Keleluasaan Dan Tanggung Jawab Filsafat

8. Kebebasan dan tanggung Jawab

Prinsip keleluasaan dan tanggung jawab dalam ekonomi Islam pertama kali dirumuskan oleh An-Naqvi. Kedua prinsip tersebut, masing-masing sanggup bangun sendiri, tetapi doleh dia kedua prinsip tersebut digabungkan menjadi satu. Penyatuan ini dijalankan alasannya yakni kedua prinsip itu memiliki keterkaitan yang sungguh kuat.
Penyatuan ini juga dimaksudkan biar pembaca dengan segera menangkap pemahaman keleluasaan dalam kajian ini, sehingga tidak timbul tanda tanya dan kerancuan dalam fikiran tentang makna keleluasaan dalam persepektif Islam.
Pengertian keleluasaan dalam perekonomian Islam difahami dari dua perspektif, pertama perspektif teologi  dan kedua perspektif ushul fiqh/falsafah tasyri’.
Pengertian keleluasaan dalam perspektif pertama memiliki arti bahwa insan bebas menyeleksi opsi antara yang bagus dan yang jelek dalam mengurus sumberdaya alam. Kebebasan untuk menyeleksi opsi itu menempel pada diri manusia, alasannya yakni insan sudah dianugerahi logika untuk mempertimbangkan mana yang bagus dan yang buruk, mana yang  maslahah dan mafsadah (mana yang faedah dan mudharat).
Adanya kekebasan tergolong dalam mengamalkan ekonomi, implikasinya  insan mesti bertanggung jawab atas segala perilakunya. Manusia dengan potensi akalnya mengetahi  bahwa penebangan hutan secara liar akan memicu dampak banjir dan longsor. Manusia juga tahu bahwa mencampakkan limbah ke sungai yang airnya dibutuhkan penduduk untuk mencuci dan mandi yakni sebuah perbuatan salah yang mengandung mafsadah dan mudharat. Melakukan riba yakni sebuah kezaliman besar. Namun ia melakukannya juga, alasannya yakni ia mesti mempertangung jawabkan perbuatannya i\tu di hadapan Allah, alasannya yakni perbuatan itu dilakukannya atas opsi bebasnya.
Seandainya insan berkeyakinan bahwa ia melaksanakan perbuatan itu alasannya yakni diharapkan Allah secara jabari, maka tidak logis ia diminta pertanggung jawaban atas penyimpangan perilakunya. Kaprikornus makna keleluasaan dalam konteks ini bukanlah insan bebas tanpa batas melaksanakan apa saja sebagaimana dalam faham liberalisme. Jadi, keleluasaan dalam Islam bukan keleluasaan mutlak[2], alasannya yakni kekebasan mirip itu cuma akan mengarah terhadap paradigma kapitalis laisssez faire dan keleluasaan nilai (value free).
Kebebasan dalam pemahaman Islam yakni kekebasan yang terkendali (al-hurriyah al-muqayyadah). Dengan demikian, desain ekonomi pasar bebas, tidak sepenuhnya begitu saja diterima dalam ekonomi Islam. Alokasi dan distribusi sumber daya yang adil dan efisien, tidak secara  otomatis terwujud dengan sendirinya menurut kekuatan pasar. Harus ada lembaga pengawas dari otoritas pemerintah -yang dalam Islam- disebut lembaga hisbah.
Kebebasan dalam konteks kajian prinsip ekonomi Islam dimaksudkan selaku antitesis dari faham jabariyah (determenisme). Faham ini mengajarkan bahwa insan bertindak dan bertingkah bukan atas dasar kebebasannya (pilihannya) sendiri, tetapi atas kehendak Tuhan. Dalam faham ini insan mirip wayang yang digerakkan oleh dalang. Determinisme mirip itu, tidak cuma merendahkan harkat manusia, tetapi juga menafikan tanggung jawab manusia. idak logis insan diminta tanggung jawabnya, sementara ia melakukannya secara ijbari (terpaksa).
Pengertian keleluasaan dalam perspektif ushul fiqh berati bahwa dalam muamalah Islam membuka pintu seluas-luasnya di mana insan bebas melaksanakan apa saja sepajang tidak ada nash yang melarangnya. Aksioma ini didasarkan pada kaedah, intinya dalam muamalah segala sesuatu dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya.
Bila diterjemahkan arti keleluasaan bertanggng jawab ini ke dalam dunia binsis, utamanya perusahaan, maka kita aan mendapat bahwa Islam sungguh-sungguh memacu ummatnya untuk melakaukan inovasi apa saja, tergolong pengembangan teknologi dan diversifikasi produk.
Pertanggungjawaban (masuliayah) yang mesti dihadapi insan di alam abadi juga ialah konsukensi fungsi kekhalifahan insan selaku kahlifah. Dalam kapasitasnya selaku khalifah, insan ialah pemegang amanah (trustee), alasannya yakni itu setap pemegang amanah mesti bertanggung jawab atas amanah yang dipercayakan untuknya.
Pertanggung jawaban, accountability atau masuliyah ditekankan dengan  perintah dari Allah lewat ungkapan hisab atau perkiraan di hari pembalasan. Istilah hisab didapatkan 109 kali dalam Al-quran dari akar kata hisab (perhitungan), muhasib (penghitungan/akuntan) dan muhasabah selaku pertanggungjawaban yang ialah manifestasi dari sikap kehidupan di dunia ini.
Kepercayaan pada hari simpulan zaman memilki peranan penting dalam kehidupan seorang muslim yang mesti mempertanggungjawabkan perbuatannya. Konsep pertanggungjawaban sudah dipraktekkan secara sunnatullah sungguh ditekankan dalam Islam, bukan ialah norma watak biasa atau perundang-undangan negara. Konsep ini mestinya sudah tertanam di masing-masing indivisu muslim dan tercermin dalam kehidupan penduduk dan sistem.  Tidak cuma terbatas pada para profesional, akademisi atau usahawan saja.
Harus pula diketahui bahwa pertangggungjawaban tidak cuma terbatas dalam desain eskatologis, tetapi juga meliputi proses simpel di dunia ini. Salah satu umpamanya yakni kesanggupan analisis dan hidangan ilmiah dalam akuntansi, umpamanya apa yang ditugaskan Allah dalam Quran surat Al Baqarah ayat 282, ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kau bermuamalah tidak secara tunai untktu yang ditentukan, hendaklah kau menuslikannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kau menulisnya dengan benar” (QS. 2;282).


