Warga di kota Tolitoli di penghujung bulan bulan puasa 1427 Hijriah belum usang ini, dihebohkan dengan salah seorang pendeta bareng seluruh keluarganya memeluk Islam. Di mana-mana santer dibicarakan soal Pendeta Yahya Yopie Waloni dan keluarganya masuk Islam. Bahkan media internet pun sudah mengakses kabar ini. Bagaimana acara eks pendeta itu setelah memeluk Islam. Berikut kisahnya:
PAGI menjelang siang hari itu, nuansa Idul Fitri 1427 Hijriah masih terasa di Tolitoli. Hari itu gres memasuki hari ke-9 lebaran. Kendati terik panas matahari masih mengitari Tolitoli dan sekitarnya, namun denyut acara warga tetap menyerupai biasa.
Begitupun di sekeliling Jalan Bangau, Kelurahan Tuweley, Kelurahan Baru, Kabupaten Tolitoli. Aktivitas sehari-hari warga berjalan menyerupai biasa. Kecuali di salah satu rumah kost di jalan itu, pintunya terlihat masih tertutup rapat. Di rumah kost inilah, Yahya Yopie Waloni (36), bareng istrinya Lusiana (33) dan tiga orang anaknya tinggal sementara.
“Pak Yahya bareng istrinya gres saja keluar. Sebaiknya bapak tunggu saja di sini, sebelum banyak orang. Karena jika pak Yahya ada di sini berbagai tamunya. Nanti bapak sulit ketemu beliau,” terperinci ibu Ani, tetangga depan rumah Yahya terhadap Radar Sulteng.
Yahya bareng istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 Wita lewat tuntunan Komarudin Sofa, Sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah Yahya dengan nrimo mengucapkan dua kalimat syahadat.
Setelah memeluk Islam, nama Yahya Yopie Waloni diganti dengan Muhammad Yahya, dan istrinya Lusiana diganti dengan Mutmainnah. Begitupun ketiga anaknya. Putri tertuanya Silvana (8 tahun) diganti dengan nama Nur Hidayah, Sarah (7 tahun) menjadi Siti Sarah, dan putra bungsunya Zakaria (4 tahun) tetap menggunakan nama itu.
Mohammad Yahya sebelum memeluk Islam, pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004. Saat itu juga ia selaku pendeta dengan status selaku pramusaji lazim dan terdaftar pada Badan Pengelola Am Sinode GKI di tanah Papua, Wilayah VI Sorong-Kaimana. Ia menetap di Sorong sejak tahun 1997. Tahun 2004 ia kemudian pindah ke Balikpapan. Di sana ia menjadi dosen di Universitas Balikpapan (Uniba) hingga tahun 2006. Yahya menginjakkan kaki di kota Cengkeh, Tolitoli, tanggal 16 Agustus 2006.
Sambil menanti kedatangan Yahya, ibu Ani mempersilakan Radar Sulteng masuk ke rumahnya. Sebagai tetangga, Ibu Ani tahu banyak acara yang terjadi rumah kontrakan Yahya. “Pak Yahya pindah di sini kira-kira gres tiga minggu lalu. Sejak pindah, di sini rame terus. Orang-orang bergantian datang. Ada yang tiba dengan keluarganya. Malah ada yang rombongan dengan truk dan Kijang pickup. Karena rame sekali terpaksa dibentuk sabua (tenda, red) dan drop dingklik dari kantor Lurah Tuweley,” dongeng ibu Ani.
Hari pertama Yahya pindah di Jalan Bangau itu, orang-orang berdatangan sambil menenteng sumbangan. Ada menyumbang belanga, kompor, kasur, televisi, Alquran, gorden dan kursi. Mereka bersimpati alasannya yakni Yahya sekeluarga dikala pindah dari wilayah tinggal pertamanya cuma busana di badan. Rumah yang mereka tempati sebelumnya di Tanah Abang, Kelurahan Panasakan yakni akomodasi yang diperoleh atas pemberian gereja. Sehingga barang yang bukan miliknya ia tanggalkan semuanya.
