KI DARMANINGTYAS
Menutup perjalanan tahun 2019 ini dunia transportasi darat darnai dengan sejumlah kecelakaan kemudian lintas yang menenteng korban meninggal, khususnya yang melibatkan transportasi lazim (bus). Korban terbanyak menimpa pada penumpang Bus Sri Wijaya rute Bengkulu – Palembang yang masuk jurang di Kawasan Liku Lematang, Pagaralam, Sumatra Selatan pada Selasa (24/12 2019). Kecelakaan terjadi pada malam hari. Pemberitaan media ada yang menuliskan 23.15, namun ada yang menuliskan pukul 00.30 WIB dikala bus melaju dari Bengkulu ke arah Palembang. Penyebab kecelakaan masih dalam pengusutan polisi.
Sebelumnya, bus yang menenteng rombongan penyuluh agama Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kediri mengalami kecelakaan di Jalan Pacitan-Tegalombo. Bus berisi 23 orang itu menekuni ke jurang sedalam 15 meter pada Sabtu (21/12). Tidak ada korban jiwa yang meninggal, tetapi bus mengalami kerusakan dan membutuhkan waktu untuk mengevakuasi sebab jurangnya curam. Penyebab kecelakaan sebab pengemudi ngantuk, bus berangkat dari Kediri pukul 23.00 dan datang di Pacitan sekitar pukul 04.00 WIB.
Pada tanggal 7 Desember, kecelakaan simpulan hidup bus rombongan pariwisata juga terjadi di Jalan Raya Kesamben, Pagerwojo, Kesamben, Blitar. Akibatnya, lima orang meninggal. Kecelakaan dipicu oleh Bus Pariwisata yang ingin menyingkir dari truk mogok tetapi tiba-tiba dari arah bertentangan timbul sepeda motor.
Ketiga peristiwa kecelakaan yang melibatkan transportasi lazim dengan jumlah korban meninggal total meraih 23 jiwa dalam kurun waktu satu bulan itu sangat merupakan musibah kemanusiaan. Bagi Kementrian Kesehatan, pasti masuk dalam klasifikasi tanggap darurat. Tapi di transportasi, hal itu dianggap isu biasa saja, sebab sudah terlalu sering terjadi.
Butuh Ketegasan Baru
Menghadapi musibah yang terus menerus menimpa pada transportasi lazim bus, maka dikehendaki ketegasan gres dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi (Pemprov), dan Pemda (Kabupaten/Kota) dalam penyelenggaraan transportasi umum, dihentikan main-main. Pemerintah wajib menjamin keamanan transportasi lazim lewat kelaikan kendaraan yang dioperasikan, mempertahankan keadaan prima pengemudinya, melakukan training terhadap operator, dan mengatur kendaraan (truk) yang tidak laik jalan dan kesannya membuat kecelakaan bagi pengguna jalan lainnya. Oleh sebab itu, beberapa hal dibawah ini perlu dijalankan oleh Pemerintah untuk meminimalkan angka laka lantas yang melibatkan transportasi umum.
Pertama, dikala Kemenhub dan Dinas-dinas Perhubungan tingkat provinsi maupun kabupaten/kota menegakkan hukum dalam Pasal 90 UU No. 22 Tahun 2009 perihal Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) mengenai jam kerja pengemudi, yakni setelah mengemudi empat jam berturut-turut wajib istirahat minimum 30 menit, dan cuma dalam keadaan terpaksa boleh mengendarai dalam satu hari optimal 12 jam. UU LLAJ ini sudah berusia satu decade, namun hukum dalam Pasal 90 ini belum diimplementasikan. Kemenhub sulit dipercayai mengimplementasikannya sendiri tanpa pinjaman dari Pemprov dan Pemkab, mengingat yang mempunyai jalur pengawasan di lapangan merupakan Dishub Pemprov maupun Kabupaten/Kota. Bus AKAP dan Bus Pariwisata wajib menawarkan dua pengemudi biar mereka sanggup bergantian, mengingat keadaan jalan sukar diprediksi.
Kedua, uji kir atau keur (bahasa Belanda), yakni pengujian kendaraan bermotor untuk mengenali apakah menyanggupi spesifikasi teknis yang dikehendaki atau tidak, jangan cuma formalitas, namun sungguh-sunggu dijalankan dengan baik. Oleh sebab itu, setiap daerah didorong mempunyai alat uji yang perkasa tolok ukur pengujian yang benar. Dishub yang mengeluarkan surat lulus uji kir namun ternyata kendaraannya tidak laik jalan, sanggup dipidanakan. Jangan bermain-main dengan nyawa manusia.
