Teori Organisasi Power And Authority

POWER AND AUTHORITY 
            

Kekuasaan dan kewenangan merupakan dua hal yang mempunyai konsep berlainan tetapi acap kali tercampurbaurkan. Namun demikian keduanya terkait erat dengan kepemimpinan. Dalam organisasi pendidikan, khususnya sekolah, kekuasaan dan kewenangan juga ada serta menjadi gunjingan yang sering menjadi materi penelitian. Kekuasaan dan kewenangan di sekolah senantiasa diperlukan sanggup dipraktekkan sebagaimana mestinya, agar banyak sekali tujuan pendidikan sanggup tercapai.
Kekuasaan dan kewenangan utamanya diputuskan oleh struktur dalam organisasi, ia menatap struktur dalam organisasi selaku mekanisme pengendalian yang mengontrol organisasi. Dalam tatanan struktur organisasi, kebijakan mengambil keputusan, alokasinya untuk banyak sekali posisi, juga struktur membentuk pola komunikasi, dan arus informasi. Makara struktur organisasi bikin kekuasaan dan kewenangan formal dengan mengkhususukan orang-orang tertentu untuk melaksanakan kiprah pekerjaan khusus, mengambil keputusan tertentu, dan mendorong kekuasaan informal, lewat efek atau struktur keterangan dan komunikasi dalam metode tersebut (Veithzal Rivai Zainal, 2014).
            Salah satu contoh faktual dalam tataran organisasi pendidikan sanggup terlihat dari penyeleksian seorang Rektor di Perguruan Tinggi Negeri. Seorang Rektor diseleksi oleh beberapa faktor yakni banyaknya bunyi dan santunan yang ia sanggup dari intern kampus yakni yang diwakilkan oleh Wali Amanat dan faktor luar kampus yakni bunyi santunan dari seorang Menteri Pendidikan Nasional. Jika seseorang ingin menjadi seorang Rektor di PTN maka ia mesti mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang sungguh besar dalam mencari santunan dari Wali Amanat. Namun power besar sekalipun yang dimiliki seorang kandidat Rektor di dalam suatu PTN tidaklah cukup untuk menjadi seorang Rektor lantaran bunyi yang lain diputuskan oleh bunyi dari seorang Menteri Pendidikan Nasional. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan dan kewenangan seseorang sungguh kokoh bagi kekuasaan dan kewenangan orang lain di kalangan yang berbeda. Pada hal ini merupakan kekuasaan dan kewenangan seorang Menteri Pendidikan Nasional sungguh kokoh terhadap penyeleksian seorang Rektor di Perguruan Tinggi Negeri.
            Contoh di atas merupakan salah satu dari sekian banyak praktik penggunaan kekuasaan dan kewenangan di organisasi pendidikan. Selanjutnya akan dibahas masing-masing kekuasaan dan kewenangan secara lebih terperinci dan sistematis.

A.    KEKUASAAN
A.1.     PENGERTIAN KEKUASAAN
Kekuasaan merupakan kekuatan atau kesanggupan untuk mengarahkan orang melaksanakan kiprah dan tanggungjawabnya. Soerjono Soekanto, kekuasaan diartikan selaku suatu kesanggupan untuk mensugesti pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. (Abdulsyani, 2007:136). Kekuasaan berafiliasi dengan sikap orang untuk menuruti kehendaknya sehingga kekuasaan menuntut suatu kepatuhan.
Robert Mac Iver menyampaikan bahwa kekuasaan merupakan kesanggupan untuk mengendalikan tingkah laris orang lain baik secara eksklusif dengan jalan memberi perintah/dengan tidak eksklusif dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yang tersedia. Kekuasaan lazimnya berupa hubungan, ada yang memerintah dan ada yang diperintah. Manusia berlaku selaku subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Kekuasaan acap kali dipengaruhi oleh politik, lantaran pada realitanya kekuasaan itu akan mendominasi dari pihak satu ke pihak yang lain yang lebih berkuasa.
Menurut Max Weber, di dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft (Tubingen, Mohr, 1922): Kekuasaan merupakan kesanggupan untuk, dalam suatu korelasi sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kesanggupan ini. Dalam hal ini Max Weber mengartikan kekuasaan itu merupakan suatu kesanggupan untuk bikin orang lain mau menemukan dan melaksanakan apa yang menjadi kemauan kita walau mungkin hal tersebut tidak disetujui, bahkan ditentang. Sedangkan menurut Bertrand Russe, (terjemahan Hasaan Basari, Kekuasaan: suatu analisis sosial baru, 1988) menyampaikan bahwa: Kekuasaan sanggup didefenisikan selaku hasil efek yang diinginkan. Sehingga sanggup ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan itu selaku suatu konsep kuantitatif. Setiap bentuk kekuasaan itu akan ada yang lebih mendominasi, walau mungkin tak sanggup dibilang bahwa salah satu dari yang bersaing lebih berkuasa, tetapi secara berangasan atau pandangan dasar, akan ada salah satu mempunyai kekuasaan yang lebih banyak.

