Perdamaian dunia merupakan tujuan utama dan misi kemanusiaan. Hampir setiap orang mendambakan perdamaian dan menentang peperangan. Walaupun dianggap tidak menyenangkan, perang tidak sanggup dihindari. Dalam sejarah Barat, pertanyaan yang terus menerus diajukan yaitu dapatkan penggunaan kekerasan dibenarkan secara moral untuk melindungi dan melestarikan nilai-nilai? Adakah situasi atau kondisi tertentu sanggup membunuh seseorang sebagai suatu tuntutan moral? Bila membunuh sanggup dibenarkan, apakah batasan-batasan moral yang sanggup diberikan? Sehingga muncul keyakinan yang mengatur perang yang dianggap sah, yaitu suatu upaya untuk membenarkan peperangan dengan melindungi mereka yang tidak bersalah, meminimalkan kematian, dan melaksanakan perang dalam batas-batas yang telah ditetapkan.
Dalam sejarah kristen, doktri perang kali pertama diajukan oleh Santo Augustinus yang pada pada dasarnya berisi melindungi orang tidak bersalah dari ancaman perang. Selain itu, keyakinan Katolik perihal perang mengambil teladan dari Kitab Ulangan 20:8. Ayat ini memungkinkan siapapun yang tergabung dalam militer untuk pulang sebelum pertempuran berlangsung apabila mereka tidak bermaksud berperang dalam suatu pertempuran.
Doktrin perang meliputi tiga tempat besar, yaitu Jus ad Bellum, Jus in Bello, Jus Post Bellum, Jus ad Bellum menjawab pertanyaan yaitu kapan suatu perang dianggap sah. Dengan demikian, semoga suatu perang sanggup dianggap sah maka ia harus memenuhi kriteria, yaitu perang hanya boleh dipakai untuk memperbaiki suatu kejahatan publik atau sebagai upaya pembelaan diri.
Jus in Bello yaitu keyakinan perang ketika perang sedang berlangsung. Suatu perang dianggap sah dalam fase Jus in Bello yaitu jikalau memakai prinsip-prinsip pemilahan (diskriminatif) artinya jangan dipukul rata. Perang harus diarahkan kepada pelaku tindakan yang salah, dan bukan kepada warga sipil yang terjebak dalam keadaan-keadaan yang tidak mereka ciptakan. Dengan demikian pengeboman terhadap daerah hunian warga sipil sangat tidak dibenarkan, begitu pula melarang penggunaan senjata pemusnah massal dari jenis apapun.
Doktirn Jus in Bello juga memutuskan bahwa perang harus proporsional, yaitu penggunaan kekuatan harus sesuai dengan kesalahannya, dan jikalau memperoleh tawanan perang maka harus diperlakukan dengan penuh hormat.
Jus Post Belllum mengatur perihal proses mengakhiri perang, dan transisi dari perang menuju perdamaian. Sebuah negara sanggup mengakhiri suatu peperangan apabila pembalasan terhadap hak-hak yang dibelanya sudah terpenuhi. Agresor bersedia merundingkan syarat-syarat penyerahan dan syarat-syarat penyerahan itu meliputi permintaan maaf yang resmi, pembayaran ganti rugi, pengadilan terhadap kejahatan-kejahatan perang, dan persetujuan rehabilitasi. Suatu negara hanya boleh mengakhiri suatu peperangan di bawah kondisi-kondisi yang telah disepakati dan pembalasan dendam tidak diizinkan.
Dalam Islam, keyakinan atau aturan perang lebih rinci lagi. Istilah perang (qital) sering disalah tafsirkan dengan makna jihad, Padahal jihad tidak identik dengan perang. Menurut Ensikopedi Wikipedia Indonesia, jihad yaitu berjuang dengan sungguh-sungguh. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia, yaitu menegakkan agaman Allah (Din Allah) atau menjada Din tetap tegak, dengan cara-cara yang sesuai dengan garis usaha para Rasul dan Al Quran, Jihad yang dilaksanakan Rasul yaitu berdakwah semoga insan meninggalkan kemusrikan da kembali kepada aturan Allah, menyucikan kalbu, memperlihatkan pengajaran kepada umat dan mendidik insan semoga sesuai dengan tujuan penciptaan mereka, yaitu menjadi Khalifah Allah di bumi, Berdasarkan batasan di atas tidak ada makna jihad diarahkan untuk berperang.
