RUU Sisdiknas tak patut disahkan menjadi UU sebab, kalau disahkan, justru akan mengirimkan praksis pendidikan menjadi segregatif, komersial, liberalistik, dan etatis. Ini terang kemunduran!
Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tengah disusun Kemendikbudristek di sekarang ini dikehendaki bisa mengambil alih eksistensi UU No 20/2003 ihwal Sisdiknas, UU No 14/2005 ihwal Guru dan Dosen, serta UU No 12/2012 ihwal Pendidikan Tinggi (UU Dikti).
RUU ini memicu kontroversi di saat permulaan diluncurkan lantaran menetralisir banyak tatanan fundamental dalam metode pendidikan nasional, tergolong tak adanya perumpamaan madrasah. Draf kemudian direvisi dengan memasukkan madrasah, namun tak memiliki arti RUU ini sudah sempurna.
Mereka yang peduli pada praksis pendidikan di lapangan sanggup menyaksikan bahwa RUU Sisdiknas ini mengandung tiga bahaya, yakni segregatif, liberalistik, dan etatisme. Ketiga hal itu timbul dalam UU Sisdiknas No 20/2003, namun sudah diuji bahan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan.
Segregatif
Istilah segregasi di sini mengacu pada pemahaman dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni arti pemisahan (suatu golongan dari golongan lainnya), pengasingan, dan pengucilan yang memiliki imbas memisahkan dan memarginalkan. Bahwa pasca-pengesahan RUU Sisdiknas ini akan ada keterbelahan antara jalur pendidikan formal reguler dan jalur mandiri. Hal itu disebabkan Pasal 27 mengontrol ”Pendidikan formal terdiri atas subjalur: anak usia dini formal; persekolahan/madrasah; persekolahan/madrasah mandiri; dan pesantren formal”.
Pasal 28 Ayat (3) menerangkan bahwa ”Subjalur persekolahan/madrasah berdikari itu ialah subjalur Pendidikan yang berencana untuk menampilkan ruang lebih luas bagi Satuan Pendidikan berkinerja baik untuk berinovasi dalam membuatkan kompetensi dan huruf Pelajar”.
Dalam klarifikasi Pasal 27 dibilang ”cukup jelas”. Namun, klarifikasi Pasal 28 Ayat (2) menyatakan bahwa teladan satuan pendidikan yang sudah ada pada di saat UU ini ditetapkan sanggup masuk dalam subjalur persekolahan/madrasah yakni SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/ MA, dan perguruan tinggi. Sementara klarifikasi Ayat (3) menyatakan, ”belum ada satuan pendidikan dalam subjalur persekolah/madrasah berdikari pada di saat UU ini ditetapkan”.
Jika merujuk naskah akademik yang jadi dasar perumusan pasal-pasal, dinyatakan bahwa subjalur persekolahan berdikari pada jalur pendidikan formal menampilkan ruang untuk penemuan sekolah formal yang selama ini tak sepenuhnya mengikuti persyaratan pendidikan yang ditetapkan pemerintah. Pendidikan persekolah berdikari berencana menciptakan penemuan penyelenggaraan persekolah dalam rangka membuatkan kompetensi dan huruf pelajar.
Dalam menciptakan inovasi, persekolahan berdikari menentukan persyaratan input dan persyaratan proses sesuai konteks dan keperluan pembelajaran.
Mencermati uraian dalam naskah akademik, sanggup ditengarai, apa yang disebut persekolahan/madrasah berdikari itu sama sebangun dengan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) lalu, yang sudah dibatalkan oleh MK.
RSBI digugat dikarenakan sudah bikin metode pendidikan yang segregatif, diskriminatif, komersial, dan meninggalkan keindonesiaan. Sungguh aneh apabila UU Sisdiknas yang gres kembali bikin metode pendidikan yang segregatif itu. Ini bertolak belakang dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang nondiskriminatif.
