*Mengapa Kami Memutuskan Islam*


Pada waktu orang bermaksud akan berpindah dari agamanya yang dianutnya lantaran imbas lingkungan kelahirannya, biasanya yang mendorongnya itu dasar-dasar emosional, filsafat atau kemasyarakatan. Bakat pembawaan saya sendiri sudah menuntut suatu keimanan yang sanggup menyanggupi permintaan filsafat dan sosial. Bagi saya hal itu cuma bisa dipenuhi dengan keputusan untuk menguji kebenaran semua agama penting di dunia lewat buku-bukunya, dakwahnya dan pengaruhnya.

Saya lahir dari kedua orang renta campuran, seorang Yahudi dan, seorang Katolik, dan saya berkembang di bawah imbas tradisi gereja Inggris. Pada waktu saya selama beberapa tahun mengikuti sembahyang di gereja selaku salah satu keharusan harian, saya mulai sanggup membandingkan antara kepercayaan-kepercayaan dan peribadatan-peribadatan Yahudi dan Kristen.

Bakat pembawaan saya sendiri menolak keyakinan inkarnasi Tuhan dan bahwa Tuhan menutupi dosa manusia. Akal saya juga tidak dapat mendapatkan realita banyaknya Alkitab dan keterangan-keterangannya atau tafsirnya, atau keyakinan yang tidak menurut logika, menyerupai tradisi-tradisi yang ditangani dalam gereja Inggris.

Dalam agama Yahudi saya mendapatkan citra mengenai Allah itu lebih terhormat, meskipun penggambaran ini berbeda-beda pada masing-masing
Bible. Ada keyakinan Yahudi yang masih terpelihara kesuciannya, sehingga saya sanggup menimba ilmu banyak dari padanya, tetapi juga banyak yang saya tolak. Kalau kita laksanakan semua pemikiran dan tuntutannya, kita akan kekurangan waktu sama sekali atau cuma tinggal waktu sedikit saja untuk mengorganisir soal-soal duniawi, lantaran dalam agama Yahudi ada upacara-upacara peribadatan yang tidak habis-habisnya menyibukkan energi kita. Dan bisa jadi yang terburuk dalam agama Yahudi merupakan bahwa dakwahnya itu cuma ditujukan terhadap segolongan minoritas tertentu, dan hasilnya agama Yahudi itu membuat jurang pemisah antara majemuk tingkat sosial dalam masyarakat.

Dalam pada itu saya suka menyaksikan sembahyang Kristen di gereja Inggris, sebagaimana juga saya suka menghadiri sembahyang di gereja
Yahudi. Saya turut kedua-duanya. Akan namun kenyataannya saya tidak memegang atau mempercayai salah satu agama yang dua itu. Dalam agama
Nasrani Roma saya lihat banyak hal-hal yang tidak terang bisa dikenali dan tunduk terhadap kekuasaan manusia. Agama Nasrani Roma menilai rendah kemanusiaan, sebaliknya Paus dan para pendetanya dianggap suci, bahkan nyaris disamakan dengan Tuhan.

Kemudian saya mempelajari filsafat Hindu, khususnya ajaran-ajarannya pada Upanishads and Vedanta. Di sini juga saya mendapatkan banyak hal
yang menakjubkan saya, tetapi juga banyak yang tidak bisa diterima oleh budi saya. Dalam filsafat Hindu saya tidak mendapatkan cara pemecahan
berbagai macam penyakit masyarakat, dan didalamnya tidak terhitung banyaknya macam-macam spesialisasi (privileges) untuk para pendeta,
disamping tidak adanya uluran tangan untuk menyayangi orang-orang miskin terlantar, seakan-akan nasibnya itu lantaran kesalahannya sendiri, dan jikalau beliau mau memikul penderitaan hidup dengan sabar, maka rupanya kehidupan sesudah mati malah lebih baik.


Agama Hindu hanyalah satu cara untuk menundukkan dan menguasai orang banyak. Agama itu bagi mereka cuma untuk menegakkan kekuasaan
kependetaan yang memegang kontrol segala kekuasaan, sedang perhubungannya dengan Tuhan cuma proforma, seakan-akan kehendak-Nya
itu minta biar segala sesuatu tetap sebagaimana adanya.

Buddisme mengajarkan terhadap saya banyak mengenai budi dan ketentuan-ketentuannya. Buddisme menampilkan terhadap saya suatu cara
untuk mengusahakan adanya saling pemahaman di antara bangsa-bangsa, seakan-akan sama gampangnya dengan percobaan-percobaan kimiawi, asal
setiap orang mau menyediakan pengorbanan yang diperlukan, mungkin berupa reaksi terhadap penyusunan kasta-kasta.

