Esensi Birokrasi



PENGERTIAN DAN KONSEPSI BIROKRASI
Dibandingkan dengan subyek ilmu wawasan yang lain, sesungguhnya keberadaan birokrasi baik selaku fenomena politik-adminstrasi maupun selaku subyek ilmu wawasan sanggup dibilang masih relative baru. Eksistensi birokrasi secara institusional, timbul sehabis insan mulai mengenal bentuk Negara modern. Sedangkan selaku obyek kajian ilmu wawasan kajian terhadap birokrasi mulai dijalankan pada waktu di sekeliling revolusi Perancis pada kurun ke -18 atau sekitah tahuan 1760-an (Setiyono, 2012).
Walaupun pembahasan dan keberadaan birokrasi timbul seiring dengan keberadaan Negara modern, namun banyak andal yakin bahwa rancangan yang seumpama pemahaman birokrasi kini ini sudah dipakai oleh tata kelola pemerintahan Romawi, Inca, Aztec, Mesir antik dan Cina antik dimana di saat itu para pejabat kerajaan dipilih dengan system ujian, senioritas, dan keahlian. Bahkan menurut usulan (Gladden, 1972 dalam Stiyono, 2012), kokohnya peradaban dari aneka macam macam Negara antik tersebut, khususnya merupakan berkat keberadaan tubuh birokrasi Negara yang melakukan pekerjaan memakai prinsip-prinsip operasional yang teratur. Di kerajaan Mesir antik pada masa 2180 SM, organisasi birokrasi pemerintahan sudah menerapkan system organisasi pemerintahan dengan model pendelegasian wewenang yang kompleks, keutamaan kerja, dan system kelembagaan yang permanen (Heady, 1984 dalam Setiyono, 2012). Hal yang serupa juga dipraktekkan oleh kerajaan Cina antik pada masa 478 SM, yang mempunyai system birokrasi dengan model disiplin system tata kelola yang teratur, ddengan rekrutmen menurut pada keahlian, dokumen, pelaporan tulis, dan hirarki (Turner & Humle, 1997 dalam Setiyono, 2012).
Model birokrasi terbaru seumpama yang kita kenal sekarang, khususnya terbentuk dan dipraktikkan pada beberapa Negara sejak terjadinya revolusi industry di Eropa pada kurun pertengahan. Pada era tersebut, badan-badan birokrasi pemerintah dan profesi birokrasi berkembang meningkat seiring dengan tumbunya perusahaan-perusahaan industry dan profesi pekerjaan yang ada pada institusi (perusahaan) swasta. Sejak revolusi industry, unit institusi pemerintahan meningkat makin kompleks dan variatif, dengan pola/system rekrutmen, pendidikan, pekerjaan, dan penggajian. Berkembangnya kompleksitas institusi birokrasi tersebut dijalankan untuk menyanggupi keperluan perusahaan swasta dan penduduk terhadap pelayanan dan santunan pemerintah. Terlebih lagi, pada di saat itu hamper semua Negara Eropa melaksanakan praktik penjajahan dan kolonialisasi di aneka macam belahan dunia. Praktik itu menuntut Negara-negara Eropa untuk emodernisasi penyelenggaraan pemerintahan dan aparaturnya biar pengelolaan dan control terhadap Negara jajahan sanggup dijalankan dengan efektif. Seiringan dengan hal tersebut, bebagai produk industry seumpama kertas, mesin tik, telepon, tinta, ballpoint, dan stempel juga membentuk karakteristik dan kinerja birokrasi terbaru (Setiyono, 2012).
Berikut ini merupakan aneka macam macam pemahaman atau definisi dari para andal mengenai birokrasi yang dikutip oleh Setiyono (2012) di mulai dari pemahaman birokrasi yang sederhana hingga dengan yang paling kompleks.

