TEORI BELAJAR KOGNITIF GAGNE
2.1. Teori Belajar Kognitif menurut Gagne
Ada aneka macam pembagian terorganisir perihal teori berguru sesuai dengan pendekatan yang digunakan, salah satunya yakni teori berguru kognitif. Dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan wacana teori berguru kognitif, satu diantaranya yakni Robert Mills Gagne. Gagne beropini bahwa berguru dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, tetapi yang terbesar pengaruhnya yakni lingkungan individu seseorang. Lingkungan tersebut meliputi lingkungan rumah, geografis, sekolah dan aneka macam lingkungan sosial. Lingkungan itulah yang hendak memutuskan apa yang hendak dipelajari oleh seseorang dan berikutnya akan memutuskan menjadi apa ia nantinya.
Pembelajaran menurut Gagne (dalam Miarso, 2004, hlm. 245) yakni seperangkat proses yang bersifat internal bagi setiap individu selaku hasil transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal di lingkungan indivisu yang bersangkutan (kondisi). Agar keadaan eksternal itu lebih bermakna seharusnya diorganisasikan dalam urutan peristiwa pembelajaran (metode atau perlakuan). Selain itu, dalam kerja keras mengendalikan keadaan eksternal diperlukan aneka macam rangsangan yang sanggup diterima oleh panca indra yang dipahami dengan nama media dan sumber belajar.
2.1.1. Hierarki Belajar menurut Gagne
Menurut Gagne (dalam Dahar, 2011, hlm. 67), berguru konsep merupakan suatu bab dari suatu hierarki delapan bentuk belajar. Dalam hierarki ini, setiap tingkat berguru bergantung pada tingkat-tingkat sebelumnya. Hierarki berguru Gagne dihidangkan pada tabel berikut:
No | Bentuk belajar | Prosedur | Contoh |
1 | Belajar tanda sinyal (signal learning) | Conditioning Klasik | Mata dikejapkan terhadap suatu bunyi setelah bunyi dipasangkan dengan hembusan udara pada mata |
2 | Belajar stimulus respon (stimulus response learning) | Conditioning Operant | Belajar yang terjadi pada bayi untuk memehang botol susu |
3 | Belajar merangkai tingkah laris (behaviour chaining learning) | Seri koneksi-koneksi S-R | Membuka pintu, terdiri atas: 1) menempatkan kunci, 2) memasukkan kunci, 3) memutar kunci, 4) membuka kunci |
4 | Belajar perkumpulan lisan (verbal chaining learning) | Rantai verbal, wacana memberi nama obyek dan koneksi kata menjadi urutan lisan | Belajar sumpah pemuda |
5 | Belajar diskriminasi (discrimination learning) | Menghasilkan respons yang berlainan pada stimulus-stimulus yang mirip | Membedakan bundar dan elips |
6 | Belajar konsep (concept learning) | Membuat respons yang serupa pada stimulus-stimulus dengan atribut yang mirip | Respons sama wacana rumah terhadap aneka macam ukuran dan bentuk gedung |
7 | a. Konsep terdefinisi | Menggunakan konsep yang sudah dipelajari sebelumnya untuk memperoleh suatu konsep baru | Saudara sepupu merupakan anak pria atau wanita dari paman atau bibi |
b. Aturan | Memberikan respon pada satu kelas stimulus dengan satu kelas penampilan | Jarak sama dengan kecepatan kali waktu | |
8 | Belajar memecahkan problem (problem solving) | Menggabungkan hukum untuk meraih suatu pemecahan yang menciptakan suatu hukum dengan tingkat yang lebih tinggi | Menemukan tindakan dalam menjelaskan suatu teori dalam geometri |
2.1.2. Hasil Belajar menurut Gagne
Gagne mengemukakan lima macam hasil belajar, tiga di antaranya bersifat kognitif, satu bersifat afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorik (Dahar, 2011, hlm. 118). Menurut Gagne (dalam Dahar, 2011, hlm. 118) penampilan-penampilan yang sanggup diamati selaku hasil berguru disebut dengan kemampuan. Ada lima kesanggupan yang ditinjau dari segi-segi yang dikehendaki dari suatu pengajaran atau instruksi, kesanggupan itu perlu dibedakan lantaran kesanggupan itu memungkinkan aneka macam macam tampilan manusida dan juga lantaran kondisi-kondisi untuk memperoleh aneka macam kesanggupan itu berbeda. Kemampuan-kemampuan tersebut yakni keahlian intelektual, seni administrasi kognitif, sikap, informasi verbal, dan keahlian motorik.
