Sedia payung sebelum hujan. Begitulah yang ada di benak Putra Purba, warga Ciledug, Tangerang Kota. Dia tidak ingin coronavirus disease atau covid-19 hinggap di tubuhnya. Karena itu, lelaki 31 tahun ini, rela mengantre bareng puluhan orang di halaman Gedung Pelayanan Satu Atap Polda Metro Jaya untuk mengelola Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Senin (22/6).
Dia ingin mengeluarkan duit pajak sepeda motor, mudah-mudahan sanggup digunakan untuk beraktivitas. Sejak pandemi covid-19, Putra menentukan tak lagi menggunakan transportasi umum. Ia merasa pandemi masih mengancam. Bermotor dinilainya lebih kondusif daripada berada dalam transportasi biasa bareng warga lainnya.
“Transportasi biasa rawan. Mendingan naik kendaraan sendiri. Apalagi saya melakukan pekerjaan jaraknya jauh dari rumah,” kata Putra di saat mengobrol dengan Validnews, di lokasi, Senin (22/6).
Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Dia mengamati, tak semua moda transportasi biasa menerapkan protokol kesehatan sesuai proposal pemerintah. Putra pernah menyaksikan transportasi kota (angkot) dalam keadaan penuh. Padahal, pemerintah memastikan pembatasan penumpang optimal 50%.
Taufik Ridwan (33), warga Serpong, Tangerang Selatan juga punya cemas sama. Biasanya, Taufik menggunakan transportasi umum, menyerupai Transjakarta dan KRL di saat berangkat kerja setiap hari. Namun, di saat pandemi menyerang, beliau mulai meninggalkan kebiasaan itu.
Taufik kini lebih menentukan mengendarai kendaraan beroda empat ke kantor di seputaran Thamrin, Jakarta. Padahal, lazimnya beliau lebih menggunakan transportasi umum. Kemacetan di keadaan wajar menjadi hal yang tak mengenakkan mesti dialami apabila menggunakan mobil.
“Biasanya kendaraan beroda empat saya terparkir di rumah. Sekarang alasannya merupakan lagi ancaman makanya saya bawa kendaraan beroda empat sendiri,” kata Taufik, di saat mengobrol dengan Validnews, Senin (22/6).
Kalau pun protokol ketat diterapkan, ada hal lain yang mesti dipikirkan. Selama pandemi, pemerintah bukan cuma mencegah jumlah penumpang. Armadanya pun dikurangi.
"Bayangkan kalau yang mengantre itu ada 100 orang, tiap bus Transjakarta sanggup ngangkut 50 orang, jadi nunggu lagi. Makan waktu lagi. Kaprikornus bawa kendaraan beroda empat aja lebih kondusif dan efisien," kata Taufik.
Yang diungkapkan Putra dan Taufik sejalan dengan hasil riset yang dijalankan oleh forum kajian Visi Teliti Saksama terhadap 595 responden. Transportasi paling kerap digunakan responden selama pandemi merupakan transportasi eksklusif yaitu sebesar 85%.
Kemudian dari jumlah responden yang sama, sebanyak 54,1% tidak menggunakan transportasi biasa apabila armada ini tidak menerapkan protokol kesehatan.
Dari 395 responden, sebanyak 80%-nya mengaku tak tenteram alasannya merupakan kekurangan armada dan pembatasan penumpang. Mereka kalut tak sanggup mempertahankan jarak dengan lainnya, di saat mengantre.
Menurun
Meski hasrat untuk menggunakan kendaraan eksklusif terbilang tinggi, keadaan paradoksal terlihat dari pengurusan pajak kendaraan baik gres maupun perpanjangan. Begitu juga pemasaran kendaraan gres maupun kendaraan bekas.
Dari pemantauan Validnews di Gedung Pelayanan Satu Atap Polda Metro Jaya keadaan sepi terlihat. Sekitar 10 menit sekali, orang masuk ke dalam Gedung Pelayanan Satu Atap Polda Metro Jaya itu.
“Ini berlainan dengan biasanya. Sepi yang mengelola pajak,” kata salah seorang polisi jaga di sana.
Bisa dikatakan, tempat itu dipenuhi orang di saat pelayanan tata kelola kendaraan ini gres beroperasi sekitar pukul 08.00 WIB. Kini, gedung itu terlihat sepi saban hari.
“Hampir tiga bulan jumlah yang ngurus pajak sedikit. Pokoknya beda jauhlah,” kata polisi itu lagi.
Rata-rata mereka yang menyambangi gedung itu cuma untuk memperpanjang pajak kendaraan. Untuk penerbitan STNK gres sungguh minim. Pun, perwakilan dari showroom kendaraan beroda empat dan motor tiba untuk mengelola STNK baru, juga tak banyak menyambangi.