No.
Nama Ahli
Definisi Birokrasi
1.
Hague, Harrop & Breslin, 1998
“organisasi yang berisikan abdnegara bergaji yang melaksanakan rincian kiprah pemerintah, menampilkan pesan yang tersirat dan melaksanakan keputusan kenijakan”.
2.
Heywood, 2002
Di dalam rancangan sosial, perumpamaan birokrasi dipakai untuk menggambarkan pengaturan/pemerintahan yang dijalankan oleh pejabat yang tidak dipilih, mesin tata kelola kerja pemerintah, dan bentuk organisasi rasional”.
3.
Beetham, 1987
“institusi yang berada pada sector Negara yang mempunyai karakteristik adanya kewajiban, mempunyai kekerabatan dengan hukum, dan bermitra degan pertangjawaban terhadap public dalam melaksanakan tugasnya”.
4.
Weber, 1978 dalam Krieken, 2000
“organisasi dengan suatu hirarki penggajian, pejabat trtap/penuh waktu, yang menyusun rantai komando”.
5.
Harold Laski, dalam Buechner, 1984
“sebuah system pemerintahan, suatu control/kekuasaan, yang sepenuhnya ditangan pejabat yang kekuasaan mereka merenggut keleluasaan dari rakyat kebanyakan”.
6.
Jacques, 1984
“system tata kelola kerja yang hirarkis, dimana orang dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan mendapat upah”.

Sedangkan pemahaman birokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesian yang dikuti dari (Hambali dan Maghfur, 2015) yakni system pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah alasannya sudah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan.
Jadi institusi birokrasi merupakan ruang mesin suatu Negara yang didalamnya berisi orang-orang (pejabat) yang digaji dan dipekerjakan oleh Negara untuk menampilkan nasehat dan melaksanakan kebijakan politik Negara. Walaupun secara teoritis pemahaman birokrasi sanggup dipahami secara simple selaku aparatur Negara, secara gampang pemahaman birokrasi ini masih sering memunculkan kontroversi. Pada konsepsi yang paling luas, birokrasi sering disebut selaku badan/sector pemerintah, atau dalam konsepsi bahasa Inggris disebut public sector, atau juga public service atau public administration.
Birokrasi dan Lingkungan Sosial
Membicarakan konsepsi dan kinerja birokrasi dalam suatu Negara juga  terkait dengan pembahasan corak, kultur, system sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat. Semua factor itu menampilkan pengaruh yang kuat terhadap bentuk, struktur, kinerja dan system nilai birokrasi di masing-masing Negara.
Misalnya Negara-negara Asia Tenggara yang pernah mengalami masa penjajahan, unsur budaya penjajah mempunyai efek yang cukup signifikan dalam proses pembentukan forum birokrasi mereka. Walaupun Negara-negara di tempat Asia Tenggara pada biasanya mempunyai budaya local semacam Melayu, Tagalog, dan Khmer, namun corak birokrasi mereka berbeda-beda lantaran pengaruh warisan budaya bangsa penjajah yang berbeda-beda pula. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Paget (2000) yang dikutip (Setiyono, 2012) corak perbedaan style birokrasi di Negara Asia Tenggara sanggup dilihat pada tabel berikut;

Negara
Pengaruh
Corak Birokrasi
Philipina
Spanyol, Amerika
Hierarki (katolik), agak monarkhi, militeristik, kapitalistik, state domination.
Vietnam
Cina, Soviet, Perancis, & AS
Mandarinate, direct/indirect rule, alat militer, ideology toralisme, dan neo-kapitalisme.
Malaysia
Inggris
Indirect rule, elite management, commonwealth, merit structure.
Thailand
Inggris, Perancis, & AS
Mesin militer, bureaucratic polity, pragmatism.
Indonesia
Belanda
Direct/indirect rule, exclusivist, semi professionalism, legalism.

