Prinsip Etos Kerja Islami

 Oleh : Salman Rusdi 
Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhaar Lubuklinggau


Bekerja ialah keniscayaan dalam hidup. Dalam situasi zaman yang kian sulit, kaum beriman dituntut bisa survive dan berdiri membangun peradaban menyerupai sedia kala. Syarat untuk itu tidak cukup lagi ditempuh dengan kerja keras, tetapi mesti kerja cerdas.

Tidak ada lain bagi kaum beriman kecuali mesti mengkaji persepsi Islam wacana etos kerja. Meski makhluk hidup di bumi sudah memperoleh jaminan rezeki dari Allah, tetapi kemalasan tak mempunyai wilayah dalam Islam. Fatalisme atau paham nasib tidak dimengerti dalam Islam. Firman Allah, "...maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah terhadap Allah. Hanya terhadap Allah kau akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17).

Menurut ayat itu, rezeki mesti diusahakan. Dan seakan mengonfirmasi ayat di atas, firman Allah di ayat lain tegas menyatakan, cara memperoleh rezeki yakni dengan bekerja. “Jika shalat sudah ditunaikan, maka menyebarlah kalian di wajah bumi, carilah karunia Allah, dan camkan Allah banyak-banyak agar kalian beruntung” (Qs Al-Jumu’ah: 10).

Ayat lain bahkan menyatakan, dijadikannya siang terang biar insan mencari rezeki dari Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya perahu berlayar di lautan biar insan mencari karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya malam dan siang biar insan beristirahat pada waktu malam dan melakukan pekerjaan pada waktu siang (Qs Al-Qashash: 73).

Masih banyak ayat serupa. Intinya, rezeki Allah cuma akan diperoleh dengan etos kerja tinggi. Bagaimana teknis pelaksanaan etos kerja sebagaimana perintah Allah di atas?

Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu mesti dimiliki kaum beriman jika ingin menghadap Allah dengan wajah berseri kolam bulan purnama. Pertama, melakukan pekerjaan secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari sisi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal yakni haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.

Analoginya, menjadi anggota dewan perwakilan rakyat yakni halal. Tetapi jika jabatan dewan perwakilan rakyat dipakai mengkorupsi duit rakyat, status hukumnya terperinci menjadi haram. Jabatan yang semula halal menjadi haram alasannya yakni ada aspek penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan alasannya yakni aspek dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu memang ‘haram lidzatihi’.

Kedua, melakukan pekerjaan demi mempertahankan diri agar tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dihentikan menjadi parasit bagi orang lain. Rasulullah pernah menegur seorang kawan dekat yang muda dan mempunyai pengaruh tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang hendak menjinjing tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis terhadap orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal yakni mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu alasannya yakni dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan terhormat di mata Allah dibandingkan dengan meminta-minta.

Ketiga, melakukan pekerjaan demi memadai keperluan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi keperluan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak mampu diwakilkan, dan menunaikannya tergolong klasifikasi jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, “Tidaklah seseorang mendapatkan hasil terbaik melampaui yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang terhadap diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dijumlah selaku sedekah” (HR Ibnu Majah).

Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah mengajukan pertanyaan soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akhir saban hari dipakai melakukan pekerjaan untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan menyerupai inilah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.

Keempat, melakukan pekerjaan untuk mengendorkan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Penting dicatat, Islam mendorong jerih payah untuk keperluan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam merekomendasikan solidaritas sosial, dan mengecam keras perilaku tutup mata dan indera pendengaran dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kau beriman terhadap Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah sudah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).

Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang yang tekun beribadah tetapi mengabaikan nasib kaum miskin dan yatim selaku pendusta-pendusta agama (Qs Al-Ma’un: 1-3). Itu alasannya yakni tidak dimengerti ungkapan kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah titipkan terhadap manusia, senantiasa menyisihkan hak kaum lemah dan papa.

Demikianlah, dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sangat tidak dapat dilihat dari jenisnya. Setelah menyanggupi empat prinsip di atas, nilai suatu pekerjaan akan diukur dari mutu niat (shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan mengirimkan pelakunya ke pintu surga.

Related : Prinsip Etos Kerja Islami

0 Komentar untuk "Prinsip Etos Kerja Islami"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)