Ijma

PEMBAHASAN
IJMA’
                Obyek ijma' merupakan semua insiden atau peristiwa yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, insiden atau peristiwa yang bermitra dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak eksklusif ditujukan terhadap Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang bermitra dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits
1.       Pengertian ijma'
                Ijma' menurut bahasa Arab bermakna janji atau sependapat ihwal sesuatu hal, menyerupai perkataan seseorang. أجمع القوم على كذا  yang berati "kaum itu sudah sepakat (sependapat) ihwal yang demikian itu.”
                Ijma’ dalam arti lughawi (bahasa) yakni bentuk masdar dari kata جمع  atau أجمع yang bermakna setuju, berkumpul, bersatu pendapat, menghimpun pendapat, bersepakat, atau kata lain yang semakna. Juga boleh diartikan menghimpun pertimbangan dan kemudian menyepakatinya. Menurut perumpamaan luar biasa ushul, ijma’ diartikan selaku berikut ;
ألاجمع هو إتفاق المجتهدين من المسلمين في عصر من العصور بعد وفاةالرسول على حكم شرعي فى واقعة
                Ijma’ yakni janji segenap mujtahidin dari kaum muslimin, pada sebuah masa sesudah wafatnya Rasulullah SAW. Mengenai aturan syara’ berkenaan dengan ketetapan aturan sebuah kendala tertentu. Sebagai pola merupakan sesudah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti ia yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas janji bareng pula diangkatlah Abu Bakar selaku khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyepakati pengangkatan Abu Bakar itu, tetapi kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang menyerupai ini sanggup dibilang ijma'.
                Dari pemahaman ijma’ tersebut, dapatlah difahamkan bahwa ijma’ mesti berisikan 4 unsur selaku berikut :
a.       Terdapat beberapa orang mujtahid ketiak aturan itu terjadi, alasannya janji cuma terjadi apabila ada beberapa pendapat  yang dikemukakan oleh beberapa orang dan pendapat-pendapat itu bersesuaian satu sama lain.
b.      Terdapat janji diantara para mujtahid terhadap aturan yang mereka putuskan, dengan tidak menatap suku bangsa ataupun golongan. Karena tidak sanggup dibilang ijma’ apabila kespakatan itu cuma terjadi dikalangan Fuqoha indonesia atau ulama Syi’ah saja, melainkan mesti merupakan janji seluruh mujtahid alam islam (dunia islam).
c.       Kesepakatan atau kontrak mujtahidin tersebut haruslah dinyatakan secara tegas lewat perkataan atau perbuatan, menyerupai mempraktekannya dalam putusan pengadilan atau dalam kehidupan sehari-sehari.
d.      Kesepakatan tersebut haruslah merupakan janji bulat. Bukan merupakan janji lebih banyak didominasi terlebih minoritas.

                Apabila ke-4 unsur diatas terpenuhi, maka aturan yang dibangun atas dasar ijma’ tersebut sanggup dinilai qot’i dan menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mematuhinya, sebagaimana sanggup dimengerti dari dasar kehujjahan ijma’.
2.       Dasar aturan ijma'
Dasar aturan ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan nalar pikiran.
a.       Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
ياأيهاالذين أمنوأطيع الله وأطيعوا الرسول وأولى الامر منكم ( النساء )
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
                Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas bermakna hal, keadaan atau urusan yang bersifat lazim termasuk urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia merupakan raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama merupakan para mujtahid.
                Dari ayat di atas dimengerti bahwa jikalau para ulil amri itu sudah sepakat ihwal sesuatu ketentuan atau aturan dari sebuah peristiwa, maka janji itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
واعتصموا بحبل الله جميعا ولاتفرقوا
Artinya:
"Dan berpeganglah kau seluruhnya terhadap tali (agama) Allah dan janganlah kau bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
                Ayat ini mewakilkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pemahaman bersatu itu merupakan berijma' (bersepakat) dan dihentikan bercerai-berai, yakni dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
ومن يشاقق الرسول من بعد ماتبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ماتولى ونصله جهنم وساءت مصيرا
                Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul sesudah terperinci kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang sudah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
                Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman sanggup diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
b.      AI-Hadits
                Bila para mujtahid sudah melakukan ijma' ihwal aturan syara' dari sebuah insiden atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, alasannya mereka tidak mungkin melakukan janji untuk melakukan kesalahan terlebih kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لاتجتمع أمتى على خطاء
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Pada hadits lain rasulullah SAW bersabda :
مارأى المسلمون حسنافهو عندالله حسن
Artinya : Apa-apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, di sisi Allah akan dipandang baik juga. (HR. Ahmad)

