Instrumen Pengganti Bunga : Sistem Bagi Hasil
Sebagai dimaklumi bahwa dalam ekonomi kapitalisme, bunga bank (interest rate) ialah nadi dari tata cara perekonomian. Hampir tak ada segi dari perekonomian, yang luput dari prosedur kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi setempat pada semua struktur ekonomi negara, sampai jual beli internasional.
Salah satu sebab ketertarikan pasar kepada bunga bank yakni kepastian hasil. Sedangkan setiap perjuangan tidak sanggup ditentukan mesti sukses sejumlah sekian, lantaran pada kenyataannya, setiap perjuangan niscaya berhadapan dengan resiko yang mengandung kemungkinan rugi, untung, dan pulang modal. Keuntungan pun sanggup besar, sedang dan kecil. Namun, selama berabad-abad, ekonomi dunia sudah didominasi tata cara bunga, sehingga sudah mengkristal dalam setiap acara perusahaan penduduk dunia.
Karena mengkristalnya tata cara bunga tersebut, terbentuklah dinamika yang khas dalam perekonomian konvensional, khususnya pada sektor moneternya. Bahkan sekarang pasar moneter konvensional tidak lagi terbatas pada pasar modal, duit dan obligasi, namun bertambah dengan hadirnya pasar derivatif, yang ialah turunan dari ketiga pasar tersebut. Kesemuanya tetap memakai bunga bank selaku harga dari produk-produknya. Maka tidak asing kalau kemajuan di pasar moneter konvensional begitu spektakuler. Menurut data dari suatu NGO asal Amerika Serikat, volume transaksi yang terjadi di pasar duit (currency speculation dan derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 triliun cuma dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi dalam jual beli dunia di sektor riil US$ 6 triliun setiap tahun. Bayangkan dengan empat hari transaksi di pasar uang, nilainya sudah menyamai transaksi di sektor riil selama setahun.
Dampak kemajuan yang begitu besar pada sektor moneter terang menghalangi kemajuan sektor riil. Jika diasumsikan money supply (uang beredar) tetap, maka tata cara kredit dengan bunganya yang ada pada pasar-pasar moneter akan menyita duit beredar. Sehingga bukan cuma ketidakstabilan moneter yang terjadi, namun juga kemerosotan sektor riil. Secara global kemerosotan ini akan kuat pada returns yang diperebutkan pada sektor moneter. Sehingga kalau ini terus yang menjadi kecenderungannya, maka masuk akal sebagian pakar memprediksi terjadinya krisis ekonomi yang besar, tidak cuma di negara-negara dunia ketiga, namun juga negara-negara maju (negara pemilik modal).
Syari’ah Islam dengan tegas meyakini bahwa bunga bank yang bersifat pre-determined akan mengeksploitasi perekonomian, condong terjadi misalokasi sumber daya dan penumpukan kekayaan dan kekuasaan pada segelintir orang. Hal ini akan menjinjing pada ketidakadilan, ketidakefisienan, dan ketidakstabilan perekonomian. Seperti dikemukakan Umer Chapra (1996), bungalah yang sudah memunculkan kian jauh jarak antara pembangunan dan tujuan yang akan dicapai. Bunga juga menghancurkan tujuan-tujuan yang ingin didapat, pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan stabilitas ekonomi.Bahkan Roy Davies dan Glyn Davies, dalam bukunya A History of Money from Ancient Times to the Present Day (1996) menyampaikan bahwa bunga sudah memberi andil besar dalam lebih dari 20 krisis yang terjadi sepanjang kurun 20.
Dalam ekonomi syari’ah, dikotomi sektor moneter dan riil tidak dikenal. Sektor moneter dalam definisi ekonomi Islam yakni prosedur pembiayaan transaksi atau buatan di pasar riil, sehingga kalau memakai perumpamaan konvensional, maka karakteristik perekonomian Islam yakni perekonomian riil, khususnya perdagangan. Inilah yang disarankan Islam,”Allah menghalalkan jual beli (perdagangan) dan mengharamkan riba”.(QS.2:275). Jual beli atau jual beli yakni kesibukan bisnis sektor riel.
Dalam ekonomi syari’ah tata cara bagi hasillah (profit and loss sharing) yang kemudian menjadi jantung dari sektor ‘moneter’ Islam, bukan bunga. Karena sesungguhnya, bagi hasil gotong royong sesuai dengan iklim perjuangan yang memiliki kefitrahan untung atau rugi. Tidak menyerupai karakteristik bunga yang memaksa biar hasil perjuangan senantiasa positif. Kaprikornus penerapan tata cara bagi hasil pada hakikatnya mempertahankan prinsip keadilan tetap berlangsung dalam perekonomian. Karena memang kestabilan ekonomi bersumber dari prinsip keadilan yang dipraktikkan dalam perekonomian.
Jadi, penyelesaian ekonomi Islam kepada bunga (riba) dalam sistim pinjam meminjam dana yang digunakan untuk buka usaha yakni “Sistim Bagi Hasil” (Profit-Loss Sharing), baik lewat skim mudharabah atau musyarakah. Dalam problem pertanian sanggup dalam bentuk muzara’ah. Selain dalam bentuk bagi hasil, penyelesaian Islam untuk mengambil alih bunga juga sanggup memakai produk jual beli (bai’), menyerupai ba’i murabahah, salam dan istishna’.
Secara umum, sistim bagi hasil ini ada yang disebut dengan mudharabah, yakni bentuk perjuangan bisnis yang dilaksanakan oleh dua pihak dimana dalam melaksanakan perjuangan bisnis ini satu pihak bertindak selaku pemodal dan pihak yang lain bertindak selaku pelaksana bisnis (enterpreneur).