Dilihat dari corak birokrasi Indonesia di atas, maka kita tidak perlu heran bahwa walaupun Indonesia sudah merdeka lebih dari 70 tahun, namun sikap birokrasi kita masih saja seumpama ambtenaar Belanda yang “sok berkuasa, sok merasa penting, sok menyepelekan rakyat, dan sebagainya”, dimana nilai-nilai itu yang memang ditinggalkan oleh penjajah kita. Sayangnya sehabis sekian usang Belanda meninggalkan kita, sungguh sedikit sekali langkah yang kita ambil untuk meluruskan dan memperbaiki system birokrasi kita biar sesuai dengan keperluan dan permintaan rakyat.
Dalam suatu jurnal yang yang ditulis oleh Romli (2008) ihwal duduk kasus reformasi birokrasi disebutkan bahwa corak  birokrasi  Indonesia  seumpama itu ternyata  bukan  sampai  di  situ  saja,  namun lewat pendekatan     budaya birokrasi Indonesia  masuk  dalam  kategori  birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial merupakan (1) para pejabat disaring atas   dasar persyaratan pribadi; (2) jabatan dipandang selaku sumber kekayaan   dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun  fungsi  administrasi; dan (4) setiap langkah-langkah diarahkan oleh hubungan  eksklusif dan politik. Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia    merupakan kelanjutan dan warisan dari system nilai tradisional yang berkembang di masa kerajaan-kerajaan masa lalu dan bercampur dengan  birokrasi gaya kolonial. Sama seumpama halya abdi  dalem  dan  priyayi  yang  juga berlapis-lapis, pegawai negeri pun berisikan aneka macam pangkat,  golongan dan eselon. Semboyan pegawai negeri merupakan abdi negara   mengandung makn berorientasi ke atas, sehingga  mirip  dengan  birokrasi kerajaan, ambtenaar. Birokrasi lebih menekankan pada  mengabdi  ke  atas  dari pada ke bawah selaku pelayanan terhadap masyarakat.
Kini, apakah model atau cap birokrasi seumpama diungkapkan di atas masih tetap menempel dalam birokrasi di Indonesia? Seharusnya secara teoritis sudah berganti yang tidak lagi seumpama itu, namun mesti menuju pada birokrasi ala Weber di mana birokrasi betul-betul menekankan pada faktor efisiensi, efektivitas, profesionalisme, merit system, dan pramusaji masyarakat. Mengapa? Hal ini lantaran zaman sudah berganti dengan adanya era reformasi dan otonomi daerah, maka semestinya birokrasi mengalami pergantian paradigma di mana birokrasi mesti memposisikan diri selaku abdi masyarakat, efisien, efektif, dan profesionalisme. 
B.     BIROKRASI WEBERIAN
Max Weber seorang sosiolog Jerman yang yang kondang pafa kurun ke -19 menulis karya yang sungguh kuat bagi Negara-negara yang berbahasa Inggris dan di Negara-negara di daratan Eropa. Karya itu hingga kini dimengerti selaku rancangan tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini kurang dimengerti ihwal kritiknya terhadap kehidupan politik, atau bagaimana kiprah politik terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian cuma menekankan pada bagaimana semestinya mesin birokrasi itu secara professional dan rasional dijalankan (Thoha, 2010).
Dalam (Robbins, 1994) mengungkapkan bahwa esensi dari tipe ideal birokrasi Weber mempunyai karakteristik-karakteristik selaku berikut:
·           Pembagian kerja. Pekerjaan dari setiap orang dipecah-pecah hingga ke pekerjaan yang sederhana, berkala dan ditetapkan dengan jelas.
·           Hierarki kewenangan yang jelas. Sebuah struktur multi tingkat yang formal, dengan posisi hierarki atau jabatan yang menegaskan bahwa setiap jabatan yang lebih rendah berada di bawah supervise dan control dari yang lebih tinggi.
·           Formalisasi yang tinggi. Ketergantungan pada peraturan dan mekanisme yang formal untuk menegaskan adanya keseragaman dan untuk mengendalikan sikap pemegang pekerjaan.
·           Bersifat tidak eksklusif (impersonal). Sanksi-sanksi dipraktekkan secara seragam dan tanpa perasaan eksklusif untuk menyingkir dari keterlibatan dengan kepribadian perorangan dan preferensi eksklusif para anggota.
·           Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas kempapuan. Keputusan ihwal seleksi dan penawaran spesial didasarkan atas kualifikasi teknis, kemampuan, dan prestasi para calon.
·           Jejak karir bagi para pegawai. Para anggota dibutuhkan memburu karir dalam organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen terhadap karir tersebut, para pegawai mempunyai masa jabatan; artinya mereka akan dipertahankan walaupun mereka “kehabisan tenaga” atau jikalau kepandaiannya tidak terpakai lagi.
·           Kehidupan organisasi yang dipidsahkan dengan terang dari kehidupan pribadi. Kebutuhan dan minat eksklusif dipisahkan sepenuhnhya biar keduanya tidak mencampuri sikap impersonal pada acara organisasi yang bersifat rasional.

