Character Building

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Character Building
Membangun karakter atau yang lebih terkenal dengan perumpamaan Character Building, ialah perumpamaan yang sudah tidak absurd lagi bagi kita. Istilah ini lazimnya banyak dijual di kursus-kursus kepribadian, bahkan diobral di seminar-seminar yang bertajuk pengembangan diri, entah itu dalam bentuk implementatif maupun cuma sekedar teori. Oleh jadinya masuk akal apabila kemudian timbul pertanyaan dari pembaca yang budiman : “Membangun karakter? Apa, sih?”. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, pemahaman karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, seumpama tabiat, watak, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Sedangkan pemahaman dari membangun yakni proses pembuatan dan pembentukan suatu komponen atau bahan yang sudah ada menjadi sesuatu yang gres dan berbeda. Dari kedua pemahaman tersebut, kita sanggup mengambil kesimpulan bahwa membangun karakter yakni suatu proses pembentukan watak atau budi pekerti. Tentunya dalam pemahaman yang positif, tujuan dari pembentukan watak atau budi pekerti di sini yakni menjadi lebih baik dan terpuji dalam kapasitasnya selaku eksklusif yang memiliki nalar budi dan jiwa.
B.      Tazkiyat al-Nafs
Pembicaran desain tazkiyatun nafs ini, berawal dari estimasi bahwa terdapat kekerabatan yang erat antara fatwa Islam dengan jiwa manusia. Tazkiyatun nafs ialah salah satu komponen penting dalam Islam yang untuk itulah nabi Muhammad dibangkitkan sebagaimana diterangkan Allah dalam firman-Nya
  
“Dia-lah yang menyuruh terhadap kaum yang buta karakter seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya terhadap mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya betul-betul dalam kesesatan yang nyata,” (QS. Jum’ah (62) : 2)

Tazkiyah, secara bahasa (harfiah) bermakna Tathahhur, tujuannya bersuci. Seperti yang terkandung dalam kata zakat, yang memiliki makna mengeluarkan sedekah berupa harta yang bermakna tazkiyah (penyucian). Karena dengan mengeluarkan zakat, seseorang bermakna sudah menyucikan hartanya dari hak Allah yang wajib ia tunaikan. Salah satu tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam yakni untuk membimbing umat insan dalam rangka membentuk jiwa yang suci.
Dengan demikian, seseorang yang mengharapkan keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi di hari selesai hendaknya betul-betul memberi perhatian khusus pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ia mudah-mudahan jiwanya senantiasa berada dalam kondisi suci. Kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi mesti berusaha wa sallam ke dunia ini tak lain yakni untuk menyucikan jiwa manusia. Ini sungguh terlihat terperinci pada jiwa para sobat antara sebelum memeluk Islam dan sesudahnya. Sebelum mengenal Al-Islam jiwa mereka dalam kondisi kotor oleh debu-debu syirik, ashabiyah (fanatisme suku), dendam, iri, dengki dan sebagainya. Namun begitu sudah disibghah (diwarnai) oleh syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW, mereka menjadi bersih, bertauhid, ikhlas, sabar, ridha, zuhud dan sebagainya.
Keberuntungan dan keberhasilan seseorang, sungguh diputuskan oleh seberapa jauh ia men-tazkiyah dirinya. Barangsiapa rajin membersihkan jiwanya maka sukseslah hidupnya. Sebaliknya yang mengotori jiwanya akan senantiasa merugi, gagal dalam hidup. Hal itu diperkuat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sumpahNya sebanyak sebelas kali berturut-turut, padahal dalam Al-Qur’an tidak ditemui keterangan yang menampung sumpah Allah sebanyak itu secara berurutan. Marilah kita amati firman Allah selaku berikut:

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, Dan bulan apabila mengiringinya, Dan siang apabila menampakkannya, Dan malam apabila menutupinya[1579], Dan langit serta pembinaannya, Dan bumi serta penghamparannya, Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan terhadap jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams (91) : 1-10)
[1579] Maksudnya: malam-malam yang gelap.                            
Dalam ayat yang lain juga disebutkan bahwa nantinya harta dan belum dewasa tidak berfaedah di akhirat. Tetapi yang dapat memberi faedah yakni orang yang menghadap Allah dengan Qalbun Salim , yakni hati yang higienis dan suci.
Firman Allah:

