Banchmarking

BANCHMARKING




BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Dalam kala global menyerupai dikala ini, pendidikan yang bermutu ialah suatu keharusan. Masyarakat yang berilmu pastinya lebih pilih-pilih dalam menentukan lembaga pendidikan bermutu bagi anak-anaknya dengan memikirkan prospektifnya. Masyarakat akan menentukan lembaga yang ideal yakni lembaga yang dapat mencetak generasi spiritual, berakhlak, dan juga bisa berbagi faktor intelektualnya.
Oleh lantaran itu, upaya kenaikan mutu lembaga pendidikan ialah hal yang tidak sanggup ditawar-tawar lagi. Dalam hal ini, Standar Nasional Pendidikan ditetapkan selaku standarisasi pendidikan selaku upaya penyamaan arah pendidikan secara nasional dan berencana mudah-mudahan tidak terjadi  disparitas mutu pendidikan antara tempat yang satu dengan tempat lain.
Peningkatan mutu pendidikan diputuskan oleh kesiapan sumber daya insan yang terlibat dalam proses pendidikan. Selanjutnya untuk meningkatkan mutu lembaga menyerupai yang diusulkan oleh Sudarwan Danim (2007:56), yakni dengan melibatkan lima faktor yang secara biasa dikuasai : 1) Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala sekolah mesti memiliki dan mengetahui visi kerja secara jelas, bisa dan mau melakukan pekerjaan keras, memiliki dorongan kerja yang tinggi, rajin dan tabah dalam bekerja, memberikanlayananyang optimal, dan disiplin kerja yang kuat. 2) Siswa; pendekatan yang mesti dijalankan yakni “anak selaku sentra “ sehingga kompetensi dan kesanggupan siswa sanggup digali sehingga sekolah sanggup menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa. 3) Guru; pelibatan guru secara maksimal, dengan meningkatkan kompetensi dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta training sehingga hasil dari kegiatan tersebut dipraktekkan disekolah. 4) Kurikulum; adanya kurikulum yang ajeg atau tetap tetapi dinamis , sanggup memungkinkan dan mempermudah standar mutu yang diinginkan sehingga goals (tujuan) sanggup diraih secara maksimal; 5) Jaringan Kerjasama; jaringan koordinasi tidak cuma terbatas pada lingkungan sekolah dan penduduk semata (orang bau tanah dan masyarakat) tetapi dengan organisasi lain, menyerupai lembaga pendidikan lain atau perusahaan sehingga output dari sekolah sanggup terserap didalam dunia kerja[1]
Berdasarkan uraian diatas, maka kinerja seluruh faktor lembaga pendidikan diatas mesti senantiasa ditingkatkan mengingat tantangan dunia pendidikan untuk menciptakan mutu sumber daya insan yang dapat berkompetisi di kala global kian ketat.
Pandangan gres yang semestinya dipahami yakni bahwa kompetisi atau kompetisi antar lembaga di kala ini bukan ialah argumentasi untuk tidak melakukan kerjasama. Dengan jiwa kompetisi, lembaga pendidikan akan senantiasa berusaha untuk berbagi diri ke arah yang jauh lebih baik. Begitu pula lewat kerjasama, suatu lembaga pendidikan bahkan bisa memperkuat dirinya dalam meningkatkan daya saing dengan menerapkan secara efektif pelajaran-pelajaran yang sudah dipelajari secara sulit payah oleh lembaga-lembaga lain yang sudah menghadapi situasi-situasi serupa atau masalah-masalah terkait. Kerjasama ini bekerjsama sudah banyak dijalankan oleh lembaga pendidikan. Kerjasama yang demikian ini dalam ungkapan asingnya disebut benchmarking yang permulaan awalnya dijalankan di dunia bisnis. Benchmarking ialah suatu koordinasi antar lembaga dengan melakukan pengamatan secara langsung.[2] Strategi benchmarking ini pada awalnya digunakan dalam bidang bisnis untuk mengukur kinerja suatu perusahaan dengan perusahaan lain yang lebih maju.[3] Kegiatan benchmark ini dijalankan oleh suatu lembaga pendidikan dengan berkunjung ke lembaga lain untuk proses berguru dan bertukar informasi, yang nantinya akhirnya akan dijadikan selaku bekal untuk berbagi lembaganya sendiri. Strategi ini sungguh efektif untuk merumuskan tujuan jangka panjang lewat perbaikan kinerja yang berkelanjutan.


B.            Tujuan
Benchmarking yang bekerjsama akan mendorong kita untuk menyaksikan jauh ke dalam proses-proses di pesaing kita (atau sejawat kita) yang sejenis, yang mungkin sudah diimplementasikan dengan lebih baik dan terbukti memberi mutu hasil atau output yang lebih baik. Juga benchmarking ini sanggup menolong untuk memperoleh “jalan pintas” untuk meraih tujuan (target), dengan mencontek maka banyak hal sanggup dihemat, antara lain kita sanggup lebih meningkatkan proses pembelajaran (learning process), menghemat kemungkinan kegagalan lantaran bisa berguru dari kegagalan orang lain.
C.           Permasalahan
Perlu dimengerti bahwa lingkungan yang ada sesungguhnya senantiasa mengalami pergantian dan menjinjing pengaruh yang sungguh besar bagi lembaga pendidikan. Maka lembaga pendidikan kini ini juga kian kompetitif, lembaga pendidikan berlomba-lomba untuk meraih mutu yang terbaik, sehingga bagi lembaga stagnan (menutup diri) kemungkinan besar akan terseleksi alam. Hal ini sudah nampak pada beberapa lembaga sekolah yang kian hari siswanya kian mengalami penurunan secara drastis, bahkan sekolah mesti menggembor-nggemborkan iming-iming gratis, untuk memukau perhatian siswa mudah-mudahan sekolah di lembaga tersebut. Perubahan inilah yang semestinya diantisipasi oleh lembaga pendidikan dengan menyiapkan seni administrasi yang berorientasi pada kenaikan mutu dan kinerja lembaganya, sehingga diinginkan suatu lembaga bisa menjaga keberadaan dan bisa meningkatkan daya saingnya.









BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.           Hakikat benchmarking
Terdapat aneka macam definisi mengenai benchmarking (patok duga) oleh beberapa para ahli, di antaranya selaku berikut:[4]
1) Gregory H. Watson mendefinisikan patok duga selaku penelusuran secara berkesinambungan dan penerapan secara kasatmata praktik-praktik yang lebih baik yang mengarah pada kinerja kompetitif yang unggul.
2) Goetsch dan Davis mendefinisikan patok duga selaku proses pembandingan dan pengukuran operasi atau proses internal organisasi terhadap mereka yang terbaik dalam kelasnya, baik dari dalam maupun dari luar industri.
3) Menurut Nisjar dan Winardi di dalam Tjuju menyatakan bahwa benchmarking sanggup dirumuskan selaku aktivitas  imitation with modification, dimana di dalam ungkapan modification sudah terkandung makna improvement. [5]
4) Prim Masrokan mendefinisikan benchmarking ialah kegiatan untuk menegaskan standar, baik proses maupun hasil yang akan diraih dalam suatu periode tertentu.[6] Untuk kepentingan praktis, standar tersebut direfleksikan dari realitas yang ada.[7]

B.            Manfaat dan Tujuan Benchmarking
Dari beberapa pengertian di atas sanggup ditarik kesimpulan bahwa tujuan patok duga (benchmarking) yakni untuk mendapatkan kunci atau diam-diam berhasil dari suatu lembaga pendidikan lain, kemudian diadaptasi, diseleksi, dan diperbaiki untuk dipraktekkan pada lembaga pendidikan yang melakukan patok duga (benchmarking) tersebut. 
Menurut Finn Frandsen ada 3 faedah utama dari benchmarking, yaitu: pergantian budaya, perbaikan kinerja, kenaikan kesanggupan sumber daya manusia.[8]
C.           Langkah-langkah benchmarking
Prinsip seni administrasi benchmarking meliputi: formulasi strategi, implementasi strategi, dan pengendalian strategi. Selanjutnya, prinsip tersebut dijalankan menurut pada tindakan “Proses Monash” yang berisikan 13 langkah, yakni:[9] 1) Menetapkan misi lembaga, planning stratejiknya, dan faktor-faktor kritikalnya. 2) Laksanakan pendidikan pada karyawan, upayakan mudah-mudahan terbentuk komitmen mereka terhadap pergantian dan terbentuknya tim benchmarking. 3) Pilih topik benchmarking, kenali proses-proses kunci yang berhubungan dengan topik, dan rancang atau ukur kinerja prosesnya. 4) Identifikasi, laksanakan observasi perihal organisasi dengan praktik terbaik (yang paling berhasil dalam bidang pelayanan publik), atau prosesproses tertentu dan bisa hubungan-hubungan. 5) Tetapkan dan laksanakan standarisasi pengumpulan data. 6) Laksanakan pertemuan-pertemuan dengan para partner, ukur dan gambarkan kinerja mereka. 7) Tentukan kesenjangan kinerja yang berlaku dan kenali peluangpeluang perbaikan. 8) Komunikasikan hasil-hasil penemuan benchmarking terhadap para karyawan. 9) Tetapkan dan laksanakan persetujuan perihal planning implementasi dan jadwal pelaksanaannya. 10) Upayakan untuk menegaskan sumber-sumber daya yang diperlukan. 11) Laksanakan monitoring dan bikin laporan serta mulailah perkembangan yang didasarkan atas sasaran kinerja. 12) Laksanakan kalibrasi atau pengukuran kembali perihal benchmarking dan laksanakan daur ulang benchmark. 13) Integrasikan hasil-hasil benchmarking ke dalam planning stratejik (renstra organisasi atau lembaga).
Formulasi benchmarking ialah suatu proses permulaan yang memiliki bias aksi, bukan cuma sekedar studi banding atas suatu proses pendidikan di lembaga lain yang lebih unggul, akan tetapi bagaimana mudah-mudahan hasil benchmarking tersebut sanggup menjadi patokan untuk diimplementasikan di lembaga yang melakukan benchmark. Melalui formulasi benchmarking yang komprehensif, suatu lembaga pendidikan akan bisa bikin suatu patokan dalam menjabarkan rencana-rencana yang lebih spesifik ke arah tujuan-tujuan yang lebih luas.
1.      Formulasi Benchmarking
Formulasi benchmarking yang komprehensif ialah suatu kegiatan penyusunan rencana yang berorientasi pada pengetahuan yang luas untuk memprediksi segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang.
Melalui formulasi benchmarking yang komprehensif, suatu lembaga pendidikan akan bisa bikin suatu patokan dalam menjabarkan rencana-rencana yang lebih spesifik ke arah tujuan-tujuan yang lebih luas.[10]
            Kegiatan formulasi tidak terlepas dari kiprah kepala sekolah selaku konseptor dan penggagas dari seluruh sumber daya sekolah. Dalam melakukan formulasi seni administrasi benchmarking komprehensif ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:
Pertama, berorientasi pada visi dan misi lembaga. Sebuah lembaga pendidikan mesti membuat visi dan misi selaku penentu arah dalam bikin kebijakan. Kebijakan terbuat haruslah tanggap dan responsif terhadap kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang, yakni bukan cuma mendidik siswanya menjadi insan yang saleh tetapi juga produktif.