1. Keterampilan intelektual
Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya dengan penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Aktivitas berguru keahlian intelektual ini sudah dimulai sejak tingkat pertama sekolah dasar (sekolah taman kanak-kanak) dan dilanjutkan sesuai dengan perhatian dan kesanggupan intelektual seseorang.
Selama bersekolah, banyak sekali jumlah keahlian intelektual yang dipelajari oleh seseorang. Keterampilan intelektual ini untuk bidang studi apapun sanggup digolongkan menurut kompleksitasnya. Perbedaan yang memiliki faedah antara keterampilan-keterampilan intelektual untuk tujuan pengajaran sanggup dilihat pada gambar berikut:
Belajar menghipnotis pertumbuhan intelektual seseorang dengan cara yang diusulkan Gagne pada gambar di atas. Untuk memecahkan masalah, siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi yakni aturan-aturan kompleks. Demikian pula diperlukan hukum dan konsep yang terdefinisi. Untuk memperoleh atuan-aturan ini, siswa sudah mesti berguru beberapa konsep kasatmata dan untuk mempelajari konsep-konsep kasatmata ini siswa mesti menguasai diskriminasi.
a. Diskriminasi merupakan suatu kesanggupan untuk mengadakan respons yang berlainan terhadap stimulus-stimulus yang berlainan dalam satu atau lebih dimensi fisik.
b. Konsep kasatmata menampilkan suatu sifat objek atau atribut objek (warna, bentuk, dan lain-lain). Konsep-konsep ini disebut kasatmata alasannya tampilan insan yang diperlukan konsep ini merupakan suatu objek yang konkret.
c. Konsep terdefinisi, apabila seseorang sanggup mendemonstrasikan arti kelas tertentu wacana objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan.
d. Aturan. Seseorang sudah berguru suatu hukum apabila penampilannya memiliki semacam “keteraturan” dalam aneka macam suasana khusus.
e. Aturan-aturan kompleks merupakan campuran kompleks aturan-aturan yang sederhana. Aturan kompleks atau hukum tinggi didapatkan untuk memecahkan suatu problem gampang atau sekelompok masalah.
2. Strategi kognitif
Suatu macam keahlian intelektual khusus yang memiliki kepentingan tertentu bagi berguru dan berpikir disebut selaku seni administrasi kognitif. Strategi kognitif dikelompokkan sesuai dengan fungsinya, dan pengelompokkan yang diusulkan oleh Weinstein dan Mayer (dalam Dahar, 2011, hlm. 122) yakni selaku berikut:
a. Strategi menghafal. Siswa menjalankan latihan mereka sendiri wacana materi yang dipelajari. Dalam bentuk yang paling sederhana, menyerupai mengulangi nama-nama dalam suatu urutan (nama pahlawan, tahun pecahnya perang dunia, dan lain-lain).
b. Strategi elaborasi. Siswa mengasosiasikan hal-hal yang hendak dipelajari dengan bahan-bahan lain yang tersedia.
c. Strategi pengaturan. Menyusun materi yang hendak dipelajari ke dalam suatu kerangka teratur merupakan teknik dasar seni administrasi ini.
d. Strategi metakognitif. Meliputi kesanggupan siswa untuk memutuskan tujuan belajar, memperkirakan kesuksesan pencapaian tujuan itu, dan memutuskan alternatif-alternatif untuk meraih tujuan itu.
e. Strategi afektif. Teknik ini dipakai para siswa untuk memusatkan dan menjaga perhatian untuk mengendalikan kemarahan dan menggunakan waktu secara efektif.
3. Sikap
Sikap merupakan pembawaan yang sanggup dipelajari dan sanggup menghipnotis sikap seseorang terhadap benda, kejadian-kejadian, atau makhluk hidup lainnya. Sekelompok sikap yang penting merupakan sikap kita terhadap orang lain. Oleh lantaran itu, Gagne juga memperhatikan bagaimana siswa-siswa memperoleh sikap-sikap sosial tersebut.
