Pujian Yang Membutakan Dan Celaan Yang Menyadarkan │ Manusia senantiasa haus akan kebanggaan dan senantiasa risih akan celaan. Padahal dibalik kebanggaan ada cobaan yang membutakan sedangkan dibalik celaan ada pesan yang tersirat yang menyadarkan. Jika demikian, bukankah celaan itu lebih bermanfaat ketimbang pujian?
Maka janganlah berkecil hati saat dicela orang. Sadarilah bahwa celaan itu sedang menampilkan pelajaran hidup sampai kita dapat memperbaiki kesalahan. Lalu janganlah berbesar hati saat disanjung orang. Sadarilah bahwa kebanggaan itu bisa menjerumuskan pada kerugian. Pujian yang dilontarkan orang, perlahan tetapi niscaya bisa menjadi benih kesombongan, ujub dan takabur yang berkembang subur di dalam hati.
Karena itu, perbuatan baik tak usah ingin dilihat manusia. Sebagaimana yang dibilang seorang berilmu, Fudhail bin Iyadh: “Apabila Anda dapat menjalankan sesuatu tanpa diketahui, maka kerjakanlah. Kenapa risih jikalau orang-orang tidak memuji, dan kenapa risih jikalau engkau mungkin tercela di mata orang, tetapi di segi Allah engkau dipuji?"
Perkataan ini hendaklah senantiasa kita ingat. Janganlah sibuk mencari analisa baik dari manusia. Kita mesti sadar bahwa analisa insan itu tidak bermanfaat belaka. Manusia tak punya kuasa menampilkan pahala atau mengganjar dosa. Penilaian Allah-lah yang mesti senantiasa kita utamakan, alasannya yakni Dia-lah yang mau menampilkan upah atas perbuatan kita.
Bercerminlah dari ulama zaman dahulu yang begitu mencemaskan jikalau amal perbuatan mereka tersisipi niat riya ingin dipandang manusia. Mereka senantiasa memurnikan niat amal perbuatan tulus alasannya yakni Allah semata. Mereka senantiasa waspada dengan cacatnya niat dari bercampurnya dengan rasa ujub.
Sebut saja salah satunya Sufyan Ats-Tsauri yang bertambah takut jikalau orang yang mengikuti majlisnya makin banyak. Berbeda dengan orang-orang zaman kini yang makin bangga jikalau orang yang mengikutinya makin banyak. Bahkan sebuah hari Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata: “Demi Allah, kita sudah meninggal bahkan kita tidak menyadarinya! Demi Allah, jikalau pemimpin umat Islam Umar Radhiallahu ‘Anha, menyaksikan seseorang seumpama saya duduk di konferensi ini, beliau akan menyuruhku bangun dan berkata 'Orang sepertimu tidak pantas untuk ini!"
Lihatlah perkataannya, ini menampilkan keluasan ilmu yang dimilikinya justru makin menjadikannya merasa bahwa dirinya tidak pantas menjadi pengisi dalam sebuah majelis. Laksana padi yang makin berisi makin merunduk begitulah sifat ulama zaman dulu.
Tak berlainan dengan Ats Tsauri, Bishr Al Hafi juga pernah tidak jadi mengajarkan hadist dalam majelisnya alasannya yakni ia takut niatnya tidak lurus dalam membagikan ilmu. Hingga seseorang berkata:“Apa yang mau engkau katakan terhadap Rabbmu saat Dia mengajukan pertanyaan 'Mengapa kamu lewati pengajaran wacana sabda nabi-Ku Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam wahai Bishr?'"
"Saya akan mengatakan, 'Ya Tuhanku. Engkau memerintahkanku untuk melakukannya dengan tulus, tetapi saya tidak mendapatkan ketulusan itu dalam diriku." Jawab Bishr Al Hafi.
Demikian kehati-hatian para ulama zaman dahulu dalam mempertahankan niatnya. Bandingkan dengan diri kita yang justru menghambakan diri pada kebanggaan manusia. Kita akan merasa bahagia dan hati berbunga-bunga jikalau ada yang menyebut diri kita pintar, atau ada yang mengundang kita dengan istilah Ustadz atau Ustadzah. Padahal ilmu yang kita miliki sangat dangkal.