Tidak usang menanti di rumah Ibu Ani, tiba dua orang ibu-ibu yang berpakaian dinas pegawai negeri sipil. Keduanya juga mampir di rumah Ibu Ani. Salah satu dari mereka yakni Hj Nurdiana, pegawai di Balitbang Diklat, Pemkab Tolitoli. Ibu berjilbab ini ternyata guru mengaji. Dia yakni guru mengaji yang khusus membimbing istri Yahya.
“Saya gres tiga kali konferensi dengan ibu Yahya. Supaya ibu Yahya mudah mengerti aksara hijjaiyah, saya menggunakan tata cara albarqy. Alhamdulillah kini sedikit sudah bisa,” kata Nurdiana.
Menurutnya, dia tidak kesusahan mengajari ibu Yahya. Malah, katanya, ibu Yahya cepat sekali mengerti huruf-huruf hijaiyah yang diajarkan. Karena itu dia memperkirakan kemungkinan dalam waktu tidak usang ibu Yahya sudah sanggup tanpa kendala mengaji.
Hanya sekitar 20 menit menanti di rumah ibu Ani, bunyi kendaraan sepeda motor butut milik Yahya terdengar memasuki halaman rumah kontrakannya. Radar Sulteng diterima dengan bahagia hati, kemudian dipersilakan duduk di sofa. Sementara Yahya memutuskan duduk di lantai bantalan karpet. Badannya disandarkan ke dingklik sofa. “Kita lebih bahagia duduk di bawah sini,” tuturnya dengan logat kental Manado.
Cara duduk Yahya, terlihat tidak tenang. Sesekali ia membuka kedua selangkangnya. Ternyata alasannya yakni gres beberapa hari selesai disunat. “Setelah tiga hari saya masuk Islam, saya eksklusif minta disunat di rumah ini,” dongeng Yahya, sesekali dibarengi canda.
Penataan interior rumah kost Yahya terlihat apik. Di dinding ruang tamu terlihat terpampang kaligrafi ayat dingklik yang dibingkai dengan warna keemasan. Di segi lain, kaligrafi Allah-Muhammad juga terpampang. Di meja ruang tamu terdapat dua buah Quran lengkap terjemahannya. Di tengah meja itu, juga masih ada tiga toples camilan elok lebaran. “Rumah ini saya persetujuan sementara. Saya sudah bayar Rp2,5 juta,” rinci Yahya.
Di tengah asiknya bercerita, istri Yahya, Mutmainnah menyajikan beberapa cangkir teh panas. “Silakan diminum air panasnya,” kata ibu tiga anak ini yang dikala itu mengenakan jilbab cokelat.
Tidak usang kemudian, dia masuk di salah satu kamar dan mengajak guru mengajinya Hj Nurdiana bareng rekannya. Dari balik kamar itulah terdengar bunyi Mutmainnah yang sedang mengeja satu per satu aksara hijaiyah. Terdengar memang masih kaku, namun berulang-ulang satu per satu huruf-huruf Quran itu dilafalkannya.
Lain halnya dengan suaminya, Yahya. Pria kelahiran Manado ini mengaku sudah sanggup melafalkan beberapa ayat setelah berulang kali diajarkan mengaji oleh Komarudin Sofa. Selain Komarudin, selama ini ia juga memperoleh tutorial dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tolitoli, Yusuf Yamani. “Hanya lima menit saya diajarkan. Saya eksklusif paham. Surat Fatihah saya sudah hafal,” ujar Yahya.
Selain menuntut ilmu mengaji dan menemukan tamu, acara Yahya juga kerap menghadiri seruan di beberapa masjid. Tidak cuma dalam kota, namun hingga ke desa-desa di Kabupaten Tolitoli. “Saya ditemani beberapa orang. Ada juga dari Departemen Agama,” katanya.