            Kedua, mengetahui karakteristik lembaganya sendiri. Setiap lembaga memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakter ini dapat menjadi kekuatan tersendiri bagi suatu lembaga. Strategi benchmarking mesti dilaksanakan bagi mereka yang paham betul dengan karakter/kondisi lembaganya tersebut lewat analisa lingkungan internal dan lingkungan eksternal lembaga. Analisis yang sanggup digunakan yakni analisis SWOT. Analisis SWOT ialah suatu metode analisis untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal organisasi.[11]  Faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan, sedangkan faktor eksternal berupa peluang dan ancaman. Penggunaan analisis SWOT dimaksudkan untuk menentukan berada di mana posisi organisasi.
            Ketiga, membentuk team-work. Tim benchmarking dibikin menurut keahlian masing-masing individu terhadap bidang kajiannya. Melalui pembagian tim tersebut akan mempermudah dalam proses penggalian keterangan pada lembaga tujuan benchmark agar lebih terkonsentrasi pada bidang kajian tertentu. Menurut Amstrong dan Baron dalam Wibowo karakteristik suatu tujuan yang sanggup dibilang baik salah satunya yakni teawork-oriented (berorientasi pada kolaborasi tim).[12] Hal ini sebagaimana prinsip dalam merancang struktur organisasi yakni division of work (pembagian kerja). Stoner mendefinisikan pembagian kerja selaku pembagian seluruh beban pekerjaan menjadi sejumlah kiprah secara masuk akal dan tenteram yang sanggup dilaksanakan oleh individu atau kelompok.[13] Pembagian kerja ialah upaya membagi pekerjaan menjadi pekerjaan yang kecil, sederhana, dalam kegiatan yang terpisah, di mana karyawan mengkhususkan diri pada bidang tersebut sehingga produktivitas akan meningkat lewat keutamaan pekerjaan. 
Keempat, penentuan lembaga unggul yang menjadi patokan. Strategi benchmarking memungkinkan adanya kolaborasi antara kedua belah pihak untuk saling bertukar informasi. Informasi itulah yang nantinya akan dimasak dan dijadikan selaku patokan pada pengembangan sekolah yang melakukan studi benchmarking. Karena intinya sekolah yang melakukan studi tersebut mencari format sekolah masa depan. Untuk itu lembaga unggul yang menjadi tujuan benchmarking ialah sekolah yang berposisi selaku pemimpin.[14] Menurut Watson ada beberapa persyaratan dalam menentukan teman benchmarking,  di antaranya: 1) tipe organisasi, 2) budaya organisasi, 3) struktur organisasi, 4) kinerja potensial, 5) reputasi, 6) mutu lulusan, 7) jangkauan kemitraan, 8) tata cara manajemen, dan 9) perkembangan teknologi.
Kelima, penentuan topik benchmarking. Topik benchmarking diputuskan secara biasa dengan menyesuaikan kondisi di lembaga sendiri dan lembaga teman benchmarking. Biasanya pertimbangan ini diambil dari sisi keunikan lembaga yang diinginkan sanggup menampilkan keterangan gres yang belum  pernah dipublikasikan. Pada tahapan ini perlu persiapan berupa pedoman wawancara, kuesioner, atau dokumentasi.[15] Mitra benchmarking juga mesti mengenali keterangan yang akan dicari, sehingga kolaborasi sanggup betul-betul berharga bagi kedua belah pihak. Topik pembahasan bisa diambil dari hasil analisis SWOT yang pernah dilakukan.
Dengan demikian, pada tahap formulasi seni administrasi benchmarking mesti dikonsep dengan sebaik mungkin (komprehensif) mudah-mudahan pelaksanaan studi benchmarking  sanggup berlangsung secara maksimal. Fomulasi seni administrasi benchmarking yang komprehensif memerlukan kiprah kepala sekolah selaku konseptor. Karena intinya penyeleksian seni administrasi ini timbul dari kepala sekolah. Sehingga dalam penyusunan rencana atau formulasi mesti sungguh-sungguh dipikirkan perihal apa tujuan dan impian atas pelaksanaan seni administrasi benchmarking ini. Terlebih dulu kepala sekolah mesti memiliki ketekunan suatu visi dengan menanamkan komitmen pergantian menuju lebih baik serta mengidentifikasi job description yang terang bagi bawahan yang tergabung dalam tim benchmarking ini. Selain itu tim juga mesti berbekal keterangan yang mencukupi seputar lembaganya sendiri dan memiliki topik pembahasan yang terang dan terarah. Hal ini mesti dipahami benar oleh anggota tim benchmarking, sehingga dalam pelaksanaan ke lembaga tujuan sudah memiliki konsep studi yang matang.