4. Informasi verbal
Informasi lisan juga disebut wawasan verbal. Menurut teori, wawasan lisan ini disimpan selaku jaringan proposisi-proposisi. Informasi lisan diperoleh selaku hasil berguru di sekolah dan juga dari kata-kata yang diucapkan orang, dari membaca, radio, televisi dan media lainnya.
5. Keterampilan motorik
Keterampilan motorik tidak cuma meliputi aktivitas fisik, melainkan juga aktivitas motorik yang digabung dengan keahlian intelektual, misalnya membaca, menulis, memainkan suatu instrumen musik, atau dalam pelajaran sains menggunakan aneka macam macam alat menyerupai mikriskop, alat-alat listrik, dan lain sebagainya.
2.1.3. Kejadian Belajar
Gagne (dalam Dahar, 2011, hlm. 124) mengemukakan delapan fase dalam satu tindakan berguru (learning act). Fase-fase itu merupakan kejadian-kejadian eksternal yang sanggup distrukturkan oleh siswa (yang belajar) atau guru. Kejadian-kejadian berguru itu yakni selaku berikut:
1. Fase motivasi
Siswa (yang belajar) mesti diberi motivasi untuk berguru dengan cita-cita bahwa berguru akan memperoleh hadiah.
2. Fase pengenalan
Siswa mesti menampilkan perhatian pada bagian-bagian esensial suatu peristiwa instruksional jikalau berguru akan terjadi
3. Fase perolehan
Bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, ia sudah siap mendapatkan pelajaran.
4. Fase retensi
Informasi gres yang diperoleh mesti dipindahkan dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Ini sanggup terjadi lewat pengulangan kembali, praktik, elaborasi, atau lain-lain.
5. Fase pemanggilan
Mungkin saja kita sanggup kehilangan korelasi dengan informasi dalam memori jangka panjang. Jadi, bab penting dalam berguru merupakan berguru memperoleh korelasi dengan apa yang sudah kita pelajari.
6. Fase generalisasi
Generalisasi atau transfer informasi pada situasi-situasi gres merupakan fase kritis dalam belajar.
7. Fase penampilan
Para siswa mesti menampilkan bahwa mereka sudah berguru sesuatu lewat tampilan yang tampak.
8. Fase umpan balik
Para siswa mesti memperoleh umpan balik wacana tampilan mereka yang menampilkan apakah mereka sudah atau belum memahami wacana apa yang diajarkan.
2.1.4. Kejadian Instruksional
Menurut Gagne (dalam Dahar, 2011, hlm. 126) bukan cuma guru yang sanggup menampilkan instruksi, tetapi kejadian-kejadian belajarnya sanggup juga diterapkan, baik pada berguru penemuan, berguru di luar kelas maupun berguru di dalam kelas. Akan tetapi, kejadian-kejadian instruksi yang dikemukakan Gagne ditujukan pada guru yang menyajiakn suatu pelajaran pada sekelompok siswa. Kejadian-kejadian intruksi itu yakni selaku berikut:
1. Mengaktifkan motivasi
2. Memberi tahu tujuan-tujuan belajar
3. Mengarahkan perhatian
4. Merangsang ingatan
5. Menyediakan tutorial belajar
6. Meningkatkan retensi
7. Melancarkan transfer belajar
8. Mengeluarkan penampilan
9. Memberikan umpan balik
2.2. Model Pembelajaran Konsep
2.2.1. Definisi pembelajaran konsep
Pembelajaran yakni suatu metode yang berencana untuk menolong proses berguru siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk menghipnotis dan mendukung terjadinya proses berguru siswa yang bersifat internal. Gagne dan Briggs (1979:3) Istilah “pembelajaran” sama dengan “instruction atau “pengajaran”. Pengajaran bermakna cara mengajar atau mengajarkan. (Purwadinata, 1967:22). Dengan demikian pengajaran diartikan sama dengan tindakan berguru (oleh siswa) dan Mengajar (oleh guru). Kegiatan berguru mengajar yakni satu kesatuan dari dua aktivitas yang searah. Dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran yakni kerja keras sadar dari guru untuk menciptakan siswa belajar, yakni terjadinya pergeseran tingkah laris pada diri siswa yang belajar, dimana pergeseran itu dengan didapatkannya kesanggupan gres yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
Konsep yakni inspirasi atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kasatmata (KBBI, 5 88). Menurut Rosser (dalam Dahar, 2011, hlm. 63) konsep yakni suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau korelasi yanng memiliki atribut yang sama. Karena orang mengalami stimulus yang berbeda-beda.