A.2.     JENIS-JENIS KEKUASAAN
Thoha (2009:332-333) mengemukan perihal kemajuan sumber kekuasaan dari persepsi French dan Raven. Dalam observasi lanjutannya Raven melakukan pekerjaan sama dengan Kruglanski menyertakan kekuasaan keenam yakni kekuasaan keterangan (information power). Berikutnya pada tahun 1979, Hersey dan Goldsmith merekomendasikan kekuasaan yang ketujuh yakni kekuasaan korelasi (connection power).
Di bawah ini diterangkan masing-masing sumber kekuasaan baik dari French maupun Raven, dan penambahan dari beberapa andal menyerupai Hersey dan Goldsmith yang berjumlah tujuh sumber kekuasaan selaku berikut:
a)      Kekuasaan Penghargaan (Reward Power)
Kekuasaan penghargaan merupakan kekuasaan yang berasal dari kesanggupan seorang pemimpin untuk menyediakan penghargaan, yang merupakan sesuatu yang mempunyai arti dan dibutuhkan, terhadap mereka yang membutuhkan. Dengan kata lain, kekuasaan penghargaan berhubungan dengan kesanggupan seorang pemimpin untuk menggerakan bawahan dengan menyediakan ganjaran atas sikap mereka yang positif atau sikap yang sesuai dengan yang dikehendaki pemimpin.
Letak kekuatan dari kekuasaan ini bergantung pada daya pikat dan tingkat kepastian akan kendali seorang pemimpin atas ganjaran tersebut. Yulk (2010:178) mengemukakan salah satu bentuk kekuasaan menyediakan penghargaan terhadap bawahan merupakan kewenangan menyediakan peningkatan gaji, bonus, atau insentif ekonomi yang layak bagi bawahan.


b)  Kekuasaan Paksaan (Coercive Power)
Luthans (1989:431) mengemukakan ‘source of coercive power depends on fear’. Kekuasaan paksaan merupakan kekuasaan yang berasal dari cemas pihak lain akan eksekusi yang diberikan pimpinan terhadap mereka yang tidak patuh terhadap apa yang dikehendakinya. Dengan kata lain, kekuasaan paksaan merupakan kesanggupan pemimpin untuk menggerakan sikap bawahan dengan menyediakan hukuman atas langkah-langkah mereka yang tidak cocok dengan kehendak pemimpin. Kekuatan kekuasaan ini terletak pada beratnya eksekusi dan kemungkinan untuk menyingkir dari eksekusi itu.

c)  Kekuasaan Legitimasi (Legitimate Power)
Kekuasaan legitimasi merupakan kekuasaan yang lahir dari kedudukan formal seseorang dalam organisasi. Dengan jabatan formal tersebutlah seorang pemimpin sanggup menggerakan bawahannya untuk patuh kepadanya. Bawahan mengenali bahwa pimpinan mempunyai hak untuk menyediakan perintah dan mereka mempunyai keharusan untuk mentaatinya. Kekuasaan legitimasi ini merupakan sumber kewenangan (Hoy, 2007: 203).