“Memang jarang sekali. Setiap saya jaga, tidak pernah ketemu orang leasing atau showroom ngurus STNK (baru),” kata polisi itu.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro, Kombes Sambodo Purnomo Yogo, terhadap Validnews, Senin (23/5), juga mengungkapkan, menurut pengamatannya, permohonan penduduk yang memperpanjang pajak kendaraan condong menurun. Begitu juga untuk penduduk yang mengelola penerbitan STNK baru.
Tak cuma pengurusan itu. Penerbitan BPKB gres juga sepi. Artinya, tak banyak penduduk yang mengurusi tata kelola kendaraannya di saat pandemi. Namun Sambodo tak sanggup merinci jelas, berapa jumlah orang yang sudah mengelola pajak itu.
“Sekarang pengurusan condong menurun. Tak ada yang signifikan. Datanya ada di pemerintah,” singkat Sambodo.
Potret ini menampilkan realita dari penerimaan pajak yang diperoleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI selama pandemi. Penjualan kendaraan bermotor dilaporkan mengalami penurunan, anjlok melorot.
Lesunya pemasaran kendaraan, baik motor atau kendaraan beroda empat menyebabkan pemasukan pajak tempat menurun. Hal ini merupakan implikasi porak-porandanya ekonomi penduduk sejak pandemi melanda.
Kepala Bidang Pendapatan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, Carto mengamini hal tersebut. Ia mengungkapkan penurunan pemasukan pajak tempat dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), merupakan signifikan.
“Mestinya turut menyusut pemasukan April, Mei, hingga Juni tahun 2020 (dibanding tahun 2019). Pasti ada penurunan lah,” ujar Carto terhadap Validnews, Senin (22/6).
Berdasarkan data realisasi pajak per tanggal 22 Juni, memang terjadi penurunan pemasukan pada PKB dan BBNKB. Per tanggal 22 Juni lalu, PKB sudah terlaksana Rp3,52 triliun atau lebih kecil dibanding realisasi 22 Juni 2019 sebesar Rp3,94 triliun.
Sementara, untuk BBNKB per 22 Juni sudah terlaksana sebesar Rp1,96 triliun. Padahal, pada tahun 2019 pada periode yang sama, realisasi BBNKB sebesar Rp2,37 triliun. PKB dan BBNKB dalam APBD 2020 dijadwalkan masing-masing sebesar Rp9,5 triliun dan Rp5,9 triliun.
“Data tersebut diambil dari lima Samsat. Pembuatan STNK gres masuknya ke PKB dan ada BBNKB-nya juga,” ucap Carto singkat.
Menurunnya pajak dari kendaraan ini berimplikasi serius terhadap kocek pengelola Ibu Kota Jakarta. Sekretaris Bapenda DKI Jakarta Pilar Hendrani pernah menyebutkan bahwa kedua jenis pajak ini menjadi tulang punggung pemasukan.
Demi mendorong realisasi kedua jenis pajak ini, pihaknya terus menjalankan kampanye meyakinkan wajib pajak (WP) bahwa tetap mengeluarkan duit keharusan perpajakan di tengah pandemi covid-19 ini merupakan langkah-langkah kepahlawanan.
Nantinya, perolehan pajak akan digunakan untuk penanganan covid-19. Misalnya, untuk operasional rumah sakit, ongkos penyembuhan pasien, berbelanja alat pelindung diri APD untuk tenaga medis, operasional RS, dan pembiayaan segala upaya penanggulangan penyebaran covid-19.
Penurunan pemasukan ini juga sejalan dengan perdagangan kendaraan yang makin lesu. Christian Watung, salah satu sales kendaraan beroda empat di Mobilkamu menceritakan lesunya pemasaran kendaraan beroda empat di saat pandemi. Selama tiga bulan belakangan, beliau kesusahan untuk memasarkan kendaraan beroda empat baru. Bahkan, untuk menawan perhatian penduduk terhadap kendaraan beroda empat bekas pun susah. Selama pandemi, bapak satu anak ini cuma mengandalkan honor pokoknya saja untuk menyanggupi kebutuhan.
"Ada yang hendak beli alasannya merupakan dipecat jadi mentok di biaya. Batal lagi," kata Christian, di saat mengobrol dengan Validnews, Senin (22/6).
Penjualan kendaraan kendaraan beroda empat di Toyota pun demikian. Direktur Pemasaran PT Toyota Astra Motor (TAM), Anton Jimmi Suwandy menjelaskan, memang pemasaran kendaraan beroda empat mengalami penurunan periode April–Mei 2020.
Anton merinci, retail sales Toyota atau pemasaran kendaraan beroda empat Toyota ke pelanggan di dealer mengalami penurunan yang signifikan. Dari data yang dimilikinya, pada Maret 2020 pihaknya cuma memasarkan 17.787 unit kendaraan beroda empat saja dari permohonan pasar sebanyak 60.449 unit mobil.
