Politik Di Negara-Negara Islam

1.      HUBUNGAN ISLAM,NEGARA DAN POLITIK
Relasi antara islam dan politik di Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang cukup panjang. Relasi ini ditandai dengan asal awalnya islam masuk di nusantara, sekitar masa 7 M. Dalam perjalanan permulaan ini, islam berinteraksi dengan sosio kultural yang ada mirip hinduisme dan animisme.
Dibalik semua itu islam bisa menancapkan pengaruhnya dalam sejarah indonesia. Sehingga beberapa masa kemudian islam malah menjadi penggagas untuk kemajuan politik di indonesia. Buktinya, perlawanan menghadapi kolonial belanda untuk menemukan kemerdekaan terlepas dari belenggu penjajah, dimotori oleh pergerakan-pergerakan islam baik yang bersifat setempat tradisional maupun nasional modernis.
Fenomena politik islam kemudian berlanjut terhadap proses pembentukan identitas negara, walaupun pada jadinya islam mesti berkompromi dalam proses pembangunan identitas bangsa tersebut. Namun, kompromi ini dikemudian hari menjadi boomerang bagi islam politik, mirip yang terjadi pada masa rezim orde gres bahkan indentitas islam politik makin tidak terang di masa orde reformasi.
Hubungan yang erat antara agama dan politik yang sudah merupakan satu ciri dari sejarah kemajuan Islam, lebih banyak dari pada tidak, agak tidak sanggup diterima oleh kaum terpelajar Islam yang memperoleh pendidikan Barat modern, yang terbiasa menatap soal-soal keyakinan dan kehidupan gampang selaku dua bidang yang satu terpisah dari yang lainnya. Sebaliknya, yakni tidak mungkin untuk menemukan satu analisa yang sempurna ihwal Islam, tanpa mencurahkan perhatian yang sarat terhadap kendala ini. Siapa saja yang sudah mengenal ajaran-ajaran Islam, walaupun dangkal, akan megetahui bahwa ajaran-ajaran itu bukan saja melukiskan korelasi insan dengan Tuhan, tetapi juga menaruh satu rangka dasar tertentu bagi kelakuan sosial yang mesti diterima dan dijalankan selaku jawaban dari korelasi itu.
Dibalik semua itu islam bisa menancapkan pengaruhnya dalam sejarah indonesia. Sehingga beberapa masa kemudian islam malah menjadi penggagas untuk kemajuan politik di indonesia. Buktinya, perlawanan menghadapi kolonial belanda untuk menemukan kemerdekaan terlepas dari belenggu penjajah, dimotori oleh pergerakan-pergerakan islam baik yang bersifat setempat tradisional maupun nasional modernis.
Fenomena politik islam kemudian berlanjut terhadap proses pembentukan identitas negara, walaupun pada jadinya islam mesti berkompromi dalam proses pembangunan identitas bangsa tersebut. Namun, kompromi ini dikemudian hari menjadi boomerang bagi islam politik, mirip yang terjadi pada masa rezim orde gres bahkan indentitas islam politik makin tidak terang di masa orde reformasi.
Politik merupakan cara dan upaya mengatasi masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk merealisasikan kemaslahatan dan menangkal hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. Politik Islam merupakan acara politik sebagian umat Islam yang memunculkan Islam selaku pola nilai dan basis solidaritas berkelompok.
sistem politik yakni suatu konsepsi yang terdiri dari antara lain, ketentuan-ketentuan ihwal siapa sumber kekuasaan negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk memutuskan terhadap siapa wewenang melaksanakan kekuasaan itu diberikan; terhadap siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawab tersebut.[1]
dalam anutan Islam terdapat metode politik yang dapat memunculkan suatu metode yang baku dan sanggup dijadikan persyaratan pengambilan format kenegaraan bagi umat Islam.
Alquran selaku kitab suci umat Islam, di dalamnya terdapat sejumlah ayat yang mengandung isyarat dan pedoman bagi insan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Di antara ayat-ayat tersebut mengajarkan ihwal kedudukan insan di bumi dan ihwal prinsip-prinsip yang mesti diamati dalam kehidupan kemasyarakatan mirip prinsip-prinsip musyawarah atau konsultasi, ketaatan pada pemimpin, keadilan, persamaan, dan keleluasaan beragama.[2]  Tetapi baik Quran maupun Sunnah Rasul tidak mengajarkan metode pemerintahan tertentu yang mesti dianut oleh umat Islam. Nabi wafat tanpa menampilkan isyarat ihwal bagaimana sebaiknya umat Islam memutuskan siapa pemimpin atau kepala negara mereka, ihwal bagaimana menertibkan korelasi kekuasaan antara kepala negara dan rakyat, ihwal batas kekuasaan, dan masa jabatan kepala negara, dan ihwal sanggup atau tidaknya kepala negara dibebaskan dari jabatannya.
