Sebuah dongeng yang sungguh mengharukan diangkut dalam situs Eberita dimana banyak pesan tersirat yang tersirat di dalamnya, utamanya bagi para orangtua. Harapannya agar orangtua tidak pribadi menghukum seorang anak karena akhir dari perbuatannya. Selidikilah dulu penyebabnya dan cari penyelesaian yang terbaik dibandingkan menampilkan eksekusi yang justru membekas dalam benaknya.
Berikut yakni kisahnya.
Berperan selaku orangtua tunggal karena ditinggal oleh seorang istri memang sungguh berat. Meski begitu saya tak mau menyia-nyiakan peranku selaku seorang ayah. Sejak pagi hari saya sudah melakukan kiprah yang harusnya dijalankan seorang ibu rumah tangga. Mulai dari mencuci baju sampai mengolah masakan nasi pun ku laksanakan demi anakku satu-satunya.
Aku pun berangkat ke kantor untuk mencari penghidupan. Sementara anakku yang masih mengantuk kusuruh untuk secepatnya makan dan berkemas-kemas berangkat ke sekolah gotong royong denganku.
Tiba waktu pulang, ku baringkan sejenak tubuhku agar rasa letih sehabis sehari sarat melakukan pekerjaan sanggup hilang. Namun tiba-tiba suatu mangkuk berisi mie instant pecah sempurna di kawasan saya berbaring.
Aku pun sewaktu itu sungguh murka dan mengambil rotan. Ku pukulkan rotan tersebut berulang kali terhadap anakku tanpa belas kasih karena fikiran dan fisikku yang begitu lelah.
Ketika selesai, anakku pribadi pergi ke kamar. Sementara diriku cuma sanggup menangis karena kehidupan yang begitu susah terasa. Setelah sholat Isya, kutengok kamar anakku dan kudapati bahwa ia juga sedang menangis. Bukan sebab sakit di punggungnya, tetapi sebab menyaksikan foto almarhum ibunya yang sudah tiada.
Aku kemudian masuk ke dalam kamarnya dan kuobati punggung yang sewaktu itu terlihat memerah sambil kubujuk agar mau tidur.
Dalam hati, Aku berjanji tidak akan mengulangi apa yang sudah ku perbuat. Namun suatu insiden setahun kemudian membuatku naik pitam kembali.
Salah seorang guru menelepon sewaktu saya masih berada di kantor. Sang guru menyampaikan bahwa anakku tidak masuk sekolah beberapa hari. Padahal jelas-jelas saya senantiasa mengantarkannya ke sekolah.
Tentu saja merasa dibohongi, saya pun pribadi pulang dan mendapati anakku sedang bermain game di suatu warnet. Perasaanku yang sudah tidak sanggup terkendali membuatku memukulinya tanpa ampun.
Anakku cuma sanggup berkata, “Maafkan saya ayah”.
Setelah beberapa hari berlalu, anakku memperoleh pelajaran menulis dan membaca. Di rumah ia pun nampak begitu tekun menulis. Hal ini ia laksanakan di dalam kamarnya yang kupikir ia sedang belajar memperlancar tulisannya.
Aku sewaktu itu begitu besar hati sanggup menyaksikan anakku yang rajin. Almarhum istriku pun tentu akan besar hati bila sanggup melihatnya.
Namun beberapa hari sehabis itu, seorang petugas kantor pos lokal mengunjungi rumahku dan menyampaikan bahwa anakku sudah mengantarkan puluhan surat tanpa mencantumkan alamat jelas. Petugas itu memang kebetulan yakni salah satu tetangga dekatku sehingga tahu bahwa surat itu produksi anakku sendiri.
Ketika kutanya terhadap anakku mengapa ia melakukan hal tersebut, anakku menjawab bahwa ia cuma ingin mengantarkan surat untuk almarhum ibunya. Ia pun masuk ke dalam kamar sembari menangis dan menyampaikan “Maafkan saya ayah.”
Merasa penasaran, kucoba membuka beberapa surat tersebut dari amplop yang tertulis terperinci “Untuk Ibu Tersayang”.
Aku baca perlahan dan saat itu juga deraian air mata membasahi pipiku.
Berikut isi surat yang ditulis oleh anakku.
“Ibu, hari ini saya kena murka oleh ayah sebab meletakkan mie instant di bawah selimutnya. Saat itu saya sungguh lapar dan ingin makan nasi. Tapi sebab ayah melarang untuk menggunakan kompor, saya pun mengolah masakan mie menggunakan air termos. Satu untukku dan satu untuk ayah. Tapi kutaruh punya ayah di bawah selimutnya agar tidak cepat dingin. Namun saya lupa menginformasikan ayah. Aku pun dimarahi sebab mie itu tumpah.
Ibu, hari itu saya dan teman-teman disuruh menghasilkan pertunjukan. Ibu guru juga memanggil ibu-ibu murid untuk tiba ke sekolah agar sanggup menyaksikan pertunjukan kami.
Tapi ibu kan sudah tidak ada dan saya tak mau ke sekolah. Aku sengaja tidak menginformasikan ayah sebab takut ia menangis dan ingat terhadap ibu. Untuk menyembunyikan rasa sedihku, saya main game di warnet dan ayah menemukanku serta memarahi sembari memukuliku.
Bu, saban hari saya begitu merindukanmu. Setiap hari saya senantiasa teringat padamu. Namun bisakah ibu timbul dalam mimpiku malam ini sebab saya ingin memeluk dan mengatakan denganmu?”
Setelah menyaksikan isi surat tersebut, kuputuskan untuk mengunjungi kamarnya dan memeluk anakku sembari meminta maaf atas kelakuanku selama ini.