Eggan dan Kauchak (1996) mengemukakan: “Model pencapaian konsep yakni suatu seni administrasi pembelajaran induktif yang didesain untuk menolong siswa pada semua usia dalam mempelajari konsep dan melatih pengujian hipotesis”. Model pembelajaran konsep yakni suatu versi pembelajaran yang menekankan pada pengertian konsep terhadap siswa, guru memulai pengajaran dengan menyuguhkan data atau pola dan yang bukan contoh, kemudian guru meminta siswa untuk memperhatikan data atau pola tersebut dan siswa dibimbing biar bisa mengidentifikasi ciri-ciri atau karakteristik dari pola yang diberikan.
Menurut Gagne (dalam Dahar, 2011, hlm.67) berguru konsep merupakan satu bab dari suatu hierarki dari delapan bentuk belajar. Bentuk berguru yang dimaksud terdapat pada bentuk berguru 6, yakni berguru konsep ekuivalen dengan pembentukan. Asimilasi konsep sanggup berupa bentuk khusus dari berguru aturan, yakni bentuk 7.
Tingkatan pencapaian konsep akan berlainan sesuai dengan tingkat usia anak. Dari teori pertumbuhan Piaget kita mengenali bahwa bawah umur yang masih kecil gres sanggup berguru konsep konkret, sedangkan konsep yang lebih sulit atau lebih abnormal dipelajari setelah mereka besar.
2.2.2. Merencanakan Pelajaran Model Pencapaian Konsep
Hal-hal yang perlu diamati dalam mendesain pelajaran menggunakan versi pencapaian konsep yakni selaku berikut :
1. Menetapkan materi
Seperti halnya dengan model-model pembelajaran yang lain, saat akan menerapkan versi pencapaian konsep guru mesti menetapkan materi-materi yang hendak diajarkan. Materi dalam hal ini bentuknya yakni konsep (bukan generalisasi, rumus, atau prinsip). Konsep yang hendak dijarkan itu seharusnya bukan gres sama sekali bagi siswa. Harus dikenang bahwa versi ini akan lebih efektif bila siswa yang hendak diajar itu memiliki beberapa pengalaman wacana konsep yang hendak diajarkan.
2. Pentingnya tujuan pembelajaran yang jelas
Sebagaimana sudah diterangkan sebelumnya, bahwa tujuan penggunaan versi pencapaian konsep meliputi menolong siswa membuatkan konsep dan relasi-relasi antara konsep itu dan menampilkan latihan terhadap mereka wacana proses berpikir keritis utamanya dalam peumusan dan pengujian hipotesis.
3. Memilih pola dan non-contoh
Faktor yang terpenting dalam memutuskan pola yakni mengidentifikasi contoh-contoh yang paling baik mengilustrasikan konsep tersebut. Disamping itu, pola yang diseleksi juga mesti sanggup memperluas pemikiran siswa wacana konsep yang diajarkan selaku contoh. Hal yang lain juga perlu diamati dalam memutuskan pola yakni tidak memutuskan pola yang terisolasi dari konteks. Artinya pola yang diseleksi mesti ada dalam lingkungan dimana siswa beraktifitas dalam kehidupan sehari-hari ataupun yang ada dalam jangkauan pemikirannya.
Selain memutuskan pola positif, guru juga menyiapkan contoh-contoh negatif atau non-contoh. Dalam memutuskan pola negatif, diupayakan mengganti karakteristik esensial menjadi karakteristik non esensial pada konsep yang hendak diajarkan dan menyuguhkan semua hal-hal yang bukan merupakan karakteristik esensial konsep itu.
4. Mengurutkan contoh
Setelah memutuskan pola dan non-contoh, kiprah tamat dalam menyiapkan pelajaran yakni bagaimana mengurutkan pola dan non-contoh itu. Jika pengembangan berpikir keritis menjadi tujuan penting bagi guru, contoh-contoh itu mesti diurutkan sedemikian sehingga para siswa memperoleh potensi untuk membuatkan kesanggupan berpikir keritis mereka. Menunjukkan secara cepat atau lengsung makna dari konsep yang diajarkan, tidak memberi potensi terhadap siswa dalam menjalankan analisis dan alhasil tidak menciptakan pengertian yang sungguh dalam terhadap konsep yang dikaji. Dalam mengurutkan contoh, guru sanggup menjalankan dengan menyuguhkan dua atau lebih pola positif kemudian disertai dua atau lebih pola negatif (non-contoh).