Islam tidak mengenal istilah perang suci (holy war). Perang sanggup dilaksanakan oleh umat Islam jikalau terjadi serangan dari luar yang membahayakan eksistensi umat Islam. Perang tidak bisa dibenarkan untuk menyerang orang-orang yang telah tunduk kepada aturan Allah dan atau mereka yang telah mengadakan perjanjian damai. Semasa kepemimpinan Nabi Muhammad saw hingga Khulafaur Rasyidin, Nabi Muhammad pernah menyampaikan bahwa sebelum mengirim pasukan untuk berperang melawan Romawi, dia memperlihatkan pesan kepada pasukannya, yang kemudian menjadi akhlak dasar dalam perang, yaitu: (1) Jangan berkhianat; (2) Jangan berlebih-lebihan; (3) Jangan ingkar janji; (4) Jangan mencincang mayat; (5) Jangan membunuh anak kecil, orang bau tanah renta, wanita; (6) Jangan mengkremasi pohon, menebang atau menyembelih hewan ternak kecuali untuk dimakan; (7) Jangan mengusik orang-orang yang taat kepada agama yang dianutnya (Ahli Kitab) yang sedang beribadah. Jika melaksanakan larangan dalam berperang maka mereka dianggap berdosa dan dianggap menyalahi misi perang secara Islam.
Dengan dasar akhlak itu, Islam tidak membenarkan terorisme. Terorisme tidak sanggup dikatakan sebagai sebuah cara dalam akhlak perang. Dalam berperang harus terang pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, menyerupai hanya peperangan yang dilakukan Nabi Muhammad saw yang mewakili negara madinah melawan negara Mekkah dan sekutu-sekutunya ketika itu. Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin yang berada di Mekkah.
Perang yang mengatasnamakan penegakkan Islam tetapi tidak mengikuti cara-cara Nabi Muhammad saw tidak bisa disebut jihad. Sunah Nabi untuk penegakkan Islam bermula dari usul (dakwah) tanpa kekerasan. Jika tidak bisa diajak dalam dakwah maka diminta tunduk pada aturan Allah dan jangat berbuat kerusakan di bumi. Jika pihak kaum kafir melawan, maka barulah sanggup diperangi. Jika kebetulan kaum muslimin dalam kondisi yang lemah maka wajib melaksanakan hijrah ke wilayah yang lebih aman. Dan jikalau dalam kondisi menang, umat Islam harus membangun masyarakat untuk menjalankan aturan Islam yang bertujuan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi dan secara simultan melindungi umat lain (agama lain) yang tunduk dan patuh kepada aturan negara yang diatur oleh aturan Islam.
Pada zaman kerajaan, perang dilakukan bukan antar negara tetapi antara kerajaan-kerajaan yang ingin memperluas kerajaanya di suatu wilayah. Mereka menaklukan suatu wilayah dan kerajaan-kerajaan yang akan dikuasainya. Semua itu demi tercapainya suatu kejayaan setiap kerajaan, dengan demikian wilayah yang telah ditaklukannya harus patuh terhadap aturan-aturan yang gres termasuk memperlihatkan upeti berupa barang atau yang lainnya, sehingga kerajaan yang telah ditaklukan itu berada di bawah kekuasaanya.
Dalam kala modern, keyakinan perang barangkali banyak telah berubah. Perang yaitu pilihan kapitalis yang bertujuan. Artinya tidak ada perang yang terjadi atas dasar nafsu dan amarah tak terkendali. Setiap negara seakan-akan sanggup melaksanakan perang, asalkan sanggup menanggung karenanya jikalau diserang balik. Malaysia pada ketika mengganggu Blok Ambalat sanggup saja diserang Indonesia, tetapi nampaknya Indonesia menentukan untuk tidak berperang. Sebaliknya jikalau malaysia ingin berperang maka terjadilah perang itu walaupun negara-negara lain menentangnya. Ketika keyakinan perang itu sudah tidak berlaku lagi (tidak dihargai lagi), maka dunia kini ini bahwasanya sedang menunggu kehancuran.