d)  Kekuasaan Referen (Referent Power)
French dan Raven (dalam Yulk, 2010:181) menerangkan kekuasaan menurut acuan diperoleh dari impian orang lain untuk mengasyikkan seorang atasan yang kepadanya mereka mempunyai perasaan kasih, penghormatan, dan kesetiaan yang kuat. Kekuasaan referen/referensi merupakan kekuasaan yang lahir lantaran seorang atasan mempunyai pesona atau kharisma tertentu.Dengan kata lain, kekuasaan referen merupakan kesanggupan atasan untuk menggerakan sikap bawahan menurut hobi dan kenali diri bawahan terahdap atasannya. Orang yang mempunyai kekuasaan referen akan dikagumi, dihormati, dan dijadikan versi untuk diteladani. Sumber kekuasaan referen merupakan kepribadian dan kecerdasan interpersonal yang hebat yang dimiliki seorang individu.


e)  Kekuasaan Ahli (Expert Power)
Kekuasaan andal merupakan kekuasaan yang timbul lantaran seseorang mempunyai keahlian atau kesanggupan khusus (Hoy dan Miskel, 2005:210). Setiap pengikut akan patuh pada apa yang dibilang atasannya lantaran merasa bahwa ia mempunyai pengetahun dan kemampuan yang lebih dari yang mereka miliki dan bahwa apa yang dimiliki tersebut akan bermakna dan menolong mereka. Yulk (2010:183) mengidentifikasi bukti dari keahlian seseorang sanggup terlihat dari ijazah, lisensi, dan piagam penghargaan. Akan tetapi, bergotong-royong cara yang paling menyakinkan dalam menampilkan keahlian yakni dengan menyelesaikan problem penting, bikin keputusan yang tepat, menyediakan isyarat yang bagus, dan sukses menyelesaikan tantangan dari proyek yang sungguh sulit.

f)  Kekuasaan Informasi (Information Power)
Kekuasaan keterangan berhubungan dengan kendali informasi. Tipe kekuasaan ini melibatkan susukan terhadap keterangan vital dan kendali atas distribusi keterangan terhadap orang lain (Pettigrew dalam Yulk, 2010:184). Beberapa susukan keterangan merupakan hasil dari kedudukan seseorang dalam jaringan komunikasi dalam organisasi. Pemimpin yang mengendalikan arus keterangan vital mengenai insiden di luar organisasi mempunyai peluang untuk menginterpretasikan insiden ini untuk bawahan dan mensugesti persepsi dan sikap mereka (Kuhn dalam Yulk 2010:184). Sebagai pola seorang wakil kepala sekolah bidang fasilitas dan prasarana mensugesti kepala sekolah dalam penyeleksian komputer gres dengan menyediakan keterangan yang mendukung salah satu opsi dan menilai yang lain tidak baik.

g)  Kekuasaan Hubungan (Connection Power)
Kekuasaan korelasi merupakan kekuasaan yang timbul lantaran seseorang mempunyai korelasi yang kokoh dengan atasan/pimpinan. Kekuasaan ini sanggup timbul lantaran adanya kedekatan emosional yang hendak mempermudah dalam berkomunikasi antara bawahan dan atasan.

