Arifin Ilham: Pendekar Sabung Yang Telah Bergigi Sejak Lahir

Suatu siang di tepi sungai kecil tak berjulukan di Jalan Sutoyo, Banjarmasin, seorang anak lelaki berusia dua tahun sedang asyik bermain-main air menemani sang ibu yang sedang sibuk mencuci. Tiba-tiba bocah itu tergelincir dan sekejap kemudian air yang deras sudah menariknya ke tengah sungai.

Menyaksikan anaknya hanyut, tanpa berpikir panjang ibu yang tengah hamil delapan bulan itu eksklusif menekuni ke sungai. Air sungai yang deras dan dalam tidak menjadikannya ciut. Ia berenang semampunya mudah-mudahan bisa menggapai kaki anak lelaki satu-satunya itu.

Bocah itu sudah karam cukup jauh dan terus meluncur cepat sejalan dengan derasnya air sungai. Sekujur tubuhnya tak terlihat dan cuma sesekali kaki anak itu terlihat menjulur ke atas. Sambil terus berenang, perempuan muda itu berupaya sekuat tenaga menggapai kaki anak itu. Ia seakan sudah tidak peduli lagi bahwa di perutnya tengah ada jabang bayi yang usianya sudah cukup tua.

Syukurlah, bisnisnya membuahkan hasil. Setelah berenang sekitar empat meter lebih, ia alhasil berhasil menangkap kaki putranya. Bocah itu sudah pucat pasi dan tak sadarkan diri. Beruntung, ibu itu masih mencicipi ada gerak kehidupan di jantungnya. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ibu itu menggendong putranya ke pinggir kali. Setelah itu, sang ibu tak sadarkan diri dan tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.

Perjuangan ibu itu tidak sia-sia. Bocah yang nyaris mati karam itu, sekarang sudah menjadi seorang dai [penceramah agama] yang sungguh kondang. Sejak namanya mulai dikenal, nyaris saban hari K.H. Muhammad Arifin Ilham timbul di layar TV atau media lain. Berbeda dengan dai sejuta umat, K.H. Zainuddin M.Z., dan dai administrasi kalbu, Aa Gym, Arifin Ilham tampil dengan gaya zikirnya yang menyejukkan. Seakan menenteng jamaahnya melayang ke langit serta melalaikan dunia yang fana.

BERGIGI SEJAK LAHIR

Saat Arifin kecil itu tenggelam, ayahnya, H. Ilham Marzuki, yang melakukan pekerjaan selaku staf di Bank BNI 46 di Banjarmasin, tengah berada di luar kota. Saat itu Arifin tengah bermain dengan kakaknya, Mursidah, sementara ibunya tengah mencuci. “Saat bermain dengan kakak, saya tiba-tiba terpeleset dan terjatuh ke sungai. Saya eksklusif karam dan sehabis itu saya tak sadar lagi apa yang terjadi,” Arifin Ilham membuka kisah masa kecilnya di sela-sela kegiatannya yang padat, antara lain mengisi siaran rohani di televisi.

Alhamdulillah, Arifin berhasil ditolong dan sehat kembali, sementara ibunya maupun kandungannya juga tak bermasalah. Pada 21 April 1971 [kandungan usia sembilan bulan sepuluh hari] ibunya melahirkan adik Arifin, Siti Hajar, dengan selamat.

Arifin Ilham yakni anak kedua dari lima bersaudara, dan dia satu-satunya anak lelaki. Ayah Arifin masih keturunan ketujuh Syeh Al-Banjar, ulama besar di Kalimantan, sementara ibunya, Hj. Nurhayati, kelahiran Haruyan, Kabupaten Barabay.
Setahun sehabis menikah, pasangan ini melahirkan putri pertama mereka tahun 1967.

Karena anak pertama mereka perempuan, betapa bahagianya mereka ketika anak keduanya yakni laki-laki. Nurhayati menyampaikan bahwa ketika hamil anak keduanya itu, ia merasa biasa-biasa saja, tidak ada tanda-tanda khusus. Hanya, berlainan dengan keempat putrinya, ketika dalam kandungan, bayi yang satu ini sungguh aktif. Tendangan kakinya pun sungguh kuat, sehingga sang ibu acapkali meringis menahan rasa sakit.

Bayi yang lahir tanggal 8 Juni 1969 itu kemudian diberi nama Muhammad Arifin Ilham. Berbeda dengan keempat saudaranya yang lain, yang ketika lahir berat mereka rata-rata 3 kilogram lebih, bayi yang satu ini beratnya 4,3 kilogram dengan panjang 50 sentimeter. “Anehnya, bayi itu sejak lahir sudah bergigi, yakni di rahang pecahan atasnya,” kenang Nurhayati.

Bayi itu selanjutnya berkembang sehat. Usia setahun sudah bisa berjalan dan tak usang sehabis itu ia mulai bisa berbicara. Setelah Siti Hajar, satu demi satu adik Arifin pun lahir. Yaitu, Qomariah yang lahir tanggal 17 Mei 1972 dan si bungsu Fitriani yang lahir tanggal 24 Oktober 1973. Saat berusia lima tahun, Arifin dimasukkan oleh ibunya ke Taman Kanak-kanak Aisyiah dan sehabis itu eksklusif ke SD Muhammadiyah tidak jauh dari rumahnya di Banjarmasin.

Arifin mengaku, ketika masih di SD itu ia tergolong pemalas dan bodoh. “Kata orang Banjarmasin, Arifin itu babal. Arifin gres bisa baca-tulis abjad Latin sehabis kelas 3,” kenang Arifin yang setiap kali mengatakan mengenai dirinya senantiasa menyebut namanya sendiri.

Di SD Muhammadiyah ini Arifin cuma hingga kelas 3, lantaran berantem melawan sobat sekelasnya. Masalahnya, dia tidak rela ada salah seorang temannya yang berbadan kecil diusik oleh sobat sekelasnya yang berbadan cukup besar. Arifin kalah berantem lantaran lawannya satria karate. Wajahnya bonyok dan bibirnya sobek. Agar tidak berantem lagi, oleh ayahnya Arifin kemudian dipindahkan ke SD Rajawali.

KECIL, TAPI TUA

Rumah tempat tinggal orang renta Arifin terletak di Simpang Kertak Baru RT 7/RW 9, kota Banjarmasin, sempurna di sebelah rumah neneknya, ibu dari ibunda Arifin. Sebagai pegawai Bank BNI 46, ayahnya acap kali bertugas ke luar kota Banjarmasin, kadang kala hingga dua-tiga bulan.

Ayah Arifin mengakui bahwa ia tidak banyak berperan mendidik kelima anaknya, sehingga alhasil yang banyak berperan mendidik Arifin yakni istri dan ibu mertuanya. Arifin mengungkapkan bahwa cara mendidik kedua orang renta itu keras sekali.

“Baik Mama maupun Nenek kalau menghukum sukanya mencubit atau memukul. Dua-duanya turunan, kalau nyubit maupun menghantam keras dan sakit sekali,” canda ustadz muda itu.

Nenek Arifin sungguh disiplin. Setiap pulang sekolah, Arifin kecil diharuskan untuk tidur siang. Kalau tak bisa tidur, ia terpaksa berpura-pura tidur, lantaran ditunggui dan dipelototi oleh sang nenek. Kalau mata melek sedikit, neneknya eksklusif berteriak-teriak, “Tidur… tidur…!”

Meski tak dinantikan sekalipun, ia tak berani kabur lantaran kalau tertangkap tangan niscaya eksklusif dicubit atau dipukuli. Meskipun semua saudaranya perempuan, mereka pernah mencicipi cubitan ibu maupun neneknya. “Nenek, kalau nyubit di paha, kenceng sekali, sampai-sampai paha kami biru-biru semua,” tambahnya sembari tertawa.

Di masa kecil, Arifin lebih senang bermain dengan teman-teman yang usianya lebih tua, sehingga ia dijuluki ‘ketu’, maksudnya, kecil tetapi tua. Akibatnya, meski secara fisik dan usianya masih bocah, penalarannya acapkali menyerupai orang dewasa. Ibunda Arifin sungguh terkesan dengan sifat sosial dari anak lelaki satu-satunya itu.

“Sejak kecil, Arifin sungguh berjiwa sosial. Dulu, ketika bawah umur masih kecil, setiap kali saya membagikan kuliner dan di antara saudaranya ada yang merasa kurang, maka pecahan makanannya eksklusif diberikan terhadap saudaranya itu,” kenang sang ibu.