Ya Robb ampunilah hambaMu ini dikarenakan sudah berbangga diri dengan kebanggaan dari makhluk-Mu. Lindungilah kami dari berharap pada kebanggaan makhluk. Sadarkanlah kami untuk senantiasa mengharap kebanggaan cuma dari-Mu. Aamiin Sumber https://www.kabarmakkah.com
Maka janganlah berkecil hati saat dicela orang. Sadarilah bahwa celaan itu sedang menampilkan pelajaran hidup sampai kita dapat memperbaiki kesalahan. Lalu janganlah berbesar hati saat disanjung orang. Sadarilah bahwa kebanggaan itu bisa menjerumuskan pada kerugian. Pujian yang dilontarkan orang, perlahan tetapi niscaya bisa menjadi benih kesombongan, ujub dan takabur yang berkembang subur di dalam hati.
Karena itu, perbuatan baik tak usah ingin dilihat manusia. Sebagaimana yang dibilang seorang berilmu, Fudhail bin Iyadh: “Apabila Anda dapat menjalankan sesuatu tanpa diketahui, maka kerjakanlah. Kenapa risih jikalau orang-orang tidak memuji, dan kenapa risih jikalau engkau mungkin tercela di mata orang, tetapi di segi Allah engkau dipuji?"
Perkataan ini hendaklah senantiasa kita ingat. Janganlah sibuk mencari analisa baik dari manusia. Kita mesti sadar bahwa analisa insan itu tidak bermanfaat belaka. Manusia tak punya kuasa menampilkan pahala atau mengganjar dosa. Penilaian Allah-lah yang mesti senantiasa kita utamakan, alasannya yakni Dia-lah yang mau menampilkan upah atas perbuatan kita.
Bercerminlah dari ulama zaman dahulu yang begitu mencemaskan jikalau amal perbuatan mereka tersisipi niat riya ingin dipandang manusia. Mereka senantiasa memurnikan niat amal perbuatan tulus alasannya yakni Allah semata. Mereka senantiasa waspada dengan cacatnya niat dari bercampurnya dengan rasa ujub.
Sebut saja salah satunya Sufyan Ats-Tsauri yang bertambah takut jikalau orang yang mengikuti majlisnya makin banyak. Berbeda dengan orang-orang zaman kini yang makin bangga jikalau orang yang mengikutinya makin banyak. Bahkan sebuah hari Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata: “Demi Allah, kita sudah meninggal bahkan kita tidak menyadarinya! Demi Allah, jikalau pemimpin umat Islam Umar Radhiallahu ‘Anha, menyaksikan seseorang seumpama saya duduk di konferensi ini, beliau akan menyuruhku bangun dan berkata 'Orang sepertimu tidak pantas untuk ini!"
Lihatlah perkataannya, ini menampilkan keluasan ilmu yang dimilikinya justru makin menjadikannya merasa bahwa dirinya tidak pantas menjadi pengisi dalam sebuah majelis. Laksana padi yang makin berisi makin merunduk begitulah sifat ulama zaman dulu.
Tak berlainan dengan Ats Tsauri, Bishr Al Hafi juga pernah tidak jadi mengajarkan hadist dalam majelisnya alasannya yakni ia takut niatnya tidak lurus dalam membagikan ilmu. Hingga seseorang berkata:“Apa yang mau engkau katakan terhadap Rabbmu saat Dia mengajukan pertanyaan 'Mengapa kamu lewati pengajaran wacana sabda nabi-Ku Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam wahai Bishr?'"
"Saya akan mengatakan, 'Ya Tuhanku. Engkau memerintahkanku untuk melakukannya dengan tulus, tetapi saya tidak mendapatkan ketulusan itu dalam diriku." Jawab Bishr Al Hafi.
Demikian kehati-hatian para ulama zaman dahulu dalam mempertahankan niatnya. Bandingkan dengan diri kita yang justru menghambakan diri pada kebanggaan manusia. Kita akan merasa bahagia dan hati berbunga-bunga jikalau ada yang menyebut diri kita pintar, atau ada yang mengundang kita dengan istilah Ustadz atau Ustadzah. Padahal ilmu yang kita miliki sangat dangkal.
Ya Robb ampunilah hambaMu ini dikarenakan sudah berbangga diri dengan kebanggaan dari makhluk-Mu. Lindungilah kami dari berharap pada kebanggaan makhluk. Sadarkanlah kami untuk senantiasa mengharap kebanggaan cuma dari-Mu. Aamiin Sumber https://www.kabarmakkah.com
0 Komentar untuk "Pujian Yang Membutakan Dan Celaan Yang Menyadarkan"