Sistem politik yang baku itu bekerjsama tidak ada dalam Islam,Islam cuma menampilkan prinsip-prinsip dan tata nilai bagi setiap Muslim dalam menjalankan suatu negara dan pemerintahan.
Di golongan umat Islam hingga kini terdapat tiga aliran ihwal korelasi antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama, berpendirian bahwa Islam yakni agama yang paripurna dalam arti lengkap dengan segala jenis isyarat bagi semua faktor kehidupan manusia, tergolong metode pemerintahan, dengan merujuk terhadap pola politik al-Khulafa’ ar-Rasyidin selaku modelnya. . Aliran kedua berpendirian bahwa agama Islam yakni sama halnya dengan agama-agama lain yang tidak ada relevansinya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad yakni nabi biasa mirip halnya nabi-nabi sebelumnya, dengan kiprah tunggal mengajak insan kembali terhadap kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur tanpa misi untuk mendirikan negara. aliran ketiga, menolak usulan bahwa Islam yakni suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat metode ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak pikiran bahwa Islam yakni agama dalam pengertian Barat yang cuma menertibkan antara korelasi insan dengan Maha Penciptanya.
Pemikiran-pemikiran cendikiawan muslim berhubungan dengan kendala politik dan ketatanegaraan mirip al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah dan sebagainya, secara lazim sanggup digolongkan menjadi dua kelompok: pertama, idealisasi dalam pemikiran politik, dan kedua, terbatas pada pengertian terhadap suasana dan kondisi tersebut.[14] Pemikiran dalam bentuk pertama, cuma al-farabi yang masuk dalam kelompok ini. Gagasan politiknya ini sama sekali tidak mungkin dilaksanakan secara utuh, walaupun pada bagian-bagian tertentu dari pemikirannya sanggup digambarkan secara kongkret dan sanggup dilaksanakan.
Kami, beropini bahwa idealisasi al-Farabi tidak berorientasi terhadap Islam melainkan lebih terhadap fikiran-fikiran Yunani, sebagaimana ia menyebut bahwa pemimpin yang ideal yakni Nabi dan sehabis itu filosof, lantaran menurut al-Farabi, kepala atau pemimpin yang tertinggi itu merupakan wakil dari lantaran yang pertama yakni Tuhan. Dalam konsep Negara Utama-nya, ia mengharapkan terwujudnya kebahagiaan bersama, material, spriritual, dan menurut ketuhanan.[3]
 Pemikiran yang terbatas pada pengertian terhadap suasana dan kondisi merupakan pemikiran yang memang sempurna unuk dipraktekkan pada masa sekarang ini. Di mana umat Muslim sudah tersebar di banyak sekali penjuru bumi yang masing-masing mempunyai suasana dan kondisi politik dan kenegaaan yang berlainan dengan daerah atau negara umat Muslim ditempat yang lain.
Bila kita ingin menyaksikan lebih teliti ihwal korelasi islam dan politik dimana saja didunia islam,kita sedapat mungkin sanggup melepaskan diri kita dari kungkungan persepsi sempit dan terbatas yang boleh jadi menutup visi kita untuk mengenali kendala yang lebih besar dan fundamental.Ada dua perumpamaan kunci untuk menolong menyaksikan kendala ini dengan cara yang lebih jernih. Istilah pertamaialah islam sejarah(historic islam), yakni islam sebagaimana yang sudah di fahami dan diterjemahkan kedalam konteks sejaraholeh umat islam terhadap tantangan sejarah yang serba kompleks dalam bidang sosio-politik dan kultural yang tiba silih berganti.istilah kunci kedua islam cita-cita(ideal islam),yaitu islam sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam alqur’an dan sunnah yang otentik,islam cita-cita, betapapun interprestasi setiap muslim belum tentu senantiasa sejalan tentangnya,mengandung persepsi dunia seorang muslim terbuat oleh wahyu.pandangan dunia ini belum lagi dirumuskan secara tuntas dan sistematis pada masa terbaru ini.

