Ilmu Mantiq

PENDAHULUAN





 “Inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kau mengikuti jalan-jalan (yang lain). Karena jalan-jalan yang lain itu akan mencerai beraikan kau dari jalan-Nya. Yang demikian itu ditugaskan Allah kepadamu biar kau bertakwa.” (QS. Al-An-‘âm [6]: 53.

  








Jalan” dalam ayat tersebut bermakna metode, tata cara pedoman, pola laku, pola tindak dan pola piker yang menghantarkan insan terhadap kebenaran. Ayat tersebut menyerukan insan untuk senantiasa berpegang teguh kepaa logika Qurani biar tidak sesat pikir dalam meraih kebenaran. Untuk meraih hal tersebut perlu menelusuri usaha-usaha yang sudah dijalankan oleh insan dalam meluruskan petunjuk-petunjuk operasional yang berharga dalam menjalankan logika Qur’ani.

Mengikat Makna Logika
Logika berasal dari kata Yunani antik λόγος (logos) yang bermakna hasil pertimbangan kebijaksanaan pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika yakni salah satu cabang filsafat.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.[1] Istilah lain yang dipakai selaku gantinya yakni Mantiq, kata Arab yang diambil dari kata kerja nataqa yang bermakna berkata atau berucap.[2]
Ilmu di sini mengacu pada kesanggupan rasional untuk mengenali dan kecakapan mengacu pada kesanggupan pikiran sehat untuk merealisasikan wawasan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut dapat juga diartikan dengan masuk akal.
Sedangkan logika yang dibilang selaku pengertian yang masuk akal, biasanya di dalamnya terdapat dua penalaran yang saling berlawanan, yakni antara yang betul dan yang salah. Karena itu, Irving M. Copi mengatakan, “Logika yakni ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang dipakai untuk membedakan penalaran yang betul dan penalaran yang salah.”[3]
Menurut Syaikh Abu Abdullah Muhammad Ahmad Muhammad ‘Ulaisy, logika (mantiq) adalah:
المنطق هو قانون تعصم مراعاته بتوفيق الله تعالي الذهن من الخطاء في فكره
Tatanan berpikir yang sanggup memelihara otak dari kesalahan berpikir dengan sokongan Allah Swt.[4]

Adapun menurut Syaikh Al-Jurjani merumuskan logika sebagai:
آلة قنونية تعصم مراعاثها الذهن عن الخطاء في الفكر فهو علم    عملي آلي
Suatu alat yang mengontrol kerja otak dalam berpikir biar terhindar dari kesalahan; selain merupakan ilmu ketelitian praktis.[5]

Sedangkan menurut Al-Quasini, ilmu logika adalah:
علم يبحث فيه عن المعلومات التصوريات والتصديقيات من حيث أنها توصل الي مجهول تصوري او تصديق او يتوقف عليها التوصل الي ذالك
Ilmu yang membahas objek-objek wawasan tashawur dan tashdiq untuk meraih interaksi dari keduanya, atau suatu pengertian yang sanggup mendeskripsikan tashawur dan tashdiq.[6]
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi logika antara lain:
1.       Ilmu yang menampilkan aturan-aturan berfikir valid.
2.       Ilmu mengenai ketentuan-ketentuan yang dijadikan isyarat oleh insan dalam berfikir.
3.       Ilmu wacana undang-undang berfikir[7]
4.       Ilmu wacana cara mencari dalil
5.       Ilmu wacana menggerakan fikiran terhadap jalan yang lurus, dalam memperoleh suatu kebenaran[8]
6.       Ilmu yang membahas wacana undang-undang yang lazim untuk fikiran.
7.       Ilmu selaku alat yang merupakan undang-undang dan apabila undang-undang itu dipelihara dan diperhatikan, maka hati nurani insan sanggup terhindar dari fikiran yang salah.
8.       Ilmu wacana aturan berfikir guna memelihara jalan fikiran dari setiap kekeliruan
9.       Ilmu wawasan dan kecakapan untuk berfikir lurus atau tepat
10.   Filsafat berfikir
11.   Teknik berfikir [9]
Dari beberapa uraian di atas mengenai pengertian logika, kiranya sanggup ditarik kesimpulan bahwa logika yakni suatu ilmu yang mempelajari wacana cara berpikir yang bagus dan benar dengan memakai otak atau kebijaksanaan yang mendapatkan tutorial dari Allah Swt. biar terhindar dari kesalahan.

Sejarah Logika
Perkembangan ilmu logika tidak terlepas dari perjalanan filsafat Yunani dan transformasinya ke dalam pemikiran dalam aktivitas ilmiah.
Pada awalnya aktivitas berpikir timbul serentak dengan adanya insan pertama. Manusia diberi potensi berpiikir untuk menimbang-nimbang dirinya dan segala sesuatu yang berada di luar dirinya. Namun, mengenai berpikir sistematis (dalam pengertian secara logika), para penulis Ilmu Logika meyatakan bahwa secara konsepsional dan sistematis, aktivitas berpikir yang kemudian melahirkan tata cara berpikir yang dituangkan dalam suatu disiplin ilmu yang disebut Logika, gres tejadi kira-kira 470 SM. yang dirintis oleh kalangan Sofisme (Sufsathaiyun). Kelompok inilah yang menjajal mengangkat duduk kendala kemasyarakatan, agama, dan watak dengan pendekatan akal; benar-salah dan baik-buruk sesuatu diukur dengan timbangan kebijaksanaan mereka. Sayangnya, kajian mereka kerapkali mengarah pada kesesatan berpikir, lantaran belum ada norma berpkir yang baku yang sanggup menuntun mereka ke arah berpikir yang benar dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.[10]
Pernyataan mereka nampaknya benar, tetapi bikin penyesatan-penyesatan pemikiran, nilai dan moral. Di antara penyataan-pernyataan mereka adalah:
Kebaikan yakni apa yang Anda pandang baik
Keburukan yakni apa yang Anda pandang buruk
Apa yang diyakini benar oleh seseorang, itulah yang benar buat dia
Apa yang diyakini salah oleh seseorang, itulah yang salah buat dia.[11]
Karena memperhatikan realita kalangan Sofisme tersebut, muncullah Thales (624 SM-548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling terhadap pikiran sehat untuk memecahkan diam-diam alam semesta. Dan dimulai dari Thales inilah rumusan ilmu logika akhirnya tercipta.
Thales menyampaikan bahwa air yakni arkhe (Yunani) yang bermakna prinsip atau asas utama alam semesta. Karena itu ia juga menyampaikan bahwa bumi ini terapung di atas air. Saat itu Thales sudah mengenalkan logika induktif.
Pernyataan ini pastinya menolak kepercayaan lebih banyak didominasi orang Yunani yang menyampaikan bahwa asal segala sesuatu yakni dari dewa-dewa. Pun demikian, usulan Thales ini mendapatkan reaksi keras dari Anaximander yang berkesimpulan bahwa cuma ada satu asal segala sesuatu yakni Yang Tak Terbatas, yang ia sebut to operion. Menurut Aximander bahwa yang menyusun segala sesuatu bukanlah air karena, kalau air yakni asas pertama yang menyusun semesta, maka air mesti terdapat di mana-mana, mesti meresapi segala sesuatu tergolong api dan benda-benda kering. Air begitu terbatas untuk berada di mana-mana. Air dibatasi oleh lawannya, yakni api. Air dan apa pun yang terbatas tidak dapat dibilang menjadi penyusun segala sesuatu.
Teori Aximander itu menyampaikan bahwa terciptanya alam semesta berawal dari chaos (kekacauan), yakni pada dikala terjadi proses perpisahan dari “yang tak terbatas” dengan “yang terbatas.” Dari yang tak terbatas terlepaslah unsur-unsur yang senantiasa berlawanan, yakni panas-dingin, kering-basah. Kemudian terciptalah aturan keseimbangan, yakni suatu aturan yang bikin kedua tetap berpasangan dalam keberlawanan, yang panas melingkupi yang dingin; keduanya menggumpal menjadi sejenis bola. Karena panas melingkupi hirau taacuh itu memunculkan air terlepas menjadi kabut udara. Udara menekan “bola” itu hingga meletus, letusannya menciptakan lingkaran-lingkaran yang masing-masing mempunyai satu pusat. Tiap lingkaran terdiri dari api yang dibalut udara, tiap lingkaran mempunyai satu lubang yang membuat api di dalamnya terlihat selaku bumi, bulan, matahari dan planet-planet (bintang-bintang).
Diketahui bahwa jawaban air yang diberikan oleh Thales terhadap pertanyaan asal segala sesuatu yakni menurut pengamatan dan logika geometri. Sedangkan Aximander, mengarahkan cara menjawabnnya dengan memakai pikiran. Kemudian usulan keduanya diperbarui oleh Heraklitos (504 SM).
Heraklitos yakni orang yang pertama secara tegas memperbincangkan Tuhan. Tuhan yang dimaksud Heraklitos yakni Logos (akal). Logos yakni sesuatu yang meliputi seluruh dunia menyerupai siang dan malam, ekspresi dominan salju dan ekspresi dominan panas, perang dan damai, kelaparan dan kemakmuran. Ia menyatakan bahwa kita hidup di antara keanekaragaman dan perubahan-perubahan. Asal materi yakni sejenis api yang bersinar dan meredup, menyala-nyala dan padam yang tunduk pada hukum, bukanlah air. Tuhan atau logos universal ini menurutnya merupakan sesuatu yang ada dalam diri kita insan dan sesuatu yang menjadi penuntun setiap orang.
Ada tiga pemikiran Heraklitos yang akhirnya memengaruhi Plato:
1)       Segala sesuatu terus berubah menyerupai aliran sungai. Ia bilang kita tidak dapat masuk dua kali ke dalam air aliran sugai.
2)       Hanya ada satu yang sungguh-sungguh nyata, yakni logos. Logos digambarkan dengan “api” alamiah yang terus menerus menggerakkan perubahan. Logoslah yang menjadi alasannya pergeseran terus menerus, dan yang mengatus serta menyatukan pergeseran (keanekaan) tersebut. Oleh lantaran itu, logos dianggap selaku sumber pengetahuan. Melalui logos segala pergeseran bisa dimengerti maknanya.
3)       Kesatuan dibikin dari pluralitas dan pluralitas timbul dari kesatuan.
Jika Empidocles memadukan pemikiran Heraklitos dan Parmeneides dengan kesimpulan bahwa segala sesuatu tidak mungkin berubah menjadi sesuatu yang lain, “Air tidak akan berubah menjadi tanah, tanah tidak berubah menjadi udara, udara tidak akan berubah menjadi api, dan seterusnya.” Plato dengan caranya sendiri berupaya untuk mensintesakan kedua tokoh di atas dengan cara yang lebih sistematis. Bagi Plato:
-           Realita itu mempunyai dua realita ada yang berubah (seperti pemikiran Heraklitos) dan ada yang tetap (seperti pemikiran Parmeneides)
-           Yang berubah tertangkap oleh indrawi, sedangkan yang tetap tertangkap oleh pikiran (Noetic, logos).
-           Logos menjadi sebab, pengatus, dan pemersatu segala perubahan. Oleh lantaran itu logos menjadi asal yang mesti dicari dari pergeseran yang nampak.

Teori Tauhid Plato
Ada
Penampakan
-       Pure good (yang tetap, baik, dan  sempurna)
-       Asal dari yang tampak
-       Berada di balik dunia ini
-       Dipahami oleh logos
-       Alam yang berubah (baik buruk, tepat dan tidak sempurna)
-       Memiliki jejak menuju yang tetap
-       Yang terlihat di dunia ini
-       Diserap oleh indra

