Tanggal 3 Juli sebetulnya merupakan salah satu tonggak sejarah pendidikan nasional, karena pada tanggal 3 Juli 1922 itu, Soewardi Soerjaningrat yang kemudian berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara mendirikan sekolah gres yang terbuka untuk dimasuki oleh semua golongan dan diajar oleh guru- guru dari bangsa sendiri.
Sekolah tersebut kemudian dimengerti dengan Perguruan Tamansiswa. Dipilih istilah “perguruan” dan bukan “sekolah” karena maknanya memang berlainan dengan sekolah-sekolah yang diresmikan pemerintah kolonial.
“Perguruan” dari kata paguron (Jawa), berasal dari perkataan 'guru' (leeraar, teacher). Arti harfiah dari perguruan tinggi merupakan tempat, di mana guru tinggal. Orang pun sanggup mengambil asalnya dari perkataan "berguru' (meguru, Jawa), yakni belajar, maka pada perkataan itu sanggup dilekatkan pengertian: pusatnya studi. Perkataan peguron juga sering mendapat arti 'ajarannya itu sendiri', yakni di mana pribadi guru itu merupakan elemen terkemuka, maka dengan ini paguron berarti: haluan yang dianut.
Ketiga makna peguron tersebut dipakai oleh insan Tamansiswa karena mereka mengharapkan sentra studi, dengan haluan yang lebih dahulu ditentukan, dan sekaligus juga rumah guru. Menurut KHD, jenis rumah merangkap sekolah, tidak sama dengan sekolah pondokan, di mana sifat kekeluargaan acap kali terdesak dan sedikit sekali korelasi kekeluargaan antara murid dengan direktur, yang umumnya komandan yang amat ditakuti (Pendidikan: 56-58).
Pilihan pada bentuk kelembagaan “paguron” ini, menurut sejarawan Abdurrahman Surjomihadjo, karena Tamansiswa mencari semangat dari pondok pesantren. Oleh karena paguron, maka panggilan untuk guru disebut “pamong”. Ini selaras dengan metode yang dikembangkan, yakni metode among, yang memiliki arti mengabdi dengan membimbing. Ki Mangoen Sarkoro menggambarkan menyerupai korelasi seorang pengasuh dengan anaknya, atau dalam pewayangan menyerupai antara punakawan Semar dengan Arjuna, bukan korelasi antara majikan dan pekerja.
Dorongan Istri
Dalam metode among ini elemen asah, asih, dan asuh amat besar lengan berkuasa untuk mengirimkan biar belum dewasa sanggup berkembang dan meningkat jiwa kemerdekaannya. Ini sejalan dengan rancangan pendidikan yang menumbuhkan cipta (logika), rasa (seni, filsafat, sastra) dan karsa (perbuatan). Oleh karena sekolah itu selaku paguron dan gurunya menjadi pamong, maka muridnya beraktivitas di taman sesuai tingkat usia mereka, menyerupai Taman Indria (TK), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA), serta Taman Karya (SMK).
Ki Hadjar Dewantara (KHD), sebelum mendirikan Perguruan Tamansiswa dimengerti selaku seorang pergerakan kemerdekaan lewat dunia jurnalistik. Tulisannya yang berjudul "Als Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda) menghasilkan pemerintah kolonial murka dan kemudian mengasingkan ke Belanda. Tapi di Belanda beliau dan istrinya justru berguru banyak hal.
Pada di saat itu (1913-1919) penduduk di Belanda sedang berkobar-kobar perasaannya pada pemikiran Rabindranath Tagore (India) dan Maria Montesori (Italia). Kedua tokoh ini menilai pendidikan dan pengajaran di Eropa sungguh menyuburkan intelektual, tetapi mematikan perasaan, sehingga cuma membuat insan mesin belaka.
Sejak itu, KHD membangun korelasi pembicaraan dengan Tagore dan Montessori. Tagore sempat berkunjung ke Tamansiswa di Yogyakarta. Sebaliknya KHD beserta insan Tamansiswa sempat berkunjung ke Shanti Niketan di India. Salah satu pamong Tamansiswa yang sempat ke Shanti Niketan dan kelak jadi tokoh nasional merupakan penulis Rusli. Di belakang Pendapa Tamansiswa juga ada Wisma India yang pernah didiami maestro tari India, Miss Mrinalini.