Kalau ditanya negara manakah yang paling banyak terlibat dalam problem konflik luar negeri setengah kala terakhir. Nampaknya rating pertama yaitu amerika serikat, Pada kala 20, amerika serikat terlibat pribadi atau tidak pribadi dengan Korea, Vietnam, Perang Dingin, Irak, dan Afganistan. amerika juga terlibat dalam tiga invansi dan serangan mendadak ke negara Laos, Kamboja dan Libya. Kemudian juga terlibat dalam enam operasi keamanan, yaitu Dominika, Lebanon, Somalia, Kosovo, dan beberapa negara teluk. Terakhir terlibat dalam dua misi evakuasi di Iran dan Mayagues, dan juga misi pengusiran pemerintahan nasional Panama, Memasuki abag ke 21 amerika serikat terlibat pribadi dalam penyerangan dan pendudukan terhadap Afganistan dan Irak.
Setelah amerika, yang banyak terlibat dalam problem konflik yaitu israel. Negara kecil ini hampir setiap hari berperang semenjak awal kemerdekaanya (1948), dilanjutkan dengan perang Suez (1956), perang enam hari (1967), perang Atrisi (1967-1970), perang Yom Kippur (1973), perang Lebanon (1982), dan perang Palestina dari 1987 hingga sekarang.
Ada beberapa faktor mengapa negara menentukan berperang, yaitu: pertama, alasannya yaitu ambisi memperlihatkan eksistensi dan memperlihatkan kekuatan (power showing) semoga memperoleh kedudukan pada urusan politik terkait. Woodrow Wilson menyampaikan pada ketika perang dunia pertama bahwa perang yang dia lakukan bertujuan untuk mengakhiri semua peperangan, artinya semoga ada seorang "jago" yang sanggup mengatur keadaan dunia. George W. Bush juga menyampaikan bahwa perang melawan terorisme yaitu perang untuk menghapuskan kejahatan yang dimaknai bahwa siapapun yang melawan AS sanggup disebut teroris. Pada hakikatnya semua itu ingin mengakselerasi eksistensi diri dan identitas politik di mata duia internasional. Faktor ini termasuk faktor yang paling utama sebagai penyebab konflik politik alasannya yaitu tanda-tanda unjuk kekuatan sanggup ditunjukkan dalam fenomena ethnic cleanshing dan genocide yang beberapa dekade ini cukup marak di dunia (Serbia-Bosnia, Serbia-Kosovo, Tutsi-Hutu di Rwanda).
Kedua, konflik dan perang yaitu bisnis model gres yang sangat menguntungkan. Amerika sebagai negara yang paling banyak terlibat konflik dan perang ternyata sebagai pemasok senjata paling banyak di dunia. Irak yang tercatat sebagai musuh amerika juga pernah tercatat sebagai negara pengimpor senjata terbesar di dunia. Selain laba dari penjualan senjata, kekayaan alam yang dimiliki oleh negara target yaitu hal yang paling menarik lainnya. Bukan suatu belakang layar lagi bahwa amerika akan mengagendakan eksplorasi minyak dalam setiap keterlibatan konflik dengan negara lain, khususnya negara dalam wilayah Timur Tengah. Sebelum menyerang Irak, para pengusaha minyak di AS telah "bagi-bagi" kilang minyak Irak jikalau AS menang perang. Tentu saja para kapitalis tersebut 'patungan' dalam membiayai perang Irak.
Ketiga, faktor kemiskinan, yaitu ketidakadilan dan gap sosial yang terlalu besar. Negara miskis lebih besar mempunyai peluang konflik dibanding dengan negara kaya (dengan perbandingan 3 banding 1). Sekjen PBB Kofi Annan pernah menyampaikan dalam satu pidatonya bahwa selain faktor kemiskinan, perang sanggup tumbuh dan berkembang jawaban ketidakadilan dan gap sosial ekonomi yang cukup besar termasuk penyebab konflik yang penting.
