Oleh: Ki Darmaningtyas
Persoalan pendidikan paling penting yang mesti diamati Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Tulisan pengamat pendidikan Darmaningtyas.
Pengangkatan Nadiem Makarim (NM) selaku pendiri GoJek selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang membawahi Pendidikan Dasar dan Menengah serta Perguruan Tinggi sudah membuat kontroversi.
Banyak yang memiliki optimisme gres bahwa NM akan menenteng situasi gres dalam birokrasi pendidikan, paling tidak memecah kebekuan birokrasi yang sarat monoton selama berpuluh tahun, namun ada pula yang mencurigai kapasitasnya dalam mengorganisir pendidikan nasional yang begitu luas dan kompleks.
Tulisan ini menjajal membedah salah satu dilema dasar pendidikan kita dengan impian sanggup menjadi masukan bagi Mendikbud baru. Hal ini penting, mengingat bila disimak pernyataan-pernyataan resmi yang disampaikan terhadap public, kesannya bahwa dilema pendidikan kita cuma terkait dengan permasalahan kurikulum dan teknologi saja.
Krisis Guru PNS
Guru, ialah kunci utama kesuksesan pendidikan. Kurikulum yang jelek di tangan guru yang elok akan menciptakan lulusan yang bagus. Sebaliknya, kurikulum yang elok di tangah guru yang jelek, risikonya tetap jelek. Pendidikan di Finlandia dipahami elok lantaran guru-guru di sana berkualitas. Yang menjadi guru di Finlandia yakni orang-orang yang memiliki kecerdasan mirip halnya yang menjadi dokter dan instinyur.
Sayang kita justru dihadapkan pada permasalahan krisis guru, baik kuantitas maupun kuliatas, khususnya yang berstatus selaku guru PNS (pegawai negeri sipil/ASN). Jika ada yang menyampaikan bahwa kita keistimewaan guru, itu yang bersangkutan tidak mengenali dilema lapangan. Sebelum 2012 radi guru:murid kita memang baik, namun sejak 2012 jumlah guru PNS kita terus berkurang setiap tahunnya.
Kita memang keistimewaan guru, namun itu guru honorer yang persyaratan upah dan kompetensinya amat beragam, tidak sanggup dikehendaki menjadi garda depan untuk membereskan mutu pendidikan nasional. Guru yang berstatus PNS sungguh kurang, lebih dari 50% kurangnya dari total keperluan guru pendidikan dasar dan menengah. Bahkan Kabupaten/Kota di Bodetabek pun kelemahan gurunya meraih ribuan orang. Hal itu disebabkan Pengangkatan guru SD (Inpres) secara besar-besaran terjadi antara kurun 1974 – 1984 serentak dengan pendirian ratusan ribu SD Inpres sejak 1973.
Pengangkatan guru Sekolah Menengah Pertama dan SMK/SMA secara besar-besaran berjalan antara periode 1980-1990-an lewat pembukaan Program Diploma I, II, dan III. Para guru tersebut sesuai dengan usia pensiun 60 tahun, sejak 2012 secara berangsur menjalani masa pensiun. Masa pensiun yang massif tersebut masih berjalan hingga 2019 ini. Di segi lain, pengangkatan guru PNS selama satu dekade terakhir ini amat sedikit, tidak seimbang dengan jumlah guru yang pensiun. Akibatnya, secara kuantitatif, kita mengalami krisis guru PNS.
Kebutuhan guru secara fisik itu tidak sanggup digantikan oleh kemunculan teknologi, bila sekolah dianggap selaku tempat menyemai pendidikan karakter. Oleh lantaran itu, dilema krisis guru ini perlu mendapat atensi dari Mendikbud, Menteri Keuangan, maupun Menteri PAN.
Solusi dalam waktu singkat yang sanggup diambil oleh Pemerintah yakni menampilkan terhadap PNS non guru untuk beralih profesi menjadi guru PNS di sekolah dasar maupun menengah. Hal itu mengingat ABPN terbatas, sehingga tidak dapat mengangkat guru secara massif dalam waktu singkat, di segi lain sering dikeluhkan banyak PNS di sejumlah kementerian yang terlampau banyak dan kurang produktif. PNS yang masih muda namun kurang produktif itu lebih baik dialihdayakan menjadi guru dengan dibekali ilmu dikdaktika secara singkat. Sangat mungkin di antara mereka juga sudah memiliki passion menjadi guru.
Pada tahun 2002 di saat Pemerintah di saat itu merekrut guru kontrak, pernah menampilkan terhadap para PNS di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk pindah menjadi guru di tempat masing-masing. Namun lantaran di saat itu honor guru amat kecil dan tidak ada pendapatan lain, maka tidak banyak PNS di Depdiknas yang berkeinginan alih profesi. Sekarang honor guru PNS dengan pemberian profesinya sudah cukup besar, sehingga sungguh mungkin banyak PNS non guru yang berkeinginan pindah profesi menjadi guru. Tawaran tersebut perlu dicoba lagi pemerintah demi memadai keperluan guru.
Kirisis guru tersebut tidak cuma terjadi secara kuantitatif, namun juga kualitatif, lantaran mayoritras guru yang ada sudah berusia 50 tahun ke atas dan di antara mereka cuma sedikit yang pernah mengikuti training selama menjadi guru. Bandingkan dengan guru-guru di Singapura yang senantiasa mendapat training setiap tahunnya dengan ongkos dari negara.