Teori Akhlak Plato
Jiwa berasal dari dunia idea yang terbentuk dari perbuatan yang bersifat kekal tidak mati, jiwa mempunyai tiga bagian:
1.       Akal, yang mencita-citakan kebijaksanaan
2.       Kehendak, yang mencita-citakan keberanian,dan
3.       Keinginan atau hawa nafsu (keinginan rendah) yang mencita-citakan menguasai dan menikmati dunia materi yang bikin insan bertindak menyerupai binatang apabila tidak dikendalikan sehingga kesopanan sanggup ditegakkan.
Plato percaya, kalau ketiga penggalan jiwa tersebut sanggup dijalankan sesuai dengan kecenderungan akal, kita sanggup menjadi individu yang berbudi luhur.
Diketahui bahwa bahwasanya sejak Thales, sang filsuf itu mengenalkan pernyataannya, maka pada dikala itulah logika sudah mulai dikembangkan.
Di susul kemudian oleh Socrates dan muridnya, Plato serta Artistoteles. Mereka mulai merintis tata aturan berpikir benar dalam bentuk kaidah-kaidah berpikir. Kaidah-kaidah inilah yang kemudian mewujud dalam suatu disiplin ilmu yang disebut Logika.[12]
Dengan demikian, hingga pada akhirnya para peneliti sejarah pemikiran insan menjuluki Aristoteles-lah selaku peletak dasar bangunan Ilmu Logika. Karena itu ia disebut sebaga guru utama logika.
Aristoteles kemudian mengenalkan logika selaku ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles menyampaikan bahwa Thales menawan kesimpulan bahwa air yakni arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air yakni jiwa segala sesuatu.
Dalam logika Thales, air yakni arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles ditarik kesimpulan dari:
-     Air yakni jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air flora mati)
-     Air yakni jiwa binatang dan jiwa manusia
-     Air jugalah uap
-     Air jugalah es
Jadi, air yakni jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air yakni arkhe alam semesta.
Aritstoteles (384-322) berupaya mengalahkan mereka (kaum Sofisme) secara ilmiah dengan pernyataan-pernyataan logis yang briliyan. Pernyataan-pernyataan itu ia temukan lewat diskusi dengan murid-muridnya. Keberhasilannya menyusun teknik berfikir sistematis yang benar sekaligus hukum-hukumnya, sudah mengangkatnya menjadi Guru Pertama logika di dunia hingga ke masa kini. Julukan itu memang menyusun teknik berfikir benar dengan kesimpulan yang benar menyerupai yang dihasilkannya itu. Dengan kata lain, keberhasilannya itu murni dari upaya pemikirannya sendiri.[13]
Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica, yang secara khusus meneliti banyak sekali alasan yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti alasan yang berangkat dari proposisi yang masih disangsikan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles yakni silogisme.
Karya tulis Aristoteles[14] dalam bidang logika di antaranya Organon Oa Laterpretation dan Prior Arsilyteis.
Adapun buku Aristoteles to Oraganon (alat) berjumlah enam, yaitu:
1     Categoriae menguraikan pengertian-pengertian
2.    De interpretatione wacana keputusan-keputusan
3.    Analytica Posteriora wacana pembuktian.
4.    Analytica Priora wacana Silogisme.
5.    Topica wacana alasan dan metode berdebat.
6.    De sohisticis elenchis wacana kesesatan dan kekeliruan berpikir.
Pada 370 SM-288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika.[15]
Karya Aristoteles itu sungguh dikagumi pada masanya dan masa sesudahnya sehingga logika dipelajari di setiap perguruan. Plato (427-347 SM), murid Aristoteles, cuma menambahnya sedikit. Immanuel Kant (1724-1804 SM), pemikir paling besar bangsa Jerman, menyatakan bahwa logika yang diciptakan Aristoteles itu tidak dapat ditambah lagi walau sedikit lantaran sudah cukup sempurna.[16]
Sayangnya, Konsili Nicae (325 M), dengan alasan yang menurut mereka masuk akal, menyatakan menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Grik di Athena (Yunani), Antiokia dan Roma. Pelajaran logika juga dihentikan kecuali bab-bab tertentu saja yang dipandang tidak menghancurkan doktrin Kristiani. Hal ini merupakan pukulan mematikan bagi Filsafat Yunani dan, sekaligus, logika. Sejak masa itu hingga nyaris seribu tahun lamanya, alam pemikiran di Barat menjadi padam sehingga dimengerti dengan Zaman The Dark Ages (zaman gelap).[17]
Berbeda dengan Katolik yang memasung filsafat dan logika, Islam justru menyambutnya dengan sarat gegap gempita. Dalam perkembangan selanjutnya, logika Aristo ditransfer ke dunia Islam lewat aktivitas penerjemahan ke dalam bahasa Arab pada zaman Daulah Abbasiyah (153-656 H./750-1258 M.). Upaya penerjemahan itu antara lain dijalankan oleh Abdullah bin Mughafa –sekretaris Abu Ja’far al-Manshur– dan Muhammad bin Abdullah Mughafa, sehingga ada satu masa dalam sejarah Islam yang dijuluki Abad Terjemahan. Logika, karya Aristoteles, juga diterjemahkan dan diberi nama ’Ilmu al-Mantiq.[18]
Setelah itu, disusul oleh ulama dan cendekiwam muslim yang tenar mendalami, menerjemah dan mengarang di bidang ilmu logika menyerupai Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Abu Nashr Al-Farabi, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Al-Qurthubi, dan banyak lagi yang lain. Al-Farabi, pada zaman kebangkitan Eropa dari periode gelapnya, malah dijuluki dengan Guru Kedua Logika. Tokoh-tokoh ilmuwan yang lain yang sungguh tenar di bidang logika yakni Abu Ali Al-Haitsam, Abu Abdullh Al-Khawarizmi, Al-Tibrizi, Ibn Bajah, Al-Asmawi, Al-Samarqandi yang tidak cuma tenar di belahan timur tetapi juga di belahan barat.
Di Eropa, sesudah nyaris seribu tahun dalam periode gelap, sesudah periode ke-13 dan ke-14 mulai menggali lagi pelajaran logika. Tetapi, mereka tidak sanggup mempelajarinya sepenuhnya lantaran pengucilan gereja terhadap logika masih berlaku sungguh ketat. Namun demkian, kegairahan akan usaha berat memisahkan gereja dan negara, menjadi sungguh tinggi. Berbagai ilmu yang tadinya disalin dan diterjemahkan oleh ilmuwan-ilmuwan muslim ke dalam bahasa Arab diterjemahkan mereka kembali ke dalam bahasa Latin, kemudian ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Di bidang logika, mereka menggelari Al-Farabi selaku Guru Kedua dan Ibnu Sina selaku Guru Ketiga.
Buku Logika Ibn Sina diterjemahkan mereka ke dalam bahasa Latin di penghujung periode ke-12. Terjemahan yang lebih lengkap yakni dari karya logika Ibn Rusyd di permulaan periode ke-14. Terjemahan inilah yang disebarkan di Paris (Perancis) dan Oxford (Inggris). Setelah itu, logika hidup kembali dengan subur di Eropa, Amerika dan negara-negara lainnya.
Setidaknya, penghidupan kembali logika ini pada periode 9 hingga periode 15, yang ditandai dengan buku-buku Aristoteles menyerupai De Interpretatione, Eisagoge oleh Porphyus dan karya Boethius masih digunakan
Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya berupaya mengadakan sistematisasi logika.
Lahirlah logika terbaru dengan tokoh-tokoh seperti:
1.       Petrus Hispanus (1210 - 1278)
2.       Roger Bacon (1214-1292)
3.       Raymundus Lullus (1232 -1315) yang mendapatkan metode logika gres yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian.
4.       William Ocham (1295 - 1349)
Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding
Francis Bacon (1561 - 1626) membuatkan logika induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum Scientiarum.
J.S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic
Lalu logika diperkaya dengan munculnya pelopor-pelopor logika simbolik seperti:
1)       Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar menurut Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini berencana mempersempit pekerjaan pikiran sehat dan lebih mempertajam kepastian.
2)       George Boole (1815-1864)
3)       John Venn (1834-1923)
4)       Gottlob Frege (1848 - 1925)
Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins University, melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori lazim mengenai tanda (general theory of signs)
Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bareng Alfred North Whitehead (1861 - 1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872 - 1970).
Logika simbolik kemudian diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain.
Kemudian menyusullah zaman kemunduran di bidang logika di dunia Islam lantaran dianggap terlalu memuja akal, sebagaimana yang pernah dialami sebelumnya di Yunani yang diharamkan oleh pihak gereja–Kristen. Di antara ulama-ulama besar Islam, menyerupai Muhhiddin Al-Nawawi, Ibn Shalah, Taqiyuddin Ibn Taimiyah, Saduddin Al-Taftazani malah mengharamkan mempelajari Ilmu Logika dengan tuduhan akan menjadi zindiq, ilhad dan kufur. Pengaruh mereka ini sudah memicu banyak ulama tidak memperkenankan Ilmu Logika diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan yang mereka asuh.
Namun demikian, masih ada beberapa orang ulama besar yang masih tetap menjaga Ilmu Logika selaku suatu ilmu yang mesti dipelajari, tetapi terbatas pada maksud menggunakannya selaku pendukung bagi Ilmu Tauhid (theologi) saja. Di antara mereka yakni Sayid Syarif Ali al-Jurjani, Muhammad Al-Duwani, Abdurrahman Al-Akhdari, Muhibbullah Al-Bishri, Al-Hindi, Ahmad Al-Malawi, Muhammad Al-Subhan dan pastinya masih ada yang lain.
Dan di permulaan kebangkitan Islam (mulai pada penghujang periode ke-19) yang ditandai dengan gerakan pembaharuan, ilmu-ilmu yang tadinya disingkirkan, tergolong Ilmu Logika, mulai dipelajari dan dikembangkan kembali. Gerakan pembaharuan ini dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain-lain. Pengaruh ini meluas ke seluruh dunia Islam, tergolong Indonesia.
Di Indonesia, Ilmu Logika pada awalnya dipelajari secara terbatas di perguruan-perguruan agama dan pesantren yang lazim disebut dengan nama Ilmu Mantiq. Ilmu ini, kemudian, kian memperoleh perhatian berkat semangat positif gerakan pembaharuan tadi. Tetapi, walaupun pakar logika mungkin banyak di Indonesia, ternyata buku-buku logika yang mereka susun dalam bahasa Indonesia masih amat sedikit. Sementara itu, mereka mengakui besarnya signifikansi dan peranan Ilmu Logika itu bagi pengembangan ilmu kebanyakan dan kenaikan daya pikir untuk memperoleh kesimpulan yang benar pada khususya.[19]

Embrio Logika
Dalam khazanah peradaban Islam persolan bahasa dan logika timbul di saat terjadi perdebatan wacana kata dan makna antara Abu Sa’id al-Syirafi (893-950 M) dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M). Menurut al-Syirafi yang luar biasa bahasa, kata timbul lebih dulu dibandingkan dengan makna, dan setiap bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya penduduk masing-masing.
Sebaliknya, menurut Abu Bisyr Matta, makna ada lebih dulu dibanding kata, begitu pula logika timbul lebih dulu dibandingkan dengan bahasa. Makna dan logika inilah yang menentukan kata dan bahasa, bukan sebaliknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, insan sanggup berinteraksi secara aktif dan melaksanakan transformasi dengan sesamanya tak lain lantaran ia mempunyai kebijaksanaan untuk berfikir. Al-Qur’an yang merupakan sumber autentik dan absolut, yang tak disangsikan lagi kebenaranya sungguh menghargai peranan kebijaksanaan ini. Bahkan, pertanyaan yang berupa ajakan “untuk senantiasa berfikir” bagi seseorang sungguh banyak sekali ditemui dalam banyak sekali ayat, di antaranya : Al-Baqarah: 44, 76, Ali Imran: 65, Al-An’am: 32, Al-A’raf: 169, Hud: 51, Yusuf: 109, Al-Anbiya’: 67, Al-Mukminun: 80, Al-Qashash: 60, Shaffat: 138.[20]
Akal merupakan suatu fasilitas super canggih, dikaruniai Tuhan terhadap manusia, tidak terhadap makhluk lainnya. Dengan kebijaksanaan insan sanggup mengenali sesuatu yang belum diketahuinya. Atau mengerti lebih mendalam lagi sesuatu yang sudah diketahuinya, baik wacana dirinya maupun hakikat alam dan diam-diam yang terkandung di dalamnya. Manusia lantaran akalnya menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berfikir sepanjang hayatnya sesuai dengan kesanggupan befikir yang dimilikinya.
Ketika insan itu masih diberi kehidupan, dan hidup dalam kondisi normal, selama itu pula acara berfikir tidak akan terlepas darinya. Manusia tergolong Anda senantiasa berambisi untuk mencari kebenaran dengan jalan berpikir. Pada dikala itulah ilmu logika berperan penting dalam mencari suatu kebenaran.
Rene Descartes, seorang tokoh rasionalisme berkata: “Aku berfikir, lantaran itu saya ada”. Bahkan dalam teori pensyariatan hukun Islam, teori logika – yang terang memakai nalar–, sama sekali tak sanggup “melepaskan diri” dari apa yang kita sebut selaku logika tadi.
Begitu pula ahlu al-ra’yu (logika/mantiq) dan ahlu al-qiyas (analogi) menatap syariat itu selaku pengertian yang masuk kebijaksanaan dan dipandangnya selaku asal yang universal yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an al-Karim.[21]
Dalam teori ijtihad, Imam Syafi’ie, di saat mengerti al-Qur’an maupun Sunnah ada perumpamaan dilalah ghairu mandhum (penunjukan kalimat terhadap makna dengan memakai lafadh yang tidak sharih) yang pastinya diharapkan analisis ‘berfikir tepat’ dalam memahaminya.[22]
 Contoh di atas sengaja penulis paparkan, sekali lagi, tak lain hanyalah untuk menekankan bahwa signifikansi kebijaksanaan teramat krusial selaku langkah untuk memperoleh dapat dipercaya dan akuntabilitas dalam memecahkan dan bikin kesimpulan pada setiap duduk kendala kehidupan.
Akan tetapi, hasil pemikiran manusia, walaupun dengan memakai kebijaksanaan tidak senantiasa benar. Hasil pemikirannya, kadang kala salah walaupun ia sudah rajin berupaya mencari yang benar. Kesalahan itu dapat saja terjadi tanpa unsur kesengajaan. Jika hal itu memang terjadi, maka ia sudah memperoleh wawasan yang salah walaupun ia percaya akan kebenarannya.
Oleh lantaran itu, agar insan kondusif dari kekeliruan berfikir dan selamat dari memperoleh kesimpulan yang salah, maka disusunlah kaidah-kaidah berfikir atau metodologi berfikir ilmiah yang kita kenal ilmu logika atau manthiq. Bahkan, Syeh Abdurrahman al-Akhdari dalam Al-Mandhumah Sullam al-Munawraq menyampaikan bahwa kiprah ilmu mantiq atau logika menyerupai halnya “nahwi li allisan” (grammar dalam pegucapan).
Maka setidaknya, itulah yang menjadi latar belakang penulisan buku ini, walaupun di dalamnya cuma menyinggung sebagaian kecil dari ilmu logika itu sendiri, menyerupai arti, obyek, bagian, dan manfaatnya.