Mempertahankan eksistensi sekolah favorit jauh lebih beradab dibandingkan dengan bikin peng-kasta-an baru, baik lewat RSBI maupun sekolah/madrasah mandiri. Sebab, eksistensi sekolah favorit lahir by process, sedangkan peng-kasta-an sekolah lewat RSBI atau sekolah/madrasah berdikari by design.
Privatisasi dan liberalistik
Semangat swastanisasi dan liberalistik RUU Sisdiknas ini sama dengan UU No 20/2003, yang senantiasa ambivalensi dalam pengaturan tentang hak dan keharusan warga ataupun negara. Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat (2) menyatakan ”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”, UU Sisdiknas No 20/2003 ataupun RUU Sisdiknas tak berani merumuskan secara tegas bahwa pendidikan dasar dilakukan secara gratis.
Sejumlah pasal yang mengontrol tentang tanggung jawab pemerintah dan pemerintah tempat dalam menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga tanpa diskriminasi (Pasal 8), amanat Wajib Belajar 12 tahun (Pasal 11), penyediaan daya tampung untuk penyelenggaraan Wajib Belajar pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Pasal 75), alokasi budget pendidikan 20 persen dari APBN di luar pendidikan kedinasan untuk menyanggupi keperluan penyelenggaraan pendidikan nasional (Pasal 9 dan 76), pemberian beasiswa bagi yang berprestasi dan proteksi pendidikan bagi yang tak bisa (Pasal 10); bekerjsama menampilkan adanya komitmen tinggi negara dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu.
Namun, pasal-pasal itu terasa ambivalennya di saat kita membaca Pasal 81 Ayat (1) yang berbunyi ”Pelajar ikut serta dalam pendanaan Pendidikan di luar Wajib Belajar” dan ayat (2) ”Pada Satuan Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, partisipasi Pelajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) besarannya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemda dengan memikirkan kesanggupan ekonomi Pelajar”.
Selain ambigu, Pasal 81 ini juga membingungkan apabila dikaitkan dengan Pasal 11 yang mengontrol Wajib Belajar bagi yang berusia 7-18 tahun. Logikanya kalau Wajib Belajar itu berjalan hingga tingkat pendidikan menengah, maka tidak ada lagi perumpamaan ”Pendidikan di luar Wajib Belajar”, kecuali di perguruan tinggi.
Bentuk privatisasi dan liberalisasi paling konkret tecermin pada Pasal 70 Ayat (1) yang secara otomatis mendorong percepatan privatisasi Perguruan Tinggi Negeri menjadi perguruan tinggi negeri tubuh aturan (PTNBH).
Ini bisa ditangkap dari suara Pasal 70 Ayat (1) poin a hingga g: ”Dalam rangka menjalankan otonomi Perguruan Tinggi, Perguruan Tinggi Negeri memiliki kewenangan selaku berikut: a) kekayaan permulaan berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah; b) manajemen dan pengambilan keputusan secara mandiri; c) unit yang menjalankan fungsi akuntabilitas dan transparansi; d) hak mengorganisir dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; e) mengangkat dan memberhentikan sendiri Pendidik dan Tenaga Kependidikan; f) mendirikan tubuh kerja keras dan membuatkan dana abadi; serta g) membuka, menyelenggarakan, dan menutup jadwal studi”. Ini yakni ciri sebuah PTNBH.
Adapun Pasal 71 yang mengontrol metode penerimaan mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri dengan menampilkan alokasi paling sedikit 20 persen dari mahasiswa gres yang diterima di perguruan tinggi berasal dari golongan kurang bisa bekerjsama mundur apabila dibandingkan UU Dikti No 12/2012.
UU Dikti Pasal 74 menyatakan Perguruan Tinggi Negeri wajib mencari dan menjajal mendapatkan kandidat mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, namun kurang bisa secara ekonomi dan kandidat mahasiswa dari tempat terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20 persen dari seluruh mahasiswa gres yang diterima dan tersebar pada semua jadwal studi.