Total ini menurun di bulan berikutnya. Pada April 2020 Astra Toyota cuma memasarkan 8.443 unit kendaraan dari total market 24.273 unit.
“Kondisi ini terus turun pada Mei 2020 cuma 6.727 unit (Market Share 39.4%) dari total market 17.083 unit. Tapi Juni mulai naik lagi,” kata Anton, terhadap Validnews, Senin (22/6).
Kondisi ini sudah terjadi sejak pertengahan Maret 2020. Kondisi ini kemudian diperparah dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Di mana, kebijakan ini dipraktekkan di DKI Jakarta dan di seluruh Provinsi di Pulau Jawa. Ditambah acara pemasaran tidak sanggup dijalankan dengan tatap muka.
Karena itu pihaknya putar otak untuk menawan perhatian para pembeli. Banyak cara yang mereka lakukan. Salah satunya, dengan menyediakan promo bunga kredit pembelian kendaraan beroda empat baru.
“Contohnya down payment (DP) sekitar 20–35%, sedangkan banyak di leasing lain DP-nya 30%,” terang Anton.
Setidaknya, acara itu sukses menghasilkan pemasaran kendaraan beroda empat Toyota meningkat. Meski demikian, beliau merasa sulit untuk menghasilkan industri otomotif kembali menyerupai sebelum pandemi menyerang.
“Melihat pasarnya, belum sanggup kembali menyerupai keadaan sebelum covid,” lanjut Anton.
Volume Meningkat
Jika menurut survei, memang didapatkan kenaikan penggunaan kendaraan pribadi. Lantas mengapa berbanding terbalik dengan data pajak ataupun pemasaran kendaraan pribadi?
Menanggapi ini, Direktur Riset Visi Teliti Saksama, Nugroho Pratomo mengatakan, hasrat berkendara eksklusif belum pasti berbanding lurus dengan pembelian atau pun pengurusan pajak kendaraan pribadi. Ada variabel lain yang mempengaruhi. Seperti daya beli, keadaan ekonomi yang belum membaik.
“Jadi orang bekerjsama mau beli kendaraan pribadi, namun suasana ekonomi belum mendukung untuk itu. Bahkan, sanggup saja orang yang tadinya sudah kredit mobil, mesti memasarkan kembali kendaraanya alasannya merupakan suasana ekonomi,” singkat Nugroho.
Pengamat transportasi Darmaningtyas, di saat dihubungi Validnews, Senin (22/6) menjabarkan penglihatan lain. Menurutnya, kendaraan yang ramai di jalanan kini merupakan kendaraan eksklusif yang dibeli jauh sebelum virus corona tiba di Indonesia.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo juga pernah mengungkap survei road side interview (RSI) sejak penerapan PSBB tahap I yang selsai pada 23 April, hingga 10 hari pertama PSBB tahap II.
Proporsi jenis kendaraan yang digunakan penduduk untuk berpindah melalui jalanan Ibu Kota selama PSBB ini, masih didominasi sepeda motor sebanyak 61,07%, sedangkan kendaraan beroda empat 38,93%.
Mobilitas tersebut tercatat menurut kepentingan bekerja. Rinciannya, jenis pekerjaan selaku karyawan swasta menjadi yang terbanyak dengan persentase 38,54%. Disusul pekerjaan lain 32,78%, wiraswasta 19,32%, kemudian pegawai negeri sipil (PNS) yaitu 5,07%.
Darmaningtyas menyatakan, keadaan itu sanggup saja terus meningkat. Apalagi, pasca adanya pelonggaran pada kebijakan PSBB. Setidaknya, baru-baru ini saja, ruas jalan ibu kota mulai ramai dengan kendaraan roda dua.
“Tidak ada opsi lain sekarang. Ini merupakan konsekuensinya dari kebijakan PSBB,” lanjut Darmaningtyas.
Ramainya kendaraan eksklusif di ruas jalanan ibu kota ini bukan memiliki arti penduduk secara perlahan meninggalkan transportasi umum. Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jakarta, Tory Damantoro menuturkan, tren ini cuma sesaat.
Tory menjelaskan, ada pengguna transportasi biasa yang bersifat tetap. Ada pula yang menggunakan transportasi biasa cuma selaku opsi lain dari kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi.
Saat ini, pandemi covid-19 menghasilkan penduduk tak percaya dengan transportasi umum. Banyak penduduk yang kalut terserang virus mematikan itu apabila menggunakan transportasi umum. Tetapi, ini tak berimbas ke pemasaran kendaraan.
“Nah, yang pindah ini yang menyebabkan transportasi biasa selaku pilihan,” tutur Tori.(James Manullang, Yanuarisa Ananta)
Sumber : VALIDNEWS.id, 23 Juni 2020
https://www.validnews.id/Memilih-Aman-Dengan-Kendaraan-Pribadi-zEo
0 Komentar untuk "Memilih Kondusif Dengan Kendaraan Pribadi"