Adapun proses seni administrasi benchmarking menurut Yuniarsih dan Suwanto terangkum lewat 13 langkah yang disebut dengan “Proses Monash” selaku berikut: 1) Menetapkan misi lembaga, planning stratejiknya, dan faktor-faktor kritikalnya. 2) Laksanakan pendidikan pada karyawan, upayakan mudah-mudahan terbentuk komitmen mereka terhadap pergantian dan terbentuknya tim benchmarking. 3) Pilih topik benchmarking, kenali proses-proses kunci yang berhubungan dengan topik, dan rancang atau ukur kinerja prosesnya. 4) Identifikasi, laksanakan observasi perihal organisasi dengan praktik terbaik (yang paling berhasil dalam bidang pelayanan publik), atau prosesproses tertentu dan bisa hubungan-hubungan. 5) Tetapkan dan laksanakan standarisasi pengumpulan data. 6) Laksanakan pertemuan-pertemuan dengan para partner, ukur dan gambarkan kinerja mereka. 7) Tentukan kesenjangan kinerja yang berlaku dan kenali peluangpeluang perbaikan. 8) Komunikasikan hasil-hasil penemuan benchmarking terhadap para karyawan . 9) Tetapkan danlaksanakan persetujuan perihal planning implementasi dan jadwal pelaksanaannya. 10) Upayakan untuk menegaskan sumber-sumber daya yang diperlukan. 11) Laksanakan monitoring dan bikin laporan serta mulailah perkembangan yang didasarkan atas sasaran kinerja. 12) Laksanakan kalibrasi (pengukuran) kembali perihal benchmarking dan laksanakan daur ulang benchmark. 13) Integrasikan hasil-hasil benchmarking ke dalam planning stratejik (renstra lembaga). Berdasarkan ke-13 langkah tersebut, sanggup dikategorikan point 1-5 selaku formulasi seni administrasi benchmarking yang komprehensif. Dengan demikian prasyarat sebelum pelaksanaan studi ke lembaga tujuan haruslah menyanggupi ke-5 point permulaan tersebut, dengan tujuan mudah-mudahan hasil studi benchmarking sanggup menciptakan penemuan gres dalam proses pendidikan.
2.      Implementasi Benchmarking
Pelaksanaan studi benchmarking di lembaga tujuan sanggup menggunakan beberapa metode di antaranya: wawancara, kuesioner, dan dokumentasi.[16] Tanya jawab (wawancara)  termasuk kegiatan: bertukar informasi, problem solving terhadap permasalahan yang terjadi pada lembaga yang melakukan benchmark, dan pembahasan perihal isu-isu pendidikan. Observasi dijalankan lewat pengamatan dalam kegiatan pembelajaran, laboratorium, fasilitas prasarana, perpustakaan, dan lain sebagainya. Sedangkan dokumentasi meliputi: pengambilan foto, proteksi modul atau file, dan jurnal. Data yang sudah diperoleh tersebut selanjutnya dianalisis untuk mengidentifikasi faktor-faktor penentu untuk diimplementasikan. Analisis data dijalankan lewat kegiatan selaku berikut: 1) Mengorganisasikan data guna mengidentifikasi kesenjangan-kesenjangan kinerja.  2) Membandingkan kinerja antara lembaga sendiri dengan lembaga tujuan tersebut. 3) Mengidentifikasi kesenjangan-kesenjangan kinerja dan menentukan sebab-sebab utamanya. 4) Memproyeksikan kinerja tiga hingga lima tahun mendatang (membahas isu pendidikan). 5) Mengevaluasi faktor-faktor penentu tersebut untuk dipraktekkan dengan menyesuaikan budaya lembaga sendiri. Data hasil benchmarking yang sudah dikumpulkan akan lebih obyektif bilamana dianalisis dan dikomunikasikan dengan seluruh individu yang terdapat dalam suatu lembaga yang sudah melakukan benchmark. Komunikasi memegang peranan penting dalam organisasi.[17] Komunikasi ini berencana untuk memberi dan mendapatkan informasi, untuk mempengaruhi orang lain, menolong orang lain, mengakhiri masalah, bikin keputusan, dan menganalisa sikap secara efektif.[18] Komunikasi ini penting lantaran hasil benchmarking tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi di lembaganya sendiri, sehingga perlu adanya pembiasaan dan seleksi.
Hasil benchmarking tidak sanggup dipraktekkan dalam suatu lembaga secara mentah. Sebagaimana yang sudah diterangkan di atas bahwa implementasi hasil benchmarking perlu dikomunikasikan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Pertimbangan yang utama yakni perihal budaya organisasi. Budaya organisasi ialah aksara atau identitas organisasi yang mesti dipertahankan. Menurut Gibson et all dalam Soetopo, menyatakan bahwa budaya organisasi ialah kepribadian organisasi yang mempengaruhi cara bertindak individu dalam organisasi.[19]  Sedangkan, fungsi budaya organisasi menurut Creemers et all adalah: 1) menampilkan rasa identitas terhadap anggota organisasi, 2) menimbulkan komitmen terhadap misi organisasi, 3) membimbing dan membentuk standar sikap anggota organisasi, dan 4) meningkatkan stabilitas tata cara sosial.[20] Budaya organisasi inilah yang akan terus dipertahankan dengan catatan budaya ini yakni budaya yang bagus yang menjadi keistimewaan suatu lembaga pendidikan. Budaya semacam inilah yang tidak akan terganti dengan kebudayaan gres sekalipun. Penting pula untuk dipahami bahwa tidak semua hasil benchmarking cocok untuk dipraktekkan di lembaga yang melakukan studi benchmark, artinya perlu disesuaikan dan dikembangkan dan disempurnakan kembali. Sebagaimana Jamaludin dan Abdulloh Aly: 
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ
”Tetap memelihara hal-hal yang usang yang bagus dan mengambil hal hal yang gres yang lebih baik”.
