BAB I
PENDAHULUAN
Tidak disangsikan lagi bahwa Syariat Islam merupakan epilog semua risalah samawiyah, yang menenteng isyarat dan tuntunan Allah untuk ummat insan dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi menyerupai ini, maka Allah pun merealisasikan format Syariat Islam selaku syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah aturan yang ada dalam Islam yang menjadikannya sanggup menampilkan respon terhadap terhadap hajat dan keperluan insan yang berganti dari waktu ke waktu, seiring dengan kemajuan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam aturan Islam: (1) nash-nash yang menentukan hukum-hukum yang tak akan berganti sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melaksanakan ijtihad dalam hal-hal yang tidak diterangkan secara sharih dalam nash-nash tersebut.
Dan jika kita mengatakan wacana ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) merupakan hal yang tidak sanggup dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih -sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenallah beberapa landasan penetapan aturan yang berlandaskan pada penggunaan kesanggupan ra’yu para fuqaha. Dan salah satunya merupakan istishab dan al-urf yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Istishab
1) Pengertian Istishab.
Dilihat dari sisi bahasa, kata istishab merupakan bentuuk masdar dari kata, , yang artinya senantiasa menyertai. Adapun secara perumpamaan sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fukhul yaitu:
“Apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa kemudian pada prinsipnya berlaku pada masa yang mau datang”.
Dari definisi di atas sanggup diketahui bahwa keyword yang dipakai merupakan masa kemudian dan masa yang mau dating. Hal ini, mengandung arti bahwa apa yang diberlakukan pada masa sekarang merupakan sama secara aturan dengan apa yang diberlakukan pada masa lalu.
2) Bentuk-bentuk Istishab.
Dilihat dari sifatnya, kondisi sesuatu itu tidak lepas dari dua keadaan:
a. Nafi, yakni dalam kondisi kosong tidak terdapat aturan didalamnya. Keberadaan tidak ada aturan ini diberlakukan untuk masa seterusnya sebelum ada kondisi yang merubahnya.
b. Tsubut, yaitu kondisi dimana pernah ada aturan di dalamnya. Maka aturan yang sudah tetap pada sesuatu itu berlaku hingga masa sekarang dan yang mau tiba sebelum adanya kondisi (dalil) yang mengubahnya.
3) Kaidah yang berafiliasi dengan istishab.
Dalam ilmu Ushul Fiqh istishab dijadikan selaku kawasan beredarnya fatwa. Artinya mengenali aturan sesuatu menurut aturan yang sudah ditetapkan selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Hal ini merupakan tradisi insan dalm memperoses dan dan menentukan hukum. Jika didapatkan orang itu hidup maka ditetapkan baginya aturan hidup sebelum ada gejala yang menegaskan bahwa ia sudah mati. Dengan demikian, faktor keraguan dalam istishab senantiasa ada. Dan keraguan senantiasa mengiringi terhadap keyakinan. Oleh lantaran itu, istishab salah satu sistem ijtihad dalam istinbatnya senantiasa memerhatikan kaidah-kaidah berikut ini:
a.
“Apa yang ditetapkan oleh sesuatu yang meyakinkan maka tidak sanggup dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan.”
b.
“Asal sesuatu itu merupakan ketetapan yang sudah ada menurut kedaan semula sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang mengubahnya.”
c.
“Hukum asal segala sesuatu itu merupakan boleh.”
d.
“Yang asal pada insan itu merupakan bebas.”
Berdasarkan terhadap beberapa kaidah tersebut di atas sanggup menggambarkan, bahwasanya istishab dijadikan sistem ijtihad memiliki prinsip bahwa aturan yang dihasilkannya mengandung dispensasi berupa aturan boleh dan keleluasaan yang sejalan dengan fitrah manusia. Kaidah ini didasari oleh beberapa ayat al-Qur’an di antaranya:
“Dia-lah Allah, yang membuat segala yang ada di bumi untuk kau dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, kemudian dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengenali segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah(2) : 29)
“Tidakkah kau amati Sesungguhnya Allah sudah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara insan ada yang membantah wacana (keesaan) Allah tanpa ilmu wawasan atau isyarat dan tanpa kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman(31) : 20)
4) Pembagian Istishab.
Syiekh Muhammad Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh membagi Istishab menjadi empat bagian:
a. Baraah Ashliyah: baraah artinya higienis dan lepas. Dalam hal ini bebas dari dari beban hukum. Adapun kata ashliyah mengandung arti menurut aslinya. Dengan demikian baraah ashliyah bermakna bebas dari beban aturan menurut aslinya. Oleh lantaran itu, bagi baraah ashliyah berlaku baginya kaidah artinya “pada asalnya aturan sesuatu itu tidak ada”.
b. Istishab Syara’ atau akal, yakni adanya suatu aturan pada sesuatu itu ditetapkan menurut syara’ atau akal.
c. Istishab Hukum, yakni mengkukuhkan pemberlakuan suatu hukum, boleh atau dilarang. Hukum pada sesuatu terus berjalan hingga ada dalil yang mengharamkannya, atau aturan sesuatu itu haram sebelum ada sesuatu yang meperbolehkannya. Maka dalam hal ini berlaku kaidah:
“Hukum sesuatu pada asalnya merupakan boleh sehingga ada dalil yang mengharamkannya.”
Berdasarkan kaidah diatas maka sesuatu yang ada di dalam hal ini boleh dipakai sebelum ada dalil yang mengharamkannya.
d. Istishab Sifat, yakni mengkukuhkan berlakunya suatu sifat dimana sifat ini berlaku pada suatu ketentuan aturan hingga sifat ini mengalami pergantian yang menyebabkan berubahnya hukum.
5) Pendapat Ulama Tentang Kehujahan Istishab.