Karakteristik-karakteristik tersebut menggambarkan “ideal type” dari Weber mengenai organisasi yang rasional dan efisien. Tujuan-tujuannya terang dan eksplisit. Posisi dikontrol dalam suatu hierarki berupa piramida, dengan wewenang yang makin meningkat waktu bergerak ke atas dalam organisasi. Kewenangan terletak pada posisi, bukann pada orang-orang yang menduduki posisi tersebut. seleksi para anggota didasarkan atas kualifikasi mereka ketimbang “siapa yang mereka kenal”, persyaratan ihwal posisi menyeleksi siapa yang mau dipekerjakan dan dalam posisi yang mana, dan prestasi merupakan persyaratan bagi promosi. Keterikatan terhadap organisasi dimaksimalkan dan pertentangan kepentingan dihilangkan dengan cara menampilkan pekerjaan seumur hidup (life time employment) dan dengan memisahkan kiprah anggota di luar pekerjaan dari yang disyaratkan untuk menyanggupi tanggung jawab organisasi.
Terdengar menggembirakan bukan? Tidak ada unsur atau intervensi politik, tidak ada keterlibatan emosional dengan orang lain secara individual, tidak ada pertentangan mengenai tujuan atau persyaratan untuk menyeleksi keefektifan, keputusan yang didasarkan cuma pada persyaratan yang objektif dan garis wewenang yang terang dan bagus. Sekarang pertanyaannya apakah ini semua sesuai dengan birokrasi yang kita kenal? Kemungkinan besar tidak! Tetapi perlu dimengerti dan dikenang bahwa Weber bukan menggambarkan organisasi yang biasa atau yang khas. Akan namun ia sedang menerangkan karakteristik yang menegaskan tipe ideal tersebut selaku mesin efisiensi yang paling baik.
Tema sentral dari model birokrasi Weber merupakan selaku standarisasi dari birokrasi yang ideal. Perilaku orang dalam irokrasi diputuskan sebelumnya oleh struktur dan proses yang ysng distandarisasi. Model itu sendiri sanggup dipecah menjadi kalangan karakteristik. Pertama, yang bermitra dengan struktur dan fungsi dari organisasi, kedua, yang bermitra dengan cara untuk memberi imbalan terhadap suatu usaha, dan ketiga, yang bermitra dengan santunan bagi para anggota secara perorangan (Robbins, 1994).