Ada satu ingatan yang tak pernah dilupakan oleh ibu dari lima anak itu. Saat itu, Arifin, yang gres duduk di kelas IV SD, serta semua saudaranya diajak jalan-jalan oleh kedua orang tuanya. Di tengah jalan, Arifin tiba-tiba memohon terhadap ayahnya mudah-mudahan menghentikan mobilnya. Begitu kendaraan beroda empat berhenti, ia secepatnya turun.

Rupanya, Arifin merasa iba menyaksikan seorang lelaki renta yang sulit payah menawan gerobak yang sarat dengan bawaan, menaiki jembatan. Bocah itu eksklusif menolong mendorong gerobak dari belakang hingga alhasil berhasil mendaki jembatan itu.

“Setelah itu, Arifin masih memberi duit terhadap lelaki renta itu,” tutur Nurhayati, mengenang kelakuan putranya.

HAMPIR MAU BAKAR RUMAH

Kenakalan Arifin rupanya masih saja berlanjut, walaupun sudah dipindahkan ke SD Rajawali. “Maklum, lantaran kami tinggal di kota, Arifin mulai agak terpengaruh pada hal-hal yang sedikit negatif,” tutur Ilham Marzuki. ”Dia mulai bisa bermain judi dengan duit skala kecil dan merokok dengan sembunyi-sembunyi.”

Menurut Arifin, ia tidak pernah berjudi dengan taruhan uang. “Arifin memang suka bermain judi dadu, tetapi taruhannya bukan uang,” sergahnya. “Kalau Arifin berjudi, taruhannya kelereng. Kita pasang tiga kelereng, kalau menang sanggup 10 kelereng. Tapi, Arifin banyak kalahnya sehingga lama- kelamaan duit Arifin pun habis untuk berbelanja kelereng. Karena masih ingin main judi, Arifin pun mencuri.

Saat Abah memanggil-manggil dan mengajak shalat berjamaah, Arifin akal-akalan mandi. Begitu Abah sudah mulai shalat, Arifin pun secepatnya masuk ke kamar Abah dan mengambil duit Abah yang ada di kamar. Arifin tak berani mengambil banyak-banyak, cuma sekitar seribu rupiah!”

Pendidikan yang keras dan disiplin terhadap Arifin di rumah rupanya tidak senantiasa membuahkan hasil yang cocok dengan cita-cita kedua orang tuanya. Di luar rumah, Arifin menikmati dunianya sendiri, sehingga menghasilkan kedua orang tuanya jadi kian cemas. “Karena Abah sering ke luar kota, maka Arifin pun jadi kurang terkontrol dan nakal,” kata Arifin beralasan.

Oleh kedua orang tuanya Arifin pun didatangkan guru mengaji ke rumah. Selain diperlukan cerdas mengaji, kedua orang tuanya juga berharap mudah-mudahan anak lelaki satu-satunya itu tidak banyak bermain di luar rumah. Tapi, apa yang terjadi? Arifin justru menghasilkan ulah yang aneh-aneh. Setiap kali guru mengaji itu tiba ke rumah, ia senantiasa saja dijaili Arifin. “Kadang-kadang Arifin gembosin ban sepedanya, kadang kala ngumpetin sandalnya,” ujar Arifin berterus terang.

Saat kelas 6 SD Arifin pernah mengancam akan mengkremasi rumah orang tuanya. Pasalnya, sang ayah tidak mau mengabulkan permintaannya. Rupanya, ia minta dibelikan motor trail, tetapi malah dibelikan motor Vespa. Ayahnya khawatir, kalau dibelikan motor trail, Arifin akan main kebut-kebutan yang tentu sungguh membahayakan keselamatannya. “Biarpun harganya lebih mahal, motor itu tidak trendi,” ungkapnya jengkel.

Meski sudah menyiapkan minyak tanah dan korek api, orang tuanya tidak memperhatikan ancamannya itu. Arifin jadi kesal. Ia kemudian menghasilkan ulah mudah-mudahan ayahnya naik pitam. Suatu sore, ketika banyak orang sedang bermain bulu tangkis di sebelah rumahnya, Arifin ikut bergabung bareng mereka. Ia tahu ayahnya sedang duduk-duduk di teras rumahnya dan dengan gampang bisa menyaksikan apa yang diperbuatnya. Ia juga tahu ayahnya sungguh tidak senang menyaksikan orang merokok, terlebih itu dilaksanakan oleh anak kecil, menyerupai dirinya. Arifin pun bahwasanya tidak senang merokok.

Tapi, untuk memancing kemarahan ayahnya, ia sengaja merokok di depan ayahnya dan orang banyak. Begitu hingga pada tiga empat isapan, sang ayah mendekatinya dan eksklusif menampar sambil memarahinya. “Kamu ini nyontoh siapa, sih. Kamu, kok, jadi pembangkang menyerupai ini? Kamu mau jadi apa kalau sudah besar nanti?”

Tamparan itu tidak cuma mempermalukannya, tetapi juga menjadikannya sakit lahir batin. Maklum, ketika muda ayahnya juga pernah berlatih karate, sehingga pukulannya cukup mantap. Saat itu juga ia kabur dari rumah. Ia sungguh murka dan sakit hati sehingga tidak ingin pulang lagi ke tempat tinggal orang tuanya. Tapi, begitu jauh dari rumah, ia risau mau lari ke mana.

Karena hari sudah larut, maka ia putuskan singgah di rumah Ahmad, kawan dekat mainnya. Ia berpesan terhadap keluarga Ahmad mudah-mudahan tidak menginformasikan keberadaannya terhadap kedua orang tuanya. Tapi, rahasia orang renta Ahmad memberitahukannya terhadap Hj. Nurhayati, ibu Arifin. Nurhayati kemudian menampilkan sejumlah duit terhadap orang renta Ahmad untuk kebutuhan Arifin, baik untuk makan atau kebutuhan lain.

Arifin sama sekali tidak tahu bahwa ibunya sudah mengenali keberadaannya. Tapi, ia merasa ada sesuatu yang agak janggal. Ia tahu persis bahwa kehidupan keluarga Ahmad tergolong susah. “Tapi, kenapa saban hari makanannya senantiasa lezat-lezat? Nasinya enak, lauknya pun lengkap, ada ikan, daging, dan sebagainya,” papar Arifin. “Rupanya, selama Arifin bermalam di rumah ini, senantiasa disubsidi Mama. Mama tiba saban hari dengan sembunyi-sembunyi, tanpa Arifin ketahui atau pas Arifin tidak berada di rumah,” lanjutnya.

Memasuki hari kelima, Nurhayati tiba ke tempat tinggal orang renta Ahmad dan sengaja menemui Arifin. Ia memberitahu bahwa ayahnya sakit keras gara-gara mempertimbangkan Arifin. Ia membujuk putranya mudah-mudahan secepatnya pulang ke rumah. Arifin trenyuh juga mendengar dongeng itu dan ketika itu pun ia bersedia pulang bareng ibunya. Sampai di rumah, Arifin eksklusif memohon maaf terhadap ayahnya yang eksklusif memeluknya. “Kami saling berpelukan dan bertangis-tangisan,” kenang Arifin sendu. “Ini sungguh-sungguh menyerupai dongeng sinetron!” lanjutnya bercanda.

SANTRI BERDASI

Meskipun badung, Arifin berhasil lulus SD dengan baik. Nilai pendidikan agamanya biasa-biasa saja, tetapi nilai pengetahuan biasanya cukup bagus sehingga ia bisa masuk ke Sekolah Menengah Pertama Negeri I Banjarmasin, sekolah favorit di ibu kota Kalimantan Selatan itu. “Kalau Arifin serius dan bergairah untuk belajar, Arifin niscaya mampu,” ujar Arifin. “Ketika kelas 6 Arifin mulai mempunyai semangat belajar, sehingga nilai Arifin pun cukup bagus.”

Tapi, bukan mempunyai arti Arifin tidak nakal lagi. Ia masih suka bermain dengan bawah umur yang lebih renta darinya, serta bermain judi. Tahun 1982 ayah-ibunya berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di depan Kabah kedua orang renta Arifin bersimpuh di hadapan Ilahi, memohon mudah-mudahan Arifin diberikan isyarat dan hidayah oleh-Nya.