“(yaitu) di hari harta dan belum dewasa pria tidak berguna, Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,”. (QS. Asy-Syu’araa’ (26) :88-99).
C.      Hakekat Tazkiyatun Nafs
Secara biasa acara tazkiyatun nafs mengarah pada dua kecenderungan, yaitu
  1. Membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela, mencampakkan seluruh penyakit hati.
  2. Menghiasi jiwa dengan sifat-sifat terpuji.
Kedua hal itu mesti berlangsung seiring, dihentikan cuma dijalankan satu potongan kemudian meninggalkan potongan yang lain. Jiwa yang cuma dibersihkan dari sifat tercela saja, tanpa diikuti dengan menghiasi dengan sifat-sifat kebaikan menjadi kurang lengkap dan tidak sempurna. Sebaliknya, sekedar menghiasi jiwa dengan sifat terpuji tanpa menumpas penyakit-penyakit hati, juga akan sungguh ironis. Tidak wajar. Ibaratnya seumpama sepasang pengantin, sebelum berhias dengan beragam hiasan, mereka mesti mandi apalagi dulu mudah-mudahan badannya bersih. Sangat buruk andaikata belum mandi (membersihkan kotoran-kotoran di badan) lantas begitu saja dirias. Hasilnya tentu suatu panorama yang mungkin saja indah tetapi bila orang mendekat akan tercium wangi tak sedap.
D.     Mujahadah
Mujahadah bermakna bersungguh hati menjalankan ibadah dan teguh berkarya amal shaleh, sesuai dengan apa yang sudah ditugaskan Allah SWT yang sekaligus menjadi amanat serta tujuan diciptakannya manusia. Dengan beribadah, insan memunculkan dirinya ‘abdun (hamba) yang dituntut berbakti dan mengabdi terhadap Ma’bud (Allah Maha Menjadikan) selaku konsekuensi insan selaku hamba wajib berbakti (beribadah).
Mujahadah yakni fasilitas menyediakan ketaatan seorang hamba terhadap Allah, selaku wujud keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT terhadap insan yakni untuk senantiasa berdedikasi dan berkarya secara optimal.  
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan menyaksikan pekerjaanmu, dan kau akan dikembalikan terhadap (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, kemudian diberitahukan-Nya terhadap kau apa-apa yang sudah kau kerjakan.”
Orang-orang yang senantiasa bermujahadah mewujudkan keimanannya dengan beribadah dan berzakat shaleh dijanjikan akan menerima isyarat jalan kebenaran untuk menuju (ridha) Allah SWT hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan terhadap yang terus bermujahadah dengan istiqamah. Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan senantiasa ingat terhadap Allah SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda.
Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah (menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada keharusan yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar.
Jiwa yang memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah bergotong-royong yang disebut mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi, yakni orang yang senantiasa bersungguh dengan nuraninya dan gerakannya.
Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa mempercantik lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah diam-diam batinnya lewat musyahadah.”
Imam Al Qusyairi an Naisaburi[1][2]  mengomentari wacana mujahadah selaku berikut:
Jiwa memiliki dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan. Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kontrol taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar terhadap kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak impian hawa nafsunya. Manakala jiwa bangun memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar. Sesungguhnya bertahan dalam lapar (puasa) dan bangun malam di perempat malam (tahajjud), yakni sesuatu yang mudah. Sedangkan membina susila dan membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah sulit.
Mujahadah yakni suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa pun yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa.