2.      POLITIK ISLAM DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN

Pemikiran ihwal Islam dan tata negara di Indonesia belum meningkat jauh mirip di negara-negara muslim lainnya. Memang partai-partai politik Islam sudah mulai bermunculan sejak zaman penjajahan. Tetapi pada waktu itu, perhatian partai-partai Islam terpusatkan pada usaha pembebasan Indonesia dari penjajahan. Sehingga sanggup dibilang bahwa pada zaman penjajahan pada hakikatnya partai-partai Islam Indonesia itu merupakan partai-partai nasionalis, sama mirip partai-partai politik yang lain, dengan satu perbedaan bahwa keanggotaan partai-partai Islam cuma terdiri dari orang-orang yang beragama Islam saja.[4]
Berkaitan dengan Pancasila, sebagaimana halnya Natsir, Munawir menampilkan penguatan terhadap kita dengan menyampaikan bahwa konsep negara Pancasila tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip dan tata nilai yang sudah diamanatkan oleh Alquran. Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa selaku sila pertama merupakan dasar pertama yang paling sanggup diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang menganut banyak sekali agama. Sementara itu bagi umat Islam sendiri, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki arti tauhid dan sudah sesuai dengan anutan Islam. Selain itu, menurut Munawir, pengembangan dan pengamalan Islam di Indonesia nyaris sama maju dan semaraknya bila ketimbang negara-negara Islam yang ada.
Ketika menjabat Menteri Agama, Munawir menghimbau agar negara Repoblik Indonesia yang menurut Pancasila ini diterima selaku sasaran final dari aspirasi politik umat Islam dan bukannya selaku kerikil loncatan ke arah sasarn-sasaran lain. Alasan Munawir, dalam konsep negara pancasila Islam memang tidak dinyatakan selaku agama negara , tetapi dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” selaku sila pertama dasar negara, terang merupakan hal yang sanggup diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang menganut banyak sekali agama. Munawir beropini bahwa Piagam Madinah yang sanggup disebandingkan dengan Pancasila itu, merefleksikan keleluasaan beragama dan ta‘awun, namun tanpa penegasan resmi ditengah kemajemukan maasyarakat.[5]
Menurut Nurcholis Madjid, kaitan antara Islam dan politik di Indonesia menyerupai suatu perjalanan yang sentimentil. Sebab di dalamnya berkecamuk antara kehendak dan kekhawatiran. Karena itu, menurut Madjid, kita mesti hati-hati, namun sekaligus juga menyingkir dari panik untuk melangkah.[6]
Ada beberapa opsi perspektif yang dapat digunakan untuk meneropong fenomena Islam dalam perpolitikan Indonesia. Pertama, perspektif historis. Fakta menampilkan adanya dinamika korelasi Islam dan politik di Indonesia. Dari satu era pemerintahan ke era pemerintahan selanjutnya, timbul fenomena yang berlainan terkait korelasi dua varian tersebut. Masing-masing era menampilakan corak yang berbeda, mempunyai kekhasan, dan merefleksikan kondisinya masing-masing. Yaitu, mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi.
Kedua, sudut pandang formulasi pemikiran ihwal kekerabatan Islam dan politik. Di Indonesia berkembang bermacam-macam corak pemikiran ihwal bagaimana idealnya korelasi antara Islam dan politik. Masing-masing mempunyai alasan serta dasar konsepsi yang berbeda-beda. Muncul banyak sekali Islam yang disematkan pada masing-masing corak pemikiran tersebut: Islam moderat, Islam substansial, Islam liberal, Islam progresif, Islam formal, Islam fundamental, dan aneka pengistilahan yang lainnya. Semua lahir dalam konteks kekerabatan keislaman dengan keindonesiaan.
Ketiga, sudut pandang lain yang dapat digunakan yakni dari pihak pemerintah selaku pelaku. Setiap kekuasaan mempunyai cara berlainan dalam menanggapi Islam selaku suatu realitas. Pendekatan satu pemerintahan dengan yang yang lain tidak sama dalam menghadapi varian Islam. Soekarno dan Soeharto misalnya, mempunyai taktik dan pendekatan yang berlainan dalam menempatkan Islam di hadapan pusaran kekuasaannya, atau menempatkan kekuasaannya didepan realitas keislaman. Kita bisa karakter Soeharto yang sungguh berlainan dengan Soekarno. Presiden pertama Indonesia ini mempunyai mega-visi ihwal bagaimana Islam bisa disinergikan dengan realitas keindonesiaan. Hingga kita mengenal perumpamaan yang sungguh popular NASAKOM.
Sementara Soeharto, era kekuasaannya diwarnai dengan dua style berlainan dalam menghadapi Islam. Pada masa permulaan kekuasannya, Soeharto dimengerti sungguh represif terhadap Islam selaku kekuatan politik. Namun pada era final pemerintahannya, corak kepemimpinan dan kebijakan Soeharto justru dinilai bersahabat dengan nuansa keislaman. Soeharto dianggap lebih “hijau”.
Demikian juga dengan beberapa pemerintahan di era reformasi. B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono mempunyai corak respon yang berlainan terhadap Islam selaku suatu kekuatan politik. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh perbedaan ideologi politik, pragmatisme politik, kekuatan politik, dan beberapa faktor lainnya.
Di Indonesia, kekerabatan Islam dan politik hadir dalam wajah yang beragam. Menariknya, terjadi semacam “simbiosis mutualistik”, walaupun tidak dalam pengertian yang ketat, antara pemerintah dengan kelompok muslim sendiri. Saat Soeharto menerapkan taktik politik akomodatif terhadap Islam, ini direspon dengan hadirnya corak Islam yang sejalan dengan garis politik tersebut. Ada kecocokan kepentingan antar keduanya, soal apa yang penting untuk diraih pada kondisi yang dihadapi di saat itu. Hingga tercapai sinergi gunjingan dan konsep “Islam dan pembangunan”, salah satu contohnya.  Dalam batas tertentu, ada faktor “pragmatisme” di sini, yang melahirkan cara merepson yang berbeda-beda pada tiap kondisi dan era.
Di era reformasi juga timbul fenomena menarik. Yaitu fenomena “Poros Tengah”. Fenomena tersebut menampilkan bentuk lain dari kekerabatan Islam dan politik dalam konteks keindonesiaan. Dan era reformasi mendatangkan suatu kondisi yang khas dan berlainan dari era pemerintahan sebelumnya. Sehingga corak korelasi antar dua varian tersebut juga special. Pada era reformasi juga mencuat wacana ihwal pemimpin wanita dalam perspektif Islam. Ini terkait dengan peningkatan Megawati selaku Presiden.
Sebuah perumpamaan yang tenar dalam sejarah merupakan bahwa “masa kini yakni produk dari masa lampau” dengan kata lain ihwal masa kemudian itu banyak di pastikan oleh hasil rekontruksi para sejarawan yaang tidak lepas dari subjektivitas mereka.yang di tuntut dari setiap rekonstruksi masa lalu merupakan agar kita melakukannya dengan jujur dan diatas fakta yang sanggup di pertanggung jawabkan.

