Sejarah Sumenep jaman dulu diperintah oleh seorang Raja. Ada 35 Raja yang sudah memimpin kerajaan Sumenep. Dan, kini ini sudah dipimpin oleh seorang Bupati. Ada 14 Bupati yang memerintah Kabupaten Sumenep.
Mengingat sungguh keringnya informasi/data yang sahih menyerupai prasati, pararaton, dan sebagainya perihal Raja Sumenep maka tidak seluruh Raja-Raja tersebut kami ekspose satu persatu, kecuali cuma Raja-Raja yang menonjol saja popularitasnya.
Pendekatan yang kami gunakan dalam penulisan ini yakni pendekatan historis dan kultural, disamping itu kami gunakan juga pendekatan ekonomis, psikologis dan edukatif.
JAMAN PEMERINTAH KERAJAANARYA WIRARAJA
Arya Wiraja dilatik selaku Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak pertumbuhan yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja secara biasa dipahami selaku seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah sehingga banyak yang menerka Arya Wiraja yakni seorang dukun.
Adapun jasa-jasa Arya Wiraja :
- Mendirikan Majapahit b ersama dengan Raden Wijaya.
- Menghancurkan prajurit Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa.
Dalam usia 35 Tahun, karier Arya Wiraja cepat menanjak. Mulai jabatan Demang Kerajaan Singosari kemudian dipromosikan oleh Kartanegara Raja Singosari menjadi Adipati Kerajaan Sumenep, kemudian dipromosikan oleh Raden Wijaya menjadi Rakyan Menteri di Kerajaan Majapahit dan bertugas di Lumajang. Setelah Arya Wiraja meninggalkan Sumenep, kerajaan di ujung timur Madura itu mengalami kemunduran. kekuasaan diserahkan terhadap saudaranya Arya Bangah dan keratonnya pindah dari Batuputih ke Banasare di kawasan Sumenep juga. Selanjutnya diganti oleh anaknya, yang berjulukan Arya Danurwendo, yang keratonnya pindah ke Desa Tanjung. Dan berikutnya diganti oleh anaknya, yang berjulukan Arya asparati. Diganti pula oleh anaknya berjulukan Panembahan Djoharsari. Selanjutnya kekuasaan dipindahkan terhadap anaknya berjulukan Panembahan Mandaraja, yang memiliki 2 anak berjulukan Pangeran Bukabu yang kemudian menganti ayahnya dan pindah ke Keratonnya di Bukabu (Kecamatan Ambunten). Selanjutnya diganti oleh adiknya berjulukan Pangeran Baragung yang kemudian pindah ke Desa Baragung (Kecamatan Guluk-guluk).
PANGERAN JOKOTOLE (Pangeran Secodiningrat III)
Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460). Jokotole da adiknya berjulukan Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng, cicit dari Pangeran Bukabu selaku hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi) dengan Adipoday (Raja Sumenep ke 12). Karena hasil dari perkawinan Bathin itulah, maka banyak orang yang tidak percaya. Dan akhirnya, seperti terkesan selaku kehamilan diluar nikah. Akhirnya memunculkan kemarahan kedua orang tuanya, hingga akan dieksekusi mati. Sejak kehamilannya, banyak terjadi hal-hal yang absurd dan diluar dugaan. Karena takut terhadap orang tuanya maka kelahiran bayi RA Potre Koneng eksklusif ditaruh di hutan oleh dayangya. Dan, didapatkan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh kerbau miliknya.
Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yakni Jokowedi. Kesaktian Jokotole mulai terlihat pada usia 6 tahun lebih, menyerupai menghasilkan alat-alat perkakas dengan tanpa sumbangan dari alat apapun cuma dari badanya sendiri, yang hasilnya lebih manis dibandingkan dengan ayah angkatnya sendiri. Lewat kesaktiannya itulah maka ia menolong para pekerja cerdik besi yang kecapekan dan sakit akhir kepanasan tergolong ayah angkatnya dalam pengelasan menghasilkan pintu gerbang raksasa atas pehendak Brawijaya VII. Dengan cara memperabukan dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat pusarnya keluar cairan putih. Cairan putih tersebut untuk kebutuhan pengelasan pintu raksasa. Dan, balasannya ia diberi kado emas dan duit logam seberat badannya. Akhirnya ia mengabdi di kerajaan Majapahit untuk beberapa lama.
Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut yang sekaligus menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari Sumenep ia bareng istrinya berjulukan Dewi Ratnadi bersua ke Keraton yang balasannya berjumpa dengan ibunya RA Potre Koneng dan kemudian dilantik menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran Secodiningrat III. Saat menjadi raja ia terlibat peperangan besar melawan raja dari Bali yakni Dampo Awang, yang balasannya dimenangkan oleh Raja Jokotole dengan kesaktiannya merusak kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian kekuasaannya rampung pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra pertama dari Jokotole.
RADEN AYU TIRTONEGORO DAN BINDARA SAOD
Raden Ayu Tirtonegoro ialah satu-satunya pemimpin perempuan dalam sejarah kerajaan Sumenep selaku Kepala Pemerintahan yang ke 30. Menurut hikayat RA Tirtonegoro pada sebuah malam bermimipi mudah-mudahan Ratu kawin dengan Bindara Saod. Setelah Bindara Saod dipanggil, diceritakanlah mimpi itu. Setelah ada kata sepakat perkawinan dilaksanakan, Bindara Saodmenjadi suami Ratu dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro.
Terjadi insiden tragis pama masa pemerintahan Ratu Tirtonegoro. Raden Purwonegoro Patih Kerajaan Sumenep waktu menyayangi Ratu Tirtonegoro, sehingga sungguh tidak senang Bindara Saod, bahkan mempersiapkan membunuhnya. Raden Purwonegoro tiba ke keraton kemudian mengayunkan pedang tetapi tidak perihal sasaran dan pedang tertancap dalam ke tiang pendopo. Malah sebaliknya Raden Purwonegoro tewas di tangan Manteri Sawunggaling dan Kyai Sanggatarona. Seperti dimengerti bahwa Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro sama-sama keturunan Tumenggung Yudonegoro Raja Sumenep ke 23. Akibatnya keluarga kerajaan Sumenep menjadi dua kelompok yang berpihak pada Ratu Tirtonegoro diperbolehkan tetap tinggal di Sumenep dan diwajibkan mengganti gelarnya dengan istilah Kyai serta berjanji untuk tidak akan menentang Bindara Saod hingga tujuh turunan. Sedang kelompok yang tidak baiklah pada ketentuan tersebut diusulkan meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke Pamekasan, Sampang atau Bangkalan.
PANEMBAHAN SOMALA
Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar memiliki 2 orang anak. Pada dikala kedua anak Bindara Saod itu tiba ke keraton menyanggupi panggilan Ratu Tirtonegoro, anak yang kedua yang berjulukan Somala apalagi dulu dalam menyungkem terhadap Ratu sedangkan kakaknya mendahulukan menyungkem terhadap ayahnya (Bindara Saod). Saat itu pula keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh sektretaris kerajaan. Isi wasiat menyatakan bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod meninggal maka yang diperkenankan untuk mengubah menjadi Raja Sumenep yakni Somala. Setelah Bindara Saod meninggal 8 hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut meninggal tahun 1762, sesuai dengan wasiat Ratu yang menjadi Raja Sumenep yakni Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.
Beberapa insiden penting pada zaman pemerintahan Somala antara lain menyerang negeri Blambangan dan berhasil menang sehingga Blambangan dan Panarukan menjadi kawasan kekuasaan Panembangan Notokusumo I. Kemudian dia membangun keraton Sumenep yang kini berfungsi selaku Pendopo Kabupaten. Selanjutnya dia membangun Masjid Jamik pada tahuhn 1763, Asta Tinggi (tempat pemakaman Raja-Raja Sumenep dan keluarganya) juga dibangun oleh beliau.