Sementara itu, Arifin yang ditinggal di rumah bareng keempat saudaranya, tetap asyik bermain judi. Bekal yang ditinggalkan oleh ayahnya ketika berangkat haji sudah ludes untuk berbelanja kelereng guna taruhan berjudi dadu. Suatu hari, ketika tengah asyik-asyiknya berjudi kelereng, Denny, salah seorang temannya bermain judi, tiba-tiba nyeletuk, “Fin, ayah lu naik haji, lu malah main judi!”

Arifin terenyak dan pikirannya secara tiba-tiba menjadi tidak tenang. Saat itu juga ia eksklusif pamit pulang. Celetukan itu ternyata masuk ke kebijaksanaan Arifin. Meski Denny seorang pemabuk dan penjudi, entah kenapa, ucapannya kali ini seakan eksklusif menohok kalbu Arifin.

Sepanjang perjalanan, ia teringat pada kedua orang tuanya yang tengah menunaikan ibadah haji. Tiba-tiba ia dihantui perasaan bersalah yang hebat terhadap kedua orang tuanya. Bayang-bayang kenakalannya selama ini secara tiba-tiba timbul di hadapannya, menghasilkan batinnya makin tersiksa. Semalaman ia tidak dapat tidur pulas.

Setiap kali terbangun, bayangan kedua orang tuanya muncul, hingga menjadikannya sungguh khawatir. Tiba-tiba saja batinnya tercabik-cabik, hingga menjadikannya menangis sendirian di kamar. “Hidayah tidak senantiasa tiba dari seorang kiai atau ulama, tetapi dapat juga dari mereka yang berlumur dosa,” tandasnya.

Arifin yakin, terbukanya mata hatinya tentu bukan semata-mata lantaran ucapan Denny yang menohok hatinya. Arifin mengatakan, “Selain Arifin memperoleh pesan yang tersirat dari ucapan Denny, doa Abah dan Mamah di Mekah ternyata dikabulkan oleh Allah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, Arifin percaya Abah niscaya memohon pada Allah mudah-mudahan anaknya yang nakal ini bisa memperoleh isyarat dan hidayah-Nya. Saat itu juga nur Ilahi itu tiba-tiba tiba menyoroti seluruh kalbu Arifin.

Sejak itu, Arifin berjanji pada diri sendiri untuk tidak berjudi dan melaksanakan langkah-langkah yang tercela. Kalau selama ini Arifin cuma shalat magrib dan itu pun tidak rutin, sejak itu Arifin bertekad untuk shalat lima waktu.”

Saat kedua orang tuanya pulang dari Tanah Suci, mereka sungguh terkejut menyaksikan pergantian perilaku Arifin. “Kok, Arifin ini berubah sekali sifat dan kebiasaannya?” tanya ayahnya dalam hati. Belakangan, Arifin yang ketika itu gres kelas 1 SMPN bahkan minta dimasukkan ke pesantren.

Menjelang ketika penerimaan rapor semester selesai kelas 1 SMP, Arifin diajak oleh kedua orang tuanya berkunjung ke Pesantren Al-Fallah di kilometer 24, Banjarmasin. Tapi, Arifin menolak untuk dimasukkan ke pesantren itu. “Saya ingin masuk pesantren, tetapi tidak mau pakai sarung. Saya ingin masuk pesantren yang bercelana panjang dan berdasi,” kenangnya sembari tertawa.

Sepengetahuan ayahnya, pesantren yang diperlukan Arifin itu tidak ada di Banjarmasin atau bahkan di Kalimantan. Pesantren Darussalam di Banjarmasin yang dipimpin oleh kakek Arifin pun, keadaannya sama. Pesantren yang dimaksud oleh Arifin itu yakni pesantren terbaru yang cuma ada di Pulau Jawa.

Arifin ternyata tidak keberatan untuk nyantri di Pulau Jawa. Begitu memperoleh rapor kenaikan, ke kelas 2 SMP, Arifin bareng adiknya, Siti Hajar, dikirim oleh sang ibu ke Jakarta tahun 1983. Kedua kakak-beradik itu kemudian dimasukkan ke Pesantren Darunnajah di Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Meski masuk pesantren atas kemauannya sendiri, pada mulanya Arifin merasa sungguh tidak betah tinggal di pesantren yang jaraknya sungguh jauh dari kedua orang tuanya itu. Padahal, di pesantren itu ia juga ditemani oleh adiknya.

“Kalau di rumah kami ingin makan lauk yang enak, tinggal ngomong sama Mamah. Di pesantren, kuliner serba terbatas dan rasanya masih kurang pas di pengecap kami,” kata Arifin. “Setiap ahad kami cuma sekali bisa makan daging serta ikan, selebihnya saban hari kami cuma makan tahu tempe.”

SENINYA JADI SANTRI

Rekan akrab Arifin di Pesantren Darunnajah, Drs. H. Royhan Sabuki, memaklumi unek-unek Arifin. Tapi, ia menyadari kenapa akomodasi pesantren demikian mempri-hatinkan. Saat ia masuk tahun 1983, duit masuknya masih sungguh murah. Saat itu jumlah santrinya gres sekitar 300 orang, dan setiap anak ditarik duit masuk Rp50.000, serta duit makan setiap bulan Rp22.000. “Padahal, untuk sekali makan di warteg [warung Tegal] saja, waktu itu sudah seribu rupiah. Jadi, masuk akal kalau dengan ongkos sebesar itu santapan pokok kami saban hari tidak lepas dari tahu tempe,” kenangnya.

Suatu siang di tepi sungai kecil tak berjulukan di Jalan Sutoyo Arifin Ilham: Jagoan Berkelahi Yang Sudah Bergigi Sejak Lahir
Kenangan tahun 1984 waktu di Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Kebayoran Lama JakSel, waktu itu umur Arifin Ilham 13 tahun


“Di sinilah seninya tinggal di pondok pesantren. Mereka mesti ulet dan disiplin,” kata Ustadz Drs. K.H. Machrus Amin, pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta. “Di pesantren tentunya berlainan dengan di rumah, baik untuk mandi atau makan. Agar bisa mandi pagi-pagi, mereka mesti disiplin bangun pagi-pagi pukul empat. Begitu juga dengan makan. Makan di pesantren itu rumusnya berkah. Sekarang, dengan duit makan Rp135.000 sebulan bagi setiap santri, yang mempunyai arti sekali makan cuma Rp1.500, tentunya tidak akan bisa bikin puas semua pihak. Tapi, masih bisa makan dengan lauk ayam, ikan, maupun daging, tentu sudah lumayan. Dengan budget itu, semua guru dan karyawan sudah bisa ikut makan. Di sinilah letak keberkahan pesantren itu!”

Salah satu sifat yang sungguh berkesan pada diri Arifin dari kacamata Royhan yakni kedermawanannya. Saat di tingkat Aliyah [SMU], pertemanan mereka makin dekat. Setiap kali keluar pesantren, Arifin acap kali mengajak Royhan. “Ustadz Arifin penduduknya sungguh sosial. Setiap kali keluar pesantren, dia niscaya mengajak saya makan dan makannya senantiasa di kedai makanan yang enak-enak,” tutur Sarjana Fakultas Syariah Darunnajah yang sekarang mengasuh Pesantren Darunnisak di Legoso, Ciputat, itu.

Tidak cuma pada dirinya Arifin bersikap dermawan. Suatu hari, Arifin berbelanja baju dari materi kaus di Pasar Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sesampainya di pesantren, salah seorang sobat menegurnya, “Wah, habis beli baju baru, Fin?”

“Ya, lu mau?” jawab Arifin spontan. “Nggak… nggak, ah,” jawab sobat itu malu-malu.
“Ambil, deh, untuk lu!” kata Arifin enteng sembari melempar baju yang gres saja dibelinya itu.

GILA PIDATO

Di samping kasus makan dan akomodasi tempat tinggal, ada kasus lain yang menghasilkan Arifin tidak betah di pesantren. Selain kurang serius dalam belajar, ia merasa sungguh berat mengikuti materi pelajaran agama di pesantren itu.

Seharusnya, untuk masuk di tingkat Tsanawiyah [tingkat Sekolah Menengah Pertama dengan pendidikan agama] mesti berijazah Ibtidaiyah [tingkat SD dengan pelengkap pendidikan agama]. Arifin sendiri berasal dari SD lazim dan pengetahuan agamanya pun sungguh tipis. Ia belum tanpa gangguan membaca dan menulis Arab. Padahal, itu ialah materi utama pelajaran di tingkat Tsanawiyah.