Yahya bareng istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 Wita lewat tuntunan Komarudin Sofa, sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. “Hari itu saya sudah mengucapkan dua kalimat syahadat yang dituntun Pak Komarudin,” dongeng Yahya. Apa yang melatari hingga Yahya dan keluarganya memeluk Islam.
PAK Yahya, begitu sapaan akrabnya. Pria kelahiran Manado tahun 1970 ini lahir dari kelompok terdidik dan disiplin. Ayahnya seorang pensiunan tentara. Sekarang menjabat anggota DPRD di salah satu kabupaten gres di Sulawesi Utara. Sebagai putra bungsu dari tujuh bersaudara, Yahya dikala bujang tergolong salah seorang generasi yang nakal. “Saya tidak perlu dongeng masa kemudian saya. Yang niscaya saya juga dahulu pernah nakal,” tukasnya.
Lantaran kenakalannya itulah mungkin, sehingga beberapa cuilan badannya terdapat bekas tato. Di lengannya terdapat bekas luka setrika untuk menetralisir tatonya. “Ini dahulu bekas tato. Tapi semua sudah saya setrika,” katanya sambil menunjuk bekas-bekas tatonya itu.
Postur tubuhnya memang terlihat mendukung. Tinggi dan tegap. Meski ia pernah nakal, namun pendidikan formalnya hingga ke tingkat doktor. Ia menyandang gelar doktor teologi jurusan filsafat. Saat ditemui, Yahya berbincang ijazah orisinil yang dikeluarkan Institut Theologia Oikumene Imanuel Manado tertanggal 10 Januari 2004. Sehingga titel yang didapatnya pun alhasil lengkap menjadi Dr Yahya Yopie Waloni, S.TH, M.TH.
Sebelum menyatakan dirinya masuk Islam, beberapa hari sebelumnya Yahya mengaku sempat berjumpa dengan seorang pedagang ikan, di rumah lamanya, kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli. Pertemuannya dengan si pedagang ikan berjalan tiga kali berturut-turut. Dan anehnya lagi, jam pertemuannya dengan si pedagang ikan itu, tidak pernah meleset dari pukul 09.45 Wita.
“Kepada saya si pedagang ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa Bugis artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Tapi dia baik sekali dengan saya,” dongeng Yahya.
Setiap kali ketemu dengan si pedagang ikan itu, Yahya mengaku berdialog panjang soal Islam. Tapi Yahya mengaku aneh, alasannya yakni si pedagang ikan yang mengaku tidak lulus SD (SD) namun begitu jago dalam menceritakan soal Islam.
Pertemuan ketiga kalinya, lanjut Yahya, si pedagang ikan itu sudah terlihat lelah. “Karena saya lihat sudah lelah, saya bilang, buka puasa saja. Tapi si pedagang ikan itu tetap ngotot tidak mau buka puasanya,” dongeng Yahya, yang dijumpai di rumah kontrakannya.
Sampai dikala ini Yahya mengaku tidak pernah lagi berjumpa dengan pedagang ikan itu. Si pedagang ikan mengaku dari dusun Doyan, desa Sandana (salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli). Meski sudah beberapa orang yang mencarinya hingga ke Doyan, dengan ciri-ciri yang diterangkan Yahya, tetapi si pedagang ikan itu tetap tidak ditemukan.
Sejak pertemuannya dengan si pedagang ikan itulah katanya, pertentangan internal keluarga Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana (sekarang Mutmainnah, red), tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Ia tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya. “Malah saya dianggap sudah gila,” katanya.
Tidak usang setelah itu, kata Yahya, tepatnya 17 bulan puasa 1427 Hijriah atau tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 Wita. Ia antara sadar dengan tidak mengaku mimpi berjumpa dengan seseorang yang berpakaian serba putih, duduk di atas kursi. Sementara Yahya di lantai dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu. “Saya pembicaraan dengan bapak itu. Namanya, katanya Lailatulkadar,” ujar Yahya mengisahkan.