“Dan sesunggunya Kami sudah bikin insan dan mengenali apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) saat dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan adal di dekatnya Malaikat pengawas yang senantiasa hadir”. (Q.S. Qaaf (50): 16-18). [2][3]
Imam al-Ghazali mendefinisikan dunia selaku segala objek yang sanggup ditemukan. Berdasarkan pemahaman ini, dunia bisa dibilang selaku bumi dengan segala yang ada padanya. Al-Ghazali membagi keterkaitan insan dengan dunia menjadi dua, yakni keterikatan batin (hati) dan keterkaitan zhahir. Keterikatan batin atau hati tercermin dari rasa cinta pada dunia dan keterikatan zhahir tercermin dari aktivitas fisik meladeni dunia tersebut.
E.      Riyadhah
Riyadhoh atau disiplin asketis atau latihan kejuhudan diketahui oleh ibnu Arabiy sebagai: tahdzibul susila (pembinaan ahklak) yakni tankiyyatuha watathiiruha mimma laa yaliiku biha (penyucian dan pencucian jiwa dari segala hal yang tidak layak untuk jiwa). Karena itu riyadhoh yakni alat dan bukan tujuan. Disamping perumpamaan Riyadhah ,para ulama Tasawwuf juga menggunakan perumpamaan ‘mujahadah’.Imam qusyairi menempatkanya dalam rangkaian maqomat atau madarij arba as-saluk, sedangkan Abdul Wahab Sa’roni menempatkanya selaku potongan dari Adab al-murid Finafsihi (etika murid terhadap diri sendiri).
Para ulama thoriqoh melandaskan riyadhoh atau mujahadah ini pada banyak ayat Alqur’an hadist Rasulullah dan penuturan pengalaman para ulama tashowuf. Di antara ayat Alqur’an yang mereka jadikan pegangan antara lain, firman Allah :

“Dan Adapun orang-orang yang takut terhadap kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari impian hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah kawasan tinggal(nya).” (QS. An-Naziat (79) : 40-41)
Demikian pula ayat lain,