Dari sudut pandang geografi politik, ketiga alasan di atas menyimpulkan dalam suatu kata yaitu bahwa perang yaitu instrumen politik untuk memperoleh atau merebut efek politik yang selanjutnya sanggup berlanjut pada pengaturan aspek kehidupan lainnya, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya.
Sumber:
Haryati, Sri dan Ahmad Yani. 2007. Geografi Politik. Bandung: PT Refika Aditama.
Dalam sejarah kristen, doktri perang kali pertama diajukan oleh Santo Augustinus yang pada pada dasarnya berisi melindungi orang tidak bersalah dari ancaman perang. Selain itu, keyakinan Katolik perihal perang mengambil teladan dari Kitab Ulangan 20:8. Ayat ini memungkinkan siapapun yang tergabung dalam militer untuk pulang sebelum pertempuran berlangsung apabila mereka tidak bermaksud berperang dalam suatu pertempuran.
Doktrin perang meliputi tiga tempat besar, yaitu Jus ad Bellum, Jus in Bello, Jus Post Bellum, Jus ad Bellum menjawab pertanyaan yaitu kapan suatu perang dianggap sah. Dengan demikian, semoga suatu perang sanggup dianggap sah maka ia harus memenuhi kriteria, yaitu perang hanya boleh dipakai untuk memperbaiki suatu kejahatan publik atau sebagai upaya pembelaan diri.
Jus in Bello yaitu keyakinan perang ketika perang sedang berlangsung. Suatu perang dianggap sah dalam fase Jus in Bello yaitu jikalau memakai prinsip-prinsip pemilahan (diskriminatif) artinya jangan dipukul rata. Perang harus diarahkan kepada pelaku tindakan yang salah, dan bukan kepada warga sipil yang terjebak dalam keadaan-keadaan yang tidak mereka ciptakan. Dengan demikian pengeboman terhadap daerah hunian warga sipil sangat tidak dibenarkan, begitu pula melarang penggunaan senjata pemusnah massal dari jenis apapun.
Doktirn Jus in Bello juga memutuskan bahwa perang harus proporsional, yaitu penggunaan kekuatan harus sesuai dengan kesalahannya, dan jikalau memperoleh tawanan perang maka harus diperlakukan dengan penuh hormat.
Jus Post Belllum mengatur perihal proses mengakhiri perang, dan transisi dari perang menuju perdamaian. Sebuah negara sanggup mengakhiri suatu peperangan apabila pembalasan terhadap hak-hak yang dibelanya sudah terpenuhi. Agresor bersedia merundingkan syarat-syarat penyerahan dan syarat-syarat penyerahan itu meliputi permintaan maaf yang resmi, pembayaran ganti rugi, pengadilan terhadap kejahatan-kejahatan perang, dan persetujuan rehabilitasi. Suatu negara hanya boleh mengakhiri suatu peperangan di bawah kondisi-kondisi yang telah disepakati dan pembalasan dendam tidak diizinkan.
Dalam Islam, keyakinan atau aturan perang lebih rinci lagi. Istilah perang (qital) sering disalah tafsirkan dengan makna jihad, Padahal jihad tidak identik dengan perang. Menurut Ensikopedi Wikipedia Indonesia, jihad yaitu berjuang dengan sungguh-sungguh. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia, yaitu menegakkan agaman Allah (Din Allah) atau menjada Din tetap tegak, dengan cara-cara yang sesuai dengan garis usaha para Rasul dan Al Quran, Jihad yang dilaksanakan Rasul yaitu berdakwah semoga insan meninggalkan kemusrikan da kembali kepada aturan Allah, menyucikan kalbu, memperlihatkan pengajaran kepada umat dan mendidik insan semoga sesuai dengan tujuan penciptaan mereka, yaitu menjadi Khalifah Allah di bumi, Berdasarkan batasan di atas tidak ada makna jihad diarahkan untuk berperang.
