Hakikat Manusia

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Di dalam al-Qur’an surat al-Dzuriyat ayat 21 Allah berfirman: “Dan wacana anfus kalian, apakah kalian tidak memperhatikan (“untuk menganalisisnya”). Seruan Allah ini mengisyaratkan bahwa betapa pentingnya menganalisis diri langsung manusia. Di dalam al-Qur’an sudah lumayan banyak dijelaskan wacana rancangan manusia. Salah satu yang dijelaskan dalam al-Qur’an yakni wacana rahasia-rahasia yang ada dalam diri manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat Fushilat ayat 53, yang artinya: “Kami perlihatkan terhadap mereka gejala kekuasaan Kami pada seluruh ufuk dan di dalam “anfus”mu sendiri, sehingga terang bahwasannya al-Qur’an itu benar”.
Di dalam ayat tersebut terdapat kata anfus jama’ dari kata nafs yang banyak disebut dalam al-Qur’an. Konsep tentang nafs dalam al-Qur’an banyak kombinasi maknanya. Hal itu disebabkan lantaran berasal dari bervariasinya makna kata-kata nafs itu sendiri dalam sumbernya, yakni aneka macam ayat dalam al-Qur’an. Quraish Shihab berpendapat, bahwa kata nafs dalam al-Qur’an mempunyai aneka makna, sekali diartikan selaku totalitas insan (QS:5;32), tetapi di wilayah lain nafs menunjuk terhadap apa yang terdapat dalam diri insan yang menciptakan tingkah laris (QS:13;11). Namun, secara lazim sanggup dibilang bahwa nafs dalam konteks obrolan manusia, menunjuk terhadap sisi dalam insan yang mempunyai potensi baik dan buruk.[1] Berdasarkan hal inilah, maka perlu dibahas suatu rancangan wacana hakekat insan yang tertera dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berbunyi nafs. Pembahasan tentang nafs sangat memukau untuk dikaji, lantaran di dalam al-Qur’an lumayan banyak menyebutnya. Hal ini mengambarkan bahwa langsung insan atau nafs itu sungguh penting untuk dibahas dan dianalisis.
A.    Rumusan Masalah
1.      Apa Hakikat Manusia?
2.      Bagaimana Hakikat Ruh menurut al-Qur’an, Sunnah dan Sufi?
3.      Apa itu al-Qalb, al-Aql, Sirr?
B.     Tujuan
1.      Mengetahui Hakikat Manusia.
2.      Memahami Pandangan Al-Qur’an,  Sunnah dan Sufi Terhadap Ruh.
3.      Menambah Pengetahuan Tentang al-Qalb, al-Aql, dan Sirr.
C.    Metode
       Metode yang digunakan dengan cara mengutip dari buku, blog di internet dengan mengakses tema yang masih berkaitan.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Menganalisis Hakikat Manusia
Menurut bahasa artinya kebenaran atau sesuatu yang sebenar-benarnya atau asal segala sesuatu. Dapat juga dibilang hakikat itu yakni inti dari segala sesuatu atau yang menjadi jiwa sesuatu. Karena itu sanggup dibilang hakikat syariat yakni inti dan jiwa dari suatu syariat itu sendiri. Dikalangan tasawuf orang mencari hakikat diri insan yang bersama-sama lantaran itu timbul kata-kata diri mencari sebenar-benar diri. Sama dengan pengertian itu mencari hakikat jasad, hati, ruh, nyawa, dan rahasia.