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan terhadap mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah betul-betul beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut (29) : 69)
Adapun hadist yang di jadikan landasan yakni penegasan Rasulullah yakni wacana fungsi kerasulanya; inama buistu li utammima makarimal susila (HR Baehaki dari Abu Hurairoh). Atau Hadist lain ; afdolull jihad kalimatu adlin inda shultonin jaiirin ; Jihad yang paling utama yakni mengemukakan kata keadilan dihadapan penguasa yang semena mena (HR Abu daud)
Mengemukakan keberanian dihadapan penguasa dzalim tentu memerlukan keberanian dan tidak takut kecuali dengan Allah . Sifat ini sulit dipercayai berubah menjadi bila kita masih dikuasai hawa nafsu dan cinta dunia. Urgensi riyadhoh atau mujahadah dikemukakan oleh banyak ulama, Abu Ali ada-daqok guru imam Qusyairi, menyatakan : Man jayyana dhohirohu bil mujahadah (riyadoh) hassanallohu sarooirohu bil msyahadah, wa’lam anna man lam yakun fi bidayatihi shohiba mujahadatin lam yajid min hadihit thoriqotihi ( siapa yang menghiasi lahiriyahnya dengan mujahadah (riyadoh) Allah memperindah bathinnya dengan kesanggupan musyahadah (menyaksikan ke agungan Allah dengan hatinya, menyaksikan yang ghoib sejelas yang dilihat mata lahiriyahnya) Dan ketahuilah bahwa siapa yang pada awalnnya tidak mujahadah, maka ia tidak akan merasakan semerbak aroma wangi dalam Thoriqoh.
Dengan agak sedikit mengancam Abu Usman almagribi berkata: Man donna annahu yuftahu lahu sa’iun min haadhihit thoriqot au yuksafa lahu an syai’n minha illa bilujumil musyahadah fahuwa mukhtiun. (siapa yang mengira bahwa ia akan di bukakan sesuatu untuknya thoriqoh ini atau di sibakan sedikit saja dari thoriqoh ini tanpa mujahadah sungguh ia keliru. Ungkapan terkenal (((al haroka barokah juga bisa di ketahui dalam kontek riyadhoh . Abu Ali addaqqoq mengungkapkan dengan kalimat ”Harokatuddowahir tujibu barokatus sarooir “ gerakan tubuh lahiriyyah (mujahadah riyadhoh) menciptakan keberkahan pada jiwa. Yahya bin mu’adz selaku mana di kutip imam Al Ghozali memastikan : a’daul insan salasatun : dunyahu wasaithonun wanafsuhu fahtaris minaddunyahu bijjuhdi wa minassyaithonu bimukholafatihi waminannafsi bittarkissahawat. Arriyadotu ala arbaati aujuhin : al quutu minatto’am walgomdu minal manam walhajatu minal kalam wal hamlul ada min jamiil anam fayatawalladu min killatit to’am mautussahawati wamin killatil manam shofwul iroodaah wamin killatil kalam assalamatu minal aafat wamin ihtimaalil adaa albulugu ilal gooyaat : riyadoh itu meliputi 4 aspek, 1) Mengurangi makanan pokok 2) Mengurangi tidur 3) Mengurangi bicara yang tidak perlu 4) Dan menanggung derita lantaran di ganggu banyak orang.
Target menghemat makan agar mengatur impian liar yaag menjerumuskan, target sedikit tidur bersihnya banyak sekali keinginan, target sedikit bicara selamet dari banyak sekali bencana, target menanggung derita diusik banyak orang yakni hingga tujuan.
F.       Macam-macam Mujadah
•  Mujahadah Yaumiyah, Mujahadah yang dilaksanakan saban hari oleh seiap pengamal Wahidiyah sesudah menjalankan mujahadah 40 hari.
•  Mujahadah Usbu iyyah, Mujahadah berjamaah yang dilaksanakan sepekan sekali oleh pengamal Wahidiayah satu kalangan / satu kampung / satu desa yang dikelola oleh Penyiar Sholawat Desa.
•  Mujahadah Syahriyah, mujahadah yang dilaksanakan oleh pengamal Wahidiyah sewilayah kecematan dalam sebulan / delapan hari sekali, yang dikelola oleh pengamal Wahidiyah Desa.
•  Mujahadah Rubu’usanah, Mujahadah yang dilaksanakan oleh pengamal Wahidiyah sekab./ Kodya dalam tiga bulan sekali yang dikelola oleh pengamal Wahidiyah Kab. / Kodya.
•  Mujahadah Nishfusana, yakni yang dilaksanakan seluruh pengamal Wahidiyah sewilayah propinsi dalam setengah tahun sekali yang dikelola oleh penyiar Sholawalat Wahidiyah Propinsi.
•  Mujahadah Kubro, Mujahadah yang dilaksanakan seluruh pengamal Wahidiyah dua sekali setahun yakni : Bulan Suro, / Muharam dan Bulan Rojab, yang dikelola oleh Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat.
•  Mujahadah Khusus, Mujahadah yang dilaksanakan secara khusus . misalnya Mujahadah yang dilaksanakan sebelum menjalankan tugas, Mujahadah Lapanan, Triwulan, Kubro dsb.mujahadah yang dilaksanakan secara khusus oleh anggota Penyiar Sholawat Wahidiyah.
•  Mujahadah Non stop, Mujahadah yang diklaksanakan terus – menerus dalam waktu yang di tentukan secara estafet.
•  Mujahadah Momenti / Waktiyah, Mujahadah yang dilaksanakan pada waktu tertentu yang diintruksikan oleh Penyiar Sholawa wahidiyah Pusat misalnya Menjelang Pemilu, Hari Besar Islam / Nasional dsb.
•  Mujahadah Muqaddimah, Mujahadah yang dilaksanakan dalam resepsi acara–acara Wahidiyah, lazimnya selaku mata program yang ketiga atau mujahadah yang di laksanakan sebelum musyawarah- musyawarah Wahidiyah / pengajian–pengajian Wahidiyah, mujahadah tersebut perumpamaan populernya disebut ‘‘ Muqodimah Sholawat Wahidiyah ''  
• Mujahadah 40 hari. Mujahadah yang dilaksanakan selama 40 hari dengan cara-cara sebagaimana yang tertulis didalam Lembaran Sholawat Wahidiyah.
Cara mengatur jiwa