Senada pula yang dibilang Edwards Deming bahwa: “bagaimanapun benchmarking bukanlah sekedar metode mencontek dari perusahaan lain.”[21] Hal ini juga senada yang disampaikan oleh Nisjar dan Winardi di dalam Tjuju menyatakan bahwa benchmarking sanggup dirumuskan selaku aktivitas  imitation with modification, dimana di dalam ungkapan modification sudah terkandung makna improvement.[22] Dari keterangan di atas sanggup dipahami bahwa perlu adanya renovasi (perbaikan), modifikasi, dan improvisasi dalam implementasi atas hasil studi benchmarking dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, sehingga tidak serta merta hasil tersebut diadopsi secara besar-besaran. Perlu diperhitungkan dari sisi budaya, budgeting, dan kesiapan sumber daya sekolah dalam implementasinya. Untuk pertimbangan dari sisi budaya sudah diterangkan di atas. Sedangkan dari sisi budgeting memang sulit untuk disamakan, faktor utama yakni pada biasanya sekolah unggul yang menjadi tujuan benchmarking sudah mengarah pada sekolah bisnis komersial. Sekolah yang menjadi tujuan benchmarking sebagian besar yakni sekolah swasta yang bebas mengambil pungutan, sehingga kepraktisan yang diberikan pun tidak cumacuma. Fasilitas atau fasilitas prasarana yang serba mutakhir dan lengkap tersebut belum sanggup diadopsi secara menyeluruh. Crown menerangkan bahwa dalam implementasi seni administrasi ada beberapa hal yang perlu persiapkan, yakni (1) menegaskan tujuan tahunan, (2) menegaskan tujuan, (3) memotivasi karyawan, (4)mengembangkan budaya yang mendukung, (5) menegaskan struktur organisasi yang efektif, (6) menyiapkan budget, (7) mendayagunakan sistem, (8) menghubungkan kompensasi karyawan dengan performance organisasi. Implementasi hasil benchmarking berimplikasi pada pergantian kinerja. Hal ini sebagaimana observasi yang dijalankan oleh Michael Paulus dan Devie bahwa “terdapat pengaruh signifikan dan positif antara benchmarking terhadap kinerja organisasi, maka perusahaan yang menerapkan benchmarking akan meningkatkan kinerja organisasi.”[23]
3.      Pengendalian Benchmarking
Pengendalian yakni suatu kegiatan untuk mendapatkan kepastian perihal pelaksanaan jadwal atau pekerjaan atau kegiatan yang sedang atau sudah dijalankan sesuai dengan planning yang sudah ditentukan.[24] Kegiatan pengendalian atau pengawasan intinya digunakan untuk membandingkan kondisi yang ada dengan yang semestinya terjadi. Kegiatan pengendalian dalam konteks administrasi stratejik dijalankan oleh manajer dengan tujuan untuk memantau perumusan (formulasi), penerapan (implementasi) yang sudah diformat sebelumnya. Pencapaian tujuan organisasi memerlukan suatu kolaborasi yang saling mendukung dan mempengaruhi yang terwujud dalam proses komunikasi. Pengendalian akan lebih efektif bilamana dijalankan lewat komunikasi yang intens antara pimpinan dan bawahannya. Komunikasi berharga untuk membangun dan bikin pengertian atau pengertian bersama. Melalui komunikasi yang intens kinerja bawahan akan gampang dikendalikan oleh seorang pimpinan. Sebagaimana faedah komunikasi itu sendiri, yakni: pergantian sikap (attitude change), pergantian usulan (opinion change), pergantian sikap (behavior change), dan pergantian sosial (social change).[25] Dengan demikian, komunikasi yang intens antara atasan dan bawahan akan berimplikasi pada pergantian contoh kerja (kinerja) yang diinginkan oleh pimpinan.
Menurut Didin dan Machali tujuan pengendalian seni administrasi yakni selaku berikut:[26] 1) Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan. 2) Menghentikan atau menghapus kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan. 3) Mendapatkan cara-cara yang lebih baik atau membina yang sudah baik. 4) Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi, daan akuntabilitas organisasi. 5) Meningkatkan kelangsungan operasi organisasi. 6) Meningkatkan kinerja organisasi. 7) Memberikan opini atas kinerja organisasi. 8) Mengarahkan administrasi untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah pencapaian kinerja yang ada. 9) Menciptakan terwujudnya organisasi yang bersih.