“Karena sungguh jauh tertinggal, maka semangat berguru Arifin pun jadi sungguh kurang,” Arifin beralasan. “Selain itu, di pesantren tersebut nilainya jujur sekali. Kalau nilainya 2 atau 3, nilai di rapor pun akan menyerupai itu. Nilai rapor Arifin pun menyerupai lautan merah. Dari 40 mata pelajaran di rapor, lebih dari 30 mata pelajaran merah semua. Buruk sekali!”

Saat itu Arifin sungguh terpukul dan sedih. Tapi, ia tak mau menyerah. Bagaimanapun, masuk ke pesantren itu yakni kemauannya sendiri. Ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Memasuki semester dua, ia berupaya memacu diri. Kalau orang lain bisa, ia pun mesti bisa, begitu tekadnya. Usahanya tidak sia-sia, ia berhasil naik ke kelas II. Di kelas ini ia memacu diri lebih keras lagi. Hasilnya, sungguh fantastis. Ia berhasil naik kelas dengan nilai yang cukup bagus, sehingga nilainya di atas rata-rata. Belakangan, ia bahkan masuk ranking sepuluh besar di kelasnya.

Tahun berikutnya, Arifin tidak cuma bernilai bagus, tetapi juga menjadi bintang di bidang olahraga dan kesenian. Selain lari dan badminton, ia berhasil menjadi juara membaca puisi. Hanya, dalam bidang pidato, Arifin masih belum pede [percaya diri]. Setiap kali ada jadwal latihan berpidato, keringat hambar membasahi sekujur tubuhnya. Sebenarnya, ia ingin sekali bisa tampil berpidato. Tetapi, ia senantiasa diselimuti ketegangan dan cemas yang hebat setiap kali akan melangkahkan kakinya ke podium.

Tapi, bukan Muhammad Arifin kalau ia eksklusif menyerah. Pikirannya tiba-tiba menerawang jauh ke belakang, ketika ia masih tinggal bareng kedua orang tuanya di Banjarmasin. Setiap sore menjelang magrib, ia dan saudara-saudaranya senantiasa diajak kedua orang renta mereka ke Masjid Sabilal-Muqtadin, sekitar 200 meter dari rumahnya. Mereka berada di masjid hingga shalat isya, sambil menyimak pengajian yang disampaikan oleh K.H. Rafi Hamdan, seorang ustadz kenamaan di kota Banjarmasin. “Arifin sungguh terkesan dengan cara-cara ia menampilkan pengajian. Sayang, sekarang ia sudah tiada,” tutur Arifin.

Arifin sungguh mengidolakan ustadz itu. “Enak juga jadi seorang dai menyerupai beliau, bisa menampilkan pencerahan pada banyak orang,” pikirnya. “Tapi, bagaimana mungkin berceramah panjang lebar menyerupai itu, kalau mau naik ke mimbar saja Arifin sudah gemetaran?” Arifin terus merenung dan berpikir bagaimana caranya bisa berpidato dengan baik. Setiap kali jadwal latihan berpidato itu diselenggarakan di pesantren, ia senantiasa berupaya datang.

Begitu juga ketika di pesantrennya diselenggarakan kontes pidato, ia senantiasa memperhatikan satu demi satu rekan-rekannya yang tampil. Ketika alhasil salah seorang di antara mereka dinyatakan tampil selaku juara, pengamatannya pun dialihkan terhadap rekannya itu. Arifin memperhatikan kehidupan sehari-hari rekannya itu, sejak mulai bangun tidur, shalat, makan, dan sebagainya. “Ternyata anaknya biasa-biasa saja. Kalau dia bisa, kenapa Arifin tidak?” kata Arifin mengungkapkan perasaannya ketika itu.

Sejak itulah, Arifin menyerupai ‘kesetanan’ pidato. Di ketika semua sobat di kamarnya tertidur lelap, ia justru bangun. Ia kemudian berdiri di atas tempat tidurnya, dan beraksi menyerupai layaknya orang-orang berpidato di atas mimbar, ”Para pengunjung yang sedang nyenyak tidur, para bantal, para kasur, dan para sarung yang kumal-kumal yang kami hormati. Pertama-tama marilah kita panjatkan terhadap Allah SWT yang….”.

MR ENGLISHMAN

Cara ‘gila’ berguru dan berlatih pidato itu ternyata tidak percuma. Ia tidak lagi mandi keringat hambar dan gemetaran setiap kali mesti naik mimbar di hadapan teman-teman santrinya untuk berlatih pidato. Ia pun mulai bisa menertibkan kata demi kata yang mesti ia sampaikan dalam setiap latihan pidatonya. Kepercayaan dirinya terus bertambah, sehingga ia pun mulai berani tampil berceramah di luar pesantren. Setiap kali ia pulang piknik ke tempat tinggal orang tuanya di Banjarmasin, ia mulai memberanikan diri berceramah di Dakwatul-Chair, surau yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya.

Meski di pesantren sudah sering berpidato, Arifin mengaku sungguh tegang ketika pertama kali diminta oleh pengelola surau itu untuk berceramah. “Semalaman Arifin tidak dapat tidur dan keringat hambar keluar dari sekujur tubuh,” kenangnya. “Arifin kemudian bangun dari tempat tidur dan berupaya membaca buku untuk merencanakan materi ceramah. Siapa tahu, sambil membaca, mata jadi letih dan bisa tidur. Ee… mata Arifin tetap saja melek dan buku yang Arifin baca pun tidak masuk ke otak. Berhadapan dengan massa ternyata lebih menakutkan!”.

Tapi, cuma sekali itu saja Arifin nervous, sehingga ceramahnya pun dicicipi tidak keruan dan banyak kalimat yang salah-salah. Sampai di rumah, Arifin pun kemudian berpikir panjang. “Arifin ternyata diperlukan umat. Arifin dinantikan oleh umat. Jadi, Arifin mesti lebih serius dan tekun lagi!”.

Hari-hari selanjutnya ketegangan itu kian menyusut dan ia pun tampil dengan sarat percaya diri. Rupanya, banyak jamaah yang menggemari gaya ceramahnya, sehingga belakangan ia diminta tampil di tempat-tempat lain. Akhirnya, setiap kali pulang ke Banjarmasin, Arifin jadi sungguh sibuk.

Di usianya yang masih sungguh remaja, ia sudah menjadi penceramah agama dari masjid ke masjid. “Belakangan, Arifin bahkan diminta untuk berkhotbah Jumat di Masjid Al-Jihad, masjid orang-orang Muhammadiyah yang cukup dipahami di Banjarmasin,” kata sang Ayah.

Menanggapi mengenai kepiawaian Arifin berpidato, Royhan bercerita, “Sejak dulu, cara bicaranya sungguh terlatih, sehingga setiap kali dia tampil senantiasa memperoleh sambutan hangat dari teman-teman. Akhirnya ia pun berhasil menjadi juara di banyak sekali kontes pidato. Selain di Pesantren Darunnajah, ia berhasil menjadi juara pidato tingkat Nasional dan tingkat Asean.”

Kesimpulan Arifin, “Sebesar kesadaranmu, sebesar itu pula keuntunganmu. Sebesar keinsafanmu, sebanyak itu pula keuntunganmu!” Royhan pun sungguh takjub pada semangat dan keseriusan Arifin. Memasuki tahun kedua, setiap santri di Darunnajah diharuskan berkomunikasi dengan bahasa Arab atau Inggris.

Kalau ada santri yang mengatakan sehari-hari tidak menggunakan kedua bahasa asing itu, maka mereka akan dihukum. Hukumannya bisa bermacam-macam, tergantung berapa kali santri itu tertangkap tangan tidak berbahasa asing. Hukuman bisa berupa menghafal atau menulis kata atau kalimat bahasa Arab/Inggris, bisa disuruh membersihkan kamar mandi, dan sebagainya.

Setiap anak diwajibkan menjadi jasus bagi anak lain, sehingga siapa pun yang mengatakan dengan tidak menggunakan bahasa Arab atau Inggris, niscaya akan memperoleh hukuman. Akhirnya, nyaris semua santri pernah menjalani sanksi itu. Kalau teman-teman lain lebih senang mengatakan dengan bahasa Arab, Arifin lebih senang berbahasa Inggris.