Konsekuensi Atas Penyelewengan Fungsi Birokrasi
Birokrasi di sekarang ini sering dipandang tidak baik, hal ini dibuktikan  dengan beberapa kritik yang dilontarkan oleh andal lain menenai tipe ideal birokrasi Weber seumpama yang ditulis oleh Robbins, 1994 antara lain:
1.        Penyimpangan Tujuan
Birokrasi paling banyak diserang lantaran mendorong penyimpangan tujuan (goal displacement)- mengubah tujuan organisasi menjadi tujuan sub-unit atau tujuan pribadi. Argumentasi yang paling lazim disampaikan oleh Robert Merton. Setelah mengakui bahwa peraturan yang birokratis dan impersonality menciptakan suatu tingkat keandalan (reliability) dan daya ramal yang tinggi, ia menampilkan bahwa persesuaian (conformity) sanggup menghancurkan lantaran meminimalkan fleksibilitas. Peraturan menjadi demikian ditekankan sehingga memiliki arti yang simbolis tersendiri. Peraturan menjadi lebih penting ketimbang tujuan yang dirancang untuk melayani. Akibatnya merupakan penyimpangan tujuan dan hilangnya keefektifan organisasi.
2.        Penerapan Peraturan yang Tidak Tepat
Berhubungan erat dengan duduk kasus penyimpangan tujuan merupakan imbas yang tidak dikehendaki dari anggota yang memakai peraturan dan mekanisme dalam suasana yang tidak cocok; artinya, menyikapi suatu suasana yang unik seolah-olah itu merupakan duduk kasus rutin, akan memunculkan konsekuaensi dysfungsional. Merton menyatakan bahwa sehabis sementara waktu birokrasi menampilkan ketaatan yang demikian besarnya terhadap peraturan sehingga para anggota secara membabi buta mengulangi keputusan dan langkah-langkah yang sudah mereka buat sebelumnya, tanpa menyadari bahwa suasana sudah berubah.

3.        Keterasingan Pegawai
Para anggota mencicipi bahwa impersonality organisasi bikin semacam jarak antara mereka dengan pekerjaannya. Seperti suatu “sekrup pada suatu roda”. Para pegawai sering kali sukar untuk merasa terikat terhadap organisasi.
4.        Konsentrasi Kekuasaan
Konsentrasi kekuasaan pada direktur senior pada birokrasi sudah dijadikan sasaran oleh beberapa orang. Meskipun kritik tersebut subjektif, tergantung apakah kita menyaksikan fokus kekuasaan tersebut selaku sesuatu yang tidak diinginkan, kritik itu niscaya menghantam para ilmuwan dalam bidang sosial yang ingin menyamaratakan kekuasaan dalam organisasi biar menjadikannya lebih manusiawi. Adalah fakta bahwa birokrasi memicu kekuasaan yang sungguh besar dalam tangan beberapa orang saja. Jika anda merasakannya selaku sesuatu yang tidak diinginkan, atau yang bertentangan dari nilai suatu penduduk yang demokratis, seumpama yang dicicipi beberapa orang, anda akan menerima atribut tersebut selaku suatu konsekuensi bentuk birokrasi yang negative.
5.        Frustasi dari yang Bukan Anggota
Konsekuensi negative terakhir yang mau kita tanggapi ada kaitannya dengan mereka yang berada di luar organisasi. Misalnya, setiap mahasiswa yang pernah mencicipi kekakuan dari potongan registrasi dan menghadapi “system” yang impersonal dan yang didominasi oleh peraturan dari universitasnya sanggup membandingkannya dengan putus asa yang dicicipi bukan anggota yang secara terorganisir mesti berhadapan dengan birokrasi.

Hal-hal diatas merupakan konsekuensi yang mau dihadapi jikalau fungsi birokrasi diselewengkan. Dari birokrasi yang semestinya terlihat ideal seumpama yang dibilang Weber, menjadi birokrasi yang negative.