Untuk mengenali atau menyaksikan sejauh mana efektivitas dari implementasi strategi, dijalankan tahapan berikutnya, yakni penilaian seni administrasi yang menyangkut aktivitas-aktivitas berikut: 1) meninjau ulang faktor eksternal dan internal yang ialah dasar dari seni administrasi yang sudah ada, 2) menganggap kinerja strategi, 3) melakukan langkah koreksi, dan 4) pelaporan dan pertanggungjawaban.[27]










BAB III
PEMECAHAN MASALAH

Melalui seni administrasi benchmarking suatu lembaga pendidikan sanggup dengan gampang memperoleh keterangan untuk berbagi suatu visi lembaga dengan sarat wawasan. Wawasan tersebut diperoleh, lantaran teman benchmarking sudah setuju membagi keterangan perihal diam-diam berhasil lembaganya. Wawasan inilah yang nantinya akan bikin penemuan gres dalam proses pendidikan bagi lembaga yang sudah melakukan benchmarking. Hal ini sebagaimana usulan Jerome S. Arcaro yang menyatakan bahwa: Melalui benchmarking ini memungkinkan bagi suatu lembaga pendidikan untuk mendapatkan persepsi gres terhadap praktik-praktik standar, mengidentifikasi tujuan-tujuan keunggulan, serta selaku media untuk melakukan perbaikan dan terobosan-terobosan baru.[28]
Inovasi gres yang sudah ditemukan lewat seni administrasi benchmarking pastinya sungguh dipengaruhi oleh penyusunan rencana permulaan yang melatarbelakangi pelaksanaan benchmarking. Perencanaan permulaan yang efektif sungguh bergantung pada formulasi seni administrasi yang matang. Untuk sanggup menegaskan formulasi seni administrasi yang baik, maka ada ketergantungan yang erat dengan analisa lingkungan dimana formulasi seni administrasi memerlukan data dan keterangan yang terang dari analisa lingkungan. Analisa lingkungan mesti dipahami oleh tim benchmarking mudah-mudahan tujuan yang ingin diraih sesuai dengan sasaran yakni bisa meningkatkan kinerja di lembaga pendidikan. Sehingga formulasi seni administrasi benchmarking yang dijalankan mesti komprehensif, yakni formulasi yang akhirnya nanti sanggup dijadikan selaku patokan dalam menjabarkan rencana-rencana yang lebih spesifik ke arah tujuan-tujuan yang lebih luas.[29]
Fomulasi seni administrasi benchmarking yang komprehensif memerlukan kiprah kepala sekolah selaku konseptor. Karena intinya penyeleksian seni administrasi ini timbul dari kepala sekolah. Sehingga dalam penyusunan rencana mesti sungguh-sungguh difikirkan perihal apa tujuan dan impian atas pelaksanaan seni administrasi benchmarking ini. Terlebih dulu kepala sekolah mesti memiliki ketekunan suatu visi dengan menanamkan komitmen pergantian menuju lebih baik serta mengidentifikasi job description yang terang bagi bawahan yang tergabung dalam tim benchmarking ini. Selain itu tim juga mesti berbekal keterangan yang mencukupi seputar lembaganya sendiri dan memiliki topik pembahasan yang terang dan terarah. Hal ini mesti dipahami benar oleh anggota tim benchmarking, sehingga dalam pelaksanaan ke lembaga tujuan sudah memiliki konsep studi yang matang.  Dengan demikian, formulasi benchmarking di lembaga pendidikan dijalankan secara komprehensif. Sehingga formulasi benchmarking akan bisa bikin inovasi-inovasi gres dalam proses pendidikan manakala dijadwalkan secara komprehensif dengan menyesuaikan visi, misi, dan tujuan lembaga.
Hasil studi benchmarking ditindaklanjuti dengan mengkomunikasikan dengan segenap sumber daya yang ada di suatu lembaga lewat proteksi pandangan-pandangan perihal peluang ata pun bahaya bilamana jadwal yang dihasilkan dari benchmarking diterapkan. Tanpa tidak lanjut yang adaptif, planning strategis yang terbaik pun cuma akan tinggal planning semata. Hal ini timbul dari suatu fikiran bahwa tidak ada “seorang yang kembar sekalipun memiliki karakteristik yang sama”. Artinya, sebaik apapun suatu jadwal dipraktekkan di lembaga unggul dan berhasil dengan berhasil belum tentu bisa diadopsi sama persis di lembaga lain, lantaran faktor karakteristik dan culture yang berbeda. Selain itu juga pertimbangan pada faktor lain, misalnya kesediaan sumber daya yang capable dan faktor biaya. Tentunya bagi lembaga unggul yang menjadi tujuan benchmarking ialah lembaga yang sudah memiliki great dan branding, sehingga asupan dana tidak menjadi halangan lagi, terlebih ditambah kalau sekolah tersebut yakni lembaga swasta yang bebas mencari sumber dana dari manapun.  Senada dengan usulan Steers bahwa adaptabilitas ialah persyaratan keefektifan organisasi dan sungguh berafiliasi dengan konsep kelonggaran dan inovasi.[30] Di sekolah adaptabilitas sanggup didefinisikan selaku kesanggupan pendidik profesional untuk melakukan pergantian dan untuk menimbulkan kebijakan dan praktik gres untuk menyanggupi tuntutan.[31]Selanjutnya, usulan dari Crown perihal hal-hal yang perlu diamati dalam implementasi strategi, antara lain: 1) menegaskan tujuan tahunan, 2) menegaskan tujuan, 3) memotivasi karyawan, 4) berbagi budaya yang mendukung, 5) menegaskan struktur yang efektif, 6) menyiapkan budget, 7) mendayagunakan sistem, 8) menghubungkan kompensasi karyawan dengan performance (kinerja) organisasi.[32] Berdasarkan usulan Crown tersebut, selain implementasi seni administrasi dikaitkan dengan culture, budgeting, dan kapabilitas karyawan juga dikaitkan pula dengan performance (kinerja) organisasi. Kinerja organisasi berafiliasi erat dengan sumber daya sekolah, terutama tenaga pendidik, siswa, maupun tenaga kependidikan. Melalui keikutsertaan mereka dalam studi benchmarking sanggup memperbesar pengetahuan dan motivasi mereka untuk meraih hasil yang unggul pula. Hasil benchmarking ini selanjutnya sanggup dipraktekkan baik secara personal dan kolektif. Secara personal lebih menekankan pada pergantian tingkah laris dan komitmen, dan secara kolektif berafiliasi dengan acara sekolah baik jadwal mingguan, bulanan, maupun tahunan. Sehingga lewat pelaksanaan seni administrasi benchmarking kemungkinan besar akan menciptakan terobosan-terobosan gres yang sanggup lebih menaikkan kinerja kerja dari seluruh sumber daya sekolah serta sanggup meningkatkan produktivitas kerja. Hal yang paling nampak dari bantuan kegiatan benchmarking yakni semangat atau antusiasme yang timbul dari segenap anggota tim benchmarking, lantaran mereka menyadari ketertinggalannya dan membangkitkan harapan untuk senantiasa proaktif dalam mempekerjakan kesanggupan dirinya. Sebagaimana dalam paparan data yang sudah diterangkan di atas bahwa dalam suatu kegiatan kompetisi misalnya, guru pembina rela merogoh sakunya sendiri untuk melakukan pembinaan terhadap siswa berprestasi. Hal ini menunjukan bahwa budaya pasif yang selama ini menggejala bertahap akan sanggup dihilangkan seiring dengan harapan untuk meningkatkan daya saing. Semangat atau antusiasme ini juga ialah indikator dalam kenaikan kinerja. Sebagaimana usulan John L. hradesky yang dikutip oleh Rusyan dalam Soetisna, persyaratan individu-individu yang berorientasi pada kinerja, selaku berikut: 1) kesanggupan intelektual, 2) ketegasan, 3) semangat/antusiasme, 4) berorientasi pada hasil, 5) kedewasaan, 6) Asertif, 7) kemampuan interpersonal, 8) keterbukaan, 9) keinginan, 10) proaktif, 11) pemberdayaan kemampuan, dan 12) teknis pengetahuan, keterampilan, keputusan, perilaku, dan tanggung jawab.[33] Implementasi benchmarking akan menciptakan jadwal kerja yang berkualitas, manakala hasil benchmarking dikontrol secara adaptif pilih-pilih dengan menyesuaikan kesanggupan sumber daya manusia, culture, serta kesanggupan financial suatu lembaga pendidikan.” 