Arifin acap kali mengatakan, “I don’t care. I don’t care with the other person!” ujar Arifin menyerupai ditirukan oleh Royhan. “Teman-teman menyebut Ustadz Arifin selaku Mr Englishman!” Royhan bercerita sembari tertawa. Di golongan teman-temannya, Arifin dipahami lebih mahir berbahasa Inggris ketimbang berbahasa Arab.

JAGOAN BERKELAHI

Perjalanan menuju berhasil ternyata memang tidak mudah. Di mana pun, ada saja orang yang iri dan dengki menyaksikan orang lain sukses. Demikian juga yang dicicipi Arifin. Selain merasa sulit bergaul, ia acap kali merasa diperlakukan tidak adil oleh pengasuh pesantren maupun para guru.

Maklum, yang masuk di pesantren itu memang santri-santri dari banyak sekali suku di tanah air, sehingga budaya dan tingkah laris mereka pun bermacam-macam. “Sejak kecil Arifin paling tidak dapat menyaksikan ketidakadilan. Karena itu, Arifin pun terpaksa berantem lantaran menyaksikan ketidakadilan itu,” kata Arifin.

Suatu hari, Arifin menyaksikan ada seorang santri yunior berjulukan Muhammad Ali disakiti oleh santri senior. Arifin pun murka dan tidak mau memperoleh kondisi itu sambil menantang sang senior itu berkelahi. “Eh, lu jangan cuma berani musuh anak kecil. Lawan gua kalau memang jagoan!”.

Dalam peluang lain, Arifin naik pitam lagi ketika ia berhasil memergoki santri yang mencuri lauk-pauk kiriman ibunya dari Banjarmasin. Hampir setiap bulan ia memang memperoleh kiriman kecap, abon, dan ikan khas Banjarmasin. Sebagian ia bagikan terhadap teman-temannya, dan sebagian lagi ia simpan mudah-mudahan bisa untuk makan sebulan. Tapi, belum lagi genap tiga hari, semua lauk itu sudah raib.

Bulan berikutnya, Arifin sengaja memasang jebakan, hingga alhasil berhasil menangkap ‘pencuri’ nya. Arifin pun eksklusif menghajar anak itu. Sambil melempar abon dan kecap ke wajah temannya itu, Arifin membentaknya, “Makan, tuh, abon sama kecap ini!”

Selain dipahami selaku juara kontes pidato, di Pesantren Darunnajah Arifin alhasil juga dipahami selaku santri yang suka berkelahi. Padahal, setiap kali usai berkelahi, Arifin senantiasa memperoleh hukuman, yakni digunduli kepalanya. Suatu hari, ketika Arifin dan santri-santri lain tengah antre makan, secara tiba-tiba salah seorang santri eksklusif nyerobot antrean.

Melihat ketidakadilan menyerupai itu, Arifin tentunya sungguh marah. Saat itu cuma Arifin yang berani menegur santri nakal itu, lantaran dia punya banyak teman. “Meskipun di pesantren, rupanya mereka main geng-gengan juga,” kenang Arifin. “Tapi, Arifin tidak takut, walaupun alhasil Arifin dikeroyok oleh mereka. Perkelahian tentunya sungguh tidak seimbang, sehingga bibir Arifin pun robek dan berdarah-darah!”.

Sebagai hukuman, Arifin pun mesti digunduli. Tapi, ia berontak lantaran merasa diperlakukan tidak adil. Santri yang mengeroyok dan memukulinya ternyata malah tidak dieksekusi sama sekali. “Apanya lagi yang mau dibotaki, Kiai, sementara kepala saya sudah botak?” gumam Arifin.

MULAI DIUNDANG CERAMAH

Merasa diperlakukan tidak adil, Arifin mulai merasa tidak tenteram sekolah di pesantren itu. Ia pun tentukan keluar sekolah, meski gres duduk di kelas dua aliyah [tingkat SMU]. Setelah mengundurkan diri dari pesantren itu, Arifin pun masuk ke Pesantren Assyafi’iyah di daerah Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan. “Saya mencicipi banyak ketidakadilan yang terjadi di Darunnajah, sehingga tidak tenteram lagi untuk meneruskan sekolah di sini,” tuturnya pendek.

Seperti di Darunnajah, tahun 1987 itu Arifin eksklusif masuk ke kelas 2 Aliyah Assyafi’iyah. Di tempat ini ia tidak mondok di pesantren sehingga bisa lebih bebas mengekspresikan kemampuannya berpidato. Awalnya, ia cuma diminta mengambil alih Ustadz Ahmad yang berhalangan hadir lantaran ia mesti berangkat ke luar negeri. Ia dijemput dengan mengendarai motor Vespa dan pulangnya dibelikan nasi goreng.

Undangan ceramah kedua tiba untuk perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tapi, porsinya juga cuma selaku pengisi waktu lantaran Ustadz Manarul Hidayat, Ustadz kenamaan ketika itu yang sebaiknya mengisi jadwal tersebut, tiba agak terlambat. Namun, dua kali pemunculan tanpa sengaja justru menenteng hikmah. Ia mulai dipahami banyak orang. Dan sejak itulah undangan berceramah di lingkungan pesantren itu mulai berdatangan.

Lebih setahun kemudian ia berhasil lulus Aliyah dan berhasil menda-pat ranking ketiga. Menurut rencana, ia akan melanjutkan kuliah ke suatu universitas di Mekah, tetapi beberapa guru menasihatinya mudah-mudahan kuliah di sekolah tinggi tinggi lazim di Indonesia saja. Arifin alhasil mendaftarkan diri di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional di Jakarta.

Sambil kuliah, Arifin terus berceramah di masjid, surau, atau majelis taklim. Kian usang langkahnya kian jauh. Dari seputar Bali Matraman, merambah ke seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Tahun 1994 Arifin lulus dari Universitas Nasional selaku sarjana ilmu kekerabatan internasional. Sambil menjadi dosen di Universitas Borobudur, Arifin makin memantapkan diri selaku dai.

Arifin mengemukakan, “Arifin ingin menunjukan terhadap semua orang bahwa kalau kita bersungguh-sungguh, maka kita akan berprestasi. Di mana pun, kita akan bisa berprestasi!”.

Selain menjadi dosen di Universitas Borobudur dan berdakwah, Arifin mempunyai kegiatan lain. Di tempat tinggalnya di Perumahan Mampang Indah II Depok, Ustadz muda yang masih lajang ini mempunyai kegemaran yang unik: memelihara berbagai jenis satwa, tergolong di antaranya burung hantu, iguana, monyet, dan ular.

Suatu hari, menjelang magrib tahun 1997, ia berhasil menangkap seekor ular kobra sepanjang satu meter lebih di semak-semak. Menurutnya, ular berkepala sisi tiga dan di atasnya ada warna merahnya itu warnanya sungguh indah.

Ternyata, ular itu tidak cuma memukau, tetapi juga nyaris merenggut nyawa Arifin. Bagaimana Arifin bisa lolos dari maut? Dan bagaimana kisah cintanya serta mulanya ia mengajak ribuan umat untuk berzikir?

NYARIS MENINGGGAL

Ular tangkapan Arifin itu diberi makan oleh Sulaeman, salah seorang jamaahnya. Pagi itu Arifin kedatangan tamu, Cut Tursina, ibu angkatnya, seorang dokter gigi, yang minta tolong dikirim ke Parung untuk mencari pohon hias. Usai shalat duha [shalat sunah pagi hari], Arifin eksklusif naik ke mobil. Entah kenapa, secara tiba-tiba ia turun lagi untuk menyaksikan ularnya.

Saat naik ke kendaraan beroda empat lagi ia memberitahu Cut bahwa tangan kanannya digigit ular. Cut mengajaknya ke dokter, tetapi Arifin menolak lantaran merasa tidak ada tanda-tanda sakit apa-apa di tubuhnya. Ia bahkan yang mengemudikan mobilnya. Mereka bertiga pun berangkat sekitar pukul 10 pagi dan rencananya mereka akan mampir ke warung untuk makan, sebelum mencari pohon hias. Tapi, sekitar 200 meter menjelang warung makan langganan mereka di Parung, Arifin tiba-tiba mengeluh persepsi matanya mulai kabur dan mulai sulit bernapas. Ia meminta terhadap Cut untuk menggantikannya mengemudi.