Selanjutnya Hoy dan Miskel (2005:210) dan Robbins (2005:137) menggolongkan yang tergolong lima tipe kekuasaan menurut French dan Raven menjadi dua kategori, yakni organisasi dan pribadi. Reward, coercive, dan legitimate power merupakan klasifikasi organisasi, sedangkan expert dan referent power bergantung pada tingkat kedudukan personal/pribadi dalam organisasi menyerupai kepribadian, gaya kepemimpinan, pengetahuan, dan kemampuan diri individu.
Dari observasi yang sudah dilakukan, expert power dan referent power menampilkan korelasi yang positif dengan kepuasan karyawan berhubungan dengan supervisi, kontrak organisasi, dan kinerja mereka. Sebaliknya reward power dan legitimate power tidak berafiliasi dengan kepuasan karyawan berhubungan dengan supervisi, kontrak organisasi, dan kinerja mereka. Sementara coercive power, menampilkan korelasi yang negatif dengan kepuasan dan kontrak karyawan. (Robbins dan Judge, 2007: 419).
Kekuasaan tak cuma dimiliki oleh pemimpin selaku seorang individu, kekuasaan juga sanggup dimiliki oleh sekelompok orang yang dinamakan Sumber Kekuasaan Struktural atau sering disebut juga Inter-departmental Sources of Power (Inter-group Sources of Power). Sumber dan penggunaan kekuasaan pada tingkat kelompok, khususnya departemen yang ada di dalam suatu organisasi mempunyai nilai yang tinggi dalam studi perihal sikap organisasi. Saunders, 1990 (Brooks, 2006) dalam jurnal Kekuasaan dan Taktik Mempengaruhi Orang Lain Dalam Organisasi (Marianti, 2011) menyampaikan bahwa kekuasaan pada tingkat departemen atau kalangan sanggup berasal dari 5 sumber yang potensial, yang mungkin saja saling tumpang-tindih (overlap), yaitu:
1.       Ketergantungan (Dependency). Jika departemen A bergantung pada departemen B untuk keterangan atau koordinasi yang lain untuk sanggup melakukan tugasnya dengan efektif, maka departemen B mempunyai sumber kekuasaan terhadap departemen A.
2.       Kesentralan (Centrality). Ini merupakan ukuran tingkat pentingnya suatu departemen melakukan pekerjaan untuk tujuan utama organisasi. Secara alternatif sanggup dianggap selaku suatu ukuran seberapa besar departemen tersebut tidak diperlukan oleh organisasi tersebut. Semakin penting departemen tersebut bagi organisasinya, maka akan kian besar kekuasaannya.
3.       Sumber Dana (Financial Resources). Departemen yang menciptakan sumber dana sendiri, khususnya jikalau mereka bisa menciptakan pendapatan lebih besar dibandingkan departemen lainnya, akan menemukan laba dari sumber kekuasaan ini.
4.       Ketidak-berlanjutan (Non-Sustainability). Berhubungan dengan tingkat pentingnya departemen tersebut. Keberlanjutan merupakan suatu ukuran seberapa gampang fungsi dari departemen tersebut digantikan oleh yang lain. Departemen yang gampang ditutup lantaran sanggup digantikan fungsinya, akan mempunyai kekuasaan yang rendah.
5.       Menghadapi ketidak-pastian (Coping with uncertainty). Departemen yang mempunyai kesanggupan menurunkan ketidak-pastian bagi departemen yang lain, akan mempunyai kekuasaan yang lebih besar.
Dalam organisasi departemen yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi akan mempunyai daya tawar dan efek yang lebih besar dibandingkan departemen yang kekuasaannya lebih rendah.