Setelah dari itu, Yahya kemudian berada di satu wilayah yang dia sendiri tidak pernah menyaksikan wilayah itu sebelumnya. Di wilayah itulah, Yahya menengadah ke atas dan menyaksikan ada pintu buka-tutup. Tidak usang berselang, dua wanita masuk ke dalam. Perempuan yang pertama masuk, tanpa persoalan apa-apa. Namun wanita yang kedua, tersengat api panas.
“Setelah saya sadar dari mimpi itu, seluruh tubuh saya, mulai dari ujung kaki hingga kepala berkeringat. Saya menyerupai orang yang kena malaria. Saya sudah minum obat, tetapi tidak ada perubahan. Tetap saja begitu,” dongeng Yahya.
Sekitar dua jam dari insiden itu, di sebelah kamar, dia mendengar bunyi tangisan. Orang itu menangis terus menyerupai layaknya anak kecil. Yahya yang masih dalam keadaan panas-dingin, menghampiri bunyi tangisan itu. Ternyata, yang menangis itu yakni istrinya, Mutmainnah.
“Saya kaget. Kenapa istri saya tiba-tiba menangis. Saya tanya kenapa menangis. Dia tidak menjawab, malah eksklusif memeluk saya,” tutur Yahya.
Ternyata tangisan istri Yahya itu mengandung arti yang luar biasa. Ia menangis alasannya yakni mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan apa yang dimimpikan Mutmainnah. “Tadinya saya sudah nyaris cerai dengan istri, alasannya yakni dia tetap bertahan pada agama yang ia anut. Tapi alasannya yakni mimpi itulah, malah alhasil istri saya yang mengajak,” tandasnya.
Masuknya Yahya ke agama Islam, menyebabkan banyak interpretasi. Menurut Yahya, ada yang menyebut dirinya orang gila. Ada juga yang meragukannya, dan mungkin masih banyak interpretasi lain lagi wacana dirinya. “Tapi cukup saja hingga pada interpretasi, jangan lagi melebar ke yang lain,” pungkasnya.***
PAGI menjelang siang hari itu, nuansa Idul Fitri 1427 Hijriah masih terasa di Tolitoli. Hari itu gres memasuki hari ke-9 lebaran. Kendati terik panas matahari masih mengitari Tolitoli dan sekitarnya, namun denyut acara warga tetap menyerupai biasa.
Begitupun di sekeliling Jalan Bangau, Kelurahan Tuweley, Kelurahan Baru, Kabupaten Tolitoli. Aktivitas sehari-hari warga berjalan menyerupai biasa. Kecuali di salah satu rumah kost di jalan itu, pintunya terlihat masih tertutup rapat. Di rumah kost inilah, Yahya Yopie Waloni (36), bareng istrinya Lusiana (33) dan tiga orang anaknya tinggal sementara.
“Pak Yahya bareng istrinya gres saja keluar. Sebaiknya bapak tunggu saja di sini, sebelum banyak orang. Karena jika pak Yahya ada di sini berbagai tamunya. Nanti bapak sulit ketemu beliau,” terperinci ibu Ani, tetangga depan rumah Yahya terhadap Radar Sulteng.
Yahya bareng istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 Wita lewat tuntunan Komarudin Sofa, Sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah Yahya dengan nrimo mengucapkan dua kalimat syahadat.
Setelah memeluk Islam, nama Yahya Yopie Waloni diganti dengan Muhammad Yahya, dan istrinya Lusiana diganti dengan Mutmainnah. Begitupun ketiga anaknya. Putri tertuanya Silvana (8 tahun) diganti dengan nama Nur Hidayah, Sarah (7 tahun) menjadi Siti Sarah, dan putra bungsunya Zakaria (4 tahun) tetap menggunakan nama itu.