Sumber https://www.kabarmakkah.com
Ilustrasi (Eberita.org) |
Berperan selaku orangtua tunggal karena ditinggal oleh seorang istri memang sungguh berat. Meski begitu saya tak mau menyia-nyiakan peranku selaku seorang ayah. Sejak pagi hari saya sudah melakukan kiprah yang harusnya dijalankan seorang ibu rumah tangga. Mulai dari mencuci baju sampai mengolah masakan nasi pun ku laksanakan demi anakku satu-satunya.
Aku pun berangkat ke kantor untuk mencari penghidupan. Sementara anakku yang masih mengantuk kusuruh untuk secepatnya makan dan berkemas-kemas berangkat ke sekolah gotong royong denganku.
Tiba waktu pulang, ku baringkan sejenak tubuhku agar rasa letih sehabis sehari sarat melakukan pekerjaan sanggup hilang. Namun tiba-tiba suatu mangkuk berisi mie instant pecah sempurna di kawasan saya berbaring.
Aku pun sewaktu itu sungguh murka dan mengambil rotan. Ku pukulkan rotan tersebut berulang kali terhadap anakku tanpa belas kasih karena fikiran dan fisikku yang begitu lelah.
Ketika selesai, anakku pribadi pergi ke kamar. Sementara diriku cuma sanggup menangis karena kehidupan yang begitu susah terasa. Setelah sholat Isya, kutengok kamar anakku dan kudapati bahwa ia juga sedang menangis. Bukan sebab sakit di punggungnya, tetapi sebab menyaksikan foto almarhum ibunya yang sudah tiada.
Aku kemudian masuk ke dalam kamarnya dan kuobati punggung yang sewaktu itu terlihat memerah sambil kubujuk agar mau tidur.
Dalam hati, Aku berjanji tidak akan mengulangi apa yang sudah ku perbuat. Namun suatu insiden setahun kemudian membuatku naik pitam kembali.
Salah seorang guru menelepon sewaktu saya masih berada di kantor. Sang guru menyampaikan bahwa anakku tidak masuk sekolah beberapa hari. Padahal jelas-jelas saya senantiasa mengantarkannya ke sekolah.
Tentu saja merasa dibohongi, saya pun pribadi pulang dan mendapati anakku sedang bermain game di suatu warnet. Perasaanku yang sudah tidak sanggup terkendali membuatku memukulinya tanpa ampun.
Anakku cuma sanggup berkata, “Maafkan saya ayah”.
Setelah beberapa hari berlalu, anakku memperoleh pelajaran menulis dan membaca. Di rumah ia pun nampak begitu tekun menulis. Hal ini ia laksanakan di dalam kamarnya yang kupikir ia sedang belajar memperlancar tulisannya.
Aku sewaktu itu begitu besar hati sanggup menyaksikan anakku yang rajin. Almarhum istriku pun tentu akan besar hati bila sanggup melihatnya.
Namun beberapa hari sehabis itu, seorang petugas kantor pos lokal mengunjungi rumahku dan menyampaikan bahwa anakku sudah mengantarkan puluhan surat tanpa mencantumkan alamat jelas. Petugas itu memang kebetulan yakni salah satu tetangga dekatku sehingga tahu bahwa surat itu produksi anakku sendiri.
Ketika kutanya terhadap anakku mengapa ia melakukan hal tersebut, anakku menjawab bahwa ia cuma ingin mengantarkan surat untuk almarhum ibunya. Ia pun masuk ke dalam kamar sembari menangis dan menyampaikan “Maafkan saya ayah.”
Merasa penasaran, kucoba membuka beberapa surat tersebut dari amplop yang tertulis terperinci “Untuk Ibu Tersayang”.
Aku baca perlahan dan saat itu juga deraian air mata membasahi pipiku.
Berikut isi surat yang ditulis oleh anakku.
“Ibu, hari ini saya kena murka oleh ayah sebab meletakkan mie instant di bawah selimutnya. Saat itu saya sungguh lapar dan ingin makan nasi. Tapi sebab ayah melarang untuk menggunakan kompor, saya pun mengolah masakan mie menggunakan air termos. Satu untukku dan satu untuk ayah. Tapi kutaruh punya ayah di bawah selimutnya agar tidak cepat dingin. Namun saya lupa menginformasikan ayah. Aku pun dimarahi sebab mie itu tumpah.
Ibu, hari itu saya dan teman-teman disuruh menghasilkan pertunjukan. Ibu guru juga memanggil ibu-ibu murid untuk tiba ke sekolah agar sanggup menyaksikan pertunjukan kami.
Tapi ibu kan sudah tidak ada dan saya tak mau ke sekolah. Aku sengaja tidak menginformasikan ayah sebab takut ia menangis dan ingat terhadap ibu. Untuk menyembunyikan rasa sedihku, saya main game di warnet dan ayah menemukanku serta memarahi sembari memukuliku.
Bu, saban hari saya begitu merindukanmu. Setiap hari saya senantiasa teringat padamu. Namun bisakah ibu timbul dalam mimpiku malam ini sebab saya ingin memeluk dan mengatakan denganmu?”
Setelah menyaksikan isi surat tersebut, kuputuskan untuk mengunjungi kamarnya dan memeluk anakku sembari meminta maaf atas kelakuanku selama ini.
Baca Juga: Anak Ini Mengaku Mencuri Uang Gurunya, Perlakuan Sang Ibu Sungguh Diluar Dugaan
0 Komentar untuk "Anak Ini Kirim Surat Tanpa Alamat Untuk Ibunya Yang Telah Meninggal, Isinya Bikin Nangis"