3.      SISTEM POLITIK DI NEGARA-NEGARA LAINNYA
A.    IRAN

Sistem politik di Iran berasaskan konstitusi yang dinamakan "Qanun-e Asasi" (Undang-undang Dasar). Pemimpin Agung Iran bertanggung jawab terhadap "kebijakan-kebijakan lazim Republik Islam Iran". Ia juga merupakan ketua pasukan bersenjata dan tubuh intelijen Iran dan mempunyai kuasa mutlak untuk menyatakan perang. Ketua kehakiman, stasiun radio dan rangkaian televisi, ketua polisi dan serdadu dan enam dari dua belas anggota Majelis Wali Iran juga dilantik oleh Pemimpin Agung. Majelis Ahli bertanggung jawab memutuskan dan juga memecat Pemimpin Agung atas justifikasi kelayakan dan popularitas individu itu. Majelis ini juga bertanggung jawab mengawasi tugasan Pemimpin Agung.

Orang kedua paling penting dalam Republik Islam Iran yakni presiden. Setiap presiden diseleksi lewat penyeleksian lazim dan akan memerintah Iran selama empat tahun. Setiap kandidat presiden mesti memperoleh kontrak dari Majelis Wali Iran sebelum pemilu dilaksanakan agar mereka 'serasi' dengan pemikiran negara Islam. Tanggung jawab presiden yakni menegaskan konstitusi negara dibarengi dan juga mempraktikkan kekuasaan eksekutif. Tetapi presiden tidak berkuasa atas perkara-perkara yang di bawah kekuasaan Pemimpin Agung.
Presiden melantik dan mengepalai Kabinet Iran, dan berkuasa menghasilkan keputusan mengenai tata kelola negara. Terdapat delapan wakil presiden dan dua puluh satu menteri yang berpartisipasi menolong presiden dalam administrasi, dan mereka semua mesti memperoleh kontrak tubuh perundangan. Tidak mirip negara-negara lain, cabang direktur tidak mempunyai kekuasaan dalam pasukan bersenjata, tetapi presiden Iran berkuasa melantik Menteri Pertahanan dan Intelijen dan mesti memperoleh kontrak Pemimpin Agung dan tubuh perundangan.

B.     ARAB SAUDI
Arab Saudi merupakan negara dengan bentuk negara monarki absolut. Sistem pemerintahan Arab Saudi yakni negara Islam yang menurut syariah Islam dan Al Qur’an. Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW merupakan konstitusi Arab Saudi. Pada tahun 1992 ditetapkan Basic Law of Government yang menertibkan metode pemerintahan, hak dan keharusan pemerintah serta warga negara.
Arab Saudi dipimpin oleh seorang raja yang diseleksi menurut garis keturununan atau orang yang diberi kekuasaan eksklusif oleh raja. Hal ini menurut pasal 5 Basic Law of Government yang menyatakan kekuasaan kerajaan diwariskan terhadap anak dan cucu yang paling bisa dari pendiri Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-Saud, dimana raja merangkap perdana menteri dan anglima tinggi angkatan bersenjata Arab Saudi. Pada tanggal 20 Oktober 2006 Raja Abdullah sudah mengamandemen pasal ini dengan mengeluarkan UU yang membentuk forum suksesi kerajaan (Allegiance Institution) terdiri dari para anak dan cucu dari Raja Abdul Aziz Al-Saud. Dalam ketentuan baru, raja tidak lagi memilki hak sarat dalam memutuskan Putera Mahkota. Raja sanggup menominasikan kandidat Putera Mahkota. Namun, Komite Suksesi akan memutuskan lewat pemungutan suara. Selain itu, bila Raja atau Putera Mahkota berhalangan tetap, Komite Suksesi akan membentuk Dewan Pemerintahan Sementara (Transitory Ruling Council) yang beranggotakan lima orang. Ketentuan ini gres akan berlaku sehabis Putera Mahkota Pangeran Sultan naik tahta. Berikut nama-nama raja yang pernah memerintah Arab Saudi:
1. Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud), pendiri kerajaan Arab Saudi: 1932 – 1953
2. Raja Saud, putra Raja Abdul Aziz : 1953 – 1964 (kekuasaannya diambil alih oleh saudaranya, Putera Mahkota Faisal)
3. Raja Faisal, putra Raja Abdul Aziz : 1964 – 1975 (dibunuh oleh keponakannya, Faisal bin Musa’id bin Abdul Aziz)
4. Raja Khalid, putra Raja Abdul Aziz : 1975 – 1982 (meninggal lantaran serangan jantung)
5. Raja Fahd, putra Raja Abdul Aziz : 1982 – 2005 (meninggal lantaran sakit usia tua)
6. Raja Abdullah, putra Raja Abdul Aziz : 2005-sekarang.