Akan namun dalam Buddisme saya tidak mendapatkan pelajaran-pelajaran mengenai akhlak. Dalam hal ini Buddisme sama dengan Hindu. Didalamnya
saya cuma mendapatkan pemikiran bagamana caranya biar insan bisa hingga ke tingkat manusia-super-kuat atau apa yang dikira demikian oleh orang banyak. Akan namun bagi saya terang bahwa kekuatan yang dimaksud itu bukan merupakan bukti tingginya jiwa menyerupai yang mereka kira. Kekuatan semacam itu cuma bisa memajukan ilmu, meraih prestasi olahraga, menguasai emosi dan mempersempit banyak kesenangan dan syahwat,
menyerupai yang diajarkan oleh pemikiran Stoics. Dalam Buddisme saya tidak mendapatkan pemikiran bagamana caranya biar kita ingat terhadap Allah; di
dalamnya saya tidak mendapatkan pemikiran yang memberi isyarat ke arah Maha Pencipta. Budisme hanyalah suatu latihan tubuh untuk mencapai
keamanan dan kebebasan. Dalam pada itu, Bodhisatya malah merekomendasikan pengorbanan keamanan dan keleluasaan seseorang untuk
keamanan dan keleluasaan orang lain. Dalam aliran ini terlihat ada soal-soal kerohanian, tidak cuma mempersoalkan penguasaan nafsu
kehewanan dan kekuatan-kekuatan alam. Oleh lantaran itu, maka secara teoritis Buddisme sanggup menyelamatkan dunia, menyerupai juga agama
Kristen, kata Tolstoi, asal terbatas pada kata-kata Yesus, tanpa aksesori dan tafsiran yang salah.

Akan namun jikalau ternyata banyak keyakinan yang menurut teorinya sanggup menyelamatkan dunia, mengapa mereka gagal dalam praktek?
Jawabnya ialah: Kepercayaan-kepercayaan itu tidak memberi perhatian terhadap golongan dominan (terbanyak). Dia cuma tertuju kepada
golongan minoritas. Sebenarnya, jikalau kita amati ajaran-ajaran Kristen dan Buddha sebagaimana yang dimaksud oleh para pendirinya,
ternyata bahwa kedua agama itu mengelakkan diri dari soal-soal kesusahan masyarakat, lantaran memang kemasyarakatan itu bukan sasaran
perhatiannya. Keduanya, Yesus dan Buddha merekomendasikan biar orang melepaskan diri dari nafsu ingin memiliki kekayaan dan dari
kesenangan-kesenangan duniawi selaku jerih payah mencari Tuhan, dengan kata-kata seperti: "Jangan menjalankan perbuatan buruk" atau "Vairagyam",
dan "Janganlah kau disibukkan dengan apa yang mau terjadi besok."

Saya meletakkan hormat besar bagi mereka yang dapat menempuh jalan atau cara ini, saya percaya bahwa itu dapat menyodorkan mereka terhadap Allah.
Tapi saya juga percaya bahwa biasanya insan tidak dapat menempuh jalan semacam ini. Karena itu, maka ajaran-ajaran ini sedikit sekali nilai
kemasyarakatannya. Suatu pemikiran kerohanian yang mulia, tetapi gagal total dalam jerih payah membimbing orang banyak. Kepuasan intelektual yang tidak
ada gunanya untuk merubah orang banyak dan memperbaiki keadaan mereka dalam bidang kerohanian, mental dan material dalam waktu yang pendek.

Mungkin merupakan suatu keanehan, bahwa dikala saya berdiam di negara-negara Arab, perhatian saya terhadap Islam itu sedikit saja dan
cuma menyaksikan lahiriyahnya. Agama ini tidak memperoleh perhatian saya untuk mempelajarinya secara teliti, menyerupai yang saya kerjakan terhadap
agama-agama lain. Akan namun kalau saya ingat bahwa kekerabatan saya yang pertama dengan Islam itu dengan membaca Al-Qur'an terjemahan Bodwell,
maka tidaklah mengherankan kalau saya katakan bahwa saya tidak tertarik. Akan namun sesudah saya berkenalan dengan salah seorang
muballig Islam kondang di London, saya menjadi terkejut dengan minimal aktivitas orang-orang Arab dalam jerih payah menyediakan isyarat kepada
orang-orang bukan Islam biar masuk Islam, dan dalam jerih payah memberitakan ajaran-ajarannya di tempat-tempat atau negara-negara yang mungkin di
sana mereka akan lebih berhasil. Hanya lantaran sering merasa tidak percaya terhadap orang-orang asing, cara yang lazim ditempuh oleh
orang-orang Timur merupakan bergerak secara diam-diam, dari pada secara terang-terangan.