Cut percaya bisa ular itu sudah bereaksi sehingga ia mesti bertindak cepat untuk melarikannya ke tempat tinggal sakit. Setelah keliling ke banyak sekali rumah sakit di Bogor dan Parung, Arifin secepatnya dibawa ke RS Bakti Yudha di Depok. Kondisi tubuh Arifin sungguh-sungguh makin jelek ketika tiba di rumah sakit itu sekitar pukul 12 siang. Cut dan Sulaeman bahkan sudah sempat menalkin [menuntun zikir bagi mereka yang hendak meninggal] Arifin.

Beberapa menit sebelum alhasil tak sadarkan diri, Arifin pun berdoa, “Ya, Allah… kalau hamba tidak lagi berharga hidup di dunia, segeralah hamba Kau panggil ke haribaan-Mu. Tapi, kalau hidup hamba akan berharga dunia-akhirat, maka berilah peluang pada hamba untuk hidup.”

Setelah menyidik dan menyuntik Arifin dengan SABU [serum anti bisa ular], dokter mengusulkan mudah-mudahan Arifin secepatnya dibawa ke suatu rumah sakit negeri yang sungguh besar di Jakarta Pusat. Tapi malang, hingga sore hari berada di ruang gawat darurat, tubuh Arifin yang mulai menghitam itu tak secepatnya disentuh oleh petugas medis. Cut pun eksklusif memindahkannya ke RS Sint Carolus.

Di rumah sakit inilah Arifin memperoleh pertolongan yang intensif. Selain mempunyai perlengkapan yang lengkap, pelayanannya cukup bagus. Saat itu juga Arifin dimasukkan ke ruang ICU, dan tubuhnya eksklusif dipasang alat bantu pernapasan, infus, alat pacu jantung, dan sebagainya.

Arifin dikerjakan oleh dr. Memet Nataprawira, dokter hebat bedah pencernaan yang juga hebat dalam menanggulangi pasien yang digigit ular berbisa. Menurut dokter seorang hebat lulusan UI tahun 1977 itu, ketika Arifin tiba kondisinya sudah sungguh buruk.

Seperti biasanya pasien korban gigitan ular kobra atau ular laut, pernapasan Arifin pun jadi terhenti lantaran yang diracuni yakni sarafnya. “Kalau tak secepatnya ditolong dengan pernapasan buatan, pernapasan korban bisa eksklusif terhenti. Artinya, pasien akan mati,” katanya.

Melihat kondisi pasiennya itu, ia sungguh pesimistis Arifin akan bisa tertolong. “Selain kondisi pasien sungguh buruk, persediaan SABU [serum anti bisa ular] di rumah sakit maupun di seluruh apotek di Jakarta tidak ada. Dari kacamata medis, saya pesimistis pasien akan bisa tertolong! Hanya lantaran Tuhan-lah pasien ini alhasil bisa tertolong,” terang dokter Memet.

Ilham Marzuki, ayah Arifin, yang tiba di hari kedua bareng istrinya sehabis ditelepon Cut, cuma bisa pasrah ketika dipesan dr. Memet untuk bersabar dan banyak berdoa. “Keadaan putra Bapak sudah sungguh parah, 99% sudah tidak ada harapan,” kata dr. Memet dengan sungguh hati-hati. “Bapak sebaiknya banyak berdoa dan kita serahkan jalan yang terbaik pada Allah. Hanya mukjizat Allah-lah yang dapat menolong putra Bapak!”.

Nurhayati, ibunda Arifin, terus-menerus menangis sejak diberi tahu bahwa anaknya masuk rumah sakit lantaran digigit ular. Ia bahkan nyaris pingsan ketika menyaksikan anak kesayangannya itu tak sadarkan diri. Belahan jiwa yang sekarang menjadi sanjungan keluarga itu, sekarang tengah menanti malaikat maut. Tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali, kecuali denyut jantung yang dibantu dengan alat pacu jantung, dan tarikan napas yang dibantu dengan alat bantu pernapasan.

Esoknya, ketika menyidik Arifin, dr. Memet menyaksikan kaki pasiennya itu bergerak-gerak. “Alhamdulillah… putra Bapak masih ada cita-cita untuk hidup. Kakinya sudah mulai bergerak-gerak,” katanya terhadap Ilham. Ditambahkannya, kalau seorang pasien yang masih koma itu tiba-tiba menggerakkan kakinya, maka cita-cita hidup pasien itu cukup tinggi. “Fisik pasien ini memang sungguh prima. Dari hasil investigasi menampilkan bahwa otak, jantung, ginjal, maupun paru-parunya bagus tidak terkena racun bisa, sehingga alhasil lolos dari maut,” tutur dr. Memet.

ZIKIRNYA MUDAH DIPAHAMI

Arifin bersyukur kesehatannya secara sedikit demi sedikit pulih kembali, sehabis 21 hari mengalami koma. Setelah sebulan menunggui Arifin di rumah sakit, Ayahnya pun kembali ke Kalimantan, sementara Ibunya menemaninya di rumahnya di Depok. Perlahan-lahan lumpuh pada kaki dan tangannya mulai sirna, dan belakangan tinggal matanya yang silau setiap kali menyaksikan cahaya.

Tapi, tak usang kemudian kondisi matanya berangsur membaik. Ia juga sudah mulai aktif kembali ke Masjid Al-Amru Bit-Taqwa, masjid yang diresmikan olehnya bareng tetangganya di Perumahan Mampang Indah II, Depok. Selain berceramah, ia mulai lagi memperbanyak zikir berjamaah [zikir bersama-sama].

Suatu siang di tepi sungai kecil tak berjulukan di Jalan Sutoyo Arifin Ilham: Jagoan Berkelahi Yang Sudah Bergigi Sejak Lahir


Budi Noor dan Abdul Syukur, orang akrab Arifin, mengemukakan bahwa zikir berjamaah itu sudah dilaksanakan jauh sebelum Arifin mengalami koma akhir digigit ular. “Saya rasa keliru kalau menilai Ustadz Arifin berzikir sehabis digigit ular kobra dan lolos dari maut. Jauh sebelum itu Ustadz Arifin sudah acap kali memimpin jamaah zikir!” tandas keduanya.

Arifin juga mengelak asumsi beberapa media bahwa ia berzikir selaku ungkapan rasa syukur dikarenakan sudah lolos dari maut. “Arifin berzikir lantaran ingin menyayangi Allah secara lebih total! Arifin prihatin menyaksikan kenyataan umat Islam yang ketika ini sedang terpuruk, dizalimi, difitnah, dan ditindas.

Anehnya, umat Islam yang di Indonesia katanya lebih banyak didominasi ini, ternyata tak berdaya sama sekali untuk melawannya. Ia sedih, para koruptor besar bebas dari hukuman, sementara orang yang belum tentu bersalah sudah memperoleh sanksi berat,” lanjutnya lagi.

Arifin kemudian menceritakan bahwa ketika ia memperkenalkan zikir berjamaah itu di masjidnya sekitar tahun 1997, jumlah jamaahnya cuma dua-tiga orang saja. Tapi, ia terus berupaya meyakinkan para jamaahnya bahwa zikir berjamaah itu sungguh besar faedahnya.

Dalam suatu hadis dikatakan, “Sesungguhnya kelompok yang berzikir terhadap Allah memperoleh empat perkara. Yaitu, turunnya ketenteraman pada mereka, rahmat akan menaungi mereka, para malaikat akan mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para makhluk yang ada di dekat-Nya.”

Arifin menyadari, untuk mengajak ke jalan kebaikan itu tidaklah mudah. Setelah beberapa tahun berzikir di masjid dengan dua-tiga jamaah, belakangan mulai bertambah menjadi satu saf [sebaris shalat, sekitar 15 orang], dua saf, dan alhasil masjid pun dipenuhi jamaah zikir.

Setelah Arifin berulang kali tampil berzikir di layar teve, belakangan jumlah jamaah yang tiba pun makin tak tertampung lagi di masjidnya. Apa boleh buat, ia pun terpaksa memasang tenda dan tikar di depan dan belakang rumahnya menuju ke masjid. Majelis zikir yang diselenggarakan setiap permulaan bulan itu dihadiri puluhan ribu jamaah.

Kenapa zikir Arifin ketika ini terasa begitu memikat? Syaefullah, mahasiswa jadwal pascasarjana UIN [Universitas Islam Negeri] Syarif Hidayatullah, menilai, keistimewaan zikir yang dibawakan Ustadz Arifin itu yakni sungguh sederhana dan gampang dipahami semua orang.