Ayat 1 dalam Undang-undang ini menyebutkan bahwa: "Kerajaan Arab Saudi yakni Negara Arab Islam, mempunyai kedaulatan penuh, Islam selaku agama resmi, undang-undang dasarnya Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam, bahasa resmi Bahasa Arab, dan ibukotanya Riyadh". Dan ayat 5 menyebutkan bahwa metode pemerintahan di Arab Saudi yakni Kerajaan atau Monarki. Sedang ayat-ayat yang lain menyebutkan ihwal sendi-sendi yang menjadi landasan bagi metode pemerintahan di Arab Saudi, lingkungan resmi yang mengaturnya, unsur-unsur mendasar penduduk Saudi, prinsip-prinsip ekonomi lazim yang dilaksanakan Kerajaan, jaminan negara terhadap keleluasaan dan kehormatan atas kepemilikan khusus, sumbangan atas hak-hak asasi insan sesuai dengan hukum-hukum Syariat Islam.


C.    MAROKO
Maroko merupakan kerajaan konstitusional dengan parlemen yang diseleksi oleh rakyat dalam suatu penyeleksian umum. Raja Maroko dengan kekuasaan direktur sanggup membubarkan pemerintah dan mengerahkan pasukan militer. Partai oposisi dibenarkan secara hukum, dan beberapa di antaranya berdiri dalam bertahun-tahun terakhir.
Sistem politik Maroko berada dalam kerangka kerja parlementer kerajaan konstitusional, dimana Perdana Menteri menjadi kepala pemerintahan terbuat oleh sejumlah partai (multi-partai). Kekuasaan direktur dimiliki oleh pemerintah. Sementara kekuasaan legislatif dibagi bareng antara Pemerintah dan dua kamar di parlemen, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Maroko dan Dewan Konsuler.
Hal lain yang penting dalam metode politik Maroko yakni penegasan yang ada di dalam Konstitusi Maroko bahwa Maroko yakni suatu Kerajaaan dengan Parlemen dan Pengadilan yang independen.
Konstitusi menampilkan kekuasaan yang besar terhadap Raja. Di sisi lain Raja juga mempunyai dua kiprah penting, selaku pemimpin politik sekuler dan Pemimpin Keyakinan selaku keturunan eksklusif dari Nabi Muhammad SAW.
Raja memimpin Dewan Menteri dan menunjuk Perdana Menteri mengikuti hasil penyeleksian legislatif. Dengan rekomendasi Perdana Menteri, Raja menunjuk anggota pemerintahan atau kabinet.
Di dalam Konstitusi juga disebutkan bahwa Raja sanggup memberhentikan menteri kapan saja. Juga disebutkan bahwa Raja sanggup membubarkan Parlemen sehabis melaksanakan konsultasi dengan pimpinan kedua kamar di Parlemen, menangguhkan Konstitusi, menggelar penyeleksian lazim baru, atau mempublikasikan dekrit. Namun hal itu gres sekali terjadi, yakni pada tahun 1965.
Raja juga bertindak selaku panglima tertinggi Angkatan Bersenjata.
Raja Hassan II berkuasa mengambil alih ayahnya yang meninggal pada tahun 1961. Setelah memerintah Maroko selama 38 tahun, Raja Hassan meninggal dunia di tahun 1999. Kekuasaannya pun dilanjutkan oleh Raja Muhammad V yang disumpah pada bulan Juli 1999.
Dalam penyeleksian lazim yang digelar tahun 1998, pemerintahan koalisi dipimpin Abderrahmane Youssoufi yang merupakan ketua kubu oposisi sosialis. Kabinet yang dibentuknya pun terdiri dari mayoritas anggota partai oposisi.
Pemerintahan Youssoufi' yakni pemerintahan pertama di Maroko yang diisi oleh tokoh-tokoh oposisi dan juga merupakan pemerintahan pertama terbuat dari koalisi sosialis, kelompok kiri-tengah, dan nasionalis, dan dilibatkan dalam pemerintahan hingga Oktober 2002.
Itu juga merupakan pertama kalinya dalam metode politik Arab terbaru dimana kelompok oposisi sanggup memimpin.
D.    YORDANIA
Secara politik penambahan penduduk bangsa Palestina menenteng pengaruh ganda terhadap kerajaan Yordania. Di satu pihak, ketidak puasan dan kekecewaan para penguasa terhadap kondisi mereka tidak saja ditujukan kepad Israel, Amerika dan Inggris tetapi juga terhadap pemerintah Yordania. Akibatnya berkembang oposisi etrhadap pemerintahan Yordania. 
Oposisi ini tebagi kedalam sejumlah kelompok. Beberapa diantaranya mengikuti para tokoh ternama dan yang yang lain mencari persepsi gres dalam ideology.
Sulaiman Pasha Nabulsi, mantan menteri cabinet dan duta besar untuk London yang menetapkan korelasi dengan kelompok penguasa sekitar tahun 1950, timbul selaku tokoh ternama dalam apa yang dinamakan dengan front nasional dan partai sosialis nasional. Kedua organisasi sayap kiri ini menetang keras pemerintah Yordania. Kedalam daftar oposisi serta kelompoknya sanggup disertakan beberapa partai antar arab yang menyerukan revolusiterhadap system yang berlaku di Yordania.