Sementara itu, musyarakah dimaksudkan selaku suatu bentuk perjuangan bisnis/syarikat yang modalnya di biayai oleh semua partai yang terlibat dalam bisnis tersebut. Kedua bentuk bisnis ini, jauh lebih berkeadilan ketimbang bentuk bisnis dalam ekonomi konvensional, alasannya yakni apapun laba atau resiko yang terjadi kepada bisnis ini, ke semua partai yang terlibat dalam bisnis ini memiliki hak yang serupa kepada hasil perjuangan yang diperoleh.
Bila bisnis merekaberhasil, maka semua pihak akan menemukan laba dan sebaliknya, apabila bisnis mereka bankrut maka kerugianpun mesti ditanggung bersama. Jumlah pembagian laba yang mau diperoleh mereka dalam mudharabah yakni menurut penjanjian bersama, katakanlah 60% untuk pembagi modal dan sisanya, 40% untuk mereka yang memenej bisnis.
Namun, apabila perjuangan mudharabah mengalami kerugian, maka pelaksana tidak bertanggung jawab atas kehilangan modal yang diberikan pemodalnya. Ini tidak mempunyai arti para pelaksana tidak mengalami kerugian apapun, alasannya yakni ianya juga dirugikan atas jasa dan jerih payahnya yang disumbangkan untuk mengembangkan bisnis mereka. Dengan kata lain, pemodal rugi atas modalnya, dan pelaksana rugi atas perjuangan dan jerih payahnya.
Bila kita menyaksikan dalam sistim ekonomi ribawi (bunga), peminjam sudah diputuskan besarnya jumlah bunga yang mesti dibayarkan ke bank dengan tidak berfikir apakah dana yang dipinjam itu sukses dibisniskan atau tidak. Dengan kata lain, sukses atau tidak bisnis para peminjam modal, peminjam mesti mengeluarkan duit pinjaman plus bunganya. Sedangkan dalam ekonomi Islam baik dalam bentuk perjuangan mudharabah mahupun musyarakah, jumlah pembagian hasil yang diterima belumlah dipahami secara niscaya sebelum perjuangan itu sukses atau gagal.
Mereka cuma tahu persentase pembagian hasil, namun mereka tidak pernah tahu berapa jumlah pembagian hasil gotong royong yang mau mareka terima sebelum perjuangan itu sukses atau tidak. Dalam sistim ini, laba dan kerugian yakni menjadi tanggung jawab bersama. Perbedaan pembagian hasil yang pre-determined (ex-ante) dalam sistim ekonomi ribawi inilah yang memunculkan terjadinya ketidakadilan dalam ekonomi umat sehingga ia dihentikan oleh Islam ketimbang sistim ekonomi Islam yang pembagian karenanya menurut post-determined (ex-post) yang jauh lebih adil dan mensejahterakan umat
Selain tata cara bagi hasil, Islam mensyaratkan prosedur zakat dalam perekonomian, serta pemberian dari istrumen sejenisnya menyerupai infaq, shadaqah dan wakaf. Mekanisme zakat menentukan acara ekonomi sanggup berlangsung pada tingkat yang minimal, yakni pada tingkat pemenuhan keperluan primer. Sedangkan infaq, shadaqah dan instrumen sejenis yang lain mendorong undangan secara agregat, lantaran fungsinya yang menolong umat untuk meraih taraf hidup di atas tingkat minimum. Selanjutnya oleh negara, infaq-shadaqah dan instrumen sejenisnya, serta pendapatan negara yang lain digunakan untuk mengentaskan kemiskinan lewat program-programpembangunan.
Sebagai dua ketentuan sahih dalam tata cara ekonomi Islam, prosedur zakat dan pelarangan riba memiliki fungsi saling mengokohkan tata cara perekonomian. Di satu segi zakat mempertahankan biar acara ekonomi tetap berlangsung dengan tujuan pemenuhan keperluan hidup seluruh penduduk negara, di segi lain pelarangan riba – diganti prosedur bagi hasil – mempertahankan keseimbangan, keadilan dan kestabilan segala acara ekonomi di dalamnya. Dengan abjad khasnya, ekonomi Islam diperkirakan akan lebih stabil dibandingkan tata cara konvensional..
Bagi perekonomian Indonesia, landasan konvensional sudah terbukti tidak memamerkan “pelayanan” yang baik. Kaprikornus sudah waktunya pemerintah memikirkan untuk beralih pada perekonomian Islam dengan segala perangkatnya, dan membuatnya selaku suatu kebijakan yang sistematis di semua segi pembangunan ekonomi. Bukan memunculkan ekonomi Islam sekadar kebijakan yang menyikapi pasar menyerupai yang dilaksanakan pada dunia perbankan.
Ekonomi Islam bukan saja prospektif kestabilan “moneter” namun juga pembangunan sektor riil yang lebih kokoh. Krisis moneter yang sudah bermetamorfosis menjadi krisis multi dimensi di Indonesia ini, tak sanggup diobati dengan varibel yang menjadi sumber krisis sebelumnya, yakni tata cara bunga dan utang, namun mesti oleh variabel yang jauh dari karakteristik itu. Dalam hal ini oleh ekonomi Islam dengan tata cara bagi karenanya dalam dunia perbankan dan forum finansial lainnya
0 Komentar untuk "Dampak Bunga Kepada Ekonomi Indonesia"