Dengan tutorial yang bijaksana, saya sudah membaca suatu terjemahan Al-Qur'an dan tafsirannya dari seorang muslim, ditambah dengan membaca
buku-buku lainnya mengenai Islam, saya akhimya memperoleh citra yang benar mengenai Islam. Dengan demikian, maka dalam waktu yang tidak lama,
saya sudah mendapatkan sesuatu yang saya cari selama bertahun-tahun.

Pada suatu hari di tahun 1945 saya memperoleh seruan untuk menghadiri sembahyang 'Id dan sesudah itu makan-makan. Hal itu merupakan
peluang yang bagus bagi saya untuk mempelajari sekumpulan international Muslim, di mana tidak terdapat kumpulan Arab, tidak ada
nasionalisme. Yang ada hanyalah asosiasi orang banyak yang mewakili majemuk bangsa di dunia, majemuk tingkat sosial dan
majemuk warna kulit. Di sana saya berjumpa dengan seorang pangeran Turki dan juga rakyat biasa. Mereka semua duduk untuk makan
bersama. Pada wajah orang-orang kaya tidak nampak perilaku merendahkan diri yang dibuat-buat, atau perilaku akal-akalan merasa sama dari
orang-orang kulit putih dalam pembicaraannya dengan kawan-kawan mereka yang berkulit hitam. Tidak juga kelihatan di antara mereka orang yang
menjauh dari orang banyak, tidak nampak rasa kepangkatan dan kedudukan yang tersembunyi di balik tabir kepalsuan.

Dalam agama Islam saya tidak berkesempatan untuk melukiskan soal-soal kehidupan, justru lantaran kelengkapannya yang tidak saya peroleh dalam
agama-agama lain. Cukuplah kalau saya katakan bahwa sesudah saya berpikir dan memperhatikan, saya beroleh isyarat untuk keyakinan kepada
agama ini, sesudah saya mempelajari agama-agama kondang di dunia tanpa memeluk salah satunya.

Dengan pemberitahuan saya tersebut, cukup jelas, mengapa saya menjadi orang Islam? Walaupun hal itu belum cukup untuk menerangkan segala
sesuatunya. Soalnya, lantaran perasaan ini senantiasa berkembang dan bertambah serentak dengan berlalunya waktu dan bertambahnya pengalaman saya.
Saya sudah mempelajari kebudayaan Islam pada English University, di mana untuk pertama kalinya saja mengenali bahwa Islamlah yang telah
mengeluarkan Eropa dari kegelapan. Saya mempelajari sejarah, ternyata bahwa pemerintahan-pemerintahan besar itu yakni pemerintahan Islam,
dan pada biasanya ilmu wawasan terbaru itu berasal dari Islam. Maka dikala orang-orang pada tiba terhadap saya untuk menyampaikan bahwa
dengan memeluk agama Islam itu saya sudah mendapatkan jalan mundur, saya tersenyum saja. Mereka tidak mengenali mengenai kekerabatan alasannya dan
akibat.

Bolehkah dunia menghukum Islam lantaran kemundurannya yang ditimbulkan oleh faktor-faktor luar? Apakah nilai Renaisance yang pernah dialami
Eropa itu kurang disebabkan kemunduran-kemunduran lazim yang dialami di mana-mana di dunia kini ini?! Apakah agama Kristen itu boleh dicap
brandalan, penumpah darah dan barbarisme disebabkan inkuisisi masa tengah dan penaklukan Spanyol?!

Perlu diperingatkan bahwa budi fikiran yang paling besar dan termaju di segala zaman segalanya menatap dengan sarat hormat terhadap kebudayaan
Islam yang mutiara-mutiaranya tetap tersimpan dan Barat tidak pernah menemukannya.

Saya sudah tiba ke beberapa tempat jajahan dan saya berkesempatan untuk menyaksikan bagamana seorang pengembara/pendatang diterima di setiap
tempat, di mana reaksi pertamanya yakni peran serta yang diberikan terhadap mereka. Saya tidak pernah mendapatkan di luar kelompok kaum
muslimin orang yang mendekati cara mereka dalam menghormati orang asing dan menolongnya tanpa pamrih.

Dilihat dari sisi perekonomian, saya mendapatkan realita bahwa cuma penduduk Islam-lah yang sudah menetralisir jurang pemisah antara
orang-orang kaya dan orang-orang miskin dengan cara yang menyeluruh, melenyapkan kekacauan. Saya bisa menyampaikan bahwa komunis Sovyet terbaru tidak akan bisa menciptakan apa yang dapat dihasilkan di bawahPemerintahan Islam.
 (Reformer Inggris)

Related : *Mengapa Kami Memutuskan Islam*

0 Komentar untuk "*Mengapa Kami Memutuskan Islam*"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)