Dalam pengendalian atau penilaian tidak terlepas dengan adanya komunikasi dua arah. Salah satu cara komunikasi yang lazim dilaksanakan dalam organisasi yakni pertemuan. Ada beberapa macam konferensi atau rapat yang perlu diketahui, yaitu:[34]
a)      Pertemuan atau rapat instruktif
Rapat ini berencana untuk menampilkan perintah lewat pertemuan. Biasanya berisi isyarat pelaksanaan peraturan, kebijakan, dan jadwal gres yang mesti dilaksanakan oleh staff.
b)      Pertemuan atau rapat inkuisitif
Rapat ini berencana untuk menyimak usulan dan nasehat para anggota staff perihal suatu hal.
c)      Pertemuan atau rapat informatif
Rapat ini berencana untuk memberitahu sesuatu yang gres terhadap para anggota rapat, sehingga meningkat pengetahuan staff untuk meningkatkan mutu kinerjanya.


d)     Pertemuan atau rapat progresif
Rapat ini berencana untuk mencari jalan keluar dalam berbagi instansi atau lembaga. Biasanya kepala sekolah sudah memiliki konsep pengembangan, tetapi perlu memperoleh masukan dari para staf dalam berbagi usahanya.
e)      Pertemuan atau rapat kompromitif
Rapat ini berencana untuk menggabungkan pertentangan, perbedaan, sehingga memperoleh titik temu perihal suatu pokok persoalan.
Rapat juga banyak dijadikan media untuk melakukan penilaian atau control terhadap agenda-agenda yang sudah dijalankan. Untuk itu dalam proses pengendalian seni administrasi perlu adanya keterbukaan dari aneka macam pihak. Keterbukaan ialah kesanggupan untuk mengungkapkan usulan dan perasaan secara jujur, apa adanya, dan bersikap langsung.[35]
Selain itu bentuk komunikasi yang luwes juga lebih sanggup diterima, mengingat setiap bawahan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Jangan hingga teguran malah menciderai hati dan menghemat semangat melakukan pekerjaan bawahan, tetapi mesti sebaliknya pesan yang tersirat yang diberikan mesti membangun dan membuat kesadaran bagi para bawahan untuk melakukan pekerjaan lebih baik lagi.
Oleh lantaran itu seorang pimpinan atau kepala sekolah mesti memiliki kemampuan interpersonal yang mantap. Keterampilan interpersonal ialah suatu kecenderungan untuk memperhatikan dan menampilkan perhatian, pemahaman, dan mempedulikan perasaan orang lain.[36] Pertemuan-pertemuan yang intensif pastinya sanggup dijadikan selaku lembaga penilaian diri sekolah yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kinerja para pegawainya. Sehingga pengendalian seni administrasi benchmarking akan berimplikasi pada kenaikan kinerja manakala kepala sekolah melakukan komunikasi secara terbuka, luwes, dan intens antar semua anggota lembaga serta menampilkan peluang bagi para anggotanya untuk meningkatkan potensi dirinya lewat training dan pembinaan baik di dalam maupun di luar sekolah.”
Secara garis besar benchmarking dalam meningkatkan kinerja lembaga pendidikan untuk meraih daya saing yang kompetitif sanggup digambarkan sebagaimana denah berikut ini:  
Pemberdayaan potensi SDM di sekolah (Guru, siswa dan staff)
Mengintegrasikan hasil Benchmarking dengan jadwal sekolah
Penigkatan kinerja lemabaga yang unggul dan berdaya saing
Kepala Sekolah
 




Kepala Sekolah
 


















BAB IV
KESIMPULAN
Menurut Gregory H. Watson mendefinisikan benchmarking selaku penelusuran secara berkesinambungan dan penerapan secara kasatmata praktik-praktik yang lebih baik yang mengarah pada kinerja kompetitif yang unggul.
