Menyoal Uud 1945 Dan Ji Model Amerika

Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin.

Persidangan urusan makar dengan terdakwa Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Kamis 8 Juli 2003 lalu, berlainan dari biasanya. Pasalnya, pada persidangan itu Jaksa Penuntut Umum mendatangkan saksi ahli, Prof. Loebby Loekman. Kepadanya, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir menanyakan dua hal, yang kedua-duanya tidak memperoleh balasan pasti. Pertanyaan itu sungguh cerdas, sehingga menghasilkan kita tercenung mendengarnya. 

Pertanyaan pertama, menyangkut pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Nah, selaku luar biasa hukum, dapatkah Profesor menerangkan apa definisi ibadah menurut Undang-Undang Dasar 1945? Kedua, apabila pemerintah tidak menjamin kemerdekaan dan keleluasaan beribadah menurut keyakinan agama, yang mempunyai arti melanggar pasal 29 ayat 2 itu, apakah pemerintah tersebut sanggup dituntut?

Dengan argumentasi dirinya bukan luar biasa agama, Prof. Loebby Loekman menyatakan, pertanyaan tersebut tidak sanggup dijawabnya. Karena itu, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir pun menjelaskan, bahwa definisi ibadah menurut Islam adalah,”Segala ucapan dan perbuatan yang diridhai Allah”. Maka, menerapkan syari’at Islam secara kaffah (lengkap dan menyeluruh, tidak sepenggal-sepenggal) ialah cara beribadah yang paling sempurna.

Apabila kita mengartikan ibadah menggunakan pemahaman di atas, maka kedua pertanyaan tadi berimplikasi sungguh luas, baik dalam perspektif syari’ah Islam maupun undang-undang negara RI. Karena faktanya selama ini, setiap kali umat Islam menuntut berlakunya syari’at Islam, pemerintah menilainya selaku langkah-langkah inkonstitusional. menentang Pancasila, bahkan dianggap makar terhadap pemerintah yang sah. Padahal, membatasi warga negara beragama Islam untuk menjalankan syari’ah Islam, mempunyai arti menghalangi keleluasaan beribadah. Hambatan demikian, tidak saja mengabaikan hak konstitusional umat Islam, namun juga melanggar syari’at Islam dan mengkhianati Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam rumusan yang spesifik, syari’at Islam mempunyai arti segala ketentuan yang tiba dari Allah SWT dan Rasul-Nya untuk mengendalikan kehidupan insan dalam segala aspeknya: akidah, akhlak, maupun pergaulan sosial (mu’amalah). Karena itu, syari’at Islam tidak saja mengendalikan pelaksanaan dari keharusan itu. Tetapi juga, mengendalikan hukuman aturan bagi mereka yang terbukti melanggar larangan dan mengabaikan perintah Allah SWT.Segala ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menyanggupi fungsi syari’at Islam secara luas. Yakni, menjamin kemerdekaan orang untuk beragama (hifdzud din), melindungi nalar dari imbas yang menghancurkan fungsi nalar dalam kehidupan insan (hifdzul ‘aql), menjamin kesucian keturunan, sehingga tidak ada kesangsian perihal nasab seseorang dengan orang tuanya (hifdzun nasl), mengayomi dan menjamin keamanan hidup insan (hifdzun nafs), serta menjamin dan melindungi hak kebendaan manusia, baik selaku hak eksklusif maupun hak bareng (hifdzul mal),

Salah satu makna hifdzud din (menjamin kemerdekaan orang untuk beragama) adalah, di dalam suatu negara yang menerapkan syari’at Islam, warga negara yang tidak beriman terhadap Allah dan Muhammad Rasulullah saw, terhadap mereka dibebaskan (diberi kemerdekaan) untuk memeluk dan menjalankan ibadat sesuai dengan ketentuan agama yang dipercayainya itu. Harta, nyawa, dan rumah ibadah mereka dijamin keselamatannya oleh negara. Hidup mereka terlindungi, hak-hak politik dan sosial mereka dipenuhi sebagaimana warga lainnya.

Artinya, bagi seseorang yang paham betul apa itu syari’at Islam menyerupai Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, amat tidak mungkin baginya merestui, terlebih hingga mewakilkan untuk meledakkan gereja, membunuh perempuan (Megawati), tanpa argumentasi yang dibenarkan oleh Islam. Tuduhan-tuduhan itu layaknya lahir dari seseorang atau sekelompok orang yang mengidap frustasi politis dan ideologis.

Arah tuduhan ini kian jelas, yakni menjerat Abu Bakar Ba’asyir selaku pelaku makar, menggunakan kalangan JI yang dikonotasikan jaringan teroris internasional. Selain untuk menjajal mendapatkan penggagas Islam, stigmatisasi JI juga digunakan untuk kepentingan Zionis dan Salibis, yakni menekan pemerintah mudah-mudahan mempertegas pemisahan agama dengan negara.

JI Versi Siapa
Apabila Ustadz Abu Bakar Ba’asyir mau dikait-kaitkan dengan Jama’ah Islamiyah (JI), maka patut dipertanyakan, JI yang mana dan model siapa? Dalam perbendaharaan politik pemerintah Indonesia, JI ada dua versi.