Tujuan dan Faedah Mempelajari Logika
          Mempelajari Ilmu logika atau Manthiq, menyerupai halnya mempelajari ilmu lainnya, tidak terlepas dari tujuan dan kegunaan. Tujuan dan kegunaan Ilmu Logika di antaranya sebagaimana diterangkan oleh pakar Ilmu Logika (Manathiqah) berikut.
          Tujuan Ilmu Logika menurut Muhammad Nur al-Ibrahimi:[23]
1)        Melatih , mendidik, dan membuatkan potensi kebijaksanaan dalam mengkaji objek pikir dengan memakai metodologi berpikir.
2)        Menempatkan duduk kendala dan menunaikan kiprah padasituasi dan kondisi yang tepat.
3)        Membedakan proses dan kesimpulan berpikir yang berani (hak) dari yang salah.
Adapun mempelajari ilmu logika sungguh sungguh berfaedah sekali untuk hal-hal selaku berikut:
1.        Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
2.        Melatih jiwa insan biar sanggup memperhalus jiwa fikirannya
3.        Mendidik kekuatan kebijaksanaan pikiran dan memperkembangkannya yang sebaik baiknya dengan melatih dan membiasakan mengadakan penyelidikan-penyelidikan wacana cara berpikir. Dengan membiasakan latihan berpikir, insan akan gampang dan cepat mengenali dimana letak kesalahan yang menggelincirkannya dalam usaha menuju hukum-hukum yang diperoleh dengan fikiran itu.
4.        Meningkatkan kesanggupan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
5.        Menambah kecerdasan dan mengembangkan kesanggupan berpikir secara tajam dan mandiri.
6.        Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan memakai asas-asas sistematis
7.        Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menyingkir dari kesalahan-kesalahan berpkir, kekeliruan serta kesesatan.
8.        Mampu melaksanakan analisis terhadap suatu kejadian.
9.        Terhindar dari klenik, gugon-tuhon (bahasa Jawa)
10.    Apabila sudah bisa berpikir rasional, kritis, lurus, metodis dan analitis sebagaimana tersebut pada butir pertama maka akan mengembangkan gambaran diri seseorang.
Jadi, mempelajari ilmu logika itu sama dengan mempelajari ilmu pasti, dalam arti sama-sama tidak eksklusif memperoleh faedah dengan ilmu itu sendiri, namun ilmu-ilmu itu selaku mediator yang merupakan suatu jembatan untuk ilmu-ilmu yang lain juga untuk menimbang hingga dimana kebenaran ilmu-ilmu itu. Dengan demikian maka ilmu logika juga boleh disebut ilmu pertimbangan atau ukuran, dalam bahasa Arab disebut ilmu mizan atau mi’jarul ulum.[24]
Manusia dituntut untuk berpikir dalam banyak sekali cabang ilmu pengetahuan, baik wawasan yang bermitra dengan alam maupun wawasan yang bermitra dengan manusia. Manusia berpikir wacana rumah tangga, pendidikan anak-anak, pemerintahan Negara dan banyak sekali permasalahan lainnya. Dalam hal ini logika merupakan lampu obor penerang jalan menuju arah yang dituju. Karena itu logika dinamakan ilmu dari segala ilmu, ilmu timbangan dan ukuran dari segala ilmu.
Sedangkan menurut Immam al-Ahdhari, tujuan dan kegunaan Ilmu Logika yakni selaku berikut:
فيعصم الافكار عن غي الخطاء * و عن دقيق الفهم يكشف الغطاء
Manthiq (Logika) sanggup memelihara pikiran dari kesalahan berpikir, memperdalam pemahaman, dan menyelisik selimut kebodohan.”[25]
Dengan demikian kita sanggup memahami, bahwa betapa pentingnya logika itu dan setuju sekali dengan apa yang dibilang Imam al-Ghazali:
ان من لا معرفة له بالمنطق لا يوثق بعلمه
Sesungguhnya orang yang tidak punya wawasan dalam ilmu logika, tidak sanggup dipercaya ilmunya.”[26]
Mempelajari ilmu logika sama halnya dengan ilmu pasti, yakni tidak secara eksklusif memperoleh faedah dari ilmu itu sendiri. Tetapi ilmu itu selaku perantara, selaku suatu jembatan untuk ilmu-ilmu lainnya. Disamping itu, untuk menyaksikan dan menimbang hingga dimana kebenaran ilmu itu.
Di atas sudah disebutkan, bahwa ilmu logika yakni ilmu dari segala ilmu. Hal ini berarti, bahwa ilmu logika niscaya ada keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya. Sebagaimana diketahui, bahwa ilmu merupakan untuk mengenali sesuatu yang belum dimengerti dengan kepercayaan dan asumsi yang kuat. Sedangkan ilmu logika yakni untuk mencari jalan dan dengan jalan itu akan meraih yang dipandang benar.
Dengan demikian jelaslah bahwa korelasi ilmu logika dengan ilmu-ilmu yang yang lain itu, sukar dipisahkan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, dikemukakan teladan berikut:
Panca indera kita sering terbentur pada sesuatu yang belum kita ketahui, sehingga akhirnya sanggup mengenali dan mengenal sifat-sifat sesuatu yang tadinya belum kita kenal. Seperti kondisi anak kecil di saat menyaksikan buah jambu atau buah jeruk. Dia rasai dan ia cium baunya, dilihat bentuk dan warnanya, diraba dan dipegangnya, kemudian dicoba dimakannya. Pada suatu di saat anak mendengar nama buah jambu atau buah jeruk dan melihatnya sebagaimana yang pernah dilihat sebelumnya, maka mengertilah ia bahwa buah yang semacam itu yakni buah jambu atau jeruk.
Selanjutnya anak itu sanggup membanding-bandingkan sifat jambu dan jeruk, pada suatu di saat nanti ia akan tahu yang mana jambu dan yang mana jeruk. Dengan demikian ia sudah mempunyai wawasan wacana jambu dan jeruk.

Hukum Mempelajari Ilmu Logika
Salah satu ciri ilmu keislaman yakni adanya klarifikasi mengenai aturan mempelajari suatu disiplin ilmu. Para ulama setuju bahwa aturan mempelajari Ilmu Logika Islam sama dengan mempelajari ilmu keislaman lainnya; sesuai dengan perintah Nabi Muhammad Saw. Adapun mengenai mempelajari ilmu logika yang tergolong klasifikasi logika murni Yunani dan logika adonan antara Yunani dan Islam terdapat perbedaan usulan (ikhtilaf) menyerupai berikut.[27]
a.          Kelompok Ibnu Shalah dan Imam Abu Zakaria Yahya al-Nawawi beropini bahwa aturan mempelajarinya yakni haram.
b.          Kelompok Imam Al-Ghazali beropini bahwa mempelajarinya diperbolehkan, bahkan mendekati disunnahkan[28] dengan catatan: (a). Orang yang mempelajarinya cerdas, (b). Dikaitkan dalam upaya memperdalam Al-Qur’an dan as-Sunnah serta menjaga keduanya dari serangan pemikiran yang mengingkari Al-Qur’an dan as-Sunnah, dan (c). Dalam upaya mencari kebenaran.
c.          Sebagian kalangan Sunni dan Sufi, menyerupai Syuhrawardi, menganggapnya haram; bahkan menentang dan memeranginya.
d.          Selain itu, ada juga yang berasumsi bahwa aturan mempelajari logika murni Yunani dan logika adonan antara Yunani dan Islam yakni wajib kifayah, yakni suatu kewajiban yang sanggup diwakili; tidak setiap orang mesti mempelajarinya.[29]
e.          Mubah, boleh bagi orang yang akalnya sudah tepat dan mengerti benar aliran Al-Qur’an dan hadits. Pendapat ketiga ini yakni usulan yang masyhur.[30]

Keutamaan Ilmu Logika
Menurut Syaikh Khatab Umar ad-Darwis, Ilmu Logika (Ilmu Mantiq) itu mempunyai keutamaannya. Adapun keunggulan spesialisasi Ilmu Logika adalah:[31]
و اما فضله فهو علم يفوق و يزيد علي غيره من العلوم بكونه
عام النفع فيها اذ كل علم ثصورا و ثصديق وهو يبحث فيها
Keutamaan Ilmu Mantiq (Ilmu Logika) di antaranya sanggup memenangkan dan memberi nilai tambah terhadap disiplin ilmu-ilmu lainnya, alasannya kegunaan Ilmu Mantiq bersifat umum. Artinya, Ilmu Mantiq membahas tashawur dan tashdiq sesuai dengan objek kajiannya.”
Pemahaman kita terhadap keunggulan Ilmu Mantiq, menyerupai halnya terhadap ilmu-ilmu lainnya, berencana menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya nilai ilmu bagi kehidupan mempelajarinya seabgai penggalan dari kiprah kesehariannya.

Hubungan Ilmu Logika dengan Ilmu-ilmu Lain
Apakah Ilmu Logika itu ada kaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya? Begini, untuk menerangkan korelasi ilmu logika dengan ilmu-ilmu yang lain, kita menjajal meminjam pendapatnya Syaikh Umar ad-Darwis mengenai klarifikasi ilmu logika. Menurutnya:[32]
واما نسبته الي العلوم فهو باعتبار موضوعه كل لها لان كل علم بصور او تصديق
Hubungan Ilmu Logika dengan ilmu-ilmu yang lain sanggup dilihat dari sisi objek bahasannya yang universal, yakni tashawur dan tashdiq. Sebab, setiap disiplin ilmu terdiri dari tashawur dan tashdiq.
Tashawur dan tashdiq merupakan cara menunjukan dan menentukan objek pikir secara esensial dan substansial, yang metodenya diterangkan dalam Ilmu Logika. Adapun perwujudan dari tashawur dan tashdiq yakni suatu disiplin ilmu –isi setiap disiplin ilmu yakni pemberitahuan mengenai segala sesuatu yang menjadi objek bahasannya yang disebut teori. Jadi, isi suatu disiplin ilmu yakni teori wacana sesuatu yang menjadi objek kajiannya; sedangkan teori berintikan tashawur dan tashdiq yang menjadi objek kajian Ilmu Logika. Dengan demikian, sanggup dipahami bahwa korelasi Ilmu Logika dengan ilmu-ilmu yang lain terletak pada fungsinya selaku alat dan kaidah pengerjaan teori yang menjadi isi setiap ilmu.

Sumber Pengambilan Ilmu Logika
Dalam Ilmu Manitq ada disebutkan ada kata istimdad. Jika dilihat dari sisi bahasa, istimdad yakni sumber pengambilan sesuatu. Adapun secara terminologi, istimdad mengandung pengetian suatu istilah untuk menyatakan sesuatu yang menjadi sumber atau dasar pengambilan disiplin ilmu.
Sumber pengambilan Ilmu Logika yakni akal, yang merupakan ”hidayah” dari Allah Swt. Dengan potensi kebijaksanaan itu, insan berlainan dari makhluk Allah lainnya. Bahkan, lantaran kebijaksanaan inilah insan diberi beban untuk memikul ”hidayah agama Islam.” Hidayah yang diberikan Allah terhadap umat manusia, menurut Dr. Musthafa Al-Maraghi[33] dalam penafsirannya terhadap QS. Al-Fâtihah [1]: 6, ada lima macam:
1)       Hidayah Gharizah (Instink). Hidayah jenis ini dibeirkan Allah terhadap insan dan kepad makhluk lainnya.
2)       Hidayah Hawasi (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, dan perabaan). Hidayah ini diberikan terhadap insan dan makhluk lainnya.
3)       Hidayah Akal (penalaran). Hidayah ini diberikan Allah terhadap manusia, malaikat, dan jin.
4)       Hidayah Din Al-Islam (Agama Islam). Hidayah ini diberikan Allah Swt. terhadap manusiadan jin.
5)       Hidayah Taufiqi (kemampuan untuk mencocokkan sikap dengan hidayah yang keempat). Hidayah ini diberikan Allah terhadap insan dan jin berupa ”daya ikhtiari.”

Sebagai istimdad Logika, kebijaksanaan merupakan:[34]
نور روحا ني به تدرك النفس المعلومات الضرورية والنظرية
Cahaya spiritual yang dengannya seseorang sanggup mengerti objek pengeahuan yagnmudah dan yang sulit.