Menurut Ki Priyo Dwiarso, orang yang sempat menjadi murid langsung KHD, di saat di negeri Belanda, Nyi Sutartinah (istri KHD) menolong KHD mencari pemanis nafkah dengan menjadi guru di Frobelschool (Kindergarten), sekolah yang diresmikan oleh Frobel (Friedrich Wilhelm August Frobel).
Pengalaman sang istri menjadi guru di Kindergarten itu kian memperkaya khazanah KHD terhadap rancangan pendidikan Frobel yang membuat permainan selaku media pendidikan anak. Dan setelah kembali ke Tanah Air (1919), berkat ilham dan dorongan sang istri itulah KHD putar haluan dari gerakan politik ke pendidikan dan kebudayaan.
Perkenalannya dengan metode permainan yang dikembangkan oleh Frobel dan pembicaraan yang intens antara KHD dengan Tagore dan Montessori itulah yang kelak mewarnai pandangan-pandangan pendidikan dan kebudayaan KHD. Dari Frobel, KHD mendapat pelajaran dijadikannya permainan anak selaku media pendidikan, dari Montessori mendapatkan ilham perihal pentingnya memamerkan dan menumbuhkan jiwa merdeka pada anak, sedangkan dari Tagore, KHD mendapatkan penguatan pada faktor budaya.
Hanya saja untuk rancangan merdeka KHD sedikit berlainan dengan rancangan merdeka Montessori. Menurut KHD, merdeka (vrijheid) kita tidak bebas, namun dibatasi oleh swa disiplin (zelfdicipline), yakni sepanjang tak menghancurkan salam senang serta tertib damainya masyarakat. Dalam rumusan Ki Mangoen Sarkoro, kemerdekaan itu mesti mengarah ke dedikasi umat insan yang paling intensif. Sedangkan metode Montessori absoluut vrijheid (merdeka mutlak).
Dari ketertarikan KHD pada semangat pembaruan yang dipersiapkan oleh Tagore dan Montessori itulah, maka di ruang Pendapa Tamansiswa di saat itu dipasang potret Tagore dan Montessori, sehingga sempat membuat fikiran banyak orang bahwa Tamansiswa itu beraliran Tagore dan Montesori.
Padahal tidak demikian. Pemasangan potret itu karena KHD menatap Tagore dan Montessori selaku isyarat jalan baru, pembongkar pendidikan usang serta pembangun aliran baru, yang cocok dengan aliran Tamansiswa, yang terambil dari budbahasa pendidikan yang masih hidup dalam penduduk kita atau masih nampak bekas-bekasnya, yakni aliran yang disebut selaku kultural nasional (KHD, Pendidikan:131).
Dalam penjelasannya perihal metode Montessori, Frobel, dan Taman Kanak; KHD mengakui bahwa Tamansiswa boleh dikatakan memakai kedua-duanya selaku yang terkandung dalam sifat pendidikan Montessori dan Frobel, akan tetapi pelajaran pancaindra dan permainan itu tidak terpisah, yakni dianggap satu, alasannya dalam Tamansiswa hiduplah kepercayaan, bahwa dalam setiap tingkah laris dan segala kondisi hidupnya belum dewasa itu sudah diisi oleh "Sang Maha Among" segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak (Ibid:242)
Benih kebangsaan
Dasar Tamansiswa merupakan Pancadarma, yakni kodrat alam, kebudayaan, kemerdekaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Dasar tersebut diambil dari nilai-nilai yang sudah meningkat di penduduk dan sekaligus menjadi impian Tamansiswa untuk diwujudkan.