B.     KEWENANGAN
B.1.     PENGERTIAN KEWENANGAN
Kewenangan merupakan hak yang dimiliki pimpinan atau pejabat tertentu untuk mengambil keputusan, melaksanakan langkah-langkah atau meninggalkan suatu langkah-langkah (Hikmat, 2009: 265).
Kewenangan dimaksudkan selaku suatu hak yang sudah ditetapkan dalam tata tertib sosial untuk menentukan kebijaksanaan, menyeleksi keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah penting, dan untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangann. Dengan kata lain, seseorang yang mempunyai kewenangan bertindak selaku orang yang memimpin atau membimbing orang banyak. Apabila orang membicarakan perihal kewenangan, maka yang dimaksud merupakan hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang. Tekanannya merupakan pada hak, dan bukan pada kekuasaan. Dipandang dari sudut masyarakat, kekuasaan tanpa kewenangan merupakan kekuatan yang tidak sah. Kekuasaan mesti menemukan ratifikasi dan ratifikasi dari penduduk agar menjadi kewenangan.
Sedangkan menurut Newman dalam Fattah (2006: 75) kewenangan merupakan hak kelembagaan menggunakan kekuasaan.
Menurut Robert Bierstedt dalam karangannya An Analysis of Social Power menyampaikan bahwa kewenangan/kewenangan merupakan institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan). Kekuasaan yang datang dan sudah ada pastinya memerlukan suatu faktor penunjang lain dalam pelaksanaannya, dan pastinya juga butuh suatu pengaturan yang terencana sehingga tidak amburadul dan tidak terang mana yang mempunyai hak berkuasa dan mana yang tidak.
Hampir sama dengan yang apa disampaikan oleh Robert Bierstedt, Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan dalam buku Power and Society menyampaikan bahwa kewenangan itu merupakan kekuasaan yang formal. Formalnya suatu kekuasaan bikin kekuasaan mempunyai kewenangan dan hak untuk mengeluarkan perintah dan bikin peraturan serta mempunyai kewenangan untuk menyediakan hukuman bila aturan atau perintah tersebut dilanggar dan tidak dilaksanakan. Namun, walau sudah ada kekuasaan dan sudah dilembagakan atau sah, masih ada faktor lain untuk sanggup dengan efektif dan meminimalkan pemaksaan dan kekerasan dalam pelaksanaannya. Sebuah kekuasaan pastinya mesti mempunyai ratifikasi atau keabsahan. Keabsahan merupakan kepercayaan anggota-anggota penduduk bahwa kewenangan yang ada pada seseorang, kelompok, atu penguasa merupakan masuk akal dan patut dihormati.
Bolman dan Deal (dalam Hoy dan Miskel 2005:203) beropini bahwa kewenangan merupakan salah satu dari bentuk kekuasaan. Organisasi diciptakan dan diatur oleh kewenangan tergolong di dalamnya penentuan tujuan, desain struktur, pengaturan pegawai, dan monitor acara untuk meraih tujuan organisasi. Pemimpin yang mempunyai kewenangan eksklusif terhadap seorang target mempunyai hak untuk bikin seruan yang konsisten dengan kewenangannya, seseorang yang menjadi target itu mempunyai keharusan untuk mematuhinya. Sehingga kewenangan berlainan dengan kekuasaan, lantaran kewenangan terdapat legitimasi dan penerimaan. Kewenangan sanggup berlangsung di saat ada kepercayaan (norma) dalam suatu legitimasi sekolah dengan menggunakan kekuasaan yang benar dan tepat.

B.2.     JENIS-JENIS KEWENANGAN
Menurut Newman dalam Fattah (2006: 75) kewenangan dibedakan menjadi:
a)      Kewenangan hukum, yakni kewenangan yang dimiliki seseorang untuk menegakkan hukum, mewakili dan bertindak atas nama organisasi, 
b)      Kewenangan teknis, yakni seseorang dianggap pakar pada suatu hal,
c)      Kewenangan berkuasa, yakni sumber utama yang berhak melaksanakan tindakan,
d)     Kewenangan operasional, yakni seseorang diperbolehkan melaksanakan langkah-langkah tertentu.

Weber (dalam Hoy dan Miskel, 2005:204) membedakan tiga jenis kewenangan, yakni karismatik, tradisional, dan legal (sah).
Max Weber membagi kewenangan atas tiga jenis yakni kewenangan karismatik, kewenangan tradisional dan kewenangan legal (Hoy, 2007: 204):
1.      Kewenangan karismatik, lahir lantaran adanya kepercayaan anggota penduduk pada seorang individu pemimpin yang mempunyai keampuhan hebat atau keutamaan-keutamaan pribadi. Kewenangan karismatik ini acap kali tidak rasional, emosional dan sepenuhnya bergantung pada karakteristik dan mutu pribadi pemimpin.
2.      Kewenangan tradisional merupakan kewenangan yang didasarkan pada kepercayaan akan kesucian kedudukan pemimpin. Karena argumentasi itu, kedudukan pemimpin merupakan sesuatu yang patut dihormati. Ketaatan pada kewenangan ini merupakan suatu tradisi yang diwariskan turun temurun.
3.      Kewenangan legal merupakan kewenangan yang didasarkan pada aturan dan diperoleh secara formal lewat mekanisme yang benar. Dengan kata lain, kedudukan seorang pemimpin mempunyai dasar rasional dan dasar hukum. Ketaatan bawahan terhadap pemimpin tidak terletak pada pribadi atau kedudukan pemimpin melainkan pada hukum.