Mohammad Yahya sebelum memeluk Islam, pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004. Saat itu juga ia selaku pendeta dengan status selaku pramusaji lazim dan terdaftar pada Badan Pengelola Am Sinode GKI di tanah Papua, Wilayah VI Sorong-Kaimana. Ia menetap di Sorong sejak tahun 1997. Tahun 2004 ia kemudian pindah ke Balikpapan. Di sana ia menjadi dosen di Universitas Balikpapan (Uniba) hingga tahun 2006. Yahya menginjakkan kaki di kota Cengkeh, Tolitoli, tanggal 16 Agustus 2006.
Sambil menanti kedatangan Yahya, ibu Ani mempersilakan Radar Sulteng masuk ke rumahnya. Sebagai tetangga, Ibu Ani tahu banyak acara yang terjadi rumah kontrakan Yahya. “Pak Yahya pindah di sini kira-kira gres tiga minggu lalu. Sejak pindah, di sini rame terus. Orang-orang bergantian datang. Ada yang tiba dengan keluarganya. Malah ada yang rombongan dengan truk dan Kijang pickup. Karena rame sekali terpaksa dibentuk sabua (tenda, red) dan drop dingklik dari kantor Lurah Tuweley,” dongeng ibu Ani.
Hari pertama Yahya pindah di Jalan Bangau itu, orang-orang berdatangan sambil menenteng sumbangan. Ada menyumbang belanga, kompor, kasur, televisi, Alquran, gorden dan kursi. Mereka bersimpati alasannya yakni Yahya sekeluarga dikala pindah dari wilayah tinggal pertamanya cuma busana di badan. Rumah yang mereka tempati sebelumnya di Tanah Abang, Kelurahan Panasakan yakni akomodasi yang diperoleh atas pemberian gereja. Sehingga barang yang bukan miliknya ia tanggalkan semuanya.
Tidak usang menanti di rumah Ibu Ani, tiba dua orang ibu-ibu yang berpakaian dinas pegawai negeri sipil. Keduanya juga mampir di rumah Ibu Ani. Salah satu dari mereka yakni Hj Nurdiana, pegawai di Balitbang Diklat, Pemkab Tolitoli. Ibu berjilbab ini ternyata guru mengaji. Dia yakni guru mengaji yang khusus membimbing istri Yahya.
“Saya gres tiga kali konferensi dengan ibu Yahya. Supaya ibu Yahya mudah mengerti aksara hijjaiyah, saya menggunakan tata cara albarqy. Alhamdulillah kini sedikit sudah bisa,” kata Nurdiana.
Menurutnya, dia tidak kesusahan mengajari ibu Yahya. Malah, katanya, ibu Yahya cepat sekali mengerti huruf-huruf hijaiyah yang diajarkan. Karena itu dia memperkirakan kemungkinan dalam waktu tidak usang ibu Yahya sudah sanggup tanpa kendala mengaji.
Hanya sekitar 20 menit menanti di rumah ibu Ani, bunyi kendaraan sepeda motor butut milik Yahya terdengar memasuki halaman rumah kontrakannya. Radar Sulteng diterima dengan bahagia hati, kemudian dipersilakan duduk di sofa. Sementara Yahya memutuskan duduk di lantai bantalan karpet. Badannya disandarkan ke dingklik sofa. “Kita lebih bahagia duduk di bawah sini,” tuturnya dengan logat kental Manado.
Cara duduk Yahya, terlihat tidak tenang. Sesekali ia membuka kedua selangkangnya. Ternyata alasannya yakni gres beberapa hari selesai disunat. “Setelah tiga hari saya masuk Islam, saya eksklusif minta disunat di rumah ini,” dongeng Yahya, sesekali dibarengi canda.