Dengan berjalannya waktu, kelomopk oposisi ini kemudian menjadi penting. Kelompok palestina, baik yang setia maupun yang menentang pemerintah mengembangkan pengaruhnya terhadap politik dan pemerintah. Parlemen yang didominasi oleh oposisi ini pada bulan Mei 1951 menolka budget yang diajukan oleh pemerintah. Karena mosi tidak percaya sehingga hal ini merupakan babak abru dalam sejarah politik Yordania, kemudian raja membubarkan parlemen.
Raja husein sepertinya berminat mengadakan rekonsiliasi politik. Langkah pertamanya merupakan merubah perdana menteri Taufik Abul Huda. Posisinya digantikan oleh Fauzi Al-Mulki yang kemudian memutuskan pemimpin liberal, Anwar Al-Khatib, selaku menteri ekonomi dan pembangunan.
Raja Husein membubarkan parlemen dan berjanji akan mengadakan pemilu gres pada bulan April. Kemudian Komite Nasional yang gres terbentuk, berupa koalisi partai dan kelompok nasionalis dan sayap kiri. Bersidang di kota Amman guna menertibkan taktik bagi pemilu yang mendatang. Agendanya berisi seruan agar Mesir, Arab Saudi, dan Suriah bantu-membantu menolong keuangan Negara Yordania untuk mengambil alih subsidi Inggris sehingga Yordania bebas dari dominasi dari Inggris. Tokoh utama dalam komite merupakan Sulaiman Na Bulsi yang dengan optimis menyatakan bahwa dengan pemilu bebas, tentu oposisi akan menjangkau 20 $ suara.
Dalam periode antar perang yang berkuasa yakni Taufik Pasha Abul Huda di bawah pengawasan pemerintah Inggris. Amandemen diterima pada tahun 1938 untuk Undang-Undang Dasar dan pada tahun 1941 untuk perjanjian dengan Inggris yang merubah sedikit pola politik dan pemerintahankendali Inggris.
Perang dunia ke duatidak meluas ke transyordania, jaid cuma kokoh secara tidak langusng terhadap pemerintahan Raja Emir Abdullah. Peristiwa yang penting merupakan partisipasi legiun arab dalam kampanye Irak dan Suriah, sementara itu Amman menjadi tempat berlinfung bagi pengungsi Irak yang melarikan diri dari Baghdad selama perebutan kekuasaan Rasihd Ali. Posisi internasional Transyordania atau Yordania antara tahun 1921 dan pada tahun 1945 kurang menonjol lantaran kehabisan negaranya dan kebergantungannya pada Negara Inggris. Secara politis, Transyordania dan ambisi Raja Abdullah merupakan kekuatan cadangan Inggris untuk masa mendatang, tetapi Inggris tidak cuma ingin mempergunakan dalam periode antar perang ini lantaran ingin mempertahankan status quo.
Dalam perjalanan system politiknya, Negara Yordania sudah melalui beberapa fase yagn cukup kokoh terhadap keberlangsungannya Negara itu. Hal nii sanggup kita lihat pada system pemerintahan Yordania pada di saat ini dimana Negara Yordania merupakan Negara yang mempunyai system politik yang kokoh dalam pengembangan keberlangsungan kenegaraan utamanya bagi warga negaranya atau masarakat.

E.     MESIR
Kekuasaan di Mesir dikontrol dengan metode semipresidensial multipartai. Secara teoritis, kekuasaan direktur dibagi antara presiden dan perdana menteri tetapi dalam prakteknya kekuasaan terpusat pada presiden, yang selama ini diseleksi dalam pemilu dengan kandidat tunggal. Mesir juga mengadakan pemilu parlemen multipartai.
Pada final Februari 2005, Presiden Mubarak memberitahu pergeseran aturan penyeleksian presiden menuju ke pemilu multikandidat. Untuk pertama kalinya sejak 1952, rakyat Mesir memperoleh peluang untuk memutuskan pemimpin dari daftar banyak sekali kandidat. Namun, aturan yang gres juga menerapkan banyak sekali batas-batas sehingga banyak sekali tokoh, mirip Ayman Nour, tidak dapat berkompetisi dalam penyeleksian dan Mubarak pun kembali menang dalam pemilu.
Pada final Januari 2011 rakyat Mesir menuntut Presiden yang kini Berkuasa Hosni Mubarak untuk meletakan jabatannya. Hingga 18 hari agresi demonstrasi besar-besaran menuntut Presiden Hosni Mubarak mundur, jadinya pada tanggal 11 Februari 2011 Hosni Mubarak resmi mengundurkan diri. Pengunduran diri Hosni Mubarak ini disambut baik oleh rakyatnya, dan disambut baik oleh dunia Internasional.