Robert Peabody (dalam Hoy dan Miskel, 2005:205) membedakan kewenangan menjadi kewenangan formal, fungsional, dan informal. Blau dan Scott (dalam Hoy dan Miskel, 2005:205) menyediakan klarifikasi yang ringkas yakni formal atau informal menurut pada sumber legitimasi dari kekuasaan.
1.      Kewenangan formal berada dalam organisasi dan secara legal ditetapkan dalam posisi, peraturan, dan ketentuan. Dalam batas tertentu, pihak organisasi (pemimpin) berhak untuk menyediakan perintah sementara para bawahan wajib untuk mentaati perintah tersebut.
2.      Kewenangan fungsional merupakan kewenangan yang berasal dari banyak sekali sumber menyerupai kompetensi dan kepribadian individu. Kompetensi ini tidak dibatasi oleh posisi atau kedudukan sesorang. Kemampuan teknis sanggup juga menjadi sumber kendali dan perintah yang legal dalam suatu organisasi formal tanpa suatu kedudukan tertentu.
3.      Kewenangan informal merupakan kewenangan yang bersumber dari sikap pribadi dan atribut tertentu yang dimiliki individu. Di luar dari suatu kedudukan formal, beberapa anggota organisasi tertentu membentuk suatu norma kesetiaan untuk mendudukung rekan mereka. Norma yang informal ini mendukung dan melegitimasikan kekuasaan dan menyediakan suatu kewenangan informal.