c.       Akal pikiran
                Setiap ijma' yang dijalankan atas aturan syara', hendaklah dijalankan dan dibina atas asas-asas pokok aliran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengenali dasar-dasar pokok aliran Islam, batasan yang sudah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang sudah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melebihi batas maksimum dari yang mungkin dimengerti dari nash itu. Sebaliknya jikalau dalam berijtihad, ia tidak mendapatkan satu nashpun yang sanggup dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melebihi kaidah-kaidah lazim agama Islam, alasannya itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, menyerupai qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid sudah melakukan menyerupai yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang sudah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, alasannya seluruhnya dijalankan berdasar isyarat kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan menyerupai ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pertimbangan mujtahid yang banyak yang serupa ihwal aturan sebuah insiden lebih utama diamalkan.
3.       Sendi-sendi (rukun-rukun) ijma'
                Dari definisi dan dasar aturan ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh menentukan rukun-rukun ijma' selaku berikut:
  1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya insiden dan para mujtahid itulah yang melakukan janji (menetapkan aturan insiden itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya sebuah insiden tentulah tidak akan terjadi ijma', alasannya ijma' itu mesti dijalankan oleh beberapa orang.
  2. Yang melakukan janji itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika janji itu cuma dijalankan oleh para mujtahid yang ada pada sebuah negara saja, maka janji yang demikian belum sanggup dibilang sebuah ijma'.
  3. Kesepakatan itu mesti dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain ihwal aturan (syara') dari sebuah insiden yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam janji itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diinginkan terhadap sebuah keadaan, sehingga ia mesti mendapatkan sebuah keputusan. Kesepakatan itu sanggup dijalankan dengan aneka macam cara, menyerupai dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan sebuah perilaku yang menyatakan bahwa ia baiklah atas sebuah keputusan aturan yang sudah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik merupakan keputusan selaku hasil sebuah musyawarah yang dijalankan para mujtahid.
  4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan janji yang bundar dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi sebuah janji oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum niscaya ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum sanggup dijadikan selaku hujjah syari'ah.
4.       Kemungkinan terjadinya ijma'
                Jika diamati sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW hingga sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' sanggup dibagi atas tiga periode, yaitu:
  1. Periode Rasulullah SAW;
  2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
  3. Periode sesudahnya.
                Pada masa Rasulullah SAW, ia merupakan sumber hukum. Setiap ada insiden atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang sudah diturunkan dan hadits yang sudah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka eksklusif menanyakannya terhadap Rasulullah. Rasululah adakalanya eksklusif menjawabnya, adakalanya menanti ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pertimbangan yang menentukan aturan sebuah insiden atau peristiwa yang mereka alami.
                Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, tetapi mereka sudah mempunyai pegangan yang lengkap, yakni al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada peristiwa atau insiden yang membutuhkan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang aktual bahwa mereka sudah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini yakni alasannya pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pertimbangan yang tajam diantara kaum muslimin, disamping tempat Islam belum begitu luas, masih mungkin menghimpun para sobat atau orang yang dipandang selaku mujtahid.
                Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kelompok kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan langkah-langkah Utsman mengangkat anggota keluarganya selaku penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kelompok kaum muslimin makin terjadi, menyerupai pertempuran antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, pertempuran antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang tenar dengan perang Jamal, muncul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perkelahian dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
                Disamping itu tempat Islam makin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) hingga kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat hingga Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat susah melakukan ijma' dalam kondisi dan luas tempat yang demikian.
Dari keterangan di atas sanggup diambil kesimpulan selaku berikut:
  1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
  2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman hingga dikala ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang sudah ditetapkan di atas, mengingat kondisi kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya tempat yang berpenduduk Islam.
                Pada masa sekarang sudah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau sebuah negara yang bukan negara Islam tetapi orangnya lebih banyak didominasi beragama Islam atau minoritas orangnya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun orangnya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, lebih banyak didominasi orangnya beragama Hindu, cuma sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan dewan legislatif India sesudah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu sanggup dibilang selaku ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa sesudah Khalifah Utsman hingga kini sekalipun ijma' itu cuma sanggup dibilang selaku ijma' lokal.
                Jika demikian sanggup ditetapkan definisi ijma', yakni keputusan aturan yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan penduduk umat Islam. Karena sanggup dibilang sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagaiahlul halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk menghasilkan undang-undang atau peraturan-peraturan yang menertibkan kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
                Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam mengizinkan seorang yang menyanggupi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentunya beberapa orang mujtahid dalam sebuah negara boleh pula gotong royong memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menentukan sebuah aturan atau peraturan. Pendapat selaku hasil kerja keras yang dijalankan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pertimbangan yang dijalankan oleh orang seorang.
5.       Macam-macam ijma'
                Sekalipun susah menandakan apakah ijma' betul-betul terjadi, tetapi dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh dijelaskan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu sanggup ditinjau dari beberapa sisi dan tiap-tiap sisi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari sisi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
a.       ljma' bayani, yakni para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan terperinci dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut jugaijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
  1. Ijma' sukuti, yakni para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pertimbangan dengan terperinci dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak menampilkan reaksi terhadap sebuah ketentuan aturan yang sudah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' menyerupai ini disebut juga ijma' 'itibari.
Ditinjau dari sisi percaya atau tidaknya terjadi sebuah ijma', sanggup dibagi kepada:
a.       ljma' qath'i, yakni aturan yang dihasilkan ijma' itu yakni qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa aturan dari insiden atau peristiwa yang sudah ditetapkan berlainan dengan hasil ijma' yang dijalankan pada waktu yang lain;
  1. ljma' dhanni, yakni aturan yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa aturan dari insiden atau peristiwa yang sudah ditetapkan berlainan dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dijalankan pada waktu yang lain.
                Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa jenis ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah:
a.       Ijma' sahabat, yakni ijma' yang dijalankan oleh para sobat Rasulullah SAW;
  1. Ijma' khulafaurrasyidin, yakni ijma' yang dijalankan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini cuma sanggup dijalankan pada masa ke-empat orang itu hidup, yakni pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma' tersebut tidak sanggup dijalankan lagi;
  2. Ijma' shaikhan, yakni ijma' yang dijalankan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
  3. Ijma' luar biasa Madinah, yakni ijma' yang dijalankan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma' luar biasa Madinah merupakan salah satu sumber aturan Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya selaku salah satu sumber aturan Islam;
  4. Ijma' ulama Kufah, yakni ijma' yang dijalankan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi membuat ijma' ulama Kufah selaku salah satu sumber aturan Islam.