1. Meminta bantuan terhadap Allah Swt. Dengan berdoa, “wahai Tuhan, buatlah saya tidak suka segala sesuatu yang tidak ku senangi. “Insya Allah, engkau akan menyaksikan dirimu tidak suka segala yang memanggil marah Allah Swt. Jika ingin meninggalkan maksiat apa pun, engkau mesti menghampiri Zat yang menggengam kalbumu. Mungkin akan mengkonsumsi waku lama, lantaran Allah ingin menguji kejujuran tekadmu.
2. Mendengarkan ceramah-ceramah agama. Ingatlah iman kadang bertambah dan kadang berkurang. Ketika insan menyimak ceramah agama dan menerima wawasan gres serta menerapkannya selama dua, tiga, atau empat hari, tentu ia bertambah taat. Allah Swt. Berfirman, “dan berikanlah peringatan, alasannya perayaan sungguh berfaedah bagi orang-orang mukmin.” (QS. Al-Dzariyat:55)
3. Menetapkan tujuan. Ketika asumsi senantiasa mengarah terhadap impian untuk menjangkau ridha Allah Swt. Dan masuk ke surga, tentu saban hari ia aka berusaha untuk lebih mengendaliakan jiwa. Ketika ridha Allah Swt. Mendapat posisi lebih besar di hatimu, bertambahlah usaha dan perjuanganmu lantaran engkau memiliki tujuan besar masuk ke nirwana dan menjangkau ridah Tuhan.
4. Yakin pada diri sendiri bahwa engkau bisa meningglakan maksiat dan tidak  akan kembali kepadanya.
5. Meninggalkan sahabat-sahabat yang buruk perangainya.
Semoga kita bisa mengatur nafsu. Kita sering memberi nafsu apa yang diinginkannya. Kita mesti berjuang mengatur nafsu mudah-mudahan kita tidak terjebak oleh hawa nafsu yang jahat. Dengan jiwa, engkau bisa menjalankan apa yang kau kehendaki serta memadukan kebahagiaan dunia dan darul abadi sekaligus. Jiwa insan di darul abadi nanti cuma berupa salah satu dari dua jiwa, yaitu:  jiwa yang senang atau jiwa yang sengsara.[3]
G.     Pembinaan Akhlak Anak
Anak dilahirkan menenteng ftirah suci, tetapi fitrah tersebut berada di dalam lubuk jiwanya, Orang bau tanah (ibu bapak, keluarga) dan lingkungan mesti bisa menyebarkan dan menampakan fitrah tersebut dalam dunia nyata. Penyimpangan atas fitrah tersebut ialah yakni imbas negatif dari mereka, utamanya ibu bapak. Dalam konteks ini, sungguh terkenal sabda Nabi Muhammad saw. Yang menyatakn bahwa:
Ssetiap anak dilahirkan atas dasar fitrah, dan kedua orang tuanyalah yang memunculkan menyimpang dari fitrah tersebut.
Di sebabkan oleh peranan orang bau tanah yang demikian besar, sehingga anak yang menyimpang sanggup menyeret orang tuanya untuk ikut bertanggung jawab akhir kelalaiannya mendidik.
Dalam konteks menyebarkan fitrah serta menghiasi kepribadian anak, didapatkan literatur agama sekian banyak tuntunan guna menyiapkan lahan yang subur demi berkembangnya susila manusia. Tuntunan tersebut sanggup ditarik kesimpulan dengan kata “penghoramatan terhadap anak”.
Anak bukannya barang atau hewan yang cuma memerlukan makan, minum, atau bermain, dan tidur saja, tetrapi dia yakni insan yang memiliki perasaan, kendati dia lemah. Dia memiliki potensi yang sungguh mencukupi untuk di dimasak dan sanggup membuatnya insan yang berprestasi dan bermanfaat.
Karena itu didapatkan Nabi saw. Memperlakukan belum dewasa sedemikan rupa sehingga anak tidak merasa dilecehkan atau dianaktirikan. Nabi saw. Misalnya mengucapkan salam dan berjabat tangan dengan mereka. Ini untuk memupuk rasa yakin diri dan menanmkan dalam jiwa mereka bahwa eksistensinya diakui oleh masyarakat. Beliau juga senang bermain dengan mereka mudah-mudahan anak sanggup merasa bahwa apa yang dilakukannya, bukan saja di restui, tetapi juga dianggap penting oleh orang dewasa. Ini ialah salah satu upaya untuk memunculkan anak lebih dekat dengan orang tuanya yang pada gilirannya memunculkan sang anak lebih terbuka. Di segi lain, lewat permainan sanggup terungkap ke pribadian anak, serta tingkat kecerdasan asumsi dan emosionalnya.
Dalam konteks penghormatan terhadap anak itu dan training akhlaknya di tmukan juga sabda Rasul saw. Yang menyatakan:
“Allah merahmati seorang ayah yang menolong anaknya untuk berbakti kepadanya”  seseorang bertanya: “bagai mana cara dia membantunya?” Beliau menjawab: “Dia merima yang sedikit darinya, memaafkan yang menyulitkannya, tidak membebaninya, tidak pula memakinya. Bantulah anak-anakmu untuk berbakti. Siapa yang menghendaki, dia sanggup melahirkan kedurhakaan lewat anaknya”.
Sungguh benar pesan yang menyatakan :
Jika anak disalahkan, dia mencar ilmu mencemoohkan.
Jika anak dihina, dia hidup menjadi penakut.
Jika ia di permalukan, ia senantiasa merasa bersalah.
Jika ia hidup dalam permusuhan, ia mencar ilmu berkelahi.
Perhatian Nabi saw. Terhdap anak dalam rangka “menghormatinya” memunculkan ia mempercepat shalatnya untuk menghentikan tangisnya atu memperlambatnya guna memberi potensi terhadap anak menunggang punggung ia yang sedang sujud. Dalam konteks memelihara perasaan anak, ia menegur seorang pengasuh yang merenggut dengan agresif seorang anak yang “pipis” pada pangkuan Rasul. Beliau bersabda: “kencing yang membasahi bajuku ini sanggup dibersihkan dengan air, tetapi apa yang sanggup menjernihkan kekeruhan hati anak ini dari renggutan mu itu”
Alhasil, mengakui kepribadian anak dan kemandiriannya serta hak-haknya yakni syarat utama untuk nlahirnya dari mereka anak mulia.
Kita sanggup menuntut dari belum dewasa kita untuk memperlihatkan akhalk mulia,jika kita tidak menyiapkan lahan yang subur untuk memunculkan mereka bisa menampilkannya, yakni perhatian orangtua, keluarga, bacaan yang bermutu, dan lingkungan yang sehat.
 