Pengelolaan guru oleh Pemerintah Daerah dan Pemprov juga jelek lantaran guru diperlakukan mirip buruh, yang mesti melakukan pekerjaan dari pagi hingga siang di sekolah sehingga tak punya peluang mengembangkan kompetensinya dengan mengikuti acara-acara pelatihan, seminar, diskusi di luar sekolah, atau menyaksikan pertunjukan yang sanggup memberi ide dirinya.
Dengan kata lain, pengelolaan guru di sekarang ini mengirimkan guru makin kurang pergaulan (kuper). Wajar bila mereka kemudian sangsi diri di depan publik. Oleh lantaran itu, kesibukan pendidikan dan latihan (Diklat) untuk semua guru secara terorganisir perlu ditangani oleh Pemerintah bila serius ingin memperbaiki mutu pendidikan nasional.
Selama ini, guru yang mengikuti Diklat di sentra Diklat guru cuma itu-itu saja dari tahun ke tahun. Pusat Diklat guru di bawah Kemdikbud semestinya memiliki data base guru-guru yang sudah pernah mengikuti Diklat dan belum guna menyingkir dari terjadinya pengulangan Diklat untuk seorang guru, namun tidak tersentuh sama sekali bagi guru yang lain.
Kesenjangan Sarpras dan Kualitas
Saya bersyukur bahwa hingga 2019 ini sudah lebih dari 250 kabupaten/kota di Indonesia yang sudah pernah saya kunjungi, baik di Jawa maupun luar Jawa, tergolong di Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Dari sanalah saya menyaksikan eksklusif adanya kesenjangan fasilitas dan prasarana (Sarpras) pendidikan antara Jawa dan luar Jawa. Sekolah-sekolah (negeri) di Jawa biasanya berada di tepi jalan utama dengan gedung yang megah dan fasilitas yang lengkap.
Tapi di luar Jawa kita senantiasa bertanya, di mana lokasi sekolah? Sering lokasi sekolah berada di dalam kampung yang tidak disokong dengan kanal fasilitas transportasi publik, bahkan halaman sekolah pun sarat rerumputan dan sanggup ditentukan becek pada di saat viral hujan. Kondisi gedungnya saja kumuh, terlebih fasilitas pendidikan lainnya, tentu minim sekali, tidak selengkap di Jawa. Ini bukan kasusistik, namun sanggup didapatkan di semua wilayah di luar Jawa.
Oleh lantaran itu, kebijakan pendidikan nasional tidak dapat tunggal, mesti lihat keadaan lokal.
Sekolah-sekolah di luar Jawa itu secara lazim dikuasai kelemahan guru PNS. Satu SD memiliki empat guru PNS itu sudah hebat. Padahal, sosok guru di daerah-daerah mirip itu masih amat diperlukan lantaran proses pembelajaran cuma sanggup ditangani dengan tatap muka, mengingat daya listrik dan sinyal HP juga terbatas.
Di tempat kepulauan lebih mengenaskan lagi, selain prasarana dan fasilitas yang memprihatinkan, kanal menuju ke sekolah juga menjadi permasalahan besar. Anak-anak pergi/pulang sekolah dengan menggunakan bahtera tradisional yang keistimewaan muatan dan tidak diikuti baju pelampung, pergi/pulang sekolah bagi mereka menyerupai menyabung nyawa saja. Bagi mereka yang amat diperlukan yakni lokasi sekolah yang bersahabat dengan rumah dan guru yang mencukupi, sehingga sanggup menolong proses pembelajaran secara lancar. Teknologi, memang penting, namun bukan yang paling penting bagi mereka di saat ini.
Kesenjangan prasarana dan sarana, serta kelemahan guru tersebut otomatis berefek pada kesenjangan kualitas. Pengalaman terlibat menjadi juri Pelajar Pelopor Keselamatan yang diselenggarakan Kementerian Perhubungan sejak 2011 menyampaikan pembelajaran terhadap saya betapa senjangnya mutu pendidikan antara Jawa dan luar Jawa amat jauh.
Para pelajar dari Jawa, Sumatra, dan Kalimantan biasanya bisa menciptakan materi penyajian dengan power poin yang menarik, bahkan inovasinya pun cukup canggih, sementara yang dari Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Maluku, dan NTT power poinnya cuma berupa goresan pena deskripsi saja dan tidak ada ide gres yang ditawarkan.
Saya sering meratap duka di saat menyimak penyajian mereka, lantaran itulah realitas yang sebenarnya terjadi di dunia pendidikan kita, begitu lebarnya kesenjangan Sarpras dan mutu pendidikan Jawa dan luar Jawa. Itu ialah PR besar untuk diatasi.
Oleh lantaran itu, kebijakan pendidikan nasional tidak dapat tunggal, mesti lihat keadaan lokal. Pengembangan pendidikan berbasis teknologi amat cocok untuk sekolah-sekolah di perkotaan, namun itu penderitaan bagi sekolah-sekolah di pedesaan, terlebih yang daya listrik dan sinyal HP lemah. Semoga hal-hal riil di lapangan mirip ini mendapat perhatian dalam menciptakan kebijakan pendidikan nasional.
Dimuat di Tagar.id, 31 Oktober 2019
https://www.tagar.id/krisis-guru-dan-kesenjangan-jawaluar-jawa
0 Komentar untuk "Krisis Guru Dan Kesenjangan Jawa-Luar Jawa"