Islam tidak mengenal istilah perang suci (holy war). Perang sanggup dilaksanakan oleh umat Islam jikalau terjadi serangan dari luar yang membahayakan eksistensi umat Islam. Perang tidak bisa dibenarkan untuk menyerang orang-orang yang telah tunduk kepada aturan Allah dan atau mereka yang telah mengadakan perjanjian damai. Semasa kepemimpinan Nabi Muhammad saw hingga Khulafaur Rasyidin, Nabi Muhammad pernah menyampaikan bahwa sebelum mengirim pasukan untuk berperang melawan Romawi, dia memperlihatkan pesan kepada pasukannya, yang kemudian menjadi akhlak dasar dalam perang, yaitu: (1) Jangan berkhianat; (2) Jangan berlebih-lebihan; (3) Jangan ingkar janji; (4) Jangan mencincang mayat; (5) Jangan membunuh anak kecil, orang bau tanah renta, wanita; (6) Jangan mengkremasi pohon, menebang atau menyembelih hewan ternak kecuali untuk dimakan; (7) Jangan mengusik orang-orang yang taat kepada agama yang dianutnya (Ahli Kitab) yang sedang beribadah. Jika melaksanakan larangan dalam berperang maka mereka dianggap berdosa dan dianggap menyalahi misi perang secara Islam.
Dengan dasar akhlak itu, Islam tidak membenarkan terorisme. Terorisme tidak sanggup dikatakan sebagai sebuah cara dalam akhlak perang. Dalam berperang harus terang pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, menyerupai hanya peperangan yang dilakukan Nabi Muhammad saw yang mewakili negara madinah melawan negara Mekkah dan sekutu-sekutunya ketika itu. Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin yang berada di Mekkah.
Perang yang mengatasnamakan penegakkan Islam tetapi tidak mengikuti cara-cara Nabi Muhammad saw tidak bisa disebut jihad. Sunah Nabi untuk penegakkan Islam bermula dari usul (dakwah) tanpa kekerasan. Jika tidak bisa diajak dalam dakwah maka diminta tunduk pada aturan Allah dan jangat berbuat kerusakan di bumi. Jika pihak kaum kafir melawan, maka barulah sanggup diperangi. Jika kebetulan kaum muslimin dalam kondisi yang lemah maka wajib melaksanakan hijrah ke wilayah yang lebih aman. Dan jikalau dalam kondisi menang, umat Islam harus membangun masyarakat untuk menjalankan aturan Islam yang bertujuan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi dan secara simultan melindungi umat lain (agama lain) yang tunduk dan patuh kepada aturan negara yang diatur oleh aturan Islam.
Pada zaman kerajaan, perang dilakukan bukan antar negara tetapi antara kerajaan-kerajaan yang ingin memperluas kerajaanya di suatu wilayah. Mereka menaklukan suatu wilayah dan kerajaan-kerajaan yang akan dikuasainya. Semua itu demi tercapainya suatu kejayaan setiap kerajaan, dengan demikian wilayah yang telah ditaklukannya harus patuh terhadap aturan-aturan yang gres termasuk memperlihatkan upeti berupa barang atau yang lainnya, sehingga kerajaan yang telah ditaklukan itu berada di bawah kekuasaanya.
Dalam kala modern, keyakinan perang barangkali banyak telah berubah. Perang yaitu pilihan kapitalis yang bertujuan. Artinya tidak ada perang yang terjadi atas dasar nafsu dan amarah tak terkendali. Setiap negara seakan-akan sanggup melaksanakan perang, asalkan sanggup menanggung karenanya jikalau diserang balik. Malaysia pada ketika mengganggu Blok Ambalat sanggup saja diserang Indonesia, tetapi nampaknya Indonesia menentukan untuk tidak berperang. Sebaliknya jikalau malaysia ingin berperang maka terjadilah perang itu walaupun negara-negara lain menentangnya. Ketika keyakinan perang itu sudah tidak berlaku lagi (tidak dihargai lagi), maka dunia kini ini bahwasanya sedang menunggu kehancuran.