1.      Pengertian Manusia
Manusia yakni makhluk paling tepat yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki insan ialah suatu konsekuensi fungsi dan kiprah mereka selaku khalifah di wajah bumi ini. Al-Qur’an menerangkan bahwa insan berasal dari tanah. Dalam al-Qur’an ungkapan insan didapatkan 3 kosa kata yang berlawanan dengan makna manusia, akan tetapi memilki substansi yang berlawanan yakni kata basyar, insan dan an-nas.
Kata basyar dalam al-Qur’an disebutkan 37 kali salah satunya al-kahfi : innama anaa basyarun mitslukum (“sesungguhnya saya ini cuma seorang insan mirip kamu”). Kata basyar senantiasa dihubungkan pada sifat-sifat biologis, mirip asalnya dari tanah liat, atau lempung kering (al-hijr : 33 ; al-ruum : 20), insan makan dan minum (al-mu’minuum : 33).
Kata insan disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 65 kali, diantaranya (al-alaq : 5), yakni allamal insaana maa lam ya’lam (“dia mengajarkan insan apa yang tidak diketahuinya”). Konsep insan senantiasa dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual insan selaku makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dan memikul amanah. Insan yakni makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.
Kata an-nas disebut sebanyak 240 kali, mirip az-zumar : 27 walaqad dharabna linnaasi fii haadzal quraani min kulli matsal (“sesungguhnya sudah kami buatkan bagi insan dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan”). Konsep an-nas menunjuk pada semua insan selaku makhluk social atau secara kolektif.
Dengan demikian al-Qur’an menatap insan selaku makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Manusia selaku basyar, diartikan selaku makhluk sosial yang tidak biasa hidup tanpa pertolongan orang lain dan atau makhluk lain.
Ibnu sina yang tenar dengan filsafat jiwanya menerangkan bahwa insan yakni makhluk sosial dan sekaligus makhluk ekonomi. Manusia yakni makhluk social untuk menyempurnakan jiwa insan demi kebaikan hidupnya, lantaran insan tidak hidup dengan baik tanpa ada orang lain. Dengan kata lain insan gres bisa meraih kepuasan dan menyanggupi segala kepuasannya bila hidup berkumpul bareng manusia.