A.                KEKUASAAN DAN KEWENANGAN PEMIMPIN ORGANISASI PENDIDIKAN PADA PRAKTIKNYA
Seperti di organisasi lainnya, menjalankan kiprah pemimpin di organisasi kependidikan juga sama menantangnya. Kepala sekolah selaku pemimpin di suatu di suatu satuan pendidikan, hendaknya menjadi individu yang senantiasa belajar. Kekuasaan dan kewenangan selaku kepala sekolah jangan hingga dijadikan selaku tujuan tamat dari proses pengembangan dirinya.
Saat menjalankan kiprah kepemimpinan di sekolah, kadangkala kepala sekolah menemui halangan dalam penerimaan bawahannya terhadap kewenangan yang  ia gunakan. Ini lazimnya dihadapi oleh kepala sekolah yang gres memimpin. Kendala tersebut sanggup berupa respon negatif dari para guru terhadap kewenangan kepala sekolah tersebut. Sebuah observasi dilaksanakan oleh Peabody di suatu Sekolah Dasar mengindentifikasikan sembilan jenis respon negatif terhadap kewenangan kepala sekolah, yaitu
1.      Guru mempertanyakan perintah, tetapi tetap menjalankan tugas.
2.      Guru menyodorkan usulan terhadap kepala sekolah perihal kiprah yang diberikan untuk menyamakan persepsi, sementara kiprah tetap dilakukan.
3.      Guru mendiskusikan keadaan lapangan selaku kerja keras untuk merubah kiprah yang diberikan, tetapi kiprah tetap dilakukan.
4.      Guru menghimpun rekan kerja untuk mencari santunan terhadap usulan mereka atas kiprah yang diberikan.
5.      Guru mencari santunan  atasan lain dalam hirarki organisasi utuk mendukung usulan mereka.
6.      Guru menjajal mendiskusikan kiprah yang diberikan, tetapi ia mengabaikan, menghindari, atau menjajal memodifikasi kiprah yang diberikan agar kelihatan tetap patuh.
7.      Guru mengabaikan, menghindari, atau menjajal memodifikasi kiprah yang diberikan tanpa mendiskusikannya.
8.      Guru terang-terangan menolak kiprah yang diberikan.
9.      Guru mengajukan mutasi atau pengunduruan diri.
Saat menghadapi respon negatif menyerupai di atas, kepala sekolah kebanyakan murka dan menjadi defensif. Secara manusiawi, reaksi emosional tersebut masuk akal dan sanggup dipahami. Namun, kepala sekolah yang baik, hendaknya lekas mengendalikan diri agar terhindar dari kecenderungan untuk memperburuk situasi. Dan suatu respon negatif dapat menjadi masukan bagi sekolah selama alasannya sanggup dipertanggungjawabkan.
Di bawah ini beberapa kiat yang dituliskan dalam buku School Leadership and Administration (Snowden-Gorton, 2003) untuk kepala sekolah dalam menghadapi respon negatift:
1.      Menganalisis argumentasi di balik respon negatif. Kepala sekolah sanggup melaksanakan diskusi untuk menyingkir dari kesalahpahaman.
2.      Melakukan introspeksi dan penilaian diri terhadap penggunaan kewenangannya.
3.      Kepala sekolah berperan dalam pengembangan diri guru-gurunya, untuk itu ia perlu menerangkan terhadap guru mengenai faedah dari kiprah yang sekolah berikan untuk pengembangan diri guru tersebut.
4.      Menghindari kata “seharusnya” di saat berdiskusi. Kata “seharusnya” memberi kesan kaku dan angkuh.
5.      Berusaha menampilkan sikap ingin menolong alih-alih bersikap senantiasa menuntut solusi tugas.
6.      Jelaskan setiap kiprah dengan spesifik, ketidakjelasan lah yang kadang menjadi sumber salah paham.
7.      Bersiap menemukan kritik.
Chester Barnard dalam buku School Leadership and Administration (Snowden-Gorton, 2003) mengungkapkan analisisnya mengenai problem kewenangan dalam organisasi, menurutnya seseorang akan bisa menemukan kewenangan pemimpinnya di saat empat keadaan ini terpenuhi: 1) di saat orang tersebut mengetahui perintah, 2) di saat orang tersebut percaya bahwa perintah yang diberikan pimpinannya sejalan dengan tujuan organisasi, 3) di saat orang tersebut menyaksikan adanya faedah dari perintah yang diberikan oleh pimpinannya, dan 4) di saat orang tersebut siap secara mental dan fisik untuk melaksanakan perintah.
Dalam penggunaan kekuasaan dan wewenang, kepala sekolah juga mesti mengetahui guru-guru yang ia pimpin. Dalam organisasi pendidikan, guru-guru tidak dapat dianggap selaku bawahan atau karyawan yang melakukan pekerjaan untuk majikannya, tetapi mereka mesti dianggap selaku para professional, mempunyai keahlian dan otonomi yang mesti dihormati. Teacher Empowerment atau pemberdayaan guru menyerupai dibilang dalam buku School Leadership and Administration, halaman 60 (Snowden-Gorton, 2003) merupakan Giving teachers greater power is a major way to make them more professional and to improve their performance.” Guru mesti diberi kiprah dalam menyeleksi kebijakan, dan melakukan pekerjaan dalam korelasi kolegial, “sharing power” dengan kepala sekolah. lewat korelasi menyerupai ini, kepala sekolah menjadi fasilitator dari pencapaian tujuan sekolah.
Pemberdayaan guru mempunyai arti memberi ruang bagi guru untuk menimbulkan gagasan. Hal ini akan menghidupkan harga dirinya selaku pendidik profesional. Saat guru kian berdaya, ia akan siap menemukan banyak sekali tanggung jawab dan tidak melulu menyalahkan kepala sekolah atas masalah-masalah yang terjadi di sekolah. Agar siap menemukan tanggung jawab, tentu guru tersebut mesti menemukan training yang sesuai agar ia bisa melaksanakan pengambilan keputusan (decision making).
Sebelumnya sudah disebutkan bahwa kekuasaan yang menampilkan korelasi yang positif dengan kepuasan karyawan berhubungan dengan supervisi, kontrak organisasi, dan kinerja mereka merupakan expert power dan referent power. Snowden dan Gorton menggolongkan kekuasaan ke dalam perumpamaan efek (influence). Snowden dan Gorton menilai perumpamaan Influence lebih bermakna positif dibandingkan Power. Mereka juga menilai maknanya lebih selaras dengan konsep pendidikan.
            Influence sanggup diartikan “kemampuan seseorang untuk mensugesti sikap orang lain tanpa paksaan dan tekanan.” Seseorang dibilang kokoh jikalau ia didengarkan oleh orang lain walaupun ia tidak mempunyai kewenangan atau kekuasaan formal. Sumber kekuatan dari efek seseorang di antaranya: referent (citra positif), expertise (keahlian khusus), dan reward (balas jasa/imbalan).
Lacayo (1996) dalam buku School Leadership and Administration (Snowden-Gorton, 2003) menyebutkan dua mutu yang mesti dimiliki seorang pemimpin
Yang pertama; mempunyai visi yang memberi ide dan diikutii tanpa keraguan.
Yang kedua; mempunyai kesanggupan membangun kekerabatan dengan orang-orang dan merubah persepsi mereka terhadap dunia.
To have influence is to gain assent, not just obedience; to attract a following, not just an entourage; to have imitators, not just subordinates. Power gets its way. Influence makes its way.”
“Pemimpin yang kokoh menerima persetujuan, bukan cuma ketaatan; menawan pengikut, bukan cuma rombongan; mempunyai kader, bukan cuma bawahan. Power memaksakan suatu cara. Influence menyetujui suatu cara.”