UU Dikti tak cuma memikirkan faktor hemat saja, namun juga geografis guna menampilkan kesempatan bagi mereka yang tinggal di tempat tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Lulusan Sekolah Menengan Atas dari tempat 3T ini akan susah diterima di Perguruan Tinggi Negeri ternama di Jawa kalau cuma menurut tes murni. Perlu kebijakan afirmasi (affirmative action) biar mereka sanggup kuliah di Perguruan Tinggi Negeri di Jawa.
Semangat etatisme
Membaca RUU ini secara cermat dari permulaan hingga tamat sanggup ditangkap semangat etatisme (menjadikan negara selaku sentra segala kekuasaan) yang begitu kuat. Secara eksplisit cuma beberapa pasal yang etatis, namun secara implisit terasa sekali. Mungkin itu lantaran terlampau banyak yang ingin dikelola di RUU Sisdiknas ini sehingga kurang konsentrasi dan akibatnya pemerintah akan banyak mengatur.
Yang eksplisit sanggup disimak di Pasal 7: ”Pemerintah Pusat dan Pemda berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan memantau penyelenggaraan Pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Rumusan Pasal 7 ini lebih pas dalam metode politik otoriter. Namun, dalam metode politik demokratis dan problem pendidikan sudah terdistribusi ke pemerintah, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota; juga tak semua penyelenggara pendidikan yakni negara.
Kewenangan pemerintah mestinya cuma pada pendidikan tinggi, penentuan persyaratan nasional, kurikulum, evaluasi, dan bantuan pendanaan. Tugas pengawasan menempel pada penegakan persyaratan nasional pendidikan; tanpa mesti dieksplisitkan.
Pada tingkat pendidikan tinggi, semangat etatisme tertangkap di Pasal 65 Ayat (4): ”Pemerintah Pusat sanggup menampilkan mandat atau penugasan tertentu terhadap perguruan tinggi untuk kepentingan bangsa dan negara dalam rangka pelaksanaan tridarma perguruan tinggi”.
Pasal itu berlainan dengan semangat otonomi perguruan tinggi yang dijamin di RUU Sisdiknas. Ini bisa menghancurkan iklim akademik apabila tiba-tiba pemerintah menampilkan penugasan tertentu ke perguruan tinggi. Kewenangan menteri cukup pada perumusan kebijakan lazim dalam pengembangan dan kerjasama pendidikan tinggi selaku belahan dari Sisdiknas untuk merealisasikan tujuan pendidikan tinggi (Pasal 62 Ayat 3 poin a).
Dengan demikian, rumusan Pasal 62 Ayat (3) poin b: ”Tugas dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan tinggi meliputi: penetapan kebijakan lazim nasional dan penyusunan planning pengembangan jangka panjang, menengah, dan tahunan Pendidikan tinggi yang berkelanjutan” pun tidak diperlukan lantaran penyusunan rencana jangka menengah dan tahunan domain perguruan tinggi, bukan menteri. Jadi, Pasal 62 Ayat (3) poin b itu amat etatistik.
Semangat etatisme yang paling konkret tecermin dari hilangnya pasal yang mengontrol eksistensi Dewan Pendidikan (DP) dan Komite Sekolah (KS) yang ialah representasi dari publik dalam mendemokratisasikan praksis pendidikan. Jika eksistensi DP dan KS selama ini dinilai kurang efektif, solusinya bukan dibubarkan, melainkan kiprahnya dirumuskan kembali biar lebih efektif.
Belajar dari negara-negara maju, fungsi KS betul-betul untuk mendemokratisasikan praksis pendidikan pada level sekolah sehingga praksis pendidikan itu menjadi membumi. Sementara DP yakni wadah aspirasi untuk menjajal mendapatkan masukan publik pada level yang lebih luas (tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat).
Kalau DP dan KS dibubarkan, memiliki arti tak ada lagi wadah untuk memuat aspirasi publik dalam rangka mendemokratisasikan praksis pendidikan. Kondisi ini cuma ada di metode adikara dan metode etatisme.
Darmaningtyas, Aktivis Pendidikan dari Tamansiswa
Dimuat di Kompas.id, 25 Mei 2022
0 Komentar untuk "Ruu Sisdiknas Yang Segregatif, Liberalistik, Dan Etatistik"