Syeikh Muhammad Abu Zahra menerangkan perbedaan rekomendasi para ulama wacana kehujjahan istishab. Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa tiga macam istishab yang disebut di permulaan sanggup dijadikan selaku landasan hukum. Tetapi mereka berlawanan rekomendasi dalam membuat istishab sifat selaku landasan hukum, sebagaimana diterangkan berikut ini:
a. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah beropini bahwa istishab sifat sanggup dijadikan landasan secara sarat baik dalam membuat hak yang gres atau menjaga haknya yang sudah ada.
b. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah beropini bahwa istishab sifat cuma berlaku menjaga hak yang sudahh ada bukan membuat hak yang baru.
B. ‘Urf
1) Pengertian ‘Urf (adat)
Kata ‘urf berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata عرف يعرف عرفا, sering diartikan sesuatu yang dikenal. Adapun kata Adat juga berasal dari bahasa arab yang mengandung arti pengulangan suatu peristiwa tetapi terlepas dari analisa baik dan buruknya (netral).
Adapun menurut perumpamaan syara’, banyak didefinisikan yang dilontarkan oleh para ulama. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan definisi yang dikemukakan oleh Abu Zahra:
ماعتاده الناس من معا ملا تواستقامت عليهم أمورهم
Artinya: ‘’Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan insan dalam pergaulannya dan sudah mantap dan menempel dalam urusan-urusan mereka‘’
2) Macam-Macam ‘Urf
Macam-macam urf ditinjau dari banyak sekali aspeknya sanggup dibagi menjadi:
a. Dilihat dari sumbernya:
1. ‘Urf qauly, yang dimaksud dengan urf qauly, merupakan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
2. ‘Urf fi’ly, yakni kebiasaan yang berlaku pada perbuatan. Umpamanya kebiasaan dalamm perdagangan barang-barang yang kurang begitu bernilai.
b. Dilihat dari Ruang Lingkupnya
1. ‘Urf Umum, merupakan kebiasaan yang sudah lazim berlaku dimana-mana hamper diseluruh penjuru dunia tanpa menatap Negara, bangsa, dan agama.
2. ‘Urf Khusus, merupakan kebiasaanyang dijalankan oleh sekelompok orang ditempat tertentu dan tidak berlaku disembarang waktu dan tempat.
c. Dilihat dari Kualitasnya
Dilihat dari sisi baik dan buruknya ‘urf terbagi menjadi dua macam:
1. ‘Urf Shahih, merupakan kebiasaan yang dijalankan secara berulang-ulang, diterima oleh orang banyak, tidak berlawanan dengan norma, agama, sopan santun, dan budaya yang luhur.
2. ‘Urf Fasid, merupakan moral atau kebiasaan yang berlaku di suatu kawasan tetapi berlawanan dengan agama, undang-undang Negara, dan sopan santun.
3) Kehujahan ‘Urf
Terdapat perbedaan rekomendasi di kelompok ulama ushul fiqh wacana kehujahan 'urf.
a) Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa 'urf adalah hujah untuk menetapkan hukum. Mereka berkelit firman Allah:
خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ (الاعرف: (
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang melaksanakan yang makruf, serta berpalinglah ketimbang orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
قال النبي : ما راه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه احمد بن حنبل)
“Apa yang di pandang orang-orang muslim baik, maka disisi Allah pun baik”
b) Golongan Syafi’iyyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menilai ‘urf selaku hujah atau dalil aturan syar’i. Mereka beralasan, saat ayat ayat Alqur’an turun, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.
من اسلف في ثمر فليسلف في كيل معلوم و وزن معلوم الي اجل معلوم
(رواه البخاري)
Apabila kita amati penggunaan 'Urf ini, bukanlah dalil yang bangkit sendiri, tetapi akrab kaitannya dengan al-Mashlahah al-Mursalah, bedanya kemaslahatan dalam ‘urf ini sudah berlaku sejak usang hingga sekarang, sedangkan dalam al-Mashlahah al-Mursalah kemashlahatan itu dapat terjadi pada hal-hal yang terbiasa berlaku dan mungkin pula pada hal-hal yang belum biasa berlaku, bahkan pada hal-hal yang mau diberlakukan.
Dalam buku Ilmu Ushul Fiqih yang di tulis oleh Prof. Dr. Rahmat Syafi’i MA, disana tertulis bahwa, “ ’Urf menurut pengusutan bukan merupakan dalil syara tersendiri. Pada biasanya ‘Urf ditunjukkan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan aturan dan penafsiran beberapa nash. “
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
v Istishab merupakan “apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa kemudian pada prinsipnya berlaku pada masa yang mau datang”. Bentuk-bentuk istishab terbagi menjadi dua yakni nafi dan tsubut. Macam-macam istishab ada empat; 1) Baraah ashliyah. 2) Istishab syara’ atau akal. 3) Istishab Hukum. 4) Istishab al-Sifat.
v ‘Urf adalah sesuatu yang sudah mejadi kebiasaan insan dalam pergaulannya dan sudah mantap dan melekat dalam urusan-urusan mereka. Macam-macamnya. 1) Dilihat dari sumbernya terbagi dua: ‘Urf qauly dan ‘Urf fi’ly. 2) Dilihat dari ruang lingkupnya terbagi dua: ‘Urf umum dan ‘Urf khusus. 3) Dilihat dari kualitasnya terbagi dua: ‘Urf shahih dan ‘Urf fasid. Kehujahan ‘urf, para ulama mengamalkan ‘urf dalam menentukan aturan dengan syarat, ‘urf itu mengandung maslahat dan moral tidak berlawanan dengan dalil syara’. Contohnya, kebiasaan menghormati orang renta dengan mencium kedua tangannya.
0 Komentar untuk "Istishab Dan Urf"