2.      Eksistensi dan Martabat Manusia
Dibandingkan dengan makhluk lainnya, insan mempunyai kelebihan. Kelebihan itulah yang membedakan antara insan dengan makhluk lainnya. Kelebihan insan yakni kesanggupan untuk bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, baik di darat, di laut, maupun di udara. Sedangkan hewan cuma bisa bergerak di ruang yang terbatas. Walaupun ada hewan yang bergerak di darat dan di laut, tetapi tetap saja mempunyai kekurangan dan tidak dapat melebihi manusia.
Di samping itu, insan di beri nalar dan hati sehingga sanggup mengerti ilmu yang diturunkan Allah. Allah bikin insan dalam kondisi sebaik mungkin (at-tiin,95:4). Manusia tetap bermartabat mulia, kalau mereka selaku khalifah tetap hidup dengan aliran Allah (QS. Al-an’am:165). Oleh lantaran ilmu insan di lebihkan dari makhluk lainnya.
A.    Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan penciptaan insan yakni menyembah terhadap penciptanya yakni Allah. Pengertian penyembahan terhadap Allah tidak dapat di artikan secara sempit, dengan cuma membayangkan faktor ritual yang tercermin dalam shalat saja. Penyembahan memiliki arti ketundukan insan dalam aturan Allah dalam melakukan kehidupan di wajah bumi, baik yang menyangkut kekerabatan insan dengan yang kuasa maupun insan dengan manusia.
     Oleh kerena penyembahan mesti dilkukan secara suka rela, lantaran Allah tidak memerlukan sedikitpun pada insan lantaran tergolong ritual-ritual penyembahannya. Penyembahan yang cocok dari seorang insan yakni akan membuat dirinya selaku khalifah Allah di wajah bumi dalam mengurus alam semesta. Keseimbangan pada kehidupan insan sanggup tersadar dengan hukum-hukum kemanusiaan yang sudah Allah ciptakan.
B.     Fungsi dan Peran Manusia
Berpedoman pada al-Qur’an surah al-baqarah ayat 30-36, status dasar insan yang diplopori oleh adam AS yakni selaku khalifah. Jika khalifah diartikan selaku penerus aliran Allah maka kiprah yang ditangani yakni penerus pelaku aliran Allah dan sekaligus menjadi pencetus membudayakan aliran Allah. Peran yang hendaknya ditangani seorang khalifah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah diantaranya adalah:
Ø  Belajar
Ø  Mengajarkan ilmu
Ø  Membudayakan ilmu
Oleh lantaran itu semua yang ditangani mesti untuk kebersamaan sesama ummat insan dan hamba Allah, serta pertanggung jawabannya pada 3 instansi yakni pada diri sendiri, pada masyarakat, pada Allah SWT.
3. Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba dan Khalifah Allah SWT
a.    Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba Allah SWT.
Makna yang esensial dari kata abd’ (hamba) yakni ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan insan cuma layak diberikan terhadap Allah SWT yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan.
Oleh lantaran itu, dalam al-Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahlikun naran (“jagalah dirimu dan keluargamu dengan doktrin dari api neraka”).
b.    Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah Allah SWT
Manusia diserahi kiprah hidup yang ialah amanat dan mesti dipertanggungjawabkan dihadapannya. Tugas hidup yang di wajah bumi ini yakni kiprah kekhalifaan, yakni kiprah kepemimpinan, wakil Allah di wajah bumi, serta pegolahan dan pemeliharaan alam.
Khalifah memiliki arti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah memegang mandat Tuhan untuk merealisasikan kemakmuran  di wajah bumi. Kekuasaan yang diberikan insan bersifat inovatif yang memungkinkan dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di wajah bumi untuk kepentingan hidupnya.
Oleh lantaran itu hidup manusia, hidup seorang muslim akan dipenuhi dengan amaliah. Kerja keras yang tiada henti alasannya yakni melakukan pekerjaan selaku seorang muslim yakni membentuk amal shaleh.
4.      Derajat dan Tingkatan Manusia
Kemampuan insan dalam mengontrol hawa nafsunya berbeda-beda. Imam al-Ghazali menerangkan tiga tingkatan insan dalam hal ini. Pertama, orang yang dikuasai oleh hawa nafsu dan bahkan membuatnya Tuhan sesembahannya. Mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsunya ini akan condong pada kesesatan, lantaran telinga dan kalbunya sudah terkunci. Mereka diumpamakan mirip anjing (QS. 7:176), oleh lantaran itu tidak layak dijadikan pemimpin.
Kedua, orang yang senantiasa bersaing dengan hawa nafsunya. Maka kerap kali ia bisa mengendalikannya dan kerap kali tidak. Mereka ini tergolong mujahidin. Jika dikala kematian tiba menjemputnya, sedangkan ia dalam jerih payah mengontrol hawa nafsunya, maka ia tergolong syuhada'. Sebab ia sedang merepotkan dirinya melakukan perintah Rasulullah SAW untuk memerangi hawa nafsu mirip memerangi musuhnya.
Ketiga, golongan yang sukses mengontrol hawa nafsu dan mengalahkannya dalam kondisi apapun. Mereka inilah golongan penguasa sejati yang sudah terbebas dari belenggu hawa nafsu. Umar bin Khattab ialah salah satu pola orang yang menduduki peringkat ini, hingga Nabi pun bersabda bahwa setan akan mengambil jalan yang tidak dilalui Umar.
Oleh alasannya yakni itu, dalam rangka melepaskan belenggu nafsu dan untuk menjangkau kebahagiaan hakiki, dia menerangkan empat kiat, yakni mengenal diri, mengenal Pencipta, mengenal hakekat dunia dan mengenal hakekat akherat. Dalam proses mengetahui diri, Imam al-Ghazali menampilkan materi introspeksi harian (muhasabah). Misalnya: Anda itu apa? Anda tiba ke wilayah ini dari mana? Untuk tujuan apa Anda diciptakan? Karena apa Anda berbahagia? Dan kenapa juga Anda mesti merasa sengsara?
Masih dalam rangka mengetahui diri, Imam al-Ghazali menerangkan adanya empat potensi dalam diri manusia, dimana masing-masing mempunyai kebahagiannya sendiri. Keempat potensi tersebut yakni sifat hewan ternak, sifat hewan buas, sifat setan dan sifat malaikat. Beliau pun menguraikan selaku berikut: "Sesungguhnya kebahagiaan hewan ternak itu di dikala makan, minum, tidur dan melampiaskan keinginan seksnya. Jika Anda tergolong golongan mereka, maka bersungguh-sungguhlah dalam menyanggupi keperluan perut dan kemaluan. Kebahagiaan hewan buas itu dikala ia sukses menghantam dan membunuh. Kebahagiaan setan itu di saat ia sukses melaksanakan makar, kejahatan dan tipu muslihat. Jika Anda berasal dari golongan mereka, maka sibukkanlah diri Anda dengan kegiatan setan. Sedangkan kebahagiaan malaikat itu tatkala ia melihat indahnya kehadiran Tuhan. Maka jikalau Anda tergolong golongan malaikat, bersungguh-sungguhlah dalam mengetahui asal-usul Anda, hingga mengetahui jalan menuju kepada-Nya dan terbebas dari belenggu syahwat dan amarah". (lihat: Kimiya al-Sa'adah).
Menurut Imam al-Ghazali, kebahagiaan dan jiwa yang sehat itu diawali dengan ilmu pengetahuan. Maka barang siapa yang sudah hilang kemauan untuk mencari Ilmu, maka orang itu menyerupai orang yang habis seleranya untuk menyantap masakan yang baik, atau mirip orang yang lebih senang makan tanah ketimbang makan roti. Sebab kebahagiaan hakiki yakni hakekat spiritual yang kekal, kepercayaan pada hal-hal mutlak wacana hakikat alam, identitas diri dan tujuan hidup. Kesemuanya itu berawal dari ilmu dan bermuara pada mahabbatullah (cinta terhadap Allah).