Ketiga, operator jangan cuma mencari laba sendiri dengan mengeksploitasi pengemudi itu tidak mempunyai istirahat yang cukup. Sebagai contoh, bus yang saya naikin pada dikala pulang kampung Nataru 2017, ternyata pengemudinya sudah sepekan tidak beristirahat sebab mesti berlangsung terus. Kemenhub selaku pemberi ijin untuk Bus Pariwisata seharusnya tegas, bahwa dalam persyaratan pengajuan ijin operasional Bus Wisata wajib menawarkan dua pengemudi untuk satu bus yang dioperasikan. Keberadaan dua pengemudi itu mesti menjadi dasar perkiraan tariff yang mesti dibayarkan oleh konsumen. Kecurangan operator merupakan meminimalkan jumlah pengemudi biar biayanya kompetitif. Jika keharusan menerapkan dua pengemudi itu berlaku untuk semua Bus Pariwisata dan AKAP, maka operator tidak sanggup memainkan jumlah pengemudi untuk setiap armada yang dioperasikan.
Keempat, sudah saatnya Kementerian/Dinas Pariwisata menghasilkan surat perintah terhadap penyelenggara tempat-tempat wisata untuk menawarkan tempat istirahat yang nyaman, aman, dan selamat bagi pengemudi bus wisata, sehingga pada dikala penumpang yang dikirimkan usai menikmati rekreasi, pengemudi sudah segar kembali mengirimkan mereka pulang.
Kelima, Menteri Perhubungan perlu menggugah kembali Direktorat Keselamatan yang pernah ada di Kementerian Perhubungan biar kampanye dan penanganan keamanan transportasi, terutama darat sanggup lebih konsentrasi lagi. Keberadaan Direktorat Keselamatan Transportasi tersebut dilikuidasi pada tahun 2018 kemudian untuk mengakomodasi eksistensi Direktorat ASDP. Mengingat kewenangan yang diurus oleh Kemenhub itu amat luas (darat, laut, dan udara), maka Kementerian Penertiban Aparatur Negara (PAN) perlu lebih fleksibel dalam mengakomodasi pembentukan direktorat baru, jangan cuma mengacu pada jumlah saja, namun yang lebih penting merupakan kiprah pokok dan fungsinya. Meskipun lebih dari lima Direktorat, asalkan kiprah pokok dan fungsinya jelas, seharusnya ditoleransi. Jangan hingga demi jumlah yang terbatas, kesannya banyak tupoksi yang tidak terwadahi.
Keenam, saatnya Presiden Jokowi menimbang-nimbang secara serius pembentukan Badan Keselamatan Transportasi Nasional (BKTN) yang hendak mengatasi seluruh kecelakaan transportasi nasional. Hal ini mengingat jumlah korban kecelakaan transportasi, baik itu darat, laut, maupun udara jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah korban akhir narkoba. Jika korban narkoba itu rata-rata 50 orang per hari, maka korban kecelakaan di jalan raya saja rata-rata sehari meraih 70-80 orang yang tercatat; belum tergolong kecelakaan di bahari dan udara. Jika untuk menanggulangi narkoba yang jumlah korbannya lebih minim Pemerintah perlu membentuk tubuh khusus, mengapa untuk korban transportasi Pemerintah tidak punya bayangan ke sana? Jika ada Badan Keselamatan Transportasi, maka KNKT (Komite Nasional Kecelakaan Transportasi) hanyalah salah satu direktorat saja dalam BKTN tersebut, yang bertugas khus untuk pemeriksaan kasus-kasus kecelakaan saja; masih dari direktorat lain yang hendak melengkapinya. Badan ini penting mengingat kerja-kerja untuk penanggulangan kecelakaan butuh kerja koordinatif, sementara penyakit kita merupakan sukar untuk kerjasama antar Kementerian/Lembaga (K/L).
Ki Darmaningtyas, Ketua Instran (Institut Studi Transportasi) di Jakarta
Dimuat di Detik.com, 26 Desember 2019
https://news.detik.com/kolom/d-4836081/menjamin-keselamatan-angkutan-umum-bus?_ga=2.227186525.1171687579.1577350326-2057321663.1577350326
0 Komentar untuk "Menjamin Keamanan Transportasi Umum"