Bersyukur Itu Menerima Diri Sendiri




Ada teman dekat saya yang dengan sinis mengatakan,”Bersyukur itu ndingkluk. Artinya merendahkan patokan prospek kita. Dengan begitu, kita akan merasa bahwa kita sudah memperoleh lebih. Lalu kita merasa senang.”

Contohnya, kita lihat orang-orang miskin, atau orang-orang yang hidupnya menderita. Lalu kita lihat diri kita, ternyata kita lebih baik. Lalu kita merasa senang. Itulah bersyukur.
Pernah saya temukan meme yang menjengkelkan. Isinya ihwal anak yang (terpaksa) berjualan, untuk menyambung hidupnya. Meme diakhiri dengan pertanyaan, masihkah kau tidak bersyukur?
Lha, apa hubungannya? Orang diajak bersyukur setelah menyaksikan penderitaan orang lain. Bersyukur artinya merasa bahagia bahwa kita tidak menderita seumpama dia. Syukur macam apa itu?
Suruhan untuk bersyukur juga sering tiba saat seseorang tidak puas dengan keadaannya. “Sudah, jangan banyak menuntut, syukuri yang sudah kau dapat!”
Apakah bersyukur memiliki arti bahwa kita dilarang berharap memperoleh yang lebih baik lagi? Apakah mengharapkan yang lebih baik senantiasa memiliki arti bahwa kita tidak bersyukur atas apa yang kita dapat?
Bagi saya, bersyukur tidak begitu maknanya. Bersyukur itu menyadari diri kita sendiri. Coba lihat diri kita. Kita punya tubuh, seadanya tubuh kita ini. Kita punya 2 tangan, 2 kaki, dan banyak sekali organ lain.
Ada yang cuma punya 1 tangan, atau bahkan tak punya tangan. Juga ada yang cuma punya 1 kaki, atau tak punya kaki. Setiap orang mengerti dirinya, secara apa adanya. Inilah saya. Saya merupakan saya, bukan orang lain.
Lalu, kita lihat diri kita lebih lanjut. Apa lagi yang kita miliki? Ada yang pandai matematika. Ada yang pandai main musik. Ada pula yang besar lengan berkuasa badannya, bisa lari cepat, lari jauh, atau besar lengan berkuasa mengangkat barang. Masing-masing orang punya kelebihan. Temukan keunggulan kita sendiri.
Banyak orang yang tidak tahu apa kelebihannya. Ia menjadi orang yang biasa saja, atau bahkan menilai dirinya terbelakang. Lalu ia menjadi rendah diri. Ia tak merasa patut bangun bareng insan lain. Ia mungkin protes pada Tuhan. “Kenapa Kauciptakan saya seumpama itu?”
Protes itu tak akan pernah merubah keadaannya. Yang akan merubah kondisi merupakan cara beliau menatap dirinya sendiri.
Pernah saya lihat program di TV Jepang. Acara ini memberi peluang terhadap orang-orang yang merasa ada pecahan tubuhnya yang ingin ia ubah. Setelah diseleksi, yang disetujui akan didanai untuk melakukan operasi plastik.
Dalam sebuah episode, ada gadis terpelajar balig cukup akal yang merasa mukanya jelek. Ia ingin operasi plastik. Para pengisi program itu tidak serta merta meluluskan permintaannya. Yang “dioperasi” justru mental gadis itu. Dengan sedikit polesan kosmetik, mereka sukses menciptakan gadis itu tampil cantik. Ia diyakinkan bahwa ia sama sekali tidak jelek. Kemudian ia menjadi percaya diri.
Begitulah. Kita sering lebih sensitif mendapatkan kekurangan-kekurangan kita, dibandingkan dengan mendapatkan keunggulan kita. Kita lebih sering menjajal menyembunyikan kekurangan, dibandingkan dengan menyampaikan kelebihan.
Saking sibuknya kita dengan kekurangan, kita merasa bahwa diri kita sarat dengan kekurangan. Kita gagal mendapatkan keunggulan kita. Lalu kita mengeluh, protes pada Tuhan.
Bahkan, ada orang yang merasa dirinya memiliki kekurangan. Padahal yang ia anggap kelemahan itu merupakan keunggulan bagi orang lain. Misalnya, ada orang jangkung yang terus membungkuk, alasannya merupakan merasa jangkung itu jelek. Padahal ada terlalu banyak orang yang ingin jangkung.
Jadi, bersyukur itu sekali lagi, merupakan soal mengerti diri kita, mendapatkan keunggulan kita, menyadari bahwa itu keunggulan, bukan kekurangan. Bahkan orang yang tangannya cuma satu pun bisa memunculkan satu tangannya itu selaku keunggulan.
Mungkin ada Anda pernah menyaksikan anak Korea yang tangannya tak utuh, menjadi pemain piano yang hebat. Ia pasti lebih andal dari pada biasanya kita yang punya tangan lengkap. Ia tidak saja sukses mengalahkan “kekurangannya”, namun justru memunculkan tangannya itu selaku sentra keunggulannya.
Perhatikan juga orang-orang di sekeliling kita. Orang tua, saudara, teman, guru, dan siapapun yang mengasihi kita. Mereka semua tidak sempurna. Ada saja hal yang menciptakan kita tak puas terhadap mereka.
Tapi mereka semua memberi kita energi yang luar biasa, untuk menikmati hidup ini. Jangan berharap mereka akan sempurna, alasannya merupakan kita juga tidak sempurna.
Lalu, berikutnya bagaimana? Asahlah terus keunggulan kita itu. Manfaatkan untuk menciptakan hal-hal yang baik, berharga bagi diri kita sendiri. Banyak-banyaklah berbuat baik, hingga perbuatan baik kita itu dicicipi oleh banyak orang.
Perbuatan baik, menciptakan hal baik, akan memperbesar keunggulan yang tadinya sudah kita punya. Ia juga akan menciptakan energi yang lebih besar untuk berbuat kebaikan lebih banyak lagi.

Ingat, bersyukur itu bukan mencari kelemahan orang lain yang tak ada pada kita. Bersyukur itu merupakan mendapatkan keunggulan pada diri kita, memanfaatkannya, menikmatinya, tanpa merendahkan orang lain.

Related : Bersyukur Itu Menerima Diri Sendiri

0 Komentar untuk "Bersyukur Itu Menerima Diri Sendiri"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)