C.    BIROKRASI SEBAGAI SEBUAH ORGANISASI
Berawal dari persepsi Weber bahwa organisasi dan birokrasi dianggap selaku bersinonim. Dalam perumpamaan yang popular pada biasanya orang kini menyampaikan bahwa setiap organisasi besar dianggap selaku birokrasi. Sehingga tidak ajaib jikalau menyebut lembaga-lembaga pendidikan, organisasi tentara, gereja-gereja dan rumah sakit selaku birokrasi-birokrasi (Albrow, 1989).
Dengan demikian secara lazim ilmuwan sosial terbaru yang menulis organisasi selaku birokrasi tidak mengandalkan pada penyesuaian kopleks ddari teori Weber untuk membenarkan rancangan mereka. Mereka sanggup memakai bahasa sehari-hari selaku otoritas mereka. Seperti yang diungkapkan Talcott (1960) dalam Albrow (1989) menyatakan bahwa salah satu ciri structural terpenting ihwal suatu penduduk seumpama itu terletak pada kemenonjolan organisasi-organisasi yang secara relative berukuran besar dengan fungsi-fungsi yang dikhususkan, yang secara agak longgar cendderung disebut “birokrasi-birokrasi”. Ahli-ahli yang lain agak sembrono dalam penggunaan ini. Seperti halnya menurut Heyman dalam Albrow (1989) bahwa birokrasi sanggup diabstraksikan selaku suatu organisasi besar, dan organisasi besar sudah niscaya merupakan suatu birokrasi, bagi Simon dalam Albrow (1989) menyatakan bahwa birokrasi agaknya merupakan suatu padanan kata untuk organisasi skala besar, Presthus dalam Albrow (1989) menyebutnya “istilah organisasi besar” dan “struktur birokrasi” merupakan bersinonim, ssedangkan Eztoni dalam Albrow (1989) menilai ada banyak padanan kata bagi perumpamaan organisasi, salah satunya merupakan birokrasi.
Friedrich dalam Albrow (1989) membela studi perbandingan system administrasi, begitu juga ia mengidentikan birokrasi dengan organisasi selaku suatu keseluruhan yang mendukung observasi untuk menegaskan dimensi-dimensi apa yang menandai organisasi-organisasi. Tentu saja rencana seumpama itu dengan sendirinya tergantung pada rancangan organisasi yang diambil pada permulaan penelitian. Beberapa pemikir menyaksikan bahwa organisasi-organisasi cuma selaku unit-unit sosial yang berorientasi pada tujuan-tujuan khusus. Pemikir-pemikir yang lain secara implisit atau eksplisit mempunyai rancangan yang luas ihwal organisasi dan menangkal bidang observasi mereka pada organisasi-organisasi yang kompleks atau yang berukuran besar, formal atau yang modern. Dengan demikian, sebagaimana Ferrel Heady dalam Albrow (1989) menulis bahwa birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi. Organisasi-organisasi apakah merupakan birokrasi atau bukan, tergantung pada ciri-ciri tadi, dimiliki atau tidak. Terdapat banyak sekali catatan ihwal ciri-ciri yang dibentuk atas birokrasi oleh pengarang-pengarang yang menganut rancangan ini. Presthus dalam Albrow (1989) menunjuk ukuran spesialisasi, hierarki, otoritas, status, oligarki, kooptasi, rasionalitas dan efisiensi. Bennis dalam Albrow (1989) menyebut suatu rantai komando, aturan-aturan, pembagian pekerjaan, penyeleksian berdasrkan kompetensi dan impersonalitas individual. Heady dalam Albrow (1989) menciutkan catatannya menjadi tiga butir yang di klaimnya merupakan janji substansial, diferensi atau spesialisasi, dan kualifikasi atau kompetensi.
Struktur organisai bukan merupakan data yang tidak membingungkan, yang sanggup diperoleh oleh siapa pun yang mengobservasi, namun merupakan tanda-tanda yang absurd dan sukar dimengerti yang tergantung pada daya cipta interpretative. Khususnya, keterbatasan-keterbatasan organisasi merupakan sukar untuk dijelaskan. Sama sulitnya, untuk menawan garis antara admixistrasi dan organisasi, begitu juga sukar untuk menyaksikan di mana penduduk bermula. Hierarki, peraturan-peraturan, pembagian kerja, karier-karier, kualifikasi-kualifikasi sepertinya termasuk penduduk terbaru dan tidak sekedar terwadahi di dalam organisasi yang terpisah. Barangkali kita sanggup menyampaikan organisasi-organisasi selaku birokrasi cuma lantaran organisasi itu merupakan suatu potongan dari suatu birokrasi yang lebih luas, yakni penduduk terbaru itu sendiri.




BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Institusi birokrasi merupakan ruang mesin suatu Negara yang didalamnya berisi orang-orang (pejabat) yang digaji dan dipekerjakan oleh Negara untuk menampilkan nasehat dan melaksanakan kebijakan politik Negara. Walaupun secara teoritis pemahaman birokrasi sanggup dipahami secara simple selaku aparatur Negara, secara gampang pemahaman birokrasi ini masih sering memunculkan kontroversi. Pada konsepsi yang paling luas, birokrasi sering disebut selaku badan/sector pemerintah, atau dalam konsepsi bahasa Inggris disebut public sector, atau juga public service atau public administration.
Tema sentral dari model birokrasi Weber merupakan selaku standarisasi dari birokrasi yang ideal. Perilaku orang dalam irokrasi diputuskan sebelumnya oleh struktur dan proses yang ysng distandarisasi. Model itu sendiri sanggup dipecah menjadi kalangan karakteristik. Pertama, yang bermitra dengan struktur dan fungsi dari organisasi, kedua, yang bermitra dengan cara untuk memberi imbalan terhadap suatu usaha, dan ketiga, yang bermitra dengan santunan bagi para anggota secara individual.
Hierarki, peraturan-peraturan, pembagian kerja, karier-karier, kualifikasi-kualifikasi sepertinya termasuk penduduk terbaru dan tidak sekedar terwadahi di dalam organisasi yang terpisah. Barangkali kita sanggup menyampaikan organisasi-organisasi selaku birokrasi cuma lantaran organisasi itu merupakan suatu potongan dari suatu birokrasi yang lebih luas, yakni penduduk terbaru itu sendiri.




B.     Saran
Dengan ditulisnya makalah birokrasi ini, pemekalah menampilkan usulan bagi para “birokrat” (pejabat) yang berkutat dalam institusi pemerintahan sanggup melaksanakan fungsi  birokrasi sebagaimana mestinya sesuai dengan tipe ideal birokrasi yang dikemukakan oleh Weber. Seharunya tujuan suatu organisasi itu akan betul-betul efektif jikalau diimplementasikan sesuai dengan tipe ideal birokrasi weber, yang murni melakukan pekerjaan dengan professional.
Kenudian bagi penduduk pada biasanya yang membaca makalah ini  menilai bergotong-royong birokrasi itu buruk sanggup lebih jernih mengetahui birokrasi itu secara komperhensif, lantaran birokrasi di Negara ini buruk bukan semata-mata birokrasinya yang buruk akan namun lantaran bintang film yang menduduki institusi birokrasi itu yang belum sanggup melaksanakan insttitusi birokrasinya dengan baik dan dengan professional.


















DAFTAR PUSTAKA


Albrow, Martin. (1989). Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Magfur, Ifdlolul. (2015). Ilmu Administrasi Birokrasi Publik. Yogyakarta: Yayasan Kodama.
Robbins P, Stephen. (1994). Teori Organisasi: Struktur, Desain & Aplikasi. Jakarta: Arcan.
Romli, Lili. (2008). Masalah Reformasi Birokrasi. Jurnal kebijakan dan tata kelola PNS. Volume 2.
Setiyono, Budi. (2012). Birokrasi: Dalam Perspektif Politik & Administrasi. Bandung: Nuansa.
Thoha, Miftah. (2010). Birokrasi & Politik. Jakarta: RajaGrafindo Persada.




Related : Esensi Birokrasi

0 Komentar untuk "Esensi Birokrasi"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)