Ki Darmaningtyas
Ketua Institut Studi Transportasi Jakarta
Sejumlah kota besar di Indonesia kini sedang demam kereta cepat. Mereka ingin membangun kereta ringan (LRT) atau moda raya terpadu (MRT), seumpama di Palembang dan Jakarta, namun kurang memikirkan daya dukung fiskal mereka.
Paling tidak ada enam kota yang kasar membangun LRT, yakni Bandung, Depok, Malang, Medan, Semarang, dan Surabaya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri telah memiliki satu rute LRT Kelapa Gading-Velodrome dan akan membangun satu rute lagi, Pulogadung-Kebayoran Lama. Adapun pemkot Tangerang Selatan amat kasar membangun MRT yang sanggup menyambungkan Lebak Bulus hingga Tangerang Selatan.
Entah apa yang mendorong para pemimpin kawasan ini mabuk pada moda transportasi tersebut. Mereka sebaiknya mengenali dan mencar ilmu tentang pertumbuhan LRT Palembang dan Jakarta yang sepi penumpang dan jadinya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). MRT Jakarta memang ramai penumpang, namun perlu dilihat berapa subsidi yang diberikan oleh pemerintah DKI setiap tahun. Apakah subsidi yang serupa sanggup diberikan oleh pemkot Tangerang Selatan jikalau MRT tersebut dibangun?
Belajar dari pembangunan kereta cepat di Palembang serta Jakarta dan sekitarnya, kita tahu bahwa investasi untuk membangunnya amat mahal. Investasi LRT Palembang, yang cuma sejauh 23,4 kilometer, meraih Rp 11,33 triliun. LRT Jakarta, yang cuma 5 kilometer, investasinya meraih Rp 6 triliun. Adapun LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi, yang dijalankan oleh PT Adhi Karya sepanjang 14,3 km (Cawang-Cibubur) dan 18,5 km (Cawang-Bekasi Timur), meraih Rp 20,752 triliun atau Rp 467,08 miliar per km.
Besar ongkos pembangunan LRT yang kompetitif untuk Indonesia merupakan US$ 40-50 juta per km atau sekitar Rp 560-700 miliar per kilometer. Setiap kota yang gandrung pada LRT tersebut sanggup mengkalkulasikan sendiri besar investasi yang diperlukan untuk membangun LRT di kota mereka.
Biaya untuk membangun LRT ini bukan cuma ongkos untuk konstruksi jalurnya, namun juga konstruksi secara keseluruhan, yakni pekerjaan struktur jalur, trackworks, railway system, stasiun, dan depo, serta pembebasan lahannya, baik untuk trase maupun depo. Mengingat dana investasi untuk membangunnya amat besar, apakah kota-kota tersebut memiliki dana yang cukup?
Kekhawatiran aku merupakan hasrat pemerintah itu cuma alasannya dorongan konsultan tanpa didasari kajian finansial yang sungguh-sungguh. Kalau dikaji sungguh-sungguh, jangankan ingin membangun, berimajinasi pun tidak berani alasannya dari mana dana besar untuk investasi dan subsidi untuk operasi akan diperoleh.
Di dunia ini, cuma MRT di Hong Kong dan Seoul yang dibangun tanpa subsidi. Artinya, moda transportasi berbasis rel, entah itu MRT, LRT, monorel, dan lainnya, memerlukan investasi besar dan subsidi ongkos operasi dari pemerintah. Apakah warga Tangerang Selatan merelakan sekitar Rp 500 miliar dana APBD dipakai untuk mensubsidi operasi MRT jikalau ditarik hingga daerahnya? Pertanyaan yang serupa juga tertuju terhadap penduduk di Depok, Bandung, Medan, Semarang, dan Surabaya: apakah mereka rela dana Rp 500-1.000 miliar dari APBD dipakai untuk mensubsidi operasi LRT sepanjang masa?
Kajian Bank Dunia (2019) menampilkan bahwa kapasitas sokongan kawasan (kota) sejumlah kota untuk membangun LRT amat rendah. Untuk pembangunan LRT sepanjang 20 km dengan dana US$ 460 juta, yang memiliki kapasitas cukup cuma pemerintah DKI Jakarta. Kota Surabaya pun cuma bisa US$ 329,4 juta. Apalagi kota-kota lainnya, seumpama Bandung, Batam, Bekasi, Bogor, Denpasar, Depok, Makassar, Medan, Padang, Samarinda, Semarang dan Tangerang, yang kapasitasnya amat kecil. Bila kapasitas sokongan mereka rendah, siapa yang hendak membiayai investasi maupun mensubsidi ongkos operasinya nanti? Mengharapkan swasta untuk berinvestasi di infrastruktur rel itu sama saja berharap gabus sanggup karam di dalam lautan alias muskil alasannya swasta itu penikmat infrastruktur, bukan pembangun infrastruktur.
Belajar dari Pemerintah Provinsi DKI yang sukses membangun tata cara bus rapid transit (BRT) yang ongkosnya jauh lebih hemat biaya dan kapasitas angkutnya sanggup ditingkatkan sama dengan LRT/MRT, maka opsi kota-kota lain untuk membangun tata cara BRT jauh lebih kongkret dibanding membangun LRT/MRT. Investasi BRT juga jauh lebih rendah dan bisa ditanggung bareng oleh pemerintah kawasan dan swasta.
Subsidi yang diperlukan untuk operasi BRT juga jauh lebih kecil dibanding LRT/MRT. Atas dasar itulah, kita perlu mengingatkan para pemimpin kawasan yang demam atau mungkin mabuk LRT/MRT, lebih baik mengubur mimpinya dan beralih ke BRT. Kementerian Perhubungan pun perlu mencar ilmu pada LRT di Palembang yang ternyata tidak menyelesaikan masalah, melainkan menjadi problem sepanjang hayat, sehingga berhentilah menampilkan izin membangun LRT/MRT baru.
Dimuat di Tempo.co, 6 Maret 2020
0 Komentar untuk "Demam Kereta Cepat"