A.    KESIMPULAN
Seperti suatu senjata, kekuasaan dan kewenangan bergantung pada siapa yang mengendalikannya. Ia akan menjadi hal positif, menguntungkan dan berfaedah manakala penggunanya merupakan orang yang tepat, tetapi hasil sebaliknya akan diperoleh jikalau dipegang oleh orang yang salah.
Kekuasaan tanpa kewenangan merupakan kekuatan yang tidak sah. Kekuasaan mesti menemukan ratifikasi dan ratifikasi dari penduduk agar menjadi kewenangan.
Dalam kewenangan senantiasa terdapat power dan responsibility untuk meraih tujuan, tetapi power tidak senantiasa dibarengi oleh authority dan responsibility. Makara authority-lah yang paling menjamin tercapainya tujuan, lantaran authority mencipatakan power dan right (Boki, 2014).

B.     SARAN
Sebagai konsekuensi dari posisi mereka dalam suatu organisasi kependidikan, seorang kepala sekolah diamanahi tanggung jawab yang besar. Untuk menunjang kesuksesan pelaksanaan tanggung jawab tersebut, ia hendaknya menggunakan kekuasaan, kewenangan, serta pengaruhnya secara efektif.





DAFTAR PUSTAKA

1.      Abdulsyani. (2007). Sosiolog: Skematika, Teori, Dan Terapan. Jakarta: Bumi aksara

2.      Boki, C. (2014, Agustus 28). Kekuasaan dan Kewenangan. Dipetik Oktober 15, 2017, dari blogspot.co.id: http://cherryboki.blogspot.co.id

3.      Lawo, Arif. 2012. Kekuasaan, Kewenangan dan Legitimasi. (https://arifcintaselvia.wordpress.com/kuliah/pipol-pengantar-ilmu-politik/kekuasaan-kewenangan-dan-legitimasi/). Diakses pada, Rabu 11 Oktober 2017
4.      Lestari, Desi. 2013. Kekuasaan dan Kewenangan dalam Pandangan Administrasi Pendidikan.
5.      Marianti, M. M. (2011). Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Bisnis. Kekuasaan dan Taktik Mempengaruhi Orang, Vol.7, No.1.
6.      Robbins, S. P. (1994). Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi. (J. Udaya, Penerj.) Jakarta, Indonesia: Arcan.
7.      Snowden-Gorton, P. E. (2003). Authority, Power, and Influence. Dalam School Leadership and Administration (6th ed., hal. 51-68). Stanford, USA: The McGraw-Hill Companies.
8.      Trihantoyo, Syunu. 2014. Power Dalam Kepemimpinan. (https://syunutrihantoyo.wordpress.com/2014/06/06/power-dalam-kepemimpinan-3/). Diakses pada, rabu 11 Oktober 2017
9.      Veithzal Rivai Zainal, M. D. (2014). Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers.
10.  (https://www.academia.edu/10071601/Kekuasaan_dan_Kewenangan_dalam_Pandangan_Administrasi_Pendidikan). Diakses pada, 11 Oktober 2017


Related : Teori Organisasi Power And Authority

0 Komentar untuk "Teori Organisasi Power And Authority"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)