Allah SWT sudah menampilkan banyak keunggulan terhadap manusia, tidak saja dalam potensi fisik yang dimiliki manusia, tetapi penciptaan alam ini didedikasikan bagi insan untuk dimanfaatkannya semaksimal mungkin. Bahkan seorang pakar astronomi menyampaikan bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia, hal ini disebabkan lantaran semua faedah penciptaan alam mirip bumi, matahari, langit, dan sebagainya dicicipi oleh manusia. Dengan keunggulan dan spesialisasi yang dimiliki manusia, maka wajarlah insan diangkat selaku khalifah di bumi yang diperintahkan untuk memelihara bumi dan memelihara apa saja yang ada di bumi. Kelebihan ini pula yang membuat insan dimuliakan dibandingkan dengan makhluknya. Semestinya keunggulan ini membuat insan bersyukur terhadap Allah yang sudah bikin kita dan membalas kebaikan Allah ini dengan beribadah. Ibadah meskipun suatu beban lantaran spesialisasi yang dimiliki manusia, tetapi ibadah ialah acara untuk mengembalikan diri kita menjadi fitrah sehingga dalam pelaksanaan ibadah tersebut tidak lagi menjadi beban.
Kita perlu mengenal insan tidak dari sisi kelebihannya saja, tetapi juga kelemahannya sehingga pengenalan ini sanggup menyadarkan insan dalam berbuat dan bertindak. Beberapa kehabisan insan yang disebutkan Allah SWT selain kejiwaan yang keluh kesah juga bersifat lemah, bodoh, dan bebas menegaskan yang memungkinkan insan menegaskan jalan salah sehingga masuk neraka. Kelemahan ini perlu diwaspadai oleh insan agar sanggup mengontrol dirinya dan menanggulangi kelemahannya dengan cara mengamalkan nilai-nilai Islam.[2]