Benih-benih kebangsaan KHD sendiri timbul sejak usia 12 tahun di saat kesudahannya mesti berpisah dengan mitra bermainnya karena mesti bersekolah, sementara kawannya tidak dapat bersekolah cuma karena bukan anak priayi. Realitas sosial yang tragis itulah yang menyadarkan adanya stratitifikasi sosial di penduduk menurut status sosial orang bau tanah dan dipertajam lewat pendidikan yang segregatif.`
Atas dasar pengalaman pribadinya itulah mengambil jalan usaha yang berbasis kerakyatan dan kebangsaan. Perguruan Tamansiswa mesti terbuka untuk semua golongan, maka argumentasi kebangsaan menjadi dasarnya karena bisa mengakomodasi banyak sekali golongan yang berkembang di masyarakat.
Paham kebangsaan dan jiwa nasionalis yang menjadi dasar Tamansiswa itu kelak menjadi fondasi pembangunan pendidikan nasional, setelah Indonesia merdeka 1945 dan KHD ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan dan Pengajaran. Meskipun masa jabatannya singkat, cuma tiga bulan, namun sukses menaruh dasar-dasar pendidikan nasional yang berwawasan kebangsaan.
Paham kebangsaan itu kelak juga menjiwai perumusan Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 1950 junto UU No 12 Tahun 1954 ihwal Pokok-Pokok Pengajaran di Sekolah, yang disusun pada di saat menteri pendidikan dijabat oleh Sarmidi Mangunsarkara dari Tamansiswa. Ini merupakan UU pendidikan yang sungguh inklusif, nasionalis, dan memamerkan keleluasaan terhadap warga untuk menyebarkan pendidikan sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut.
Bandingkan dengan UU No 2 Tahun 1989 atau UU No 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional yang sungguh etatis dan tidak inklusif.
Praksis pendidikan di lapangan tidak terlepas dari regulasi. Ketika regulasinya inklusif, maka praksis pendidikan juga inklusif, tetapi di saat regulasinya eksklusif, maka praksis pendidikan di lapangan juga amat eksklusif. Munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama, ihwal Seragam Sekolah (yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung) merupakan cermin dari praksis pendidikan yang langsung dan tidak berwawasan kebangsaan.
Praksis pendidikan yang langsung dan mengeksklusikan yang beda itu terlihat pula dari ucapan salam perjumpaan/pengakhiran pelajaran yang memakai bahasa agama mayoritas. Demikian pula dalam hal berdoa senantiasa memakai doa agama mayoritas. Padahal, dalam kelas ada pemeluk agama minoritas, sehingga mereka senantiasa merasa tereksklusikan di kelas. KHD menyebarkan ucapan salam perjumpaan/pengakhiran dengan mengadopsi bahasa universal, yakni “Salam dan Bahagia”, yang hendak dijawab dengan ucapan “Salam”.
Sayang, rancangan dan praksis pendidikan Tamansiswa yang indah, inklusif, memerdekakan, berbudaya, dan manusiawi itu tergerus oleh zaman sehingga sukar mendapat pola baik di lingkungan Perguruan Tamansiswa di saat ini.
Meski demikian, tidak salah bila para penggiat pendidikan, berkhayal biar negara hadir untuk merealisasikan rancangan dan praksis pendidikan kebangsaan menyerupai yang sudah dilaksanakan oleh Tamansiswa masa silam. Besarnya kerinduan tersebut terlihat dari maraknya pengkajian pemikiran dan praksis pendidikan Tamansiswa selama lima tahun terakhir di banyak sekali kalangan.
Kerinduan itu dipicu oleh praksis pendidikan nasional, khususnya di sekolah-sekolah negeri yang makin agamis dan condong menebarkan benih-benih intoleransi. Sekolah-sekolah negeri yang pada masa kemudian menjadi pilihan pertama bagi setiap orang bau tanah yang ingin menyekolahkan anaknya tanpa adanya persoalan berupa suku, ras, agama, dan golongan; kini justru berada dalam darurat intoleransi; sehingga bila dibiarkan berlarut sekolahnya yang semestinya menyemai benih-benih kebangsaan, justru berkontribusi bagi hancurnya sebuah bangsa.
Ki Darmaningtyas Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS)
Dimuat di Kompas 3 Juli 2021
0 Komentar untuk "Menyemai Benih Kebangsaan Pendidikan Tamansiswa"