Kalau ditanya negara manakah yang paling banyak terlibat dalam problem konflik luar negeri setengah kala terakhir. Nampaknya rating pertama yaitu amerika serikat, Pada kala 20, amerika serikat terlibat pribadi atau tidak pribadi dengan Korea, Vietnam, Perang Dingin, Irak, dan Afganistan. amerika juga terlibat dalam tiga invansi dan serangan mendadak ke negara Laos, Kamboja dan Libya. Kemudian juga terlibat dalam enam operasi keamanan, yaitu Dominika, Lebanon, Somalia, Kosovo, dan beberapa negara teluk. Terakhir terlibat dalam dua misi evakuasi di Iran dan Mayagues, dan juga misi pengusiran pemerintahan nasional Panama, Memasuki abag ke 21 amerika serikat terlibat pribadi dalam penyerangan dan pendudukan terhadap Afganistan dan Irak.
Setelah amerika, yang banyak terlibat dalam problem konflik yaitu israel. Negara kecil ini hampir setiap hari berperang semenjak awal kemerdekaanya (1948), dilanjutkan dengan perang Suez (1956), perang enam hari (1967), perang Atrisi (1967-1970), perang Yom Kippur (1973), perang Lebanon (1982), dan perang Palestina dari 1987 hingga sekarang.
Ada beberapa faktor mengapa negara menentukan berperang, yaitu: pertama, alasannya yaitu ambisi memperlihatkan eksistensi dan memperlihatkan kekuatan (power showing) semoga memperoleh kedudukan pada urusan politik terkait. Woodrow Wilson menyampaikan pada ketika perang dunia pertama bahwa perang yang dia lakukan bertujuan untuk mengakhiri semua peperangan, artinya semoga ada seorang "jago" yang sanggup mengatur keadaan dunia. George W. Bush juga menyampaikan bahwa perang melawan terorisme yaitu perang untuk menghapuskan kejahatan yang dimaknai bahwa siapapun yang melawan AS sanggup disebut teroris. Pada hakikatnya semua itu ingin mengakselerasi eksistensi diri dan identitas politik di mata duia internasional. Faktor ini termasuk faktor yang paling utama sebagai penyebab konflik politik alasannya yaitu tanda-tanda unjuk kekuatan sanggup ditunjukkan dalam fenomena ethnic cleanshing dan genocide yang beberapa dekade ini cukup marak di dunia (Serbia-Bosnia, Serbia-Kosovo, Tutsi-Hutu di Rwanda).
Kedua, konflik dan perang yaitu bisnis model gres yang sangat menguntungkan. Amerika sebagai negara yang paling banyak terlibat konflik dan perang ternyata sebagai pemasok senjata paling banyak di dunia. Irak yang tercatat sebagai musuh amerika juga pernah tercatat sebagai negara pengimpor senjata terbesar di dunia. Selain laba dari penjualan senjata, kekayaan alam yang dimiliki oleh negara target yaitu hal yang paling menarik lainnya. Bukan suatu belakang layar lagi bahwa amerika akan mengagendakan eksplorasi minyak dalam setiap keterlibatan konflik dengan negara lain, khususnya negara dalam wilayah Timur Tengah. Sebelum menyerang Irak, para pengusaha minyak di AS telah "bagi-bagi" kilang minyak Irak jikalau AS menang perang. Tentu saja para kapitalis tersebut 'patungan' dalam membiayai perang Irak.
Ketiga, faktor kemiskinan, yaitu ketidakadilan dan gap sosial yang terlalu besar. Negara miskis lebih besar mempunyai peluang konflik dibanding dengan negara kaya (dengan perbandingan 3 banding 1). Sekjen PBB Kofi Annan pernah menyampaikan dalam satu pidatonya bahwa selain faktor kemiskinan, perang sanggup tumbuh dan berkembang jawaban ketidakadilan dan gap sosial ekonomi yang cukup besar termasuk penyebab konflik yang penting.
Dari sudut pandang geografi politik, ketiga alasan di atas menyimpulkan dalam suatu kata yaitu bahwa perang yaitu instrumen politik untuk memperoleh atau merebut efek politik yang selanjutnya sanggup berlanjut pada pengaturan aspek kehidupan lainnya, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya.
Sumber:
Haryati, Sri dan Ahmad Yani. 2007. Geografi Politik. Bandung: PT Refika Aditama.
0 Komentar untuk "Alasan Berperang"