Dasar-dasar Logika
Konsep bentuk logis yakni inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas) suatu argumen diputuskan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni korelasi antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis). Logika silogistik tradisional  Aristoteles (Mantiq al-Qadim) dan logika simbolik terbaru (Mantiq al-Hadits) yakni contoh-contoh dari logika formal.
Logika tradisional (Mantiq al-Qadim) yakni logika Aristoteles, dan logika dibandingkan dengan logikus yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti tata cara logika Aristoteles. Para Logikus sehabis Aristoteles tidak bikin pergeseran atau mencipta tata cara gres dalam logika kecuali cuma bikin komentar yang membuat logika Aristoteles lebih elegant dengan sekedar mengadakan perbaikan-perbaikan dan mencampakkan hal-hal yang tidak penting dari logika Aristoteles. Logika terbaru (Mantiq al-Hadits) berkembang dan dimulai pada periode XIII. Mulai periode ini didapatkan tata cara baru, metode gres yang berlainan dengan tata cara logika Aristoteles. Saatnya dimulai sejak Raymundus Lullus mendapatkan metode gres logika yang disebut Ars magna.[35]
Dasar penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan induktif. Penalaran deduktif –kadang disebut logika deduktif– yakni penalaran yang membangun atau menganalisa argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif kalau kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid kalau dan cuma kalau kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Pemikiran induktif merupakan proses pemikiran di dalam kebijaksanaan kita dari wawasan wacana kejadian/peristiwa-peristiwa/hal-hal yang lebh nyata dan ‘khusus’ untuk menyimpulkan wawasan yang lebih ‘umum’[36]
Contoh argumen deduktif:
1)        Setiap makhluk yakni ciptaan Tuhan
2)        Semua makhluk tersusun dari unsur substansi dan accident
3)        Semua perbuatan hamba yakni proses sintesa antara energi ciptaan Tuhan dan kehendak manusia
Penalaran induktif kadang disebut logika induktifadalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk meraih kesimpulan umum. Dengan kata lain merupakan proses pemikiran di dalamnya kebijaksanaan kita dari wawasan yang lebih ’umum’ untuk menyimpulkan wawasan yang lebih ’khusus’.[37]
Contoh argumen induktif:
1.       Al-Qur’annya orang Islam Arab berjumlah 30 juz
2.       Al-Qur’annya orang Islam Turki berjumlah 30 juz
3.       Al-Qur’annya orang Islam Amerika berjumlah 30 juz
4.       Al-Qur’annya orang Islam Indonesia berjumlah 30 juz
5.       ...
6.       Al-Qur’an umat Islam berjumlah 30 juz
Cara ini mempunyai dua keuntungan. Pertama, kita sanggup berpikir secara ekonomis. Meskipun eksperimen kita terbatas pada beberapa permasalahan individual, kita bisa mendapatkan wawasan yang lebih lazim tidak sekadar permasalahan yang menjadi dasar pemikiran kita. Kedua, pernyataan yang dihasilkan lewat cara berpikir induksi tadi memungkinkan proses penalaran selanjutnya, baik secara induktif maupun secara deduktif.[38]
Tabel di bawah ini menampilkan beberapa ciri utama yang membedakan penalaran induktif dan deduktif.
Deduktif
Induktif
-       Jika semua premis benar maka kesimpulan niscaya benar.
-       Semua pemberitahuan atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara implisit, dalam premis.
-          Jika premis benar, kesimpulan mungkin benar, namun tak niscaya benar.
-          Kesimpulan menampung pemberitahuan yang belum dimengerti sebelumnya, bahkan secara implisit, dalam premis.
Macam-macam logika
Logika sanggup dibagi: pertama berdasarkan kualitasnya, kedua menurut perbedaan pendekatan yang dinyatakan dengan pelbagai perbedaan madzhab logika. Ketiga menurut perbedaan jenis-jenis logika.
Dilihat dari sisi kualitasnya, logika sanggup dibedakan menjadi Logika Alamiah atau Naturalis (Mantiq al-Fitri) dan Logika Ilmiah (Mantiq al-Sûri)
1.       Logika alamiah
Logika alamiah yakni kinerja pikiran sehat insan yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Kemampuan logika alamiah insan yang ada sejak lahir.
2.       Logika ilmiah
Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta kebijaksanaan budi.
Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang mesti ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat sokongan logika ilmiah inilah pikiran sehat sanggup melakukan pekerjaan dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih gampang dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi.[39]
Berdasarkan perbedaan pendekatan, logika mempunyai banyak madzhab (school of logic). Sekurang-kurangnya ada lima madzhab logika, yaitu:
1.        Traditional Logic (Logika Tradisional), yakni madzhab logika yang menafsirkan logika selaku sekelompok aturan berpikir yang berkhasiat bagi perbincangan sehari-hari dan perbincangan ilmiah. Madzhab yang dipelopori oleh Aristoteles ini memberi tekanan pada deduksi dan induksi.
2.        Empiricism (madzhab Tajribi). Yaitu, pemikrian yang didasarkan pada penggunaan potensa indra lahir semata dalam menimbang-nimbang objek pikir. Pengetahuan yang dihsilkannya disebut epengetahuan indra.
3.        Metaphysical Logic/Mysticism (Logika Metafisik/Madzhab Shufi), yakni madzhab logika yang menilai logika sama dengan metafisika. Madzhab ini merupakan pemikiran yang didasarkan pada penggunaan potensi nurani dan intuisi. Pengetahuan yang diperolehnya diseut wawasan mistis.[40] Menurutnya susunan pikiran dianggap sama dengan susunan kenyataan. Madzhab yang lebih menekankan pada upaya menafsir pikiran selaku struktur realita ini disokong oleh George Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf Jerman yang hidup antara 1770-1831.
4.        Epistemological Logic (Logika Teori Ilmu Pengetahuan), yakni madzhab logika yang berasumsi bahwa pikiran logis mesti digabung dengan perasaan dan seluruh ilmu wawasan untuk meraih kebenaran. Kebenaran menurut madzhab ini tergantung pada kesesuaiannya dengan pendapat-pendapat lain dalam banyak sekali bidang dan disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga dengan demikian logika dianggap menjadi suatu sisstem yang bulat. Madzhab ini disokong oleh Herbert Bradley (1848-1923).
5.        Pragmatic Logic /madzhab ’Aqli/Rationalism (Logika Kegunaan), yakni madzhab logika yang menilai logika selaku alat untuk menghadapi pengalaman hidup dan memecahkan masalah. Pengetahuannya didasarkan pada penggunaan potnsi kebijaksanaan semata. Menurut aliran ini, kebijaksanaan mempunyai kesanggupan memahami, mengkaji, menetapkan, memikirkan, dan menyadari objek pikir. Pengetahuan yang diperolehnya disebut wawasan rasional.[41] Rangkaian pemikiran hanyalah berjalan dalam rangka pemecahan masalah. Madzhab ini disebut juga Instrumentalist Logic dan disokong oleh John Dewey (1859-1952).
6.        Criticism (madzhab Naqdihi). Yaitu, pemikrian yang didasarkan pada penggabungan antara madzhab Tajribi dan madzhab ’Aqli dalam menimbang-nimbang objek pikir.
7.        Simbolic Logic (Logika Simbol), yakni madzhab logika yang menilai bahasa selaku lambang dari kerja pikir. Madzhab yang disokong oleh Gofried Wilhelm Leibnizt (1646-1716) dan George Boole (1815-1864) menatap pentingnya penggunaan lambang-lambang matematik selaku simbol dari kerja pikir.[42]
Sedangkan menurut ragam dan jenisnya logika dibagi menjadi:
1.        Philosophical Logic (Logika Filsafat), yakni logika yang pembahasan-pembahasannya sungguh erat dengan pembahasan-pembahasan filsafat. Misalnya, Deontic Logic (Logika Kewajiban) erat keterkaitannya dengan Etika (Filsafat Kesusilaan). Atau Intentional Logic (Logika Arti) erat keterkaitannya dengan metafisika (filsafat yang membahas hakekat yang ada di belakang kenyataan). Lawan dari logika filsafat  yakni logika yang bersifat sagat teknis dan ilmiah.
2.        Pure Logic (Logika Murni) dan Applied Logic (Logika terapan). Logika murni yakni logika yang berlaku lazim tanpa mempersoalkan arti-arti khusus dari suatu perumpamaan atau pernyataan yang berlaku dalam suatu bidang ilmu tertentu. Lawannya logika terapan, yakni logika yang dipraktekkan ke dalam cabang ilmu wawasan dan dalam obrolan sehari-hari. Seperti logika biologi, logika sosiologi dan lain-lain.
3.        Traditional Logic (Logika Tradisional) dan Modern Logic (Logika Modern). Logika tradisional yakni logika yang berintikan logika Aristoteles yang pembahasannya berkisar permasalahan penalaran secara deduktif yang mendasarkan pada bentuk-bentuknya saja dan pokok istilah serta pemberitahuan pokok sebutan. Logika ini memperoleh penyempurnaan dari tokoh-tokoh muslim pada masa kejayaan Islam. Penyempurnaan dan pengembangannya berkisar sekitar: pemberitahuan persyaratan yang benar (consequentia), qiyas awla, kaidah-kaidah pemikiran (laws of  thought), penguraian induktif serta metode eksperimen (thariqah tajribiyah). Sedangkan Logika Modern yakni Logika Simbol yang memakai dasar-dasar matematik. Tokohnya yang menonjol yakni George Boole (1815-1864), spesialis logika berasal dari Inggeris.
4.        Deductive Logic (Logika Deduktif) dan Inductive Logic (Logika Induktif). Logika deduktif yakni logika yang mempelajari asas-asas berpikir menurut bentuknya di mana kesimpulan selaku kemestian diturunkan dari pangkal pikir (premis). Karena logika ini lebh menakankan keteraturan kerja kebijaksanaan sesuai dengan bentuknya (aturan-aturan yang berlaku), maka logika ini disebut pula dengan Logika Formal (Formal Logic). Lawannya yakni Logika Induktif, yakni logika yang mempelajari asas-asas penalaran (reasoning) yang betul dari sejumlah hal khusus hingga pada kesimpulan lazim yang bersifat boleh jadi (probable). Karena logika ini lebih menekankan pada usaha mendapatkan asas-asas berpikir yang keabsahannya tergantung pada bersesuaian dengan realita maka disebut pula Logika Isi (Material Logic). Berbeda dengan kesimpulan logika deduktif yang bersifat materi, kesimpulan logika induktif bersifat mungkin.
5.        Formal Logic (Logika Bentuk) dan Material Logic (Logika Isi). Walaupun logika bentuk kerap kali disamakan dengan logika deduktif, tetapi bahwasanya ia cuma merupakan penggalan dari logika deduktif, yakni penggalan yang bermitra dengan perbicangan (argument) yang sah menurut bentuknya. Sedangkan Logika Isi yakni logika yang menelaah pemikiran dan penalaran yang mengungkapkan dunia kenyataan. Logika isi kerap kali disamakan dengan logika induktif, logika minor, atau logika ilmu pengetahuan.[43]

Pengertian Ilmu
Dr. Muhammad al-Bahi menulis bahwa ilmu –dilihat dari sisi sumbernya –terdiri dari dua macam: (a) ilmu yang bersumber dari tuhan, dan (b) ilmu yang bersumber dari manusia. Ilmu yang pertama disebut Ma’rifat al-Ilahiah, sedangkan ilmu yang kedua disebut Ma’rifat al-Insaniyah. Dalam pada itu. Iman merupakan asas dari keduanya.[44]
Dalam bahasa Indonesia "Ilmu" sebanding artinya dengan "Science" dan dibedakan pemakaiannya secara terang dengan kata "pengetahuan".
Kata “Ilmu” dalam pemakaiannya dibedakan dengan “Pengetahuan”. Dalam ilmu logika atau mantiq, perumpamaan “Pengetahuan” (knowledge) persamaan kata dengan “ilmu badihi” yakni ilmu yang diterima tanpa memerlukan pengusutan menyerupai panas, hirau taacuh dsb. Cara menerimanya pun berasal dari acara mengetahui, yakni tersingkapnya suatu realita ke dalam jiwa hingga tidak ada keraguan terhadapnya.[45] Sedangkan perumpamaan “Ilmu” (science) persamaan kata dengan “Ilmu Nazhari”, yakni ilmu yang memerlukan pembuktian dan observasi menyerupai mengerti hakikat hujan, gerhana matahari dan sebagainya.[46]
Syaikh Abd ar-Rahmân al-Ahdhari dan al-Darwisi beropini bahwa ilmu bermakna klarifikasi tentan sesuatu dengan cara mengenali sesuatu tersebut; atau, sampainya jiwa kepasda pengertian makna sesuatu tersebut.[47] Pengertian ilmu ini pastinya dalam konteks ilmu selaku “ilmu baru” (hadits). Sebab, ilmu itu –dilihat dari sisi waktu– terbagi menjadi ‘Ilm al-Qadim (Ilmu Allah Swt.), dan ‘Ilm al-Hadits (Ilmu “baru”), yakni ilmu yang dimiliki manusia.[48]
Kita mesti waspada dalam memakai kata “pengetahuan” dan “ilmu” dan apa yang kita tangkap dalam jiwa. Pengetahuan (knowledge) sudah puas dengan “menangkap tanpa ragu” realita sesuatu, sedangkan Ilmu (science) mengharapkan klarifikasi lebih lanjut dari sekadar apa yang dituntut oleh wawasan (knowledge).
Sebagai seorang Muslim, Ali mengenali bahwa Al-Qur’an yakni kitab Allah yang paling sempurna, oleh lantaran itu ia akan membantah kalau Al-Qur’an itu dibilang bikinan Muhammad Saw. Yang demikian ini yakni “pengetahuan” baginya. Manakala ia kemudian mengenali bahwa ternyata Al-Qur’an itu tatkala dibaca secara istiqamah akan membuat pembacanya menjadi tenteram, gaya bahasa Al-Qur’an itu sungguh sungguh indah menawan yang mana penyair terhebat sekalipun tidak dapat menandinginya. Dilihat dari ajarannya Al-Qur’an itu sungguh masuk kebijaksanaan dan sanggup menjamah kalbu. Dari pembagaian ajarannya pun ternyata Al-Qur’an berisi banyak sekali disiplin ilmu: fiqih, tafsir, tajwid, tahsin, murattal, filsafat, ilmu kalam, tasawuf, ilmu eksakta, ilmu sosial, ilmu sosiologi, ilmu perbintangan dan lain sebagainya. Bahkan Ali akhirnya mengerti bahwa Al-Qur’an merupakan komplemen dan penyempurna kitab-kitab Allah yang diturunkan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Dari sinilah akhirnya Ali mengerti makna kesempurnaan Al-Qur’an yang sebenarnya. Nah, wawasan Ali yang kemudian wacana kesempurnaan Al-Qur’an menyerupai ini disebut “Ilmu”.
Dengan demikian, Ilmu yakni wawasan wacana suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang sanggup dipakai untuk menunjukan gejala-gejala tertentu di bidang wawasan itu. Sedangkan wawasan itu tidak memerlukan klarifikasi yang lebih lanjut. [49]
Menurut Abu Hilal al-Askari, ilmu adalah:[50]
معرقة الشئ علي ما هو به واعثقاده
Mengetahui dan meyakini sesuatu menurut apa adanya (objektif).”