Pertama, JI model Jaksa Penuntut Umum (JPU). Istilah JI pertamakali timbul pada persidangan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir di PN Sukoharjo, 1982, berasal dari tuduhan Jaksa Penuntut Umum, Roedjito. Baik Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar Ba’asyir sejauh ini belum pernah menggunakan perumpamaan JI. Pada persidangan tahun 1982 itu, selain perumpamaan JI juga timbul dua perumpamaan lainnya, yakni Jama’ah Ansharullah dan Mujahidin.

Oleh alasannya itu, JI model JPU yang dituduhkan terhadap Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir yakni suatu tata cara atau metodologi yang dikembangkan oleh komunitas Islam dalam memperjuangkan berlakunya syari’at Islam. Sebagai suatu tata cara atau metodologi, ia sanggup didapatkan pada ormas atau partai Islam manapun. Jl dalam pemahaman ini, tidak lebih dari suatu kalangan pengajian biasa (bukan ormas atau bentuk kelembagaan lainnya), yang di Malaysia dipahami dengan pengajian As-Sunnah. Tema pengajiannya berkisar pada perlunya umat Islam kembali terhadap syari’at Islam, selaku penyempurnaan tauhid terhadap Allah SWT.

Selama tujuh belas tahun, sejak 1982-1999, tidak pernah ada tuduhan yang mengaitkan perumpamaan JI dengan serangkaian langkah-langkah teror, terlebih mengkaitkannya dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Bahkan selama 13 tahun berdakwah di Malaysia (1986-1999), PM Mahathir Mohammad tidak pernah mempersoalkan eksistensi mereka di negeri tersebut.

Demikian pula pasca wafatnya Abdullah Sungkar, 1999, yang konon kedudukannya selaku Amir JI dilimpahkan terhadap Abu Bakar Ba’asyir. Sejak tahun 1999, Abu Bakar Ba’asyir kembali ke habitat asalnya selaku guru di pesantren Ngruki, tidak pernah ada tuduhan serupa. Pada Agustus 2000 dia diangkat selaku Amir Majelis Mujahidin lewat Kongres Mujahidin 2000 di Yogyakarta.

Versi kedua, yakni JI model Amerika dan PBB. Mencuatnya perumpamaan JI dengan konotasi teroris, terjadi pasca-tragedi meledaknya WTC dan Gedung Pentagon, 11 September 2001, serempak dengan dimunculkannya nama Usamah bin Ladin, pimpinan al-Qaidah yang dikategorikan oleh Amerika selaku institusi teroris internasional.

Artinya, kalau memang pegawapemerintah berwenang memperoleh indikasi keterlibatan JI dengan serangkaian agresi teror di tanah air, maka pastilah JI yang dimaksud bukan JI model JPU yang dituduhkan terhadap Abdullah Sungkar dan Ba’asyir. Menuduh Abu Bakar Ba’asyir selaku pimpinan JI model Amerika, bukan saja tidak relevan, namun juga bertolak belakang dnegan pemberitahuan saksi Imam Samudera, Mukhlas, Ali Imran, dan Amrozy, yang kini menjadi tersangka insiden bom Bali. Semuanya menyangkal keras ihwal keterkaitan antara urusan mereka dengan Abu Bakar Ba’asyir.

Selain dituduh terlibat agresi teror, Ba’asyir juga dituduh terlibat perbuatan makar membunuh Megawati. Tuduhan ini menarik, alasannya tahun 1950-an pada insiden Cikini, yakni suatu insiden yang dikategorikan selaku percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno (ayahanda Presiden Megawati), yang dijadikan kambing hitam pelaku percobaan pembunuhan kala itu yakni kalangan DI/TII dan Masyumi. Nampaknya ada pengulangan sejarah, terutama yang berkenaan dengan menyeleksi kambing hitam.

Sampai kini tuduhan terhadap DI/TII dan Masyumi selaku dalang agresi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno itu tidak terbukti. Bahkan ada yang menduga, agresi itu dirancang intelijen Amerika Serikat CIA, alasannya negeri Paman Sam itu khawatir kedekatan Soekarno terhadap Komunis.

Stigmatisasi JI tanpa parameter yang jelas, sanggup menyesatkan. Sebab, penangkapan penggagas Islam yang disangka anggota JI oleh polisi, sama artinya mengulang kezaliman Orba yang menggunakan stempel DI (Darul Islam) untuk memberangus gerakan Islam di masa itu.

Karenanya patut dipertanyakan, apabila tuduhan makar membunuh Megawati tidak terbukti, dapatkah Ba’asyir menuntut pemerintah? Mungkinkah rakyat Indonesia untuk “memaksa” pemerintah mudah-mudahan konsisten menjalankan keleluasaan beribadah bagi para pemeluk agama? Jika tidak, maka patutkah negeri ini terus menerus dipimpin oleh suatu rezim, yang tidak saja mengkhianati Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2, namun juga, secara sengaja menyingkirkan peranan syari’at Islam dalam membangun Indonesia dengan predikat Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (Negara yang makmur dan diampuni Allah SWT)?

Related : Menyoal Uud 1945 Dan Ji Model Amerika

0 Komentar untuk "Menyoal Uud 1945 Dan Ji Model Amerika"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)