F.     TURKI
Sistem politik Turki sebelum metode politik demokrasi ala barat yang dipraktekkan di Turki di saat ini, bekerjsama Turki sudah menganut metode politik islam. Yang mana dalam sejarahnya metode politik ini pernah berjaya yakni pada masa kekhalifahan Utsmani. Dalam metode politik Islam penyeleksian khalifah mesti tercukupi syarat legal dan keutamaannya yakni beragama islam, baligh, berakal sehat, merdeka; di saat ditangani penyeleksian dan diseleksi di bai’at; ada Mahkamah Mazhalim untuk menetralisir kejahatan yang terjadi tujuannya kejahatan yang melanggar syariat Islam; dalam penyeleksian anggota majelis Ummat diseleksi lewat pemilu (Majelis Ummat mewakili umat dalam menampilkan usulan ,sebagai referensi khalifah untuk meminta masukan atau usulan yang terkait dengan kebijakan); Majelis Ummat mempunyai hak syura (musyawarah) dan mempunyai keharusan muhasabah (mengontrol & mengoreksi khalifah); dan masih banyak yang lainnya.

Sebelumnya, Turki yakni suatu negara yang diagungkan oleh negara-negara berpenduduk muslim di dunia lantaran merupakan sentra peradaban Islam, tiba-tiba kini menjadi negara yang sungguh anti terhadap simbol-simbol yang terkait dengan islam. Turki yakni suatu negara berpenduduk mayoritas muslim yang pernah memimpin dunia islam selama 700 tahun, yakni sejak permulaan masa ke-13 hingga jatuhnya Kekhalifahan Utsmani pada permulaan masa ke-20. Sungguh mengherankan apabila kini Turki menjadi negara yang menganut metode politik demokrasi ala barat, metode ini menenteng nilai-nilai sekularisme.

Mustafa Kemal Ataturk mendirikan Republik Turki apada tahun 1923. Republik tersebut mengacu pada nilai-nilai barat atau sekularisme, maka beliau yang juga merupakan presiden pertama dalam pemerintahan Republik Turki menjalankan metode politik demokrasi ala barat. Modernisasi yang ditangani Kemal yang mengkiblat ke Barat, umpamanya beliau merubah penggunaan abjad Arab menjadi abjad Latin, poligami dilarang, wanita diberi keleluasaan yang serupa dengan laki-laki, larangan memakai jilbab, pembatalan metode khalifah, penutupan sekolah-sekolah islam tradisional, pembubaran pengadilan agama, penghapuusan tarikat, melarang pemakaian epilog kepala khas dinasti Utsmani bagi pria dan lain-lain.

Untuk mempertahankan metode politik demokrasi ala barat maka pemerintah Kemal memakai militer untuk menumpas hal-hal yang terkait dengan islam itu sendiri.
Ketika terjadi peralihan Turki ke metode multi-partai pada tahun 1946, militer tetap secara lazim dikuasai mempertahankan metode politik demokrasi ala barat dan nilai-nilai sekulerisme. Banyak partai-partai yang ada di Turki umpamanya AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi), Partai Refah, Partai Rakyat Republik, Partai Demokrat, Partai Fadilah, Partai Saadat dan masih banyak yang lain. Selama ini setiap terjadi kemenangan partai politik yang berbasis Islam senantiasa dibarengi dengan upaya perebutan kekuasaan dan pembubaran partai politik.