Dalam aneka macam lembaga baiuk di kelas maupun seminar, para akseptor sering minta klarifikasi tentang pemahaman kebabasan dalam prinsip ekonomi Islam dan mereka sering memahaminya secara salah. Bahkan tidak saja para pminat ekonomi islam, dalam buku bimbing yang terkenal din Indondia sebagaimana yang ditulis Adiwarman Karim dalam buku Ekonomi Mikro Islami (2002). Pengertian dan klarifikasi kekabasan sama sekalai jauh dari pemahaman sesungghnya. Artinya, penjelasannya tentang prinsip kekabasan menyimpang dari pengetian yang dimaksudkan para cakap ekonomi Islam dan ulama.

Dalam filsafat materialisme Barat yang diajarkan Filosoof  Jean Paulk Sarter,’ Manusia ditakdirkan bebas, Tuhan  tidak ada”. Kekebasan insan tidak terbatas dan bersifat mutlak. Tidak ada nilai-nilai yang transenden yang ditetapkan untuk umat manusia, tidak aturan Tuhan dan tidak teori Palto fan filosof Yuanoi lainnya. Satu-satunya fondasi untuk nilai0nilai yakni kebabasan insan itu sendiri. (Jean Paul Sarter, Beingg and Nathingness dalam,  Anthony Manser, Sharter : A Philosopic Study, 1966.

Related : Keleluasaan Dan Tanggung Jawab Filsafat

0 Komentar untuk "Keleluasaan Dan Tanggung Jawab Filsafat"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)