B.     Menganalisis Hakikat Ruh Menurut Al-Qur’an Hadits dan Sufi
Istilah ini juga mempunyai dua makna; pertama, suatu jenis (benda) yang sungguh halus yang semayam (sumbernya berasal dari) dalam rongga hati jasmani. Kemudian ruh itu bertebaran keseluruh badan lewat urat-urat yang bercabang-cabang. Mengalirnya ruh diseluruh badan itu, menyebabkan cahaya kehidupan, menumbuhkan perasaan, melahirkan pendengaran, pandangan dan penciuman. Ia menyerupai cahaya suatu lentera yang memancar, menembus keseluruh penjuru dan bagian-bagian rumah. Kehidupan ibaratnya suatu cahaya yang terdapat pada setiap dinding rumah, sementara ruh menyerupai suatu lentera, yang setiap kali ia hingga pada suatu ruangan, maka ruangan itu menjadi terang karenanya. Adapun para andal medis, apabila menyebut wacana ruh, maka mereka mengibaratkan dengan suatu pelita yang dapat menerangi seluruh penjuru rumah. Ia menyerupai asap atau gas yang halus yang dimatangkan oleh kehangatan hati.
Namun bukan itu yang dimaksud dalam pembahsan ini, alasannya yakni yang demikian itu ialah objek pembahasan para dokter yang berkepentingan dengan pengobatan jasmani. Berbeda dengan tujuan para andal kesehatan agama, mereka mengerti selaku pengobatan yang menggiring hati insan menuju hadirat Tuhan sekalian alam, dan sama sekali tidak terkait dengan pembahasan substansi (pokok) ruh itu sendiri. Makna kedua yakni al-Lathifah yang mempunyai potensi untuk mengenal dan untuk mengetahui makna “hati”.[3]
Kaum agamawan berkata bahwa wawasan wacana insan yang demikian itu dikarenakan insan ialah satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruhilahi, sedangkan insan tidak diberi wawasan mengenai ruh itu sendiri. Allah berfirman:
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ  
85. dan mereka mengajukan pertanyaan kepadamu wacana roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kau diberi wawasan melainkan sedikit".
Untuk mengenal siapa insan yakni dengan cara merujuk terhadap al-Qur’an yang ialah langkah permulaan yang mesti ditangani umat islam pada setiap kepentingan dengan aliran Allah. Sebab al-Qur’an yakni pegangan utama untuk seluruh faktor kehidupan umat islam. Termasuk di dalamnya selaku pegangan mengerti filsafat manusia.[4]
C.    Menganalisis Daya-Daya Ruhani
1.      Al- Nafs (Jiwa)
An-Nafs dalam pada lazimnya terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, diartikan dengan Jiwa atau diri. Padahal sesungguhnya An-Nafs ini menunjuk terhadap dua maksud, yakni : hawa nafsu dan hakikat dari insan itu sendiri (diri manusia).
a.       Hawa Nafsu
Nafsu yang mengarah terhadap sifat-sifat tercela pada manusia. Yang akan menyesatkan dan menjauh dari Allah. Inilah yang oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas :
"Musuhmu yang paling besar yakni nafsumu yang berada diantara kedua lambungmu".
"Dan saya tidaklah membebaskan diriku (dari kesalahan), lantaran sesungguhnya nafsu itu suka memerintahkan terhadap yang buruk". (QS Yusuf : 53)
"... dan janganlah kau mengikuti hawa nafsu, lantaran ia akan menyesatkan kau dari jalan Allah...". (QS Shaad : 26)
b.       Diri Manusia
Diri insan ini apabila tenang, jauh dari goncangan disebabkan imbas hawa nafsu dan syahwat, dinamakan Nafsu Muthmainnah.
"Hai jiwa yang damai (nafsu muthmainnah), kembalilah terhadap Tuhanmu, merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya". (QS Al Fajr : 27-28)
Namun diri insan yang tidak tepat ketenangannya, yang mencela di saat ceroboh dari menyembah Tuhan, disebut Nafsu Lawwamah.
"Dan saya bersumpah dengan jiwa yang amat mencela kejahatan (Nafsu Lawwamah)". (QS Al Qiyamah : 2)
2.      Al-Aql
Ulama’ tasawuf menyebutkan,” an aqlu lil maqkuulat “ , yakni nalar itu untuk menerima perkara yang masuk akal. Maqkuulat itu pada syariat dan memberi kefahaman mirip pengertian dalam pembacaan Kitab Tauhid, Kitab Tafsir dan seumpamanya. Kaprikornus penerimaan nalar lebih terhadap urusan yang zahir.
Apabila hingga kepingan hakikat dan makrifat, nalar dihentikan memainkan peranannya.Masa itulah gunanya hati, ruh dan sirr. Tetapi kita masih tidak sanggup membedakan antara peranan akal, hati, ruh dan sirr itu. Kita cuma tahu dan paham wacana nalar saja karena hati, ruh dan sirr itu sungguh diam-diam dalam badan kita.
3.      Al-Qalb
Diri insan sanggup dilihat secara indrawi dengan sikap dan perangai seseorang. Dan seorang berperilaku, seorang berperangai, ialah cerminan dari hatinya. Sehingga untuk mengenal diri kita, kita mesti memulainya dengan mengenal hati kita sendiri. Hati itu terdapat 2 jenis :
a.       Hati Jasmaniyah
Hati jenis ini bentuknya mirip buah shaunaubar. Hewan memilikinya, bahkan orang yang sudah matipun memilikinya.


b.      Hati Ruhaniyyah
Hati jenis inilah yang merasa, mengerti, dan mengetahui. Disebut pula hati latifah (yang halus) atau hati robbaniyyah. Dalam kajian kita, yang dituju dengan kata hati atau qalb yakni hati jenis 2, hati Ruhaniyyah. Karena Hati inilah yang ialah tempatnya Iman :
Maka dengan hatilah, seseorang sanggup mencicipi iman. Dengan hatilah seorang hamba sanggup mengenal Rabb-nya.
4.      Al-Ruh
Perkataan Ruh, mempunyai dua arah. Sebagai nyawa dan selaku suatu yang halus dari manusia.
a.       Nyawa
Pemberi nyawa bagi tubuh. Ibarat suatu lampu yang menerangi ruangan. Ruh yakni lampu, ruangan yakni tubuh. Mana yang terkena cahaya lampu akan terlihat. Mana yang terkena ruh akan hidup.

