi pendidikan meningkat signifikan, mutu pendidikan di Indonesia masih relatif tertinggal dari negara yang lain kalau diukur dari mutu pelajar. Sains dan matematika menjadi salah satu titik lemah pelajar Indonesia pada jenjang pendidikan dasar. Menurut studi Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) di 2011, Indonesia menjangkau skor 406 untuk sains dan 386 untuk matematika (rata-rata global untuk kedua bidang yakni 500). Skor ini jauh berada di bawah Malaysia dan Thailand, dan jauh di bawah Singapura yang menempati pada peringkat pertama untuk sains dan kedua untuk matematika. Studi ini diadakan untuk menguji kesanggupan siswa kelas 8 dari 63 negara peserta.
Lemahnya kesanggupan sains dan matematika juga terjadi pada jenjang pendidikan menengah atas. Pada studi dari Program for International Student Assessment (PISA) di tahun 2012 terhadap pelajar berusia 15 tahun dari 65 negara, Indonesia berada di peringkat 64 pada bidang sains dan matematika. Kabar gembiranya, pelajar Indonesia merupakan pelajar yang paling senang disertai pelajar dari Albania, Peru, Thailand, dan Kolombia.
Seiring dengan tercapainya implementasi wajib berguru 9 tahun, pendidikan dasar di Indonesia mengalami perkembangan signifikan menurut angka partisipasi. PR pemerintah selanjutnya yakni memperbaiki mutu pendidikan dasar, serta meningkatkan partisipasi dan mutu jenjang pendidikan menengah. Meskipun demikian, pendidikan tinggi juga mesti berbenah untuk melahirkan lulusan yang bermutu dan tenaga pemikir yang handal.



BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari rangkaian masa dalam sejarah yang menjadi sejarah perkembangan Pendidikan di Indonesia, kita sanggup menyimpulkan bahwa masa-masa tersebut mempunyai pengetahuan yang tidak jauh berlainan satu dengan yang lain. Mereka sama-sama menginginkan pendidikan berencana mengembangkan individu penerima didik, dalam arti memberi peluang terhadap mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara alami dan mirip ada adanya, tidak perlu diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sementara itu, pendidikan intinya cuma memberi bantuan dan layanan dengan menyiapkan segala sesuatunya. Sejarah juga memperlihatkan betapa sulitnya usaha mengisi kemerdekaan dibandingkan dengan usaha menghalau penjajah.
Dengan demikian mereka berharap hasil pendidikan sanggup berupa ilmuwan, innovator, orang yang peduli dengan lingkungan serta bisa memperbaikinya, dan meningkatkan peradaban manusia.
Hal ini dikarenakan pendidikan senantiasa dinamis mencari yang baru, memperbaiki dan meningkatkan diri, biar tidak ketinggalan jaman, dan senantiasa berupaya menyongsong zaman yang mau tiba atau untuk sanggup hidup dan melakukan pekerjaan senafas dengan semangat pergantian zaman.
Akhir kata, pendidikan mewariskan peradaban masa lalu sehingga peradaban masa lalu yang mempunyai nilai-nilai luhur sanggup dipertahankan dan diajarkan kemudian digunakan generasi penerus dalam kehidupan mereka di masa sekarang. Dengan mewariskan dan menggunakan karya dan pengalaman masa lampau, pendidikan menjadi pengawal , perantara, dan pemelihara peradaban. Dengan demikian, pendidikan memungkinkan peradaban masa lalu diakui eksistensinya dan bukan merupakan “harta karun” yang tersia-siakan.