Sedangkan menurut Muhammad Nur al-Ibrahim, ilmu adalah:[51]
ادراك المجهول علي جهة اليقين او الظن ادراكا يطابق الواقع لو يخالفه
Pencapaian objek tahu yang belum diketahu dengan cara meyakini atau mengira yagn keadannya bisa cocok dengan realita atau sebaliknya.”
Menurut Maranon (1953),[52] ilmu meliputi lapangan yang sungguh luas, meraih semua faktor wacana progress manusia secara menyeluruh. Termasuk di dalamnya wawasan yang elah dirumuskan secara sistematis lewat pengamatan dan percobaan yang terus-menerus, yang sudah menciptakan penemuan kebenaran yang bersifat umum. Tan (1954)[53] beropini bahwa ilmu bukan saja merupakan suatu himpunan pengetauan sistematis, tetapi juga merupakan suatu metodelogi. Ilmu sudah menampilkan metode dan system, yang mana tanpa ilmu semua itu akan merupakan suatu keperluan saja. Nilai dari ilmu tidak saja terletak dalam wawasan yang dikandungnya, sehingga si penuntut ilmu menjadi seorang yang ilmiah, baik dalam keterampilan, dalam persepsi maupun tindak tanduknya.
Ilmu mendapatkan matri-materi alamiah serta membeirkan suatu rasionalisasi selaku aturan alam. Ilmu membentuk kebiasaan serta mengembangkan kemampuan observasi, percobaan (eksperimentasi), klasifikasi, analisis serta bikin generalisasi. Dengan adanya keingintahuan insan yang terus-menerus, maka ilmu akan terus bertambah dan menolong kesanggupan persepsi serta kesanggupan berpikir secara logis, yang sering disebut penalaran.
Ilmu menurut para ahli Logika yakni mengerti dengan percaya atau mendekati percaya mengenai sesuatu yang belum diketahui, baik paham itu sesuai dengan realita maupun tidak.
Contoh :
Ketika Anda membaca Al-Qur’an surat Al-Sajdah: 4, yang artinya, “Allah-lah yang bikin langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy,” kemudian Anda masih kurang jelas atau ragu-ragu; betulkah langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya itu yakni ciptaan Allah? Kemudian Anda bertafakkur sambil beranalogi dengan adanya kursi. Saat itu juga Anda mendapatkan jawabannya ternyata adanya kursi –sebagai kawasan duduk– tidak mungkin ada dengan sendirinya, niscaya ada yang membuatnya. Demkian pula dengan benda-benda yang lain yang ada di depan mata, menyerupai meja, lemari, baju, celana, dan lain sebagainya. Benda-benda tersebut tidak mungkin ada dengan sendirinya bahkan tidak mungkin kalau tidak ada yang membuatnya. Begitu pula dengan adanya langit serta segala sesuatu yang berada di antara keduanya tidak mungkin dan tidak mungkin ada dengan sendirinya kalau tidak ada yang menjadikannya (menciptakannya). Dan di ayat tersebut diterangkan bahwa pencipta langit dan bumi serta yang ada di antara keduanya yakni ”Allah”. Dengan demkian kian mantaplah kepercayaan Anda bahwa langit dan bumi serta yang ada di antara keduanya yakni ciptaan Allah. Pemahaman Anda itu merupakan ilmu yang percaya dan sesuai dengan realitas (ilmu yaqin muthabiq lil-waqi'). Akan tetapi, kalau Anda mempunyai pengertian yang mendekati percaya (zhan) bahwa langit dan bumi serta yang ada di antara keduanya yakni ciptaan Allah, maka pengertian Anda itu merupakan ilmu yang mendekati percaya (dzhan) dan sesuai dengan realitas (ilmun zhanni muthabiq lil-waqi') –sesuai dengan dalil naqli dan ’aqli.

Pembagian Ilmu
          Para pakar mantiq membagi ilmu menjadi dua yakni selaku berikut :
1.        Tashawur, yakni mengerti sesuatu tanpa mengenakan (meletakkan) sesuatu (sifat) yang lain kepadanya, menyerupai mengerti kata Husin, manusia, kerbau, kambing, rumah dan sebagainya.
2.        Tashdiq, yakni mengerti korelasi antara dua kata atau menentukan sesuatu (kata) atas sesuatu kata yang lain. Ketika Anda mengerti Husin ilmu Anda mengenai Husin itu tersebut tasawur. Tetapi di saat Anda menyampaikan Husin sakit bermakna Anda memahaminya dengan menentukan (meletakkan) sakit terhadap Husin. Pemahaman Anda pada waktu itu sudah berpindah dari tasawur terhadap tashdiq.[54]
          Ilmu-ilmu tashawur dan tashdiq itu masing-masing terbagi lagi terhadap dua:
1.        Badihi, yakni pengertian wacana sesuatu yang tidak memerlukan pikiran atau penalaran, menyerupai mengenali diri merasa lapar lantaran telat makan. Ilmu ini disebut dengan ilmu a priori, yakni ilmu-ilmu yang tidak kita temukan dari pengalaman dan percobaan, tetapi bersumber pada kebijaksanaan itu sendiri. Kebernaran ilmu ini tidak sanggup didapatkan dan dikembalikan terhadap data empiris sebagaimana ilmu-ilmu a posteriori, melainkan terhadap akal. Semua ilmu yang tidak tergantung terhadap pengalaman dan eksperimen tergolong dalam kalangan ini, begitu pula Logika.
2.        Nazhari, yakni pengertian yang memerlukan pemikiran, penalaran, atau pembahasan serta pengalaman inderawai, menyerupai matematika, kimia, teknologi radio, televisi, komputer, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu kesehatan, dan semacamnya. Pendeknya semua ilmu yang bersumber pada pengalaman dan eksperimen. Dalam dunia terbaru ilmu ini disebut ilmu a posteriori.[55]

Tingkatan Ilmu
Menurut Plato, timbulnya wawasan merupkan kewajiban adanya gabungan yang tidak dapat dipisahkan antara panca indera dan akal. Baginya, panca indera tidak sanggup menimbang-nimbang sesuatu, dan kebijaksanaan tidak sanggup mencerap sesuatu. Hanya apabila kedua-duanya bergabung maka timbullah pengetahuan; mencerap tanpa dibarengi proses berpikir pikiran sehat sama dengan kebutaan, pikiran tanpa isi dari indera sama dengan kehampaan.[56]
Adapun tingkatan wawasan menurut Plato dimulai dari tingkat bawah hingga tingkat tinggi adalah: Eikasia, Pistis, Dianoia, dan Noesia. Dari kesemuanya itu ada yang menunjuk pada kepahaman yang salah (Doxa), yakni Eikasia dan Pistis; dan ada yang menunjuk pada kepahaman yang arif (Episteme). Namun yang menawan dari Plato yakni bahwa dari doxa itu, kalau kita terus-menerus menelusuri formanya akan sanggup meraih pada kearifan. Hal ini bisa terjadi, lantaran yang disebut doxa yakni wawasan yang dicerap lewat indera, yang justru data-data indera itu diharapkan bagi penemuan kearifan (episteme).
Dari kaitan ini kita sanggup menuntut ilmu bahwa tak ada kesalahan atau kejahatan yang abadi, cuma kebaikan dan kearifan yang abadi. Dalil ini memberi ruang kebahagiaan tersendiri bagi kita, apalagi kita kerap kali merasa sedih dan tersingkir di saat menyadari adanya kesalahan dalam kesadaran kita. Menurut Plato, kesalahan justru jalan menuju kebenaran. Tentu saja, dengan syarat kita menyadari kadar kesalahan itu; dengan modal kesadaran akan kesalahan, akan kebebalan kita sanggup mendapatkan kearifan.
Skema Tingkatan Pengetahuan Plato
Tingkatan Tertinggi, NOESIA: Pengetahuan pada nilai kesadaran
Tingkatan Tinggi, DIANOIA: Konsep hasil rumusan atas realita
Tingkatan Sedang, PISTIS: Pendapat berdasar kesan inderawi
Tingkatan Rendah, EIKASIA: Gosip, kabar belum tentu benar.[57]
          Hemat penulis, dalam bahasa spiritualitas Islam:
Tingkatan Tertinggi, NOESIA: Pengetahuan pada nilai kesadaran disebut haqq al-yaqîn[58]
          Tingkatan Tinggi, DIANOIA: Konsep hasil rumusan atas realita disebut ’ainu al-yaqîn.
Tingkatan Sedang, PISTIS: Pendapat berdasar kesan inderawi disebut ’ilmu al-yaqîn
Tingkatan Rendah, EIKASIA: Gosip, kabar belum tentu benar disebut ’ilmu
Hal tersebut kiranya selaras dengan makna QS. At-Takâtsur [102]: 1-8, yang namanya agak sedikit berbeda, tetapi pada hakekatnya sama, yakni selaku berikut:
ãNä39ygø9r& ãèO%s3­G9$# ÇÊÈ 4Ó®Lym ãLänöã tÎ/$s)yJø9$# ÇËÈ žxx. šôqy tbqßJn=÷ès? ÇÌÈ §NèO žxx. t$ôqy tbqßJn=÷ès? ÇÍÈ žxx. öqs9 tbqßJn=÷ès? zNù=Ïæ ÈûüÉ)uø9$# ÇÎÈ žcãruŽtIs9 zOŠÅspgø:$# ÇÏÈ ¢OèO $pk¨XãruŽtIs9 šú÷ütã ÈûüÉ)uø9$# ÇÐÈ ¢OèO £`è=t«ó¡çFs9 >ͳtBöqtƒ Ç`tã ÉOŠÏè¨Z9$# ÇÑÈ
1.    Bermegah-megahan sudah melewatkan kamu
2.    Sampai kau masuk ke dalam kubur.
3.    Janganlah begitu, kelak kau akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),
4.    Lalu janganlah begitu, kelak kau akan mengetahui.
5.    Janganlah begitu, kalau kau mengenali dengan pengetahuan yang yakin,
6.    Niscaya kau sungguh-sungguh akan menyaksikan neraka Jahiim,
7.    Dan sesungguhnya kau sungguh-sungguh akan melihatnya dengan 'ainul yaqin.
8.    Kemudian kau niscaya akan ditanyai pada hari itu wacana kenikmatan (yang  kamu megah-megahkan di dunia itu).
Ayat tersebut menerangkan wacana orang-orang yang bermegah-megahan dalam hidupnya hingga masuk ke dalam kubur. Oleh Al-Qur’an, kehidupan menyerupai ini hendaklah jangan hingga terjadi pada setiap orang –khususnya umat Islam. Karena bagaimanapun ada kehidupan sesudah mati, dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap amal yang diperbuatnya selagi di dunia. Hanya saja, pengertian dan kepercayaan menyerupai ini –adanya pertanggungjawaban amal sesudah kematian– tidak ada yang serupa sesuai daya tangkap wawasan yang dimilikinya.
Oleh lantaran tingkatan atau kesanggupan seseorang dalam menyaksikan dan mengerti wacana eksistensi akhir atau jawaban amalnya di akherat kelak menurut tingkatan pengetahuannya, maka dalam surat tersebut diterangkan mengenai wawasan seseorang dalam menjalani kehidupannya di dunia sesuai dengan kapasiatas yang dimilikinya, hingga memunculkan pengertian dan pengamalan yang masing-masing berbeda, yaitu:
1.    Ada pengetahuannya yang gres hingga pada, kamu akan mengetahui.
Di sini (QS. At-Takatsur [102]: 3), berbunyi, Kallâ saufa ta’lamûn (janganlah begitu, kelak kau akan mengenali [akibat perbuatanmu itu]) tergolong pada wawasan umum, yang dalam perumpamaan Plato disebut eikasia. Atau dalam bahasa spiritualitas Islam (baca: tasawuf) disebut ilmu (pengetahuan yang didapatkan cuma lewat panca indera semata). Melihat dengan bersifat sementara, belum ada kepercayaan yang kuat, masih labil, lantaran indera rasanya gres pada tataran shadr.
2.    Ada pengetahuannya yang hingga pada, kamu akan mengetahui.
Pada wawasan yang kedua ini terdapat pada (QS. At-Takatsur [102]: 4). Dalam ayat ini berbunyi, Tsumma kallâ saufa ta’lamûn (lalu janganlah begitu, kelak kau akan mengetahui), yang di dalamnya terdapat kata Tsumma, di mana kedudukannya selaku kata sambung yang bermakna lalu, kemudian atau dan, yang menampilkan pada pengertian meneruskan pekerjaan yang selanjutnya sesudah menjalankan pekerjaan sebelumnya yang dianggap sudah selesai atau memperbaharui pekerjaan tersebut menuju yang lebih baik lagi. Kaprikornus di sini sifatnya bisa kualitatif dan atau kuantitatif. Dalam perumpamaan Plato, peringkat wawasan yang kedua ini disebut Pistis. Sedangkan dalam spiritualitas Islam disebut ilmu al-yaqîn (pengetahuan yang didapatkan lewat panca indera, pengalaman, imajinasi dan gres pada permukaan rasa). Melihat dengan sarat perhatian, tetapi belum ada kesadaran yang maksimal, indera rasanya sudah mulai naik, tetapi gres pada tataran qalb.
3.    Ada pengetahuannya yang meningkat hingga pada, kamu mengenali dengan wawasan yang yakin.
Meningkat pada wawasan yang ketiga yakni terdapat pada (QS. At-Takatsur [102]: 5). Dalam ayat ini berbunyi, Kallâ lau ta’lamûna ’ilma al-yaqîn (Janganlah begitu, kalau kau mengenali dengan wawasan yang yakin). Di sini perumpamaan wawasan yang dipakai ’ilma al-yaqîn, yang merupakan hasil dari wawasan eikasia dan pistis sudah sanggup dipahami, maka ada wawasan selanjutnya yang lebih tiggi lagi yakni ilmu yaqîn, dalam perumpamaan Plato disebut dengan dianoia. Dalam perumpamaan spiritualitas Islam disebut ’ainu al-yaqîn. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sehingga memunculkan kepercayaan yang kuat. Melihat dengan mata hati, indera rasanya meningkat tajam hingga pada fu’ad.
4.    Ada pengetahuannya yang gres hingga pada, Sesungguhnya kau sungguh-sungguh akan melihatnya dengan ’ainul yaqîn.
Selanjutnya meningkat pada pengetahun tertinggi yang terdapat pada QS. At-Takatsur [102]: 5). Dalam ayat ini berbunyi, Kallâ lau ta’lamûna ’ilma al-yaqîn (Dan sesungguhnya kau sungguh-sungguh akan melihatnya dengan 'ainul yaqin). Di sini perumpamaan wawasan yang dipakai ’ainu al-yaqîn, yang merupakan hasil dari wawasan eikasia, pistis dan dianoia yang sudah sanggup dipahami, maka ada wawasan selanjutnya yang lebih tinggi lagi yakni ’ainu al-yaqîn, dalam perumpamaan Plato disebut dengan dianoia. Dalam spiritualitas Islam disebut dengan haqq al-yaqîn (pengetahuan yang didapatkan lewat panca indera dengan lubb –jantung atau titik pusat kalbu orang yang beriman). Melihat dengan mata hati hingga memunculkan kepercayaan super berefek (pengetahuan yang didapatkan lewat panca indera ditambah dengan shadr, qalbu, fuad hingga lubb).