Upaya ini termasuk proses formulasi, implementasi dan pengendalian. Formulasi benchmarking dalam meningkatkan kinerja di lembaga pendidikan dijalankan secara komprehensif  melalui: 1) penyesuaian visi, misi, dan tujuan sekolah, 2) analisis lingkungan strategis, 3) menentukan topic benchmarking, 4) menentukan lembaga unggul tujuan benchmarking, dan 5) membentuk tim benchmarking.  Pelaksanaan studi benchmarking di lembaga tujuan sanggup menggunakan metode wawancara atau diskusi, observasi, dan dokumentasi untuk menghimpun data. Data hasil studi benchmarking tersebut selanjutnya disesuaikan dan dipilih dengan memikirkan beberapa factor di antaranya; culture, kapasitas sumber daya insan dan budgeting dengan berpegang pada prinsip “Tetap memelihara halhal yang usang yang bagus dan mengambil hal-hal yang gres yang lebih baik”. Pengendalian benchmarking dalam meningkatkan kinerja di lembaga pendidikan dijalankan lewat komunikasi yang intens antara pimpinan, bawahan, dan seluruh stakeholders pendidikan sanggup membuat penerapan seni administrasi lebih efektif, lantaran bisa mendeteksi sedini mungkin aneka macam halangan yang dihadapi para bawahan. Keterbukaan dan keluwesan seorang pimpinan juga menjadi azas yang sungguh penting selaku upaya perhatian pemimpin terhadap keperluan para bawahannya. Sehingga lewat bentuk pengendalian pemimpin yang intens, terbuka, dan luwes ini terdapat kekerabatan yang saling menguntungkan antara pimpinan dan bawahan.  






DAFTAR PUSTAKA
Arcaro, Jaromes S. (2007). Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-Prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. terj. Yosai Triantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Danim, Sudarwan. (2007). Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta:Bumi Aksara.
Frandsen, Finn, et all. (2012). Public Relations and Communication Management: The State of the Profession. Slovenia: Bledcom Academic.
Kurniadin, Didin dan Imam Machali. (2012). Manajemen Pendidikan: Konsep & Prinsip Pengelolaan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Mutohar, Prim Masrokan. (2013). Manajemen Mutu Sekolah: Strategi Peningkatan Mutu dan Daya Saing Lembaga Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Rivai, Veithzal dan Arviyan Arifin. (2009). Islamic Leadership (Membangun SuperLeadership Melalui Kecerdasan Spiriual). Jakarta: Bumi Aksara.
Watson, Gregory H.(1996.).Strategic Benchmarking (Mengkur Kinerja Persahaan Anda Dibandingkan Perusahaan-perusahaan Terbaik Dunia). Terj. Robert Haryono Imam dan Titis Eddy Arini. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Yuniarsih, Tjutju dan Suwatno. (2011). Manajemen Sumber Daya Manusia: Teori, Aplikasi, dan Isu Penelitian. Bandung: Alfabeta.






[1] Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah, (Jakarta:Bumi Aksara, 2007) 56
[2]  Masykuri Bakri, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Paradigma Islam, (Surabaya: Visipress Media, 2010) 16
[3] Ibid 11
[4] Masykuri Bakri, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Paradigma Islam, (Surabaya: Visipress Media, 2010), 232-233
[5] Tjutju Yuniarsih dan Suwanto, Manajemen Sumber Daya Manusia: Teori, Aplikasi dan Isu Penelitian,  (Bandung.: Alfabeta, 2011), 48.
[6] Prim Masrokan Mutohar, Manajemen Mutu Sekolah: Strategi Peningkatan Mutu dan Daya Saing Lembaga Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 280.
[7] Ibid
[8] Ibid 237
[9] Tjutju Yuniarsih dan Suwanto, Manajemen Sumber Daya Manusia… 50.
[10] Didin Kurniadin dan Imam Machali, Manajemen Pendidikan…, 177
[11] Ibid 115
[12] Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 55
[13] Abdul Aziz Wahab, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), 42
[14] Watson, Strategic Benchmarking…, 71
[15] Watson, Strategic Benchmarking…, 71
[16] Ibid
[17] Hendyat Soetopo, Perilaku Organisasi: Teori dan Praktik di Bidang Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 189.
[18] Ibid
[19] Hendyat Soetopo, Perilaku Organisasi…, 123.
[20] Hendyat Soetopo, Perilaku Organisasi…, 123.
[21] Watson, Strategic Benchmarking…, 2.
[22] Tjutju Yuniarsih dan Suwanto, Manajemen Sumber Daya Manusia: Teori, Aplikasi dan Isu Penelitian,  (Bandung.: Alfabeta, 2011), 48.
[23] Michael Paulus dan Devie, Analisa Pengaruh Penggunaan Benchmarking Terhadap Keunggulan Bersaing dan Kinerja Perusahaan, tahun 2013.
[24] Didin Kurniadin dan Imam Machali, Manajemen Pendidikan:…,., 367.
[25] Ibid 358
[26] Ibid., 367-368.
[27] Ibid., 158-159
[28] Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu (Prnsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan), terj. Yosal Irintara, (Yogyakarta: Pustaka elajar, 2006), 206.
[29] Marno dan Triyo Supriyatno, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2008), 55
[30] Hendyat Soetopo, Perilaku Organisasi: Teori dan Pratik di Bidang Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 86.
[31] Ibid., 87.
[32] Agustinus Sri Wahyudi, Manajemen Strategic: Pengantar Proses Berfikir Strategik, (Bandung: Binarupa Aksara, 1996), 17.
[33] Tabrani Rusyan dan Sutisna, Kesejahteraan dan Motivasi dalam Meningkatkan Efetivitas Kinerja Guru,  (Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara, 2008), 39-40.
[34] Hendyat Soetopo, Perilaku Organisasi: Teori dan Pratik di Bidang Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 199-200
[35] Tabrani Rusyan dan Sutisna, Kesejahteraan dan Motivasi…, 40.
[36] Ibid 40

Related : Banchmarking

0 Komentar untuk "Banchmarking"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)