Komersialisasi Pendidikan Dalam Cipta Kerja

Ki Darmaningtyas Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa, Yogyakarta

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ternyata tidak hanya menertibkan korelasi industrial, tetapi juga pendidikan dan kebudayaan, khususnya pada Paragraf 12. Sesuai dengan konsep omnibus law, rancangan menyasar enam undang-undang di sektor pendidikan dan kebudayaan, yakni Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Guru dan Dosen, UndangUndang Pendidikan Tinggi, Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, UndangUndang Kebidanan, dan Undang-Undang Perfilman. Sejumlah pasal yang melindungi kedaulatan negara dalam regulasi tersebut dihapus guna membuka jalan lapang bagi masuknya modal asing. Ini sungguh ialah rancangan paling liberal yang pernah kita miliki. Secara gamblang, rancangan ini berbeda dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga jikalau disahkan, secara sadar Presiden Jokowi sudah melanggar sumpah setianya terhadap dasar negara dan konstitusi.


Secara umum, roh rancangan ini yakni komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan. Ideologi yang diusung oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ini memicu pendidikan selaku barang dagangan, bukan hak setiap warga negara. WTO menempatkan pendidikan selaku industri tersier yang sah untuk diperdagangkan, sehingga negara-negara anggotanya memiliki keleluasaan untuk menyelenggarakan pendidikan di negara-negara lain selaku prosedur untuk menemukan keuntungan finansial.

Komersialisasi pendidikan di sini memiliki arti memicu pendidikan selaku komoditas yang diperdagangkan guna mendapat keuntungan yang sebesarbesarnya. Pendidikan tidak lagi dilihat selaku proses kebudayaan yang berperan untuk membentuk abjad bangsa. Pengelolaan pendidikan tidak lagi didasarkan pada aspek-aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan sanggup diterima oleh masyarakat, melainkan prinsip-prinsip ekonomi semata, sehingga terminologi-terminologi di bidang manajemen, seumpama efisiensi, efektivitas, produktivitas, sertifikasi, dan standardisasi, menjadi dominan.

Adapun liberalisasi pendidikan yakni di saat negara secara perlahan dan sistematis melepaskan tanggung jawab penyelenggaraan serta pengelolaan pendidikan dan bebannya ditimpakan terhadap masyarakat, utamanya berhubungan dengan urusan pendanaan. Dalam rancangan ini, semangat untuk membuka tugas absurd masuk ke sektor pendidikan dan kebudayaan amat tinggi alasannya yakni pendidikan dijadikan selaku tubuh kerja keras komersial.

Ideologi ekonomi liberal inilah yang mendominasi Paragraf 12 dalam rancangan ini, sehingga mengabaikan faktor kebudayaan selaku roh pendidikan nasional. Rumusan pasal-pasalnya memicu penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan selaku kegiatan kerja keras semata, bukan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang dilaksanakan oleh negara. Karena pendidikan diposisikan selaku kegiatan usaha, tubuh penyelenggaranya pun disebut tubuh kerja keras dan izin pendiriannya disebut selaku izin tubuh usaha. Ini terperinci terminologi yang menyesatkan. Sejak kapan penyelenggaraan pendidikan menjadi tubuh usaha?

Ada dua hal prinsip yang sungguh menyesatkan dalam rancangan ini. Pertama, hilangnya frase "kebudayaan" dalam metode pendidikan nasional. Penghilangan frase ini terperinci ahistoris. Penyusunnya tidak mengetahui konsepsi pendidikan nasional bahwa pendidikan dan kebudayaan itu selaku dua segi mata duit yang tidak terpisahkan, satu dan yang lain saling memaknai. Selain alasannya yakni praksis pendidikan nasional mesti bersendikan pada agama dan kebudayaan, pendidikan itu sendiri juga ialah kebudayaan, sebagaimana digariskan oleh Ki Hadjar Dewantara.

Kedua, penggantian frasa prinsip pendidikan nirlaba menjadi "dapat nirlaba". Makna prinsip pendidikan nirlaba yakni pendidikan tidak dimaksudkan untuk mencari laba, melainkan untuk mencerdaskan penduduk biar sanggup terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan, keterbelakangan, dan ketergantungan. Bila prinsip ini diganti menjadi "dapat nirlaba", pendidikan intinya mencari untung tetapi juga sanggup tidak mencari laba.

Perubahan frasa itu terperinci menghancurkan tatanan kehidupan dan berbeda dengan alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa salah satu tujuan kemerdekaan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan ialah fasilitas untuk pencerdasan bangsa, bukan mencari keuntungan.

Bila pendidikan menjadi tubuh usaha, kemudian siapa yang wajib menyelenggarakan pendidikan dan menyanggupi hak konstitusional warga negara atas pendidikan?

Rancangan ini terperinci menampilkan nafsu perumusnya untuk menyediakan karpet merah bagi penanam modal absurd untuk menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Hal itu terlihat terperinci dari pergantian Pasal 65 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 90 Undang-Undang Pendidikan Tinggi. Syarat pendirian pendidikan tinggi mancanegara di Indonesia tidak lagi mesti terakreditasi di negaranya dan juga tidak mesti melakukan pekerjaan sama dengan akademi tinggi negeri atau swasta yang terakreditasi A. Dengan demikian, kampus abal-abal di mancanegara pun sanggup membuka cabangnya di sini. Persyaratan bagi warga negara absurd untuk menjadi guru dan dosen pun diperlonggar Bagaimana kita akan menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat jikalau urusan pendidikan pun kita serahkan terhadap bangsa asing? Atas dasar pertimbangan itulah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di bidang pendidikan dan kebudayaan ini tidak layak disahkan alasannya yakni berbeda dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


Dimuat di Koran Tempo 21 Juli 2020

Related : Komersialisasi Pendidikan Dalam Cipta Kerja

0 Komentar untuk "Komersialisasi Pendidikan Dalam Cipta Kerja"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)