Mengikat Makna Pikiran
Rounded Rectangle: Pemikir yakni pembuat pikiran. Pikiran memicu seseorang  berpikir. Berpikir bikin  konsentrasi. Konsentrasi melahirkan perasaan. Perasaan melahirkan perbuatan. Perbuatan menciptakan sesuatu, dan hasil menentukan realita hidup Anda. Jika Anda sungguh-sungguh ingin bikin  pergeseran dalam hidup, ubahlah persepsi Anda. (Dr. Ibrahim Elfiky)   







Pemikir
Pemikir yakni orang yang menaruh pikiran di akalnya. Inilah sumber segala sesuatu. Pemikirlah yang menentukan keinginannya, kemudian ia menentukan cara dan merealisasikan dengan perbuatan. Seorang pemikir bebas memilih: apakah ia akan menaruh pikiran negatif atau positif di akalnya; pikiran yang membahagiakan atau yang menyengsarakan; pikiran spiritual atau duniawi; pikiran yang menjaga kesehatan atau yang merusaknya. Seorang pemikir menyerupai petani. Dialah yang menentukan hasil yang diinginkan. Untuk itu, ia menentukan benih yang mau disemai, kemudian menyirami dan merawatnya hingga mendatangkan hasil. Jika menginginkan buah anggur maka ia mesti menyemai benih anggur. Jika ia menginginkan buah ketimun, wortel, atau kedelai maka ia mesti menyemai benih yang sesuai dengan keinginannya.
Sama menyerupai pemikir, dialah yang menentukan dan menentukan jenis pikiran yang mau ditanam di akalnya. Pikiran itu akan menjadikannya berpikir, berkonsentrasi, merasakan, bertindak, hingga mendatangkan hasil yagn sesuai dengan pikirannya. Jika yang ditanam yakni pikiran negatif maka hasilnya akan negatif. Jika yang ditanam pikiran positif maka hasilnya positif.
Seorang pemikir mesti tahu bahwa satu pikiran negatif yang ia tanam di akalnya menjadi permulaan peristiwa bagi kesehatan, kejiwaan, dan keuangan. Karena itu, seorang pemikir mesti menentukan pikiran yang mau ditaruh di akalnya. Sama menyerupai petani yang dengan hati-hati menentukan benih yang mau disemaikan di sawahnya.

Pikiran  
Segala sesuatu yang ada di semesta ini dimulai dari pikiran, menjadi kemungkinan, menjadi tujuan, melahirkan perbuatan, dan menjadi kenyataan. Adanya pesawat melayang dimulai dari pikiran yang hinggap di benak Wright bersaudara (Orville Wright dan Wilbur Wright). Disney Land dimulai dari pikiran yang terbetik di benak Walt Disney, kemudian bermetamorfosis menjadi realita yangdikunjungi jutaan orang setiap tahun. Federal Ekspress (Fedex) dimulai dari pikiran yang timbul di kepala Fred Smith. Kini ia menjadi realita yang jasanya banyak dipakai orang untuk mengirim paket atau surat ke banyak sekali negara dalam tempo kurang dari tiga hari. Lari sejauh satu mil dalam tempo kurang dari tiga hari. Lari sejauh satu mil dalam waktu tiga menit semua hanyalah pikiran Roger Panster, kemudian menjadi realita yang dibarengi ribuan olahragawan di dunia. Roket, pesawat, kapal, mobil, alat-alat elektronik, alat-alat kedokteran, alat-alat olahraga, dan lain-lain dimulai dari pikiran. Pikiran yakni sumber segala sesuatu.
Pikiran positif mengirimkan kita pada penemuan dan pertumbuhan yang berkhasiat di dunia. Pikiran negatif memicu langkah-langkah pembunuhan, penipuan, pencurian, perzinaan, monopoli, frustasi, serta penyakit jiwa dan fisik. Menurut suatu faklutas kedokteran di San Fransisco, sebagian besar penyakit bermula dari pikiran dan aktivitas berpikir.
Sebagaimana sudah dimengerti di tampang bahwa logika mempelajarai hukum-hukum, patokan-patokan dan rumus-rumus berpikir. Segala ilmu niscaya dalam memperolehnya salah satunya memakai acara berpikir. Contohnya Psikologi. Psikologi mempelajari pikiran dan kerjanya tanpa menyinggung sama sekali urusan benar salah. Sebaliknya, urusan benar dan salah menjadi permasalahan pokok dalam logika. Logika tidak mempelajari cara berpikir dari semua ragamnya, tetapi pemikiran dalam bentuk yang paling sehat dan praktis.
Logika menyelidiki, menyaring dan menilai pemikiran dengan cara sistematis dan akademis serta berencana mendapatkan kebenaran, terlepas dari segala kepentingan dan kesempatan perorangan. Ia merumuskan serta menerapkan hukum-hukum dan patokan-patokan yang mesti ditaati aga insan sanggup berpikir benar, efisien dan teratur. Dengan demikian ada dua obyek pengusutan logika, pertama, pemikrian selaku obyek material, dan, kedua, patokan-patokan atau hukum-hukum berpikir benar selaku obyek fromalnya
Kalau begitu, mungkin tidak kita sanggup mempelajari barang ghaib yang sanggup disebut pikiran itu? Kita mesti tahu bahwa insan itu bukanlah makhluk spiritual murni an sich, melainkan juga ia yakni makhluk yang dianugerahi oleh Allah dengan seperangkat jasmani dan rohani. Karena itu ia memerlukan fasilitas material untuk sanggup menangkap pikiran yang ghaib tersebut. Kita tidak mungkin sanggup mengerti pikiran seseorang kalau tidak diwujdkan dalam bentuk ucapan, goresan pena atau isyarat. Isyarat yakni perkataan yang dipadatkan, lantaran itu ia yakni perkataan juga.
Jadi, pikiran dan perkataan yakni identik, tidak berlainan satu sama lain dan bukan extra bagi masing-masingnya. Pikiran yakni perkataan dan perkataan yakni pikiran. Angan-angan, khayalan, imajinasi, pikiran yang berkecamuk dalam dada dan kepala kita tidak lain yakni bisikan kata yang amat lembut. Pendek kata, perkataan yakni hasil dari produk pikiran, dan begitu pula perkataan yakni alasannya yang membuat kebijaksanaan untuk melaksanakan acara berpikir kembali. Kata-kata yang mewakili pikiran ini bukan sekadar coretan pena yang dituliskan atau bunyi gaduh yang diucapkan, tetapi merupakan susunan kata yang mewakili maksud tertentu yang lengkap. Susunan kata yang menampung pemikiran disebut proposisi. Adapun lambang dari proposisi ini biasanya yakni bahasa.[59]
Pengetahuan kita tidak lain yakni pemberitahuan proposisi-proposisi. Dalam acara berpikir kita senantiasa membanding, menganalisis serta menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain. Dengan demikian pengusutan logika dalam mencari kebenaran dalam pemikiran senantiasa mempunyai permasalahan dengan struktur dan kekerabatan proposisi.