Penataan interior rumah kost Yahya terlihat apik. Di dinding ruang tamu terlihat terpampang kaligrafi ayat dingklik yang dibingkai dengan warna keemasan. Di segi lain, kaligrafi Allah-Muhammad juga terpampang. Di meja ruang tamu terdapat dua buah Quran lengkap terjemahannya. Di tengah meja itu, juga masih ada tiga toples camilan elok lebaran. “Rumah ini saya persetujuan sementara. Saya sudah bayar Rp2,5 juta,” rinci Yahya.
Di tengah asiknya bercerita, istri Yahya, Mutmainnah menyajikan beberapa cangkir teh panas. “Silakan diminum air panasnya,” kata ibu tiga anak ini yang dikala itu mengenakan jilbab cokelat.
Tidak usang kemudian, dia masuk di salah satu kamar dan mengajak guru mengajinya Hj Nurdiana bareng rekannya. Dari balik kamar itulah terdengar bunyi Mutmainnah yang sedang mengeja satu per satu aksara hijaiyah. Terdengar memang masih kaku, namun berulang-ulang satu per satu huruf-huruf Quran itu dilafalkannya.
Lain halnya dengan suaminya, Yahya. Pria kelahiran Manado ini mengaku sudah sanggup melafalkan beberapa ayat setelah berulang kali diajarkan mengaji oleh Komarudin Sofa. Selain Komarudin, selama ini ia juga memperoleh tutorial dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tolitoli, Yusuf Yamani. “Hanya lima menit saya diajarkan. Saya eksklusif paham. Surat Fatihah saya sudah hafal,” ujar Yahya.
Selain menuntut ilmu mengaji dan menemukan tamu, acara Yahya juga kerap menghadiri seruan di beberapa masjid. Tidak cuma dalam kota, namun hingga ke desa-desa di Kabupaten Tolitoli. “Saya ditemani beberapa orang. Ada juga dari Departemen Agama,” katanya.
Yahya bareng istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 Wita lewat tuntunan Komarudin Sofa, sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. “Hari itu saya sudah mengucapkan dua kalimat syahadat yang dituntun Pak Komarudin,” dongeng Yahya. Apa yang melatari hingga Yahya dan keluarganya memeluk Islam.
PAK Yahya, begitu sapaan akrabnya. Pria kelahiran Manado tahun 1970 ini lahir dari kelompok terdidik dan disiplin. Ayahnya seorang pensiunan tentara. Sekarang menjabat anggota DPRD di salah satu kabupaten gres di Sulawesi Utara. Sebagai putra bungsu dari tujuh bersaudara, Yahya dikala bujang tergolong salah seorang generasi yang nakal. “Saya tidak perlu dongeng masa kemudian saya. Yang niscaya saya juga dahulu pernah nakal,” tukasnya.
Lantaran kenakalannya itulah mungkin, sehingga beberapa cuilan badannya terdapat bekas tato. Di lengannya terdapat bekas luka setrika untuk menetralisir tatonya. “Ini dahulu bekas tato. Tapi semua sudah saya setrika,” katanya sambil menunjuk bekas-bekas tatonya itu.
Postur tubuhnya memang terlihat mendukung. Tinggi dan tegap. Meski ia pernah nakal, namun pendidikan formalnya hingga ke tingkat doktor. Ia menyandang gelar doktor teologi jurusan filsafat. Saat ditemui, Yahya berbincang ijazah orisinil yang dikeluarkan Institut Theologia Oikumene Imanuel Manado tertanggal 10 Januari 2004. Sehingga titel yang didapatnya pun alhasil lengkap menjadi Dr Yahya Yopie Waloni, S.TH, M.TH.
Sebelum menyatakan dirinya masuk Islam, beberapa hari sebelumnya Yahya mengaku sempat berjumpa dengan seorang pedagang ikan, di rumah lamanya, kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli. Pertemuannya dengan si pedagang ikan berjalan tiga kali berturut-turut. Dan anehnya lagi, jam pertemuannya dengan si pedagang ikan itu, tidak pernah meleset dari pukul 09.45 Wita.