6.       Berlalunya Masa Ijma’

                Permasalahan yang kerap di hadapi oleh ijma yakni apakah ijma dihukumi masih berlaku jikalau masanya sudah berlalu dan semua mujtahid yang ikut dalam ijma ini sudah meninggal. Untuk menjawab hal tersebut sanggup dilihat pertimbangan para ulama selaku berikut:
a.       Imam Ahmad bin Hambal, Abu bakar Ibnu Al-fauraq, dan sebagian ulam kecil Syafi’iyah beropini bahwa berlalunya masa dan meninggalnya akseptor ijma memicu ijma itu tidak berlaku lagi. Alasan mereka bahwa pernah terjadi penyimpangan terhadap aturan yang sudah ditetapkan oleh ijma.
b.      Menurut Jumhur ulama yang terdiri pada biasanya pengikut Syafi’iyah, Abu Hanifah, Ulama kalam Asy’ariyah dan Mutazilah. Mereka beropini bahwa berlalunya masa dan meninggalnya semua ulama mujtahid bukan syarat tidak berlakunya ijma. Artinya ijma masih tetap berlaku. Alasan mereka alasannya kehujaan ijma ini berdasar terhadap al-Quran dan sunah Nabi. Kedua sumber tersebut tidak lapuk dengan berlalunya masa. Dan mereka pun beralasan bahwa hakekat ijma yakni kesepakatan. Kekuatan aturan terletak pada kesepakan ini bukan alasannya meninggalnya pesrta ijma.






























DAFTAR PUSTAKA

1.       Shiddiq, Sapiuddin. Ushul fiqih. Jakarta: kencana, 2011.
2.       Djauharuddin. Pengantar bushul fiqih. Bandung:  media pembinaan, 1992.
3.       Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina utama, 1994.

4.       Syafe’i, Rachmat. Ilmu ushul fiqih. Bandung: Pustaka setia, 2010.

Related : Ijma

0 Komentar untuk "Ijma"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)