B.        Implikasi
Masa lampau memperjelas pengertian kita perihal masa kini. Sistem pendidikan yang kita miliki kini yakni hasil perkembangan pendidikan yang berkembang dalam sejarah pengalaman bangsa kita pada masa yang sudah kemudian (Nasution, 2008, hlm 5). Pembahasan perihal perkembangan sejarah pendidikan di atas memberi implikasi konsep-konsep pendidikan selaku berikut:
1)      Tujuan Pendidikan
Pendidikan dikehendaki berencana dan bisa mengembangkan banyak sekali macam potensi penerima didik serta mengembangkan kepribadian mereka secara lebih harmonis. Tujuan pendidikan juga diarahkan untuk mengembangkan faktor keagamaan, kemanusiaan, kemanusiaan, serta kemandirian penerima didik. Di samping itu, tujuan pendidikan mesti diarahkan terhadap hal-hal yang gampang dan mempunyai nilai guna yang tinggi yang sanggup diaplikasikan dalam dunia kerja nyata.
2)      Proses Pendidikan
Proses pendidikan utamanya proses belajar-mengajar dan materi pelajaran mesti diubahsuaikan dengan tingkat perkembangan penerima didik, menjalankan metode global untuk pelajaran bahasa, mengembangkan kemandirian dan koordinasi siswa dalam pembelajaran, mengembangkan pembelajaran lintas disiplin ilmu, demokratisasi dalam pendidikan, serta mengembangkan ilmu dan teknologi.
3)      Kebudayaan Nasional
Pendidikan mesti juga meningkatkan kebudayaan nasional. Emil Salim dalam Pidarta (2008: 149) menyampaikan bahwa kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak budaya kawasan dan menjadi identitas bangsa Indonesia biar tidak ditelan oleh budaya global.
4)      Inovasi-inovasi Pendidikan
Inovasi-inovasi mesti bersumber dari hasil-hasil observasi pendidikan di Indonesia, bukan sekedar konsep-konsep dari dunia Barat sehingga dikehendaki pada jadinya membentuk konsep-konsep pendidikan yang bercirikan Indonesia.


D.    Rekomendasi
Dalam batang badan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, yakni di Pasal 31 ayat 1 disebutkan bahwa “Pendidikan merupakan hak warga Negara”. Sehingga tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan bagi setiap warga Negara di Indonesia merupakan milik Negara. Negara mesti menjamin pemenuhan hak yang dalam hal ini yakni hak atas pendidikan tersebut. Negara mesti mengadakan serta menjamin pendidikan dalam setiap tingkatan baik pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi.
Pada hakekatnya proses pendidikan merupakan proses pemberdayaan seseorang untuk membentuk kepribadian dan bikin integritas dirinya sendiri. Oleh lantaran itu pendidikan kita memerlukan orientasi dan arah yang terang sesuai dengan prospek dan tujuan negara. Itu sebabnya dalam implementasinya pendidikan sebaiknya tidak sekedar mendidik seseorang dari sisi intelektualnya, akan tetapi juga kepribadian, etika, dan estetika dari dalam potensi diri si Pembelajar.
Namun arah pendidikan kita di saat ini terlihat sungguh jauh dari prospek para pendahulu. Pendidikan remaja ini mirip menjadi komoditas dan barang jualan saja. Tengoklah ongkos pendidikan di saat ini mahal dan hal itu merata di semua tingkatan pendidikan. Sekolah dan Perguruan Tinggi berlomba-lomba mengiklankan dirinya selaku “mesin pencetak pekerja” yang paling unggul. Dengan adanya kebijakan Badan Hukum Pendidikan, ongkos pendidikan yang sebaiknya ditanggung Negara diserahkan terhadap masing-masing institusi pendidikan lewat ongkos pendidikan yang sungguh tinggi.



DAFTAR PUSTAKA

Fadjrin, Subhan. (2013). Makalah Sejarah Pendidikan Di Indonesia. Diakses dari: https://loker.paperplane-tm.site/search?q=makalah-sejarah-pendidikan-di-indonesia
Omstein. Levin. Gutek. (2011). Foundations of Educatio. Canada : Cengange Learning.
Sadulloh, U. (2010). Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta.
Nasution, S. (2008). Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.


Related : Sejarah Pendidikan Amerika

0 Komentar untuk "Sejarah Pendidikan Amerika"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)