“Kepada saya si pedagang ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa Bugis artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Tapi dia baik sekali dengan saya,” dongeng Yahya.
Setiap kali ketemu dengan si pedagang ikan itu, Yahya mengaku berdialog panjang soal Islam. Tapi Yahya mengaku aneh, alasannya yakni si pedagang ikan yang mengaku tidak lulus SD (SD) namun begitu jago dalam menceritakan soal Islam.
Pertemuan ketiga kalinya, lanjut Yahya, si pedagang ikan itu sudah terlihat lelah. “Karena saya lihat sudah lelah, saya bilang, buka puasa saja. Tapi si pedagang ikan itu tetap ngotot tidak mau buka puasanya,” dongeng Yahya, yang dijumpai di rumah kontrakannya.
Sampai dikala ini Yahya mengaku tidak pernah lagi berjumpa dengan pedagang ikan itu. Si pedagang ikan mengaku dari dusun Doyan, desa Sandana (salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli). Meski sudah beberapa orang yang mencarinya hingga ke Doyan, dengan ciri-ciri yang diterangkan Yahya, tetapi si pedagang ikan itu tetap tidak ditemukan.
Sejak pertemuannya dengan si pedagang ikan itulah katanya, pertentangan internal keluarga Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana (sekarang Mutmainnah, red), tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Ia tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya. “Malah saya dianggap sudah gila,” katanya.
Tidak usang setelah itu, kata Yahya, tepatnya 17 bulan puasa 1427 Hijriah atau tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 Wita. Ia antara sadar dengan tidak mengaku mimpi berjumpa dengan seseorang yang berpakaian serba putih, duduk di atas kursi. Sementara Yahya di lantai dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu. “Saya pembicaraan dengan bapak itu. Namanya, katanya Lailatulkadar,” ujar Yahya mengisahkan.
Setelah dari itu, Yahya kemudian berada di satu wilayah yang dia sendiri tidak pernah menyaksikan wilayah itu sebelumnya. Di wilayah itulah, Yahya menengadah ke atas dan menyaksikan ada pintu buka-tutup. Tidak usang berselang, dua wanita masuk ke dalam. Perempuan yang pertama masuk, tanpa persoalan apa-apa. Namun wanita yang kedua, tersengat api panas.
“Setelah saya sadar dari mimpi itu, seluruh tubuh saya, mulai dari ujung kaki hingga kepala berkeringat. Saya menyerupai orang yang kena malaria. Saya sudah minum obat, tetapi tidak ada perubahan. Tetap saja begitu,” dongeng Yahya.
Sekitar dua jam dari insiden itu, di sebelah kamar, dia mendengar bunyi tangisan. Orang itu menangis terus menyerupai layaknya anak kecil. Yahya yang masih dalam keadaan panas-dingin, menghampiri bunyi tangisan itu. Ternyata, yang menangis itu yakni istrinya, Mutmainnah.
“Saya kaget. Kenapa istri saya tiba-tiba menangis. Saya tanya kenapa menangis. Dia tidak menjawab, malah eksklusif memeluk saya,” tutur Yahya.
Ternyata tangisan istri Yahya itu mengandung arti yang luar biasa. Ia menangis alasannya yakni mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan apa yang dimimpikan Mutmainnah. “Tadinya saya sudah nyaris cerai dengan istri, alasannya yakni dia tetap bertahan pada agama yang ia anut. Tapi alasannya yakni mimpi itulah, malah alhasil istri saya yang mengajak,” tandasnya.
Masuknya Yahya ke agama Islam, menyebabkan banyak interpretasi. Menurut Yahya, ada yang menyebut dirinya orang gila. Ada juga yang meragukannya, dan mungkin masih banyak interpretasi lain lagi wacana dirinya. “Tapi cukup saja hingga pada interpretasi, jangan lagi melebar ke yang lain,” pungkasnya.***
0 Komentar untuk "Dr Yahya Yopie Waloni Sth Mth, Mantan Pendeta"