Menurutnya, ada lima alasannya utama kenapa zikir Arifin secepatnya menasional. “Pertama, zikir ia ini lepas, tidak terikat dengan pakem dan tarekat tertentu, sehingga setiap orang bisa mengikuti tanpa mesti dibaiat [diambil sumpah]. Kedua, cara berzikirnya gampang dibarengi oleh orang awam sekalipun, lantaran setiap kali senantiasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ketiga, zikirnya itu bukan sekadar zikir, tetapi ada muhasabahnya, yakni kerja keras mengoreksi diri sendiri, sehingga setiap orang bisa eksklusif tersentuh. Keempat, zikirnya ini bukan sekadar zikir lisan, tetapi hingga ke hati, sehingga semua orang bisa menangis karenanya. Kelima, zikirnya itu dapat dibarengi oleh semua orang dari semua golongan,” paparnya.

MISTERI GUMPALAN SINAR

Arifin mengaku sudah berulang kali mengalami peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya. Selain pernah nyaris mati karam di sungai ketika kanak-kanak, kemudian digigit ular berbisa, Arifin juga nyaris mati ketika melintasi rel kereta api di Citayam, Bogor, tahun 1996. Karena di perlintasan itu tidak ada pintunya, maka ia pun eksklusif saja melintasi rel itu.

“Begitu masuk ternyata ada kereta lewat, sehingga pantat mobilnya tinggal beberapa sentimeter saja dengan tubuh kereta itu. Semua orang di jalan itu berteriak senang lantaran Arifin lolos dari maut,” kenangnya. “Setahun berikutnya, Arifin juga nyaris mati ketika nyaris tubrukan dengan truk. Jaraknya juga tinggal beberapa sentimeter saja,” lanjutnya.

Budi Noor, yang juga tetangga Arifin, menyaksikan keajaiban lain. Suatu hari, usai shalat magrib, ia menyaksikan seberkas sinar di atas rumah ustadz muda itu. Semula ia tidak percaya dengan persepsi matanya, kalau-kalau cuma suatu halusinasi atau mimpi. Tapi, sehabis berulang kali ia mengusap matanya, ia percaya akan apa yang dilihatnya.

Selama beberapa ketika sinar itu tetap berada di situ hingga alhasil berputar membentuk kerucut dan menghilang ke arah langit. Anehnya, cuma dia sendiri yang menyaksikan insiden itu. Karena, ketika ia tanyakan terhadap para tetangganya yang lain, mereka mengaku tidak menyaksikan sinar apa pun di atas rumah Arifin.

Syaefullah yang sekarang menjadi ajun Ustadz Arifin juga mencicipi sesuatu keganjilan lain. “Bau keringatnya lain, tidak menyerupai insan biasa,” ujarnya. “Saya merasakannya sendiri, baunya wangi. Saya percaya itu bukan amis minyak wangi, lantaran saya juga tahu amis minyak wangi.” “Ia tidak cuma wangi, tetapi juga smart dan tampan!” sambung Dr. H.M. Bhakty Kasry, Presiden Direktur PT Pandu Logistik, perusahaan jasa pengiriman.

“Ia mempunyai mata hati yang dalam dan mempunyai karisma yang tinggi. Nilai plus yang paling utama, ia memperoleh hidayah dari Allah! Kalau tidak memperoleh hidayah-Nya, mana mungkin jamaah pengajian dan zikirnya makin hari makin bertambah. Puluhan ribu jamaah mengunjungi pengajian yang diselenggarakan setiap permulaan bulan di masjidnya. Sebagai Ustadz muda, ia bisa menjalankan syariat agama dengan baik dan dengan fokus tinggi. Dalam mengatakan ia santun dan terbimbing. Ia mempunyai pengetahuan luas dan ilmu pengetahuan agamanya pun cukup, lantaran ia dibesarkan di pesantren. Ia mempunyai visi yang jauh dan bisa bergaul dengan yang renta maupun yang muda. Sebelum mengusulkan terhadap jamaah, jauh-jauh hari ia sudah melakukannya sendiri,” tambahnya.

Mengenal Arifin sekitar tiga tahun yang lalu, Bhakty merasa relevansinya jadi sungguh dekat. Di antara mereka tidak cuma saling mengenal, tetapi sudah menyerupai keluarga. “Kami sering silaturahmi, jalan bareng, dan menyebarkan rasa, menyerupai layaknya kakak dengan adik,” tambah lelaki pujakusuma [putra Jawa kelahiran Sumatra] ini. Ia mengakui, warna kehidupannya ketika ini banyak dipengaruhi oleh Arifin.

Saat ini, selain secara intensif menjalankan tujuh sunah Rasul sesuai yang diajarkan Arifin, alumnus Institut Ilmu Keuangan ini juga mempercayakan Arifin untuk duduk selaku komisaris di perusahaannya.

Suatu siang di tepi sungai kecil tak berjulukan di Jalan Sutoyo Arifin Ilham: Jagoan Berkelahi Yang Sudah Bergigi Sejak Lahir
Sebelum memberi tausiyah di masjid Muammar Qoddafy, Arifin senantiasa sempatkan untuk mencium dan memeluk ibunda


Di pihak lain, Arifin mengakui kiprah Bhakty sungguh besar dalam menolong acara Majelis Zikir yang dipimpinnya. “Kami dan teman-teman di sini, Pak Bhakty yang menggaji. Bahkan, rumah dan kendaraan yang Arifin pakai yakni pemberiannya,” tuturnya jujur.

Abdul Syukur mengemukakan bahwa apa yang dijanjikan Allah itu memang terbukti dengan menyaksikan keseharian Ustadz muda yang dikaguminya itu. “Seperti janji Allah, makin banyak kita menampilkan infak dan sedekah, hidup kita makin berkah. Itu memang saya saksikan eksklusif pada kehidupan Ustadz Arifin!” tandasnya. “Tangan kanannya, masya Allah… sarat hikmah, enteng sekali untuk beramal.

Bagi Ustadz Arifin, tiada hari tanpa bersedekah lantaran dia sungguh tanggap terhadap penderitaan orang lain. Kalau ada tetangga, teman, atau siapa pun yang ditimpa musibah, anaknya masuk sekolah tak mempunyai uang, atau kesusahan lain, tanpa diminta ia niscaya eksklusif membantu!”

BERTEMU JODOH

Kalau memang jodoh, tidak akan ke mana-mana! Begitu petuah orang tua. Kisah itulah yang terjadi pada pasangan Arifin dengan Wahyuniati Al-Waly, putri ketiga dari enam bersaudara dari mantan anggota DPR, Drs. Teuku Djamaris. Arifin pertama kali berjumpa Yuni ketika usai berceramah di kediaman keluarga H. Yusuf di Depok, September 1997.

Saat itu Arifin tengah duduk menanti antrean makan, begitu pula Yuni. Jarak di antara mereka sekitar tiga-empat meter. Tiba-tiba di antara keduanya saling beradu pandang dan keduanya pun saling tersenyum. Hanya beberapa detik saja tubruk pandang itu berjalan dan sehabis itu mereka pun pulang. Setelah itu, mereka pun tidak pernah saling bertemu, terlebih saling berbicara.

Malam itu Yuni tidak pulang ke tempat tinggal orangtuanya di Kompleks dewan perwakilan rakyat di Kalibata, lantaran ia memang bertujuan bermalam di rumah sahabatnya, Fitrah, di Depok. Semula ia tidak bertujuan mengikuti pengajian itu, lantaran niatnya memang cuma ingin kangen-kangenan ke tempat tinggal sahabatnya yang sama-sama dari Padang itu. Karena itu, ia pun pergi ke pengajian dengan busana seadanya, yakni celana jins, baju berwarna biru, dan kerudung putih. Tapi, ia tidak merasa rugi mengunjungi pengajian itu. “Ustadznya masih muda, cakep, dan materi ceramahnya pun tidak mengecewakan menarik,” kenangnya.

Meski percaya matanya tidak salah ketika menyaksikan keelokan gadis itu, Arifin tidak mau mengumbar perasaannya. Ia tak berupaya mencari tahu siapa dan dari mana gadis itu. Ia biarkan kehidupannya mengalir sesuai kehendak-Nya. Sebagai makhluk yang berupaya menyerahkan seluruh kehidupannya cuma untuk Allah, dalam urusan jodoh pun ia pasrahkan seutuhnya terhadap Sang Mahakuasa. Setiap malam dia bangun kemudian shalat tahajud dan berserah diri kepada-Nya.