b.      Yang Halus dari Manusia
Sesuatu yang merasa, mengerti dan mengetahui. Hal ini yang bermitra dengan hati yang halus atau hati ruhaniyah.
Dalam Al Qur'an, Allah SWT menggunakan kata Ruh dengan kata Ruhul Amin, Ruhul Awwal, dan Ruhul Qudus.
Adapun maksud-maksud dari kata tersebut merujuk terhadap keterangan yang berbeda-beda yakni :
1.      Ruhul Amin
Yang dimaksud dengan ini yakni malaikat Jibril.
"Dan sesungguhnya Al Qur'an ini sungguh-sungguh diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin". (QS Asy-Syu'araa' : 192-193)
2.      Ruhul Awwal
Yang dimaksud dengan ini yakni nyawa atau sukma manusia.
3.      Ruhul Qudus
Yang dimaksudkan dengan ini bukanlah malaikat Jibril, tetapi ruh yang tiba dari Allah, yang menguatkan, menjadi isyarat serta kabar bangga bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah : "Ruhul Qudus menurunkan Al Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan hati orang-orang yang sudah beriman, dan menjadi isyarat serta khabar bangga bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS An Nahl : 102)
"... dan sudah Kami berikan bukti-bukti kebenaran terhadap Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus... ". (QS Al Baqarah :87)
"...Mereka itulah orang-orang yang Allah sudah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan ruh yang tiba dari pada-Nya...". (QS Al Mujadillah : 22)
5.      Al-Sirr
Sirr itu yakni lubuk hati,“sirr lil tajalliyat”. Tempat tabungan ilmu, kefahaman, iman dan apa yang dimusyahadahkan. Terbit niat itu dari sirr, hingga ke otak (akal) kemudian barulah ke hati. Hatilah yang bikin keputusannya.
Semua itu yakni ruh sepertimana tangan, kaki, mata itu selaku jasad. Kata Imam Ghazali, ”nurrun latifatun robbaniyyun”, inilah ruh yang mana nalar itu menerima, hati itu memahami, ruh itu melihat urusan yang maknawi dan sirrun itu menyimpan rahasia. Bagaimana jasad itu ada aneka macam nama menurut kegunaannya, maka begitu jugalah dengan ruh yang dinamakan dengan pelbagai nama menurut kegunaannya.










BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-Qur’an menatap insan selaku makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Di samping itu, insan di beri nalar dan hati sehingga sanggup mengerti ilmu yang diturunkan Allah. Allah bikin insan dalam kondisi sebaik-baiknya. Kemampuan insan dalam mengontrol hawa nafsunya berbeda-beda.
Mengalirnya ruh diseluruh badan itu, menyebabkan cahaya kehidupan, menumbuhkan perasaan, melahirkan pendengaran, pandangan dan penciuman.
penerimaan nalar lebih terhadap urusan yang zahir. Apabila hingga kepingan hakikat dan makrifat, nalar dihentikan memainkan peranannya.




















DAFTAR PUSTAKA

v  Al-Qur’an al-Karim
v  Al-Ghazali, Imam Abu Hamid. Ajib al-Qalb Kimya al-Sa’dah, trjm. KH.A. Mustofa Bisri. Surabaya: Pustaka Progresif.
v  Nawawi, Rif’at Syauqi. 2001.  Kepribadian Qur’ani. Jakarta: Amzah.
v  Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
v  https://loker.paperplane-tm.site/search?q=tentang-hakikat-manusia.dipostkan hari Senin,12 Maret 2012, diakses hari Kamis, 27 September 2012.



[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hal.285-286.
[2] https://loker.paperplane-tm.site/search?q=tentang-hakikat-manusia, dipostkan hari Senin,12 Maret 2012, diakses hari Kamis, 27 September 2012.
[3] Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ajib al-Qalb Kimya al-Sa’dah, trjm. KH.A. Mustofa Bisri, pustaka progresif, surabaya, 2002.
[4] Rif’at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur’ani. Amzah, Jakarta, 2001.

Related : Hakikat Manusia

0 Komentar untuk "Hakikat Manusia"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)