Mengembalikan Kehidupan Kampus

Pandemi Covid-19 menghasilkan kampus sepi. Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro pernah menyatakan peluangnya biar secepatnya diizinkan mengadakan kuliah tatap muka, utamanya untuk ilmu-ilmu dasar, mengingat kuliahnya tidak gampang disampaikan secara daring. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) memang bisa dilaksanakan untuk ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yang nyaris seluruh materinya bersifat naratif. Tapi, untuk ilmu-ilmu dasar, yang menandakan banyak rumus dan pola soal, tidak gampang jikalau mesti disampaikan secara daring. Kita sering mencicipi pengertian sebuah rumus akan lebih gampang dipahami jikalau dibantu dengan mimik atau gerak badan dosen pada di saat menandakan atau menampilkan contoh. Ekspresi dosen itu tidak timbul di saat PJJ. Dalam PJJ pun, dosen tidak mengetahui seberapa besar perhatian mahasiswa terhadap bahan yang diterangkannya, mengingat kamera video mahasiswa sering dimatikan dengan argumentasi mengurangi kuota Internet.


Salah satu kampanye melawan Covid-19 yakni dengan melaksanakan protokol kesehatan berupa memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, dan mempertahankan jarak. Bila kita percaya protokol itu ialah senjata ampuh, mengapa pengurus kampus tidak berani melaksanakan kuliah tatap tampang dengan melakukan protokol secara ketat? Bila kalut di dalam kelas, kuliah bisa dijalankan di luar kelas, misalnya.


Kebijakan pimpinan perguruan tinggi yang tidak berani melaksanakan kuliah tatap tampang yakni ironis dan irasional. Ironis sebab orang-orang kampus semestinya berpikir dan bersikap rasional, namun ternyata mereka dicekam oleh cemas yang berlebihan terhadap pandemi Covid-19. Irasional sebab dari kampus pula, utamanya para piawai kesehatan, yang menampilkan masukan terhadap pemerintah untuk melaksanakan protokol kesehatan, namun mereka tidak dapat meyakinkan pimpinan kampus untuk melaksanakan pembelajaran tatap tampang dengan protokol kesehatan yang ketat.


Pimpinan perguruan tinggi juga tidak berani melaksanakan kuliah tatap tampang sebelum ada lampu hijau dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan. Lantas, di mana otonomi kampus jikalau mengambil keputusan terbaik bagi kampusnya sendiri saja mereka tidak berani. Para pengurus kampus jauh lebih paham kampusnya cukup kondusif atau tidak untuk melaksanakan kuliah tatap tampang dengan protokol kesehatan yang ketat. Pertimbangan itu sanggup diperoleh dari para piawai yang ada di kampus-kampus tersebut.


Banyak kerugian yang dinikmati oleh mahasiswa, dosen, maupun negeri ini jikalau tidak ada kejelasan kapan kuliah tatap tampang akan dimulai. Pertama, dari faktor mutu pendidikan, kita akan mengalami penurunan mutu satu generasi, dari yang kini duduk di dingklik sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bagi mereka yang di sekarang ini duduk di dingklik kuliah, mutu mereka tidak sanggup daripada mahasiswa yang kuliah sebelum masa pandemi. Adapun mereka yang kini duduk di dingklik sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, mutu mereka di saat kuliah akan mengalami distorsi jawaban tidak tuntasnya pengertian terhadap pelajaran-pelajaran sebelumnya.


Kedua, hadirnya ketegangan laten antara mahasiswa dan pihak rektorat, utamanya wacana hak dan keharusan masing-masing. Mahasiswa merasa diperlakukan tidak adil sebab mereka wajib mengeluarkan duit uang kuliah secara penuh, namun hak yang mereka terima amat minimal. Sebaliknya, kampus menilai masuk akal saja mahasiswa mengeluarkan duit sarat sebab ongkos operasional kampus tetap tinggi meski tidak ada pembelajaran tatap muka.


Ketiga, terlalu lamanya tidak ada acara di kampus akan membuat ekosistem kampus mati. Kampus cuma berupa gedung-gedung yang megah tanpa kehidupan akademis di dalamnya. Padahal, kehidupan dari civitas academica itulah yang menandai kehidupan kampus. Karena itu, terasa mendesak sekali untuk mengembalikan kehidupan kampus sarat dengan dinamika biar kampus tidak cuma berupa bangunan fisik, namun juga memiliki atmosfer intelektualitas. Boleh jadi, lewat pembicaraan pribadi secara intens dengan banyak sekali disiplin ilmu didapatkan penyelesaian pintar untuk keluar dari maupun menyelesaikan masa pandemi Covid-19.


Keempat, kehidupan kampus yang kembali bersemarak juga akan dinikmati oleh penduduk sekitar kampus. Kegiatan ekonomi rakyat di sekeliling kampus secara otomatis akan bangun kembali, sehingga sanggup menyelamatkan kehidupan penduduk yang lebih luas. Untuk itulah dinantikan keberanian pimpinan kampus untuk mengambil kebijakan dalam melaksanakan kuliah tatap tampang selekas mungkin.


Ki Darmaningtyas 

Aktivis pendidikan Tamansiswa



Dimuat di Koran Tempo 20 November 2020


https://koran.tempo.co/read/opini/459951/mengembalikan-kehidupan-kampus

Related : Mengembalikan Kehidupan Kampus

0 Komentar untuk "Mengembalikan Kehidupan Kampus"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)