Sejak masih kuliah di Universitas Nasional, kemudian lulus kuliah, dan selanjutnya menjadi dosen di Universitas Borobudur, sudah berulang kali ia berteman dengan wanita. Tapi, sejauh itu senantiasa saja gagal hingga ke pelaminan.

Hari-hari pun berjalan, ternyata Tuhan belum pula menampilkan tanda-tanda akan datangnya seorang pujaan hati. Suatu hari, ada salah seorang temannya, Hasan Sandi, yang menawarinya berkenalan dengan seorang gadis. Katanya, “Ustadz Arifin… mau tidak kalau saya kenalkan dengan seorang gadis. Dia seorang putri ulama.”

“Mau, anaknya tinggal di mana?” Arifin balik bertanya. “Di Kalibata. Tapi, lebih baik kita ketemu di tempat lain saja, deh.”

Suatu hari di bulan Februari 1998 Hasan menelepon Arifin lagi. Ia memanggil Arifin untuk menampilkan ceramah dalam jadwal selamatan menempati rumah baru. “Nanti saya kenalkan sekalian dengan gadis itu,” kata Hasan. Saat memasuki rumah itu, Arifin terkejut ketika menyaksikan salah satu foto yang terpampang di kamar tamu, yang rupanya pernah dia kenal. “Ini, lho, foto gadis itu,” kata Hasan sambil menunjuk foto itu.

Bertepatan dengan tangan Hasan menunjuk foto gadis itu, menyerupai disihir, gadis itu keluar bareng kedua orang tuanya. Hanya beberapa detik, lantaran sehabis itu gadis yang mengenakan celana biru, baju biru, dan kerudung putih itu eksklusif masuk ke dalam lagi. Saat itu Arifin gres ingat bahwa ia pernah berjumpa dengan gadis itu sekitar enam bulan yang lalu, ketika ia berceramah di Depok.

Kali ini Arifin sungguh-sungguh jatuh cinta. Sejak kedua kalinya berjumpa gadis itu, ada perasaan yang aneh di hatinya. Bayang-bayang gadis kerudung putih itu terus mengganggu kesendiriannya. Tapi, berlainan dengan pada biasanya muda-mudi lain, ia menyodorkan perasaan hatinya terhadap Sang Maha Pencipta. Setiap kali bangun malam, ia eksklusif bersujud dan bersimpuh di hadapan-Nya. Sambil berdoa ia menangis dan memohon isyarat mudah-mudahan diberikan pendamping hidup yang terbaik untuknya.

Selama ini, ia memang senantiasa mempergunakan sepertiga malam yang terakhir untuk-Nya. Hanya, sekarang mutu dan kuantitas penghambaannya terhadap Allah itu kian ditingkatkan. Setiap malam ia shalat malam delapan rakaat ditambah witir tiga rakaat. Memasuki hari kesebelas, ia tiba-tiba mengalami capek yang hebat hingga ia pun tertidur.

Di tengah kelelapan tidurnya, ia berkhayal seolah menjalankan ibadah umroh bareng gadis itu sempurna tanggal 1 Muharam. Arifin percaya, mimpinya kali ini bukan sekadar kembang tidur. “Ini yakni isyarat Allah yang Arifin terjemahkan untuk menikah tanggal 1 Muharam,” tegasnya.

Pagi-pagi, usai shalat subuh, ia eksklusif menelepon gadis itu. “Aku Muhammad Arifin Ilham,” katanya mengawali pembicaraan. “Aku ingin menyampaikan sesuatu terhadap kamu. Pertama, saya ingin menikah dengan kau tanggal 1 Muharam. Kedua, niatku ini lantaran Allah. Ketiga, lantaran sunah Rasul. Keempat, saya ingin melayang ke langit. Cuma sayang, sayapku cuma satu. Bagaimana kalau salah satu sayap itu yakni kamu? Kelima, saya perlukan jawabanmu besok pukul 5 pagi.”

Gadis itu terduduk lunglai. Berbagai perasaan menyelimuti kalbunya. Di satu sisi ia merasa tersanjung dan bahagia, tetapi di sisi lain ia juga merasa sedih dan khawatir. Bagaimanapun, ia belum mengenal lelaki itu, walaupun ia seorang ustad. Sebagai gadis, selama ini ia belum pernah pacaran atau pergi berduaan dengan lelaki.

Selain tidak senang pergi-pergi iseng, pendidikan ayahnya pun sungguh ketat. Sudah berulang kali ia dilamar, tetapi senantiasa ditolak oleh kedua orang tuanya. Karena itu, mulanya ia gamang ketika ingin menyodorkan lamaran Arifin itu.

Apa boleh buat, lamaran ‘mengagetkan’ dari ustadz muda itu mesti secepatnya dia sampaikan terhadap kedua orang tuanya, lantaran esok subuh sudah dinantikan jawabannya. Untunglah kedua orang tuanya menyetujuinya. Saat esok harinya, pukul 5 pagi, Arifin telepon dan yang memperoleh Yuni sendiri, ia percaya lamarannya bakal diterima.

Satu bulan kemudian, sempurna tanggal 1 Muharam [28 April 1998], Arifin dan Yuni menikah di Masjid Baiturrahman di Kompleks dewan perwakilan rakyat Kalibata. Dua sejoli ini ternyata banyak kesamaannya. Antara lain, Arifin maupun Yuni yakni alumni Pesantren Darunnajah dan Universitas Nasional. Hanya deadline tenggang mereka yang berbeda. Kedua kakek mereka sama-sama mempunyai pesantren, yang namanya juga sama, Darussalam.

Kini, pasangan ini dikaruniai dua putra, Muhammad Alvin Faiz [4 Februari 1999] dan Muhammad Amer Adzikro [21 Desember 2000]. Saat ini pasangan muda yang berbahagia ini tengah menantikan bayinya yang ketiga, yang diperlukan lahir pada bulan Oktober ini. “Saya sungguh bahagia, doa saya dikabulkan oleh Allah,” tutur Yuni yang sehari-hari diundang ‘Sayang’ oleh suaminya.

Diceritakannya, sejak sekolah Sekolah Menengah Pertama hingga kemudian menuntaskan masa gadisnya, setiap kali usai shalat wajib ia senantiasa berdoa. Tanpa ada yang memerintahkan dan tak ada yang mengajarinya, Yuni senantiasa memohon terhadap Tuhan mudah-mudahan memperoleh jodoh lelaki dengan 10 kriteria.

Antara lain, lelaki yang saleh, beriman, ganteng, berkecukupan, terkenal, berakhlak mulia, dicinta semua umat, bertanggung jawab, dan pintar. Katanya, “Alhamdulillah… semua yang saya mohon itu ternyata ada pada diri Kak Arifin!”.

[Azzikra.com / Agoes MD – Femina]


TIDAK SUSAH UNTUK BERTEMU DENGAN USTADZ ARIFIN ILHAM


Assalaamualaikum wa rahmatullaahi wabarakaatuh.

Subhanallah sahabatku, jangan katakan lagi sulit berjumpa arifin.

Insya Allah selama tidak ada liqo da'wah keluar, insya Allah saya senantiasa berjamaah di masjid Azzikra Sentul khususnya di waktu subuh.

Kusarankan kalau kalian sahabatku ingin shilaturrahim denganku, ayo kita sholat subuh berjamaah di masjid Az Zikra Sentul, kutunggu setiap subuh berjamaah hingga waktu isyroq berkisar 06.15 di masjid Az Zikra Sentul, dan silahkan ikut liqa halaqoh setiap subuh, tadarus bareng bersamaku.

Juga bisa dengan menelepon Akhi Kris di no telephone 081389621113 atau Akhi Meldi di telephone 087886001417

Kutunggu kalian sahabatku seiman yang senantiasa merindukan kedamaian kebahagiaan hidup dalam naungan Syariat Allah... Aamiin.

Sahabatmu

Muhammad Arifin Ilham
Sumber https://www.kabarmakkah.com

Related : Arifin Ilham: Pendekar Sabung Yang Telah Bergigi Sejak Lahir

0 Komentar untuk "Arifin Ilham: Pendekar Sabung Yang Telah Bergigi Sejak Lahir"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)