Berpikir
Ketika menentukan untuk menentukan pikiran tertentu, negatif atau positif, seorang pemikir akan menaruh pikiran tersebut di otaknya. Di sini kebijaksanaan akan mengidentifikasi dan menganalisis dari segala sisi. Setelah itu, ia akan memberinya wilayah dan makna berdasaasrkan pemberitahuan sejenis yang ada di gudang memori. Akal akan membandingkannya dengan pikiran sejenis yang ada. Akal memberinya alasan dan makna yang dibangun menurut banyak sekali pemberitahuan serupa yang sudah ada. Terakhir akan mencarikan banyak sekali data pendukung pikiran yang ada dalam memori hingga pikiran sungguh-sungguh menancap dalam hatinya. Dengan demikian, pikiran itu sudah siap direalisasikan. Pikiran bikin perhatian, konsentrasi, perasaan, serta langkah-langkah dan akibatnya.
Di bawah ini akan diterangkan mengenai intensitas berpikir dan sistematika berpikir.
1.    Pentingnya Berpikir
Salah satu ciri yang membedakan insan dari binatang terletak pada potensi kebijaksanaan (nathiq), aktivitas nalar, atau aktivitas berpikir dalam merenungkan objek pikir. Eksistensi dan fungsionalisasi kebijaksanaan dapt mengembangkan derajat dan status eksistensi insan dalam menjalankan tuas sebgai pemegang amanat ”ibadah”, ”risalah,” dan ”khilafah” di tampang bumi ini.
Al-Qur’an memastikan bahwa berpikir tergolong aktivitas bersyukur terhadap lezat Allah, sedangkan mensyukuri lezat Allah tergolong ketaatan yang bernilai ibadah. Jadi, berpikir itu pada hakikatnya yakni ibadah yang merupakan penggalan dari amanat kemanusiaan. Dengan demikian, berpikir bermakna pula menegakkan amanat tersebut.
Al-Qur’an mengecam orang-orang yang taklid dan orang-orang yang tidak mau memakai potensi indrawinya –baik indra lahir maupun indra batin –dalam mengkaji, meneliti, dan mendayagunakan anugerah alam semesta bagi kemanfaatan dan kemaslahatan alam dan segala isinya.
Rasulullah, akseptor Al-Qur’an yang pertama, dalam sabdanya sering menunjukan kemuliaan orang-rangyang berilmu. Bahkan, nilai kerja seseorang yagn lahir dari pemikiran dipandang lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan yang tidak menurut pemmikiran (ilmu).
Dengan demikian, peranan ilmuwan di tengah-tengah kehidupan umat yakni laksana matahari, bulan, dan binatang yang menerangi dan menghiasi alam semesta. Kemajuan budaya suatu bangsa sanggup diputuskan oleh pertumbuhan berpikirnya.[60]
Dari uraian tersebut, kita sanggup mengambil suatu kesimpulan bahwa berpikir itu sungguh enting, apabila mengetahu metodologi berpikir yang mau menjadi penuntun ke arah berpikir benar dalam menegakkan kebenaran yang sebenar-benarnya.
2.    Intensistas Berpikir
Berpikir sanggup didefinisikan selaku kesanggupan insan untuk mencari arti bagi realitas yang timbul di hadapan kesadarannya dalam pengalaman dan pengertian. Kaprikornus perkataan sanggup didefinisikan selaku kesanggupan insan untuk mengutarakan pikiran-pikirannya terhadap orang lain.
Fungsi berpikir menyangkut dua faktor yang penting dalam diri insan yang dinamakan “wissen” atau mengenali dan menyerupai “verstehen” atau mengerti atau mengerti secara mendalam. Pendeknya, orang yang gres mengenali belum tentu sanggup memahami. Oleh kerena itulah dalam berpikir, apalagi lagi berpikir logis, berpikir semestinya tidak cuma mengenali namun juga hendaknya sanggup mamahami.
Dalam kehidupannya insan selaku makhluk sosial berpikir mengenai realitas sosial yang dalam proses proses berjalan secara horizontal atau berpikir sensitivo-rasional dan insan juga yakni makhluk spiritual, lantaran itu insan bisa melaksanakan intensitas berpikir secara vertikal atau metariasional.
a).   Berpikir sensitivo-rasional, secara horizontal insan berpikir mengenai sesuatu realitas dengan dilandasi pengalaman selaku rekaman dan penginderaan selama hidupnya, rekaman dan fungsinya selaku penyampai pesan pikiran dalam setiap proses perkataan atau komunikasi yang melibatkan dirinya. Maka, apabila ia berkata atau berkomunikasi secara horizontal yang berkisar duduk kendala tahu dan mengetahui, sifatnya menjadi sensitivo-rasional.
b). Ternyata, insan itu tidak cuma puas dengan sekadar mengenali (wissen), tetapi juga ingin memahaminya secara mendalam (verstehen) di sini berjalan proses refleksi kontemplasi atau perenungan yang secara akumulatif bersifat kuantitatif atau kualitatif. Kualitasnya akan berkadar tinggi apabila proses perenungan itu diakukan secara sistematik. Maka pemikirannya itu tidak sekadar sensitivo-rasional, melainkan metarasional.[61] Ia tidak lagi menatap suatu realita sosial dengn indra mata (das ding ansich), tetapi dengan mata batiniah apa yang terdapat di seberang realita (beyond the reality), secara metafisik.
Dalam keradikalannya pemikiran insan secara vertikal itu dapat menjamah hal-hal yang sifatnya Ilahi. Ia mendengar wacana Tuhan. Ia ingin mengenali adanya Tuhan. Lalu ia percaya akan ada-Nya, Maha Esa-Nya, Mahakuasanya Tuhan, serta sifat-sifat lainnya, selaku konsekuensinya ia bersujud dan berserah diri. Kepercayaan menyerupai itu bersifat suprarasional, suatu tingkat pengertian di luar jangkauan pemikiran secara sensitivo-rasional.[62]
3.    Proses Berpikir
Proses berpikir yakni suatu refleksi yang terencana dan hati-hati. Proses berpikir lahir dari suatu rasa ragu-ragu akan sesuatu dan kesempatan untuk memperoleh suatu ketentuan, yang kemudian berkembang menjadi suatu permasalahan yang khas. Masalah ini memerlukan suatu pemecahan dan untuk ini dijalankan pengusutan terhadap data yang tersedia dengan metode yagn tepat. Akhirnya, suatu kesimpulan tentatif akan diterima, tetapi masih tetapi di bawah pengusutan yang kiritis dan terus-menerus untuk mengadakan penilaian secara erbuka.
Bagaimana kira-kira porses yang terjadi di saat berpikir? Menurut Dewey (1993)[63] proses berpikir dari insan wajar mempunyai urutan berikut.
Ø  Timbul rasa sulit, baikdalam bentuk pembiasaan terhadap alat, susah mengenal sifa ataupun dalam menunjukan hal-hal yang timbul secara tiba-tiba
Ø  Kemudian rasa susah tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan.
Ø  Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotsis, inferensi, atau teori.
Ø  Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional lewat pemebntukan implikasi denan jalan menghimpun bukti-bukti (data).
Ø  Menguatkan pembuktian wacana ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik lewat keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.
Menurut Kelly (1930),[64] proses berpkir menuruti langkap-langkah berikut.
Ø  Timbul rasa sulit.
Ø  Rasa susah tersebut didefinisikan.
Ø  Mencari suatu pemecahan sementara.
Ø  Menambah pemberitahuan terhadap pemecahan tadi yang menuju terhadap kepercayaan bahwa pemecahan tersebut yakni benar.
Ø  Melakukan pemecahan lebih lanjut dngan verifikasi eksperimental (percobaan).
Ø  Mengadakan penilaian terhadap penemuan-penemuan eksperimental menuju pemecahan secara mental untuk diterima atau ditolak sehingga kembali memunculkan rasa sulit.
Ø  Membeirkan suatu pandang ke depan atau gambaran mental wacana suasana yagn akan tiba untuk sanggup mengggunakan pemecahan tersebut secara tepat.
Dari keterangan-keterangan di atas sanggup ditarik kesimpulan bahwa berpikir secara kebijaksanaan mempunya dua buah tolok ukur penting, yaitu:
1)       Ada unsur logis di dalamnya, dan
2)       Ada unsur analitis di dalamnya.
4.    Sistematika Berpikir
Setelah kita mengenali bahwa pekataan yakni produk dari pikiran, dan kita juga sudah mengenali bagaimana porses intensitas berpikir ada dua yakni berpikir sensitivo-rasional dan metarasional, maka klarifikasi selanjutnya yakni wacana sistematika berpikir.
Dalam Al-Qura’an diterangkan bahwa insan diciptakan oleh Allah Swt. dalam jenis pria dan perempuan, dan membuat mereka berbangsa-berbangsa dan bersuku-suku yang maksudnya tiada lain yakni biar mereka saling mengenal. Dengan manuisa yang bermacam-macam itu pastinya bukan cuma warna kulit dan bahasa saja yang berbeda, cara berpikir pun tentu berbeda-beda pula. Karena itu di bawah ini kita akan membahas mengenai banyak sekali macam cara berpikirnya manusia.
a).     Berpikir deduktif (deductive thinking)
Reasoning yang deduktif berasal dari suatu persepsi lazim (general conclusion).
Sumber dari filsafat berpikir (philosophy of thinking) menyerupai ini berasal dari Plato dan Aristoteles.
Ada suatu kisah yang menyatakan, bahwa di saat Galileo mengemukakan pendapatnya bahwa ia sanggup menyaksikan adanya kawasan yang gelap pada permukaan matahari, pengetahuannya dianggap selaku suatu noda terhadap konklusi lazim (general conclusion) waktu itu,bahwa matahari yakni suatu ”heavenly body” yang tidak mungkin ada cirinya.
Meskipun cara ini kurang sempurna, tetap berharga kalau deduksi ini didasarkan pada suatu rumusan yang betul. Dasar pelajaran ilmu niscaya alam yakni demikian pula halnya. Dari satu rumus lazim sanggup ditarik banyak sekali kesimpulan. Metodik berpikir ini sanggup disebut analytic thinking (berpikir analitik).
b).   Berpikir induktif (inductive thinking)
Kebalikan dari berpikir deduktif yakni berpikir induktif (inductive thinking), yakni menarik suatu kesimpulan lazim dari banyak sekali insiden (data) yang ada di sekitarnya. Dasarnya yakni observasi, proses berpikirnya yakni synthesis, tingkatan berpikirnya yakni induktif. Jelas, bahwa pemikiran seperti ini mendekatkan insan pada ilmu pengetahuan.
Pada hakikatnya semua wawasan yang dimiliki insan berasal dan proses pengamatan (observasi) terhadap data. Rangkaian pengamatan data tersebut kemudian menampilkan suatu pengertian terhadap insiden menurut suatu reasoning yang bersifat synthesis.
Dalam ilmu niscaya dan alam metode synthesis yakni kelanjutan dari metode analisis. Sumber dari tingkatan berpikir ini berasal dari ”the philosophy of thinking” para ilmuwan pada waktu itu menyerupai Galileo, Newton, Descartes, dan lain-lain.
Dalam ilmu statistik conclusion dari data yang didapatkan dari suatu sample, yang berlaku untuk seluruh populasidari mana sample itu berasal, yakni suatu teladan dan inductive thinking. Istilah lain yang serupa maknanya merupakan generaling atau integral.[65]
c).   Berpikir memecahkan permasalahan (problem solving thinking)
Manusia mulai berpikir pada waktu ia menjajal mengenal untuk kemudian menguasai suatu suasana (to control the situation). Tingkatan ini merupakan suatu kelanjutan yang logis dari kedua tingkatan terdahulu. Dengan wawasan mengenai tanda-tanda lazim yang dikenalnya dari pengalaman yang lampau (deduksi) ditambah dengan pengamatan terhadap suasana yang dihadapinya, yang menampilkan suatu kesimpulan (induksi), maka ia kemudian akan menyelesaikan persoalannya dalam suasana tersebut.
Prosesnya secara kronologis yakni seabagai berikut:
-           Analysis
-           Synthesis problem definition (atau kadang kala disebut problem recognition)
-           Evaluation
-           Selection (alternatif)
Dalam buku-buku pelajaran, metodik ini lebih dimengerti dengan perumpamaan ”analysis-evaluate-selectapproach, untuk menggambarakan suatu cara pendekatan (approach) dalam hal menyelesaikan suatu problem secara ilmiah.
Di sini sudah didapatkan ”science” dan ”art.” Ilmu dan seni. Science menyampaikan terhadap insan apa yang mesti diketahuinya, art mengajarkan padanya apa yang mesti dilakukannya.
d).   Berpikir kausatif (Causative thinking)
Manusia tidak menanti hingga dihadapkan pada suatu situasi, kalau ia sanggup menggambarkan suasana tersebut sebelumnya. Lebh dari itu ia sanggup mengontrol langkahnya sedemikian rupa, sehingga suasana tadi tidak dihadapkan kepadanya. Atau jalan lain sanggup ditempuh: mengontrol langkahnya sedemikian rupa, sehingga ia akan dihadapkan kelak pada suatu suasana yang dikehendaki (favorable).
”Titik berat causative thinking” merupakan membentuk insiden mendatang dan prestasi dibandingkan dengan menanti nasib yang mau menimpa (causative thinking emphasies the shaping of future events anda achievements, instead of waiting for destiny to decide them).
Dalam ilmu kedokteran dasar demikiran ini dipakai dalam apa yang disebut ”preventive medicine” merupakan ilmu pencegahan penyakit; maksudnya merupakan menghambat untuk menghadapi suatu suasana sakit. Selain ini dimengerti perumpamaan ”curative medicine”, suatu solusi dalam suasana sakit. Di sini tingkatannya yakni problem solving.[66]
e).   Berpikir inovatif (Creative thinking)
Creative thinking yakni suatu tingkatan berpikir yang tinggi: kesanggupan seseorang untuk bikin inspirasi gres yang berfaedah. Ide ini tidak dilengkapi dengan semua data; penduduknya tidak menguasai seluruh suasana yang dihadapinya, tetapi dengan kemampuannya untuk sanggup mengeliminir yang tidak esensial, maka ia tetap sanggup mengontrol langkahnya sedemikian rupa, sehingga mendapatkan faedah yang tinggi.
Assumption (estimate) yakni salah satu pedomannya; yang lain yakni imagination. Tingkatan ini disebut juga scientific imagination.
Scientific imagination ini yakni suatu perpaduan antara science dan imagination; dengan sendirinya cara berpikir ini sanggup membahayakan. Seorang manager yang terlampau banyak mengendalikan perusahaannya terhadap imagination tanpa mengimbanginya dengan ratio, akan sanggup menghancurkan bisnisnya keseimbangan antara science dan imagination yang tepat, yakni kunci dan tingkatan berpikir ini.
Creative thinking berlainan dengan original thinking ialah dalam hal bahwa yang pertama senantiasa berkhasiat bagi usaha penciptanya, sedangkan original thinking tidak perlu. Seseorang yang mengemukakan sesuatu yang orisinil, tidak senantiasa mendapatkan laba daripadanya.[67]
f).   Berpikir filsafati (Philosophical thinking)
Louis O. Kattsoff dalam bukunya ”Elements of Philosophy” menyatakan bahwa aktivitas filsafati merupakan perenungan, yakni suatu jensi pemikiran yang meliputi aktivitas mencurigai segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan pemikiran yang satu dengan yang lainnya, menanyakan ”mengapa,” mencari jawaban yang lebih baik ketimbang jawaban pada persepsi pertama. Filsafat selaku perenungan mengusahakan kejelasan, keruntutan, dan kondisi memadainya wawasan biar sanggup diperoleh pemahaman.
Tujuan filsafat yakni menghimpun wawasan insan sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai wawasan ini, mendapatkan hakikatnya, dan mempublikasikan serta mengontrol seluruhnya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat menenteng kita terhadap pemahaman, dan pengertian menenteng kita terhadap langkah-langkah yang lebih layak.
Dalam korelasi ini Kattsoff menyajikna teladan klasik yang terkenal, yakni insiden aturan matinya Socrates pada tahun 399 SM. atas tuduhan menghancurkan jiwa cowok di Anthena. Hukumannya yakni minum racun hingga mati. Tetapi Socrates mempunyai banyak teman dekat yang bersedia membantunya untuk melarikan diri dengan jalan menyuap penjaga penjara.
Bagi insan gampang pemberian untuk melarikan diri menyerupai itu niscaya disambut segera, tetapi tidak demikian Socrates. Kepada kawan-kawannya itu ia berkata bahwa sebelum mendapatkan tawaran tersebut perlu diputuskan apalagi dulu apakah perbuatan melarikan diri itu patut baginya. Demikianlah ucapan seorang filosof. Lalu ia bareng teman-temannya membahas permasalahan itu. Secara hati-hati teman-temannya mengajukan alasan-alasan mengapa Socrates perlu melarikan diri. Dengan saksama ia meneliti alasan-alasan tersebut yang dibarengi oleh alasan-alasan lain yang menujukkan penolakan untuk melarikan diri.
Akhirnya, teman-temannya setuju bahwa tidaklah tepat bagi Socrates untuk melarikan diri. Pada dikala itulah pembahasan filsafati berakhir; Socrates bertindak. Tindakannya itu didasarkan pada pemikirannya, tetapi langkah-langkah itu tidak merupakan penggalan pemikiran tersebut. Socrates tetap tinggal di penjara, dan ia pun......minum racun.[68]
Filsafat yakni suatu analisis secara hati-hati terhadap penalaran mengenai suatu masalah, serta penyusunan secara sengaja dan sistematis suatu persepsi yang menjadi dasar suatu tindakan.[69]

Mengikat Makna Benar
Hukum-hukum, asas-asas, patokan-patokan Logika membimbing kebijaksanaan menempuh jalan yang paling efisien untuk menjaga kemungkinan salah dalam berpikir. Lantas apakah makna benar itu?
Benar intinya yakni persesuaian antara pikiran dan kenyataan.[70] Kita akan berkata bahwa proposisi berikut yakni salah:
-           Batu hitam karam dalam air raksa
-           Batu lebih ringan dibandingkan dengan kapuk
-           Kepada Nabi Musa Allah menurunkan kitab al-Qur’an.
-           Nabi Isa yakni Nabi yang terakhir
-           Langit dan bumi ada dengan sendirinya
-           Manusia diciptakan dari cahaya
-           Malaikat yakni putri-putri Allah
-           Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib bukan teman dekat Nabi.
-           Nabi Muhammad itu memakai sihir dalam mengajak insan masuk Islam.
-           Siti Aisyah anak Nabi Muhammad
-           Fatimah al-Zahra yakni istri Nabi Muhammad.
-           Ridwan yakni malaikat yang menyodorkan wahyu terhadap Nabi Muhammad.
Sebaliknya kita mengakui kebenaran dari proposisi berikut:
-           Bumi bergerak mengelilingi matahari
-           Napoleon yakni panglima perang yang ulung
-           Besi lebih berat dibandingkan dengan air tawar.
-           Ali bin Abi Thalib yakni Khalifah keempat dan menantu Nabi Muhammad Saw.
-           Al-Qur’an yakni kitab suci yang diturunkan terhadap Nabi Muhammad Saw.
-           Setiap jiwa akan mencicipi mati
-           ’Aisyah yakni istri Nabi Muhammad Saw. sekaligus putri Abu Bakar ra.
Apakah dasar kita menentukan demikian itu? Tidak lain dan tidak bukan yakni sesuai tidaknya proposisi itu dengan realita sesungguhnya.
Ukuran kebenaran kedua yakni adanya persesuaian atau tidak adanya kontradiksi dalam dirinya.[71] Suatu pertanyaan dibilang benar manakala ia tidak mengandung kontradiksi dari permulaan hingga akhir. Peryataan yang mengandung kontradiksi contoh:
-           Muhammad yakni seorang yang jujur yang suka mendustai
-           Fatimah yakni seorang bisu yang cerdas berdebat
-           Di antara teman dekat Nabi Muhammad yakni Rabi’ah Al-’Adawiyah yang tergolong tabi’in
-           Menurut kaum Mu’tazilah Al-Qur’an yakni qadim yang bukan makhluk
-           Al-Qur’an yakni kitab Allah yang diturunkan terhadap Nabi Muhammad Saw. sejak kecil
-           Dalam Al-Qur’an diterangkan bahwa fitnah itu lebih ringan dibandingkan dengan pembunuhan
Ungkapan-ungkapan tersebut yakni pernyataan memperkosa prinsip yang disebut pertama kemudian.
Juga tergolong cara berfikir yang salah:
-           Semua Rasul yakni amanah, Muhammad yakni Rasul, maka Muhammad yakni khianat
-           Semua Nabi yakni filosof, dan semua filosof belum tentu Nabi, Ibnu Rusyd yakni filosof, maka ia Nabi
-           Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat dosa besar, syirik yakni dosa besar, maka syirik yakni dosa yang dapat diampuni.
Pertentangan dalam pemikiran tidak saja terdapat dalam pernyataan yang pendek menyerupai terlihat dengan adanya dua kata yang berlawanan atau dalam pengambilan kesimpulan yang keliru tetapi juga dalam uraian yang panjang. Seorang hakim yang cerdas akan menyaksikan tidak adanya persesuaian isi pembelaan si tertuduh walaupun berpuluh-puluh halaman panjangnya.
Pertentangan dalam pemikiran juga terdapat dalam pernyataan yang tidak sanggup ditangkap pengertiannya. Pernyataan yang dimaksud yakni seperti:
Tuhan sanggup memasukkan benda volume Cm³ ke dalam benda bervolume 10 Cm³; Tuhan sanggup mencipta makhluk yang tidak punya sifat-sifat kemakhlukan; Tuhan sanggup mencipta atom yagn lebih besar dari molekulnya; Tuhan sanggup bikin tongkat berujung satu.
Pernyataan serupa ini yang sering menjadi permasalahan dalam Ilmu kalam, sesungguhnya tidak perlu dirisaukan seandainya kita menengok sejenak terhadap Logika. Bagi Logika pernyataan tersebut yakni salah lantaran ia tidak mendatangkan maksud yang bulat. Pernyataan tersebut sama salahnya dengan pernyataan: ia yakni seorang buta aksara yang cerdas membaca.



[1] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika; Asas-asas Penalaran Sistematis. (Jakarta: Penerbit Kanisius, tt).
[2] Ahmad Warson Munawir, al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta, 2000),  h. 1.
[3] Irving M. Copi, Introduction to Logic, (New York: Macmillan Publishing, 1978), h. 2.
[4] Ali Muhammad al-Jurjani, Kitab Ta’rifat, h. 97.
[5] Syaikh Khatab Umar al-Darwis, Taghrir syarah Matn al-Sulam al-Manthiq, h. 7.
[6]Al-Jurjani, Kitab Ta’rifat, h. 232.
[7] ”Melamun” tidaklah sama dengan berpkiri, demikian pula merasakan, pekerjaan panca indera (melihat, mendengar, dan sebagainya), dan aktivitas kenangan dan khayalan, walaupun ini semua penting sekali untuk sanggup berpikir (dan menciptakan buah pikiran yang berarti). Tetapi berpkir juga sanggup bermakna aktivitas realita yang menggerakkan pikiran. Kenyataan yang memegang inisiatif. Lihat W. Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), h. 13.
[8] Dengan kata lain ditunjuk sasaran atau bidang logika, yakni aktivitas fikiran atau pikiran sehat manusia. Dengan berpikir dimaksudkan aktivitas kebijaksanaan untuk ”mengolah” wawasan yang sudah kita terima lewat panca indra, dan ditunjukkan untuk meraih suatu kebenaran. Jadi, dengan perumpamaan ”berpikir” ditunjukkan suatu bentuk aktivitas kebijaksanaan yang khas dan terarah. Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, h. 13
[9] M Ali hasan, Ilmu Mantiq (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h. 1.
[10] Untuk lebih jelasnya sanggup dilihat pada karya Aly Sami al-Nasyr, Manahij al-Bahts ’Inda al-Mufakiri al-Islamy, h. 5-24.
[11] Baihaqi A.K., Ilmu Mantik; Teknik Dasar Berpikir Logik, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2002), h. 2.
[12] Ada juga yang menyampaikan bahwa kata logika rupa-rupanya dipergunakan pertama kali oleh Zeno dari Citium. Kaum Sopis, Socrates dan Plato mesti dicatat selaku perintis lahirnya logika. Logika lahir selaku ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan kaum Stoa. Bertrand Russel, History of Western Philosophy, (London: George Allen & Unwin, 1974), h. 206.
[13] Baihaqi A.K., Ilmu Mantik, h. 3.
[14] Aristoteles meninggalkan enam buah buku yang oleh muridnya diberi nama Organon. Buku tersebut yakni Categoriae (mengenai pengertian-pengertian), De Interpretatiae (mengenai keputusan-keputusan), Analitica Priora (tentang silogisme), Analitica Posteriora (mengenai pembuktian), Topika (mengenai berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir).  Theoptostus membuatkan Logika Artistoteles ini, sedangkan kaum Stoa mengajukan bentuk-bentuk berpkir yang sistematis. Buku-buku inilah yang menjadi dasar Logika Tradisional. Lihat Richard B. Angel, Reasoning and Logic, (New York: Century Grafts, 1964), h. 41.
[15] Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM - 226 SM penggagas Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M - 201 M) dan Sextus Empiricus 200 M, dua orang dokter medis yang membuatkan logika dengan menerapkan metode geometri. Porohyus (232 - 305) bikin suatu pengirim (eisagoge) pada Categoriae, salah satu buku Aristoteles. Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menyertakan komentar- komentarnya. Johanes Damascenus (674 - 749) mempublikasikan Fons Scienteae.
[16] Baihaqi A.K., Ilmu Mantik, h. 3
[17] Baihaqi A.K., Ilmu Mantik, h. 3
[18] Baihaqi A.K., Ilmu Mantik, h. 3
[19] Baihaqi A.K., Ilmu Mantik, h. 5.
[20] http://arkoun.multiply.com/
[22] http://id.wikipedia.org/wiki/Logika
[23] Muhammad Nur al-Ibrahimi, Ilmu al-Manthiq, h. 7.
[24] Taib Thahir, Ilmu Mantiq, (Jakarta: Wijaya, 1981), h. 15.
[25] Imam al-Ahdhari, Matn al-Sulam fî al-Manthiq, bait ke-10
[26] Al-Ibrahimi, Ilmu al-Manthiq, h. 7.
[27] Mas’ud Taftazani, Syarh al-Khabbisshy ‘alâ Matn Thanzib al-Mantiq, (tk: tt.), h. 8
[28] Syarqawi Dhofier, Pengantar Logika; Dengan Perspektif Islam, (Madura: Al-Amien, 1997), h. 5
[29] Taftazani, Syarh al-Khabbisshy, h. 8
[30] Dhofier, Pengantar Logika, h. 5
[31] Syaikh Khatab Umar ad-Darwis, Taghrir Syarah matn al-Sulam al-Manthiq, h. 7.
[32] Ad-Darwis, h. 16-17.
[33] Dr. Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz I, h. 35-36.
[34] Ibrahim al-Bajuri, Matn al-Mantiq, bait ke-15-17.
[35] Sumartoyo Hardjosatoto & Endang Daruni Asdi, Pengantar Logika Modern, (Yogyakarta: Karya Kencana, 1979), h. 16-23, 49-59.
[36] Poesprodjo, Logika, h. 22
[37] Poesprodjo, Logika, h. 22
[38] Copi, Introduction to Logic, h. 12
[39] http://id.wikipedia.org/wiki/Logika
[40] Sayid Abdul Majdi, Al-Malakah al-‘Aqliyah fî al-Qur’an al-Karim dalam al-Muhadharah al-‘Ammah, h. 88-89.
[41] Sayid Abdul Majdi, Al-Malakah al-‘Aqliyah fî al-Qur’an al-Karim, h. 88-89.
[42] Dhofier, Pengantar Logika, h. 2-3
[43] Dhofier, Pengantar Logika, h. 3-5
[44] Dr. Muhammad al-Bahi, Wajib al-Ulama, dalam Muhadharah Ammah, h. 1-3.
[45] Tentang kondisi yaqîn selaku syarat untuk menetahui lihat Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalâl, (Beirut: Maktabah Saqafiyyah, tt.), h. 7-12.
[46]  Khalimi, Logika ( FITK : Jakarta), h. 11
[47] Syaikh Hasan Darwis al-Quwaisiny, Syarah Mtan al-Sulam fi al-Manthiq, (Surabaya: tt.), h. 10-11.
[48] Menurut hemat penulis, mengenai pembagian ilmu yang tiba dari Allah dan dari insan ini, hendaknya pembaca jangan hingga terjebak bahwa memang insan itu dapat bikin ilmu. Sekali-kali tidak. Perlu dikatehuai bahwa sehebat apa pun ilmu yang dimilki insan pada hekakatnya ilmu yang dimiliki oleh insan itu yakni munculnya ujung-ujung nya dari Allah juga.
[49] Baihaqi A.K, “Ilmu Mantiq Teknik Dasar Berpikir Logik”, (Jakarta: Darul Ulum Press,1996), cet. 1, h. 9.
[50] Abu Hilal al-Askary, Al-Luma’ah min al-Furuq, (Surabaya: al-Maktabah al-Siqafiyah, tt.), h. 8.
[51] Muhammad Nur al-Ibrahim, Ilmu Manthiq, h. 7.
[52] J. Maranon, Science in Industrial Development, dalam, Anoymous (Ed.), The Role of Science in the Philippines. (Manila: Science Foundation of the Philippines, 1954), h. 15-19.
[53] V.A. Tan, Science in Industrial Development, dalam, Anoymous (Ed.), The Role of Science in the Philippines. (Manila: Science Foundation of the Philippines, 1954), h. 1-4.
[54] Baihaqi A.K, “Ilmu Mantiq, h. 10-11.
[55] Wajiz Anwar, Logika I, (Yogyakarta: Jajasan al-Djami’ah, 1969), h.15-1 6.
[56] Bambang Q Anees, Filsafat untuk Umum, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 180.
[57] Anees, Filsafat untuk Umum, h. 186
[58] Menurut Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jaelani, ilmu hakikat (haqq al-yaqîn) ini  tidak sanggup diraih cuma lewat ilmu yang diperoleh lewat panca indera. Lewat panca indera semata, seseorang tidak akan sanggup meraih tujuannya, yakni mengenal Yang Asal atau Dzat. Ibadah yang bahwasanya memerlukan syariat dan hakikat. Dsebutkan dalam firman Allah, “Dan saya idak bikin jin dan manusia, melainkan agar mereka menyembah Aku.” (QS. Adz-Dzariat: 56). Lihat , Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jaelani, Rahasia Sufi (Sirr al-Asrâr fî mâ Yahtaj Ilaihi al-Abrâr), (Jakarta: Diadit Media, 2009),  h. 13.
[59] Isi pesan perkataan atau dalam  perumpamaan komunikasi lebih lazim memakai bahasa isi pesan komunikasi khususnya yakni pikiran, ada kalanya juga perasaan, tetapi cuma merupakan faktor imbas saja; sedangkan lambang biasanya yakni bahasa oleh karean cuma bahasa dibandingkan dengan lambing-lambang lain menyerupai kial (gesture), gambar, warna, isyarat, dan lain-lain yang dapat member makna terhadap segala hal dalam kehiduapan manusia, baik benda yang nyata maupun rancangan yang abstrak. Lihat Otong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2003), h. 366.
[60] Abu ‘Amar Yusuf ibn ‘Abd al-Bar al-Namary al-Qurtuby, Jami al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tt), h. 50-58.
[61] W. Poespoprodjo, Logika Sientifika, (Bandung: Remadja Karya, 1985), h. 4
[62] Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 367.
[63] J. Dewey, How We Think, (D.C. Heath and C., 1993), h. 12.
[64] T.L. Kelly, The Scientific Versus the Philosophic Approach to the Novel Problem, Science,  (71, 1930), h. 299.
[65] Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 368-370
[66] Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 370-371
[67] Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 371-372
[68] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), h. 4.
[69] Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 372-373.
[70] Randall & Buchler, Introduction to Philosophy, (New York:  Barnes & Noble, 1964), h. 133.
[71] Randall, Introduction to Philosophy, h. 135.

Related : Ilmu Mantiq

0 Komentar untuk "Ilmu Mantiq"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)