2.2.3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pencapaian Konsep
1. Kelebihan
· Salah satu keistimewaan dari versi pencapaian konsep ini merupakan mengembangkan kesanggupan untuk berguru dengan cara yang lebih gampang dan efektif dimasa depan.
· Lebih mengaktifkan keterlibatan mental, sehingga konsep yang diperoleh siswa lebih usang sanggup dikenang dan akhirnya sanggup mengembangkan prestasi berguru siswa.
2. Kekurangan
· Dibutuhkan ongkos yang besar dan waktu yang usang untuk pengerjaan dan pengembangan perangkat pembelajaran.
· Bila jumlah siswa dalam satu kelas sungguh besar, maka pengajar akan kesusahan dalam membimbing siswa yang memerlukan bimbingan.
2.3. Penerapan Pembelajaran Konsep terhadap Nilai Karakter Bangsa
Penerapan pendidikan abjad bagi semua tingkatan pendidikan, mulai dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah tinggi tinggi sudah dirancang oleh pemerintah semenjak tahun 2010. Hal ini dijalankan lantaran permintaan untuk mengganti penerima didik ke arah yang lebih baik. Oleh lantaran itu, Kementerian Pendidikan Nasional sudah merumuskan 18 Nilai Karakter yang hendak ditamamkan dalam diri peserta didik selaku upaya membangun abjad bangsa. Nilai-nilai ini dikehendaki sanggup diintegrasikan dalam aktivitas pembelajaran, sehingga lambat laun akan membentuk abjad penerima didik.
Oleh lantaran itu, dalam upaya pembangunan abjad bangsa diperlukan upaya betul-betul untuk membangun abjad individu (warga negara). Secara psikologis abjad individu dimaknai selaku hasil keterpaduan empat bagian, yakni :
1. Olah hati, berkenaan dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan.
2. Olah pikir, berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan wawasan secara kritis, kreatif, dan inovatif.
3. Olah raga, berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan acara gres disertai sportivitas.
4. Olah rasa dan karsa, berkenaan dengan kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam kepedulian, pencitraan, dan penciptaan kebaruan.
Salah satu dari 18 nilai abjad bangsa yakni kreatif. Kreatif, yakni sikap dan sikap yang merefleksikan inovasi dalam aneka macam sisi dalam memecahkan masalah, sehingga senantiasa memperoleh cara-cara baru, bahkan hasil-hasil gres yang lebih baik dari sebelumnya.
Model pembelajaran konsep berencana untuk membuatkan kesanggupan berfikir induktif, membuatkan konsep dan kesanggupan analisisnya. Penerapan pembelajaran konsep akan menumbuhkan abjad inovatif siswa dalam pembelajarannya. Karena dalam pembelajaran konsep, guru menstimulus siswa biar sanggup membuatkan kesanggupan berfikirnya biar bisa menganalisis dan memecahkan problem yang dihadapinya dalam aktivitas berguru ataupun aktivitas sehari-hari.
1.1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang sudah dilakukan, maka sanggup disimpulkan selaku berikut:
1. Robert Mills Gagne beropini bahwa berguru dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, dan yang terbesar pengaruhnya yakni lingkungan individu seseorang, bersifat internal bagi setiap individu dan merupakan hasil transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal di lingkungan individu tersebut. Gagne mengemukakan ada 8 hierarki belajar, 5 bentuk hasil belajar, dan 8 fase peristiwa dalam belajar.
2. Terdapat 4 tahap yang dijalankan dalam pembelajaran konsep, yakni menetapkan materi, memutuskan tujuan, memutuskan pola non contoh, dan mengurutkan contoh..
3. Penerapan pembelajaran konsep dalam nilai abjad bangsa yakni sanggup mengakibatkan siswa yang kreatif. Karena siswa sanggup membuatkan kesanggupan berfikirnya biar bisa menganalisis dan memecahkan problem yang dihadapinya dalam aktivitas berguru ataupun aktivitas sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Dahar, R. W. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. : PT Gelora Aksara Pratama.
Miarso, Y. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Prenada Media.
0 Komentar untuk "Teori Mencar Ilmu Kognitif Gagne"