G.    PAKISTAN
Pakistan merupakan negara federal dengan metode parlemen yang terdiri dari 4 provinsi dan 4 daerah federal.
Pakistan mempunyai empat wilayah federal ( Balochitan, Nort-West Frontier Province (NWFP), Punjab dan Sindh), Territorial Utama (IslSecara lazim ada dua metode pemerintahan, yakni metode pemerintahan Parlementer dan metode pemerintahan Presidensil. Selain itu ada pula metode pemerintahan semi presidensil yang memadukan keduanya.
Salah satu negara yang berada di Asia Selatan yakni Pakistan mengawali masa kemerdekaannya dengan sisterm pemerintahan parlementer mirip dengan metode pemerintahan di Inggris. Penerapan metode parlementer ini didasarkan atas Undang-Undang Dasar yang berlaku selama 2 tahun.
Pakistan (Islamic Republic of Pakistan) yakni negara yang merdeka pada tanggal 14 agustus 1947. Sebelumnya Negara ini bergabung dengan India kemudian pada 14 agustus 1947, Pakistan memisahkan diri dari India dan mengungumkan kemerdekaannya. Pada masa ke-8 agama Islam masuk ke anak benua India dan sebagian dari wilayah Pakistan sekarang, selama masa penjajahan Ingris pada final masa ke-18, dahulu dikuasai oleh kaum muslimin. Bersamaan dengan bangkitnya usaha rakyat India melawan penjajahan Inggris, pada tahun 1906 terbentuk partai “Liga Muslim” yang diketuai Muhammad Ali Jinah dan berencana untuk membentuk pemerintahan islami. Negara Muslim terbentuk sejak pemerintahan pertama yakni di bawah pimpinan Muhammad Ali Jinnah dan Liaquat Ali Khan.
Partai ini kemudian secara sedikit demi sedikit bisa menawan kekuatan kaum muslim dan jadinya terbentuklah negara Pakistan. Awalnya Pakistan terdiri dari dua wilayah yang terpisah, yakni timur dan barat india. Namun, lantaran kekecewaan rakyat Pakistan Selatan atas pemerintahan pusat, jadinya Pakistan Selatan memisahkan diri dan membentuk negara Bangladesh pada tahun 1971. Pakistan hingga tahun 1970 membentuk pemerintahan militer dan kemudian berubah bentuk menjadi Republik Islam Pakistan. Pakistan mempunyai luas wilayah lebih dari 803 ribu kilometer persegi dan memiliki batas dengan Iran, India, Afganistan dan China.
Sejak 1947 hingga 1956, pakistan menjadi secara lazim dikuasai di Common Wealth of Nation. Negara republikpun dideklarasikan pada tahun 1956 dan kekuasaan di alihkan pada Ayub Khan (1958 – 1969), yang menjabat menjadi presiden di saat kondisi yang tidak stabil. Pada di saat perang kedua dengan Moja (1965) yang memimpin yakni Yahya Khan (1969 – 1971) dan dalam perang itu kurang lebih 500.000 orang mati di Pakistan Timur.
Di bawah Jenderal Ayub Khan dimulailah suatu metode pemerintahan presidensil dengan tubuh esekutif yang kuat. Penerapan metode presidensil tersebut, didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1962 yang berlaku hingga tahun 1969. menurut Undang-Undang Dasar tersebut, tubuh direktur terdiri atas presiden yang beragama islam beserta materi-materi. Para menteri yakni pembantu presiden yang tidak boleh merangkap anggota legislatif. Presiden mempunyai wewenang untuk menjatuhkan veto atas rancangan UU yang sudah diterima oleh tubuh legislatif. Namun veto sanggup dibatalkan , jikalau rancangan UU tersebut diterima oleh mayoritas 2/3 suara.
Presiden menjalankan pemerintahan bareng dengan perdana menteri. Ada pembagian kiprah antara presiden yang mngelola urusan mancanegara dan perdana menteri yang meamabad) dan tiga area federasi suku (Federally Administered Tribal Areas, Azad Kashmir dan area Northern.
Setiap provinsi mempunyai metode pemerintahan yang sama, dan setiap provinsi mempunyai kepala pemerintahan masing masing yang sanggup diseleksi secara eksklusif dalam suatu rapat provinsi dan nantinya sanggup menjadi perdana menteri. Permerintah tiap provinsi ditetapkan oleh Presiden.
Sistem presidensil merupakan metode pemerintahan di mana kepala pemeriintahan dipegang oleh presiden (yang merupakan kekuasaan nominal) dan memegang kekuasaan politik. Presiden selaku kepala direktur tidak bertanggung jawab terhadap parlemen (legislatif). Presiden diseleksi bukan oleh parlemen, tetapi diseleksi secara eksklusif oleh pemilih (rakyat), presiden bukan merupakan belahan parlemen, beliau tidak sanggup diberhentikan dari jabatannya oleh parlemen,dan presiden tidak sanggup membubarkan parlemen dan mengadakan penyeleksian umum. Namun apabila presiden membubarkan tubuh legislatif, presiden juga mesti mengundurkan diri dalam waktu empat bulan dan mengadakan penyeleksian lazim baru. Sistem presidensil disebut juga dengan perumpamaan “The Presidensial Type of Government” atau Non Parliamentary System”.
Dalam kondisi darurat, presiden berhak mengeluarkan ordinansi yang mesti diajukan pada dewan legislatif kalau melanggar Undang-Undang Dasar dalam hal berkelakuan buruk, dengan ¾ jumlah bunyi legislatif. Sistem pemerintahan presidensil di Pakistan cuma berlasung 1962 – 1969, kini negera tersebut kembali ke metode parlementer kabinet.





[1] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata negara, Edisi 5, (Jakarta, UI-Press, 1993) h. 2-3
[2] Prinsip ihwal musyawarah terdapat dalam QS. Ali Imran:159, QS. as-Syura:38; ketaatan pada pemimpin, QS. an-Nisa:59; prinsip keadilan, QS an-Nahl:90, QS. an-Nisa:58; prinsip persamaan, QS. al-Hujurat:13; dan prinsip keleluasaan beragama, QS. al-Baqarah:256, QS. Yunus:99, QS. Ali Imran:64

[3] Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 130






















[4] Sjadzali, Islam dan., h. 189

[5] M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995, h. 209

[6] Nurcholish Madjid, 1999, h. 3

Related : Politik Di Negara-Negara Islam

0 Komentar untuk "Politik Di Negara-Negara Islam"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)