SULTAN ABDURRACHMAN PAKUNATANINGRAT
Sultan Abdurrachman Pakunataningrat berjulukan orisinil Notonegoro putra dari Raja Sumenep yakni Panembahan Notokusumo I. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat memperoleh gelar Doktor Kesusastraan dari pemerintah Inggris, alasannya yakni dia pernah menolong Letnan Gubernur Jendral Raffles untuk menterjemahkan tulisan-tulisan antik di kerikil kedalam bahasa Melayu. Beliau memang meguasai aneka macam bahasa, menyerupai bahasa Sansekerta, Bahasa Kawi, dan sebagainya. Dan, juga ilmu wawasan dan Agama. Disamping itu cerdik menghasilkan senjata Keris. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat dipahami sungguh bijaksana dan memperhatikan rakyat Sumenep, oleh alasannya yakni itu ia sungguh disegani dan dijunjung tinggi oleh rakyat Sumenep hingga sekarang.
Mengingat sungguh keringnya informasi/data yang sahih menyerupai prasati, pararaton, dan sebagainya perihal Raja Sumenep maka tidak seluruh Raja-Raja tersebut kami ekspose satu persatu, kecuali cuma Raja-Raja yang menonjol saja popularitasnya.
Pendekatan yang kami gunakan dalam penulisan ini yakni pendekatan historis dan kultural, disamping itu kami gunakan juga pendekatan ekonomis, psikologis dan edukatif.
JAMAN PEMERINTAH KERAJAANARYA WIRARAJA
Arya Wiraja dilatik selaku Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak pertumbuhan yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja secara biasa dipahami selaku seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah sehingga banyak yang menerka Arya Wiraja yakni seorang dukun.
Adapun jasa-jasa Arya Wiraja :
- Mendirikan Majapahit b ersama dengan Raden Wijaya.
- Menghancurkan prajurit Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa.
Dalam usia 35 Tahun, karier Arya Wiraja cepat menanjak. Mulai jabatan Demang Kerajaan Singosari kemudian dipromosikan oleh Kartanegara Raja Singosari menjadi Adipati Kerajaan Sumenep, kemudian dipromosikan oleh Raden Wijaya menjadi Rakyan Menteri di Kerajaan Majapahit dan bertugas di Lumajang. Setelah Arya Wiraja meninggalkan Sumenep, kerajaan di ujung timur Madura itu mengalami kemunduran. kekuasaan diserahkan terhadap saudaranya Arya Bangah dan keratonnya pindah dari Batuputih ke Banasare di kawasan Sumenep juga. Selanjutnya diganti oleh anaknya, yang berjulukan Arya Danurwendo, yang keratonnya pindah ke Desa Tanjung. Dan berikutnya diganti oleh anaknya, yang berjulukan Arya asparati. Diganti pula oleh anaknya berjulukan Panembahan Djoharsari. Selanjutnya kekuasaan dipindahkan terhadap anaknya berjulukan Panembahan Mandaraja, yang memiliki 2 anak berjulukan Pangeran Bukabu yang kemudian menganti ayahnya dan pindah ke Keratonnya di Bukabu (Kecamatan Ambunten). Selanjutnya diganti oleh adiknya berjulukan Pangeran Baragung yang kemudian pindah ke Desa Baragung (Kecamatan Guluk-guluk).
PANGERAN JOKOTOLE (Pangeran Secodiningrat III)
Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460). Jokotole da adiknya berjulukan Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng, cicit dari Pangeran Bukabu selaku hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi) dengan Adipoday (Raja Sumenep ke 12). Karena hasil dari perkawinan Bathin itulah, maka banyak orang yang tidak percaya. Dan akhirnya, seperti terkesan selaku kehamilan diluar nikah. Akhirnya memunculkan kemarahan kedua orang tuanya, hingga akan dieksekusi mati. Sejak kehamilannya, banyak terjadi hal-hal yang absurd dan diluar dugaan. Karena takut terhadap orang tuanya maka kelahiran bayi RA Potre Koneng eksklusif ditaruh di hutan oleh dayangya. Dan, didapatkan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh kerbau miliknya.
Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yakni Jokowedi. Kesaktian Jokotole mulai terlihat pada usia 6 tahun lebih, menyerupai menghasilkan alat-alat perkakas dengan tanpa sumbangan dari alat apapun cuma dari badanya sendiri, yang hasilnya lebih manis dibandingkan dengan ayah angkatnya sendiri. Lewat kesaktiannya itulah maka ia menolong para pekerja cerdik besi yang kecapekan dan sakit akhir kepanasan tergolong ayah angkatnya dalam pengelasan menghasilkan pintu gerbang raksasa atas pehendak Brawijaya VII. Dengan cara memperabukan dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat pusarnya keluar cairan putih. Cairan putih tersebut untuk kebutuhan pengelasan pintu raksasa. Dan, balasannya ia diberi kado emas dan duit logam seberat badannya. Akhirnya ia mengabdi di kerajaan Majapahit untuk beberapa lama.
Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut yang sekaligus menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari Sumenep ia bareng istrinya berjulukan Dewi Ratnadi bersua ke Keraton yang balasannya berjumpa dengan ibunya RA Potre Koneng dan kemudian dilantik menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran Secodiningrat III. Saat menjadi raja ia terlibat peperangan besar melawan raja dari Bali yakni Dampo Awang, yang balasannya dimenangkan oleh Raja Jokotole dengan kesaktiannya merusak kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian kekuasaannya rampung pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra pertama dari Jokotole.
RADEN AYU TIRTONEGORO DAN BINDARA SAOD
Raden Ayu Tirtonegoro ialah satu-satunya pemimpin perempuan dalam sejarah kerajaan Sumenep selaku Kepala Pemerintahan yang ke 30. Menurut hikayat RA Tirtonegoro pada sebuah malam bermimipi mudah-mudahan Ratu kawin dengan Bindara Saod. Setelah Bindara Saod dipanggil, diceritakanlah mimpi itu. Setelah ada kata sepakat perkawinan dilaksanakan, Bindara Saodmenjadi suami Ratu dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro.
Terjadi insiden tragis pama masa pemerintahan Ratu Tirtonegoro. Raden Purwonegoro Patih Kerajaan Sumenep waktu menyayangi Ratu Tirtonegoro, sehingga sungguh tidak senang Bindara Saod, bahkan mempersiapkan membunuhnya. Raden Purwonegoro tiba ke keraton kemudian mengayunkan pedang tetapi tidak perihal sasaran dan pedang tertancap dalam ke tiang pendopo. Malah sebaliknya Raden Purwonegoro tewas di tangan Manteri Sawunggaling dan Kyai Sanggatarona. Seperti dimengerti bahwa Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro sama-sama keturunan Tumenggung Yudonegoro Raja Sumenep ke 23. Akibatnya keluarga kerajaan Sumenep menjadi dua kelompok yang berpihak pada Ratu Tirtonegoro diperbolehkan tetap tinggal di Sumenep dan diwajibkan mengganti gelarnya dengan istilah Kyai serta berjanji untuk tidak akan menentang Bindara Saod hingga tujuh turunan. Sedang kelompok yang tidak baiklah pada ketentuan tersebut diusulkan meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke Pamekasan, Sampang atau Bangkalan.
PANEMBAHAN SOMALA
Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar memiliki 2 orang anak. Pada dikala kedua anak Bindara Saod itu tiba ke keraton menyanggupi panggilan Ratu Tirtonegoro, anak yang kedua yang berjulukan Somala apalagi dulu dalam menyungkem terhadap Ratu sedangkan kakaknya mendahulukan menyungkem terhadap ayahnya (Bindara Saod). Saat itu pula keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh sektretaris kerajaan. Isi wasiat menyatakan bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod meninggal maka yang diperkenankan untuk mengubah menjadi Raja Sumenep yakni Somala. Setelah Bindara Saod meninggal 8 hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut meninggal tahun 1762, sesuai dengan wasiat Ratu yang menjadi Raja Sumenep yakni Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.
Beberapa insiden penting pada zaman pemerintahan Somala antara lain menyerang negeri Blambangan dan berhasil menang sehingga Blambangan dan Panarukan menjadi kawasan kekuasaan Panembangan Notokusumo I. Kemudian dia membangun keraton Sumenep yang kini berfungsi selaku Pendopo