BAB III
KESIMPULAN
Perlu kita ketahui bahwa gerak jiwa dan hati nurani yakni inspirasi bagi hati jasmani yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk sikap dan watak manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal daging. Apabila baik, maka baik pulalah seluruh tubuh. Apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh, ketahuilah ia yakni hati.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Memang segala sifat yang dimiliki oleh jiwa akan meluap keluar dan bekas-bekasnya itu tentu terlihat sekali diantara anggota lahiriyah, sehingga anggota-anggota tadi tidak akan bergerak sama sekali melainkan sesuai menurut irodah jiwanya. Ini sudah tentu dan tidak dapat diingkari lagi.
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah menyebutkan dalam kitabnya “Igotsatul Lahfan” : Hati yakni raja bagi semua anggota badan. Seluruh anggota tubuh akan menjalankan segala perintahnya dan menerima apa saja yang diberikannya. Tidak ada satu perbuatanpun yang dapat terealisasi dengan benar, kecuali kalau timbul dari kehendak dan niat hati. Hatilah yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Maka lantaran itulah memperbaiki dan meluruskan hati ialah perhatian utama yang dilakukan orang-orang yang menempuh jalan menuju ridlha Allah. Lebih jelasnya Abdurrahman Habanakah Al Maidani menyebutkan : Secara tabi’at kapan seseorang itu suci jiwanya, maka akan luruslah akhlaq (perilakunya) baik yang dhohir maupun yang batin.
Meskipun akhlaq karimah itu kadang memang sudah ialah watak orisinil (fithrah) seseorang. Namun bergotong-royong hal itu sanggup diperoleh dan diusahakan dengan jalan latihan, yakni dengan cara membiasakan untuk menjalankan hal tersebut atau dengan jalan pergaulan, yakni dengan menyaksikan dan berkawan dengan orang yang sholih.
Akhlaqul mahmudah yang ialah cermin dari sucinya jiwa. Menghiasi diri dengan akhlaq yang terpuji dan membersihkannya dari akhlaq yang tercela yakni ialah usaha untuk tazkiyatun nafs (mensucikan jiwa), sebagaimana yang disebutkan Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat : “Telah mujur orang yang mensucikan jiwanya dengan taat terhadap Allah dan membersihkannya dari akhlaq yang rendah dan hina.”



[1][2] Kitab tasawuf, “Risalatul Qusyairiyah”.
[2][3] Demikian komentar Imam as Syaukani dalam kitab tafsirnya ‘Fathul Qadir’ dan Syeikh Ali As Shabuni dalam kitab tafsirnya ‘Shafwatut Tafaasir’.
[3] Amr Khaled, Terjemahan Akhlaq al-Mu’min, Jakarta:2010, hlm. 356-357

Related : Character Building

0 Komentar untuk "Character Building"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)