KI DARMANINGTYAS
Kebijakan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi membuka kembali layanan transportasi umum, tergolong Bus AKAP sejak tanggal 7 Mei 2020 sudah membuat kontroversi di penduduk sebab dinilai berbeda dengan keputusan Presiden Jokowi yang melarang pulang kampung Idulfitri 2020. Konsekuensi dari larangan pulang kampung itu yaitu sejak tanggal 24 April 2020 seluruh layanan umum, baik udara, laut, kereta api (KA) maupun bus AKAP (antar kota dan antar provinsi) ditiadakan. Tanggal 24 April hingga 6 Mei yaitu masa sosialisasi atas pelalarangan pulang kampung tersebut, dan pada tanggal 7 – 31 Mei yaitu masa penindakan bagi pelanggar oleh petugas adonan (Polisi, Dinas Perhubungan, BPTD, dan TNI).
Namun sebelum masa penindakan tiba, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengeluarkan pengumuman bahwa layanan transportasi lazim akan dibuka kembali per tanggal 7 Mei. Pada kenyataannya, tanggal 9 Mei kemudian ada launching pelayanan kembali transportasi Bus AKAP di Terminal Bus Pulo Gebang oleh Dirjen Perhubungan Darat Budi Setiadi dan Kakorlantas Irjen (Pol) Istijono. Launching pembukaan layanan kembali Bus AKAP ini tentu mengambyarkan rencana penindakan yang dilaksanakan oleh pihak petugas adonan tersebut. Dua kebijakan yang tidak konsisten itu memang bikin kebingungan pada petugas di lapangan maupun masyarakat, tentang hukum mana yang mesti ditaati. Bagi masyarakat, resah sebab dihentikan mudik, tetapi kok ada layanan transportasi umum. Sedangkan bagi petugas di lapangan, saatnya penindakan tetapi kok justru ada pembukaan layanan baru.
Semakin tidak Menentu
Kementerian Perhubungan berkelit bahwa kebijakan yang diambil dengan membuka kembali layanan transportasi lazim itu cuma menjalankan Surat Edaran (SE) Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 No. 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Virus Corona Virus Disease 2019 (Covid 19). Berdasarkan SE tersebut, masih dimungkinkan adanya perjalanan lintas wilayah dan negara untuk urusan: pelayanan percepatan penanganan COVID-19; pertahanan, keamanan, dan ketertiban umum; kesehatan; keperluan dasar; penunjang layanan dasar; dan pelayanan fungsi ekonomi penting. perjalanan pasien yang memerlukan pelayanan kesehatan darurat atau perjalanan orang yang anggota keluarga pada dasarnya (orang tua, suami/istri, anak, kerabat kandung) sakit keras atau meninggal dunia; maupun repatriasi Pekerja Migran Indonesia (PMI dan pemulangan mahasiswa dari luar negeri/daerah lain.
Atas dasar SE itulah Kemenhub menyaksikan perlu adanya layanan transportasi lazim secara terbatas. Sebab kalau tidak tersedia layanan transportasi umum, akan dengan cara apa dan bagaimana pergerakan orang-orang yang dikontrol dalam SE Gugus Tugas tersebut? Logika tersebut bener (betul), tetapi tidak pener (tepat) kalau dikaitkan dengan realita bahwa transportasi sanggup menjadi tranmisi untuk penyebaran Covid 19 yang cukup efektif. Dikhawatirkan, pembukaan kembali layanan seluruh transportasi lazim akan bikin penyebaran Covid 19 kian tidak terkontrol, sehingga kian ketat memprediksikan kapan Covid 19 akan berakhir. Ketika ada kebijakan yang konsisten melarang pergerakan antar daerah, kita punya optimisme bahwa sekian waktu lagi korban Covid 19 akan menurun. Namun di saat kebijakannya tidak konsisten, kita tidak sanggup berandai-randai lagi, bahwa Covid akan selsai pada bulan x. Yang ada justru timbul kegalauan akan adanya gelombang kedua puncak Covid 19 di ibu kota yang diperkirakan akan ada paska Idulfitri 2020, di mana sebagian warga yang pulang kampung sudah balik lagi ke Jakarta.
Dilematis
Kebijakan Kemenhub membuka kembali layanan bus AKAP ini memang dilematis. Di satu sisi, yang terjadi di lapangan sejak tidak adanya layanan transportasi lazim antar kota mulai 24 April, tidak memiliki arti tidak ada pergerakan. Ada pergerakan tetapi dilayani oleh travel ilegal yang tidak terkontrol dan tidak menyanggupi protokol kesehatan pencegahan Covid 19. Menurut Dirlantas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Pol. Sambogdo Purnomo Yogo dalam Diskusi Virtual (6/5), pihaknya sudah menindak puluhan travel illegal yang dipakai untuk pulang kampung ke banyak sekali kawasan di Jawa. Praktek pemasaran tiket online atau lewat media lazim yang berbincang jasa transportasi ilegal juga dengan mudah sanggup kita temui hingga sekarang, dengan iming-iming kondusif hingga tujuan. Ini menunjukan bahwa pergerakan penduduk ke kampung halaman atau sebaliknya itu masih ada,.
Pegerakan penduduk yang dilayani dengan memakai transportasi ilegal jauh lebih berbahaya kalau dibandingkan dengan mengunakan transportasi lazim resmi. Pertama, travel ilegal itu menurut Dirjen Perhubungan Darat Budi Setyadi tak mempunyai ijin, jadi kalau terjadi kecelakaan sulit untuk mendapat orang yang sanggup dimintai pertanggung jawaban. Kedua, sebab ilegal, memiliki arti tidak bayar asuransi Jasa Raharja sehingga penumpang yang menjadi korban juga tidak ter-cover oleh asuransi. Ketiga, dengan kapasitas yang terbatas, travel sanggup ditentukan tidak menerapkan physical distancing, sebab kalau menerapkan physical distancing niscaya akan rugi, kecuali biayanya hingga Rp. 1.000.000,- per orang. Berbagai pengalaman operasi di lapangan didapatkan bukti bahwa sejumlah penumpang transportasi travel ilegal ternyata positip Covid 19.
Alasan lain yang tidak terungkap dari pembukaan kembali layanan transportasi lazim itu yaitu sepertinya Pemerintah mulai ketakutan dengan keadaan perekonomian yang kian terpuruk. Dan apabila pembatasan pergerakan antar wilayah itu berlanjut, maka dampaknya akan kian buruk, sehingga lebih baik dilepas lagi saja, dan dibutuhkan akan timbul kekebalan lazim (herd immunity).
Layanan pergerakan penduduk dengan transportasi angkutan lazim jauh lebih terkontrol dibandingkan dengan memakai travel ilegal. Angkutan lazim yang dimaksudkan tentu mesti menyanggupi protokol kesehatan pencegahan Covid 19, menyerupai menerapkan physical distancing, kendaraan disemprot dengan disinfektan, tersedia hand sanitizer, pengemudi dan penumpang wajib memakai masker. Prinsip safety, comfortable, secure, dan healthy mesti menjadi SOP dalam operasional transportasi umum, baik itu Bus AKAP, KA, Kapal Laut, maupun pesawat udara. Demikian pula tata cara pembayaran tiketnya non tunai (cashless) sebab duit lembaran sanggup menjadi media transmisi Covid 19 yang efektif. Konsekuensinya tarif yang mesti dibayar pelanggan akan jauh lebih mahal dari tarif biasanya, kecuali Pemerintah berbincang subsidi dengan berbelanja layanan 50% seat yang dikosongkan tadi. Namun apapun yang terjadi, pembukaan kembali layanan transportasi lazim ini, seakan berbincang potensi terhadap warga untuk mudik, sehingga ini agak berbeda dengan larangan pulang kampung itu sendiri.
Selain Pemerintah perlu berbincang subsidi untuk operator, semestinya Kemenhub juga memfasilitas rapid test untuk para awak transportasi lazim (pengemudi bus, truk, nahkoda, dll., guna menentukan bahwa mereka dalam keadaan sehat dan negatif dari Covid 19. Kemenhub pernah memfasilitasi pengemudi taxi online untuk mendapat SIM A Umum gratis, tentu amat sanggup memfasilitasi awak transportasi lazim untuk menjalankan rapid test.
Darmaningtyas, Ketua INSTRAN (Institut Studi Transportasi)
Dimuat di Koran KONTAN, RABU, 13 MEI 2020
0 Komentar untuk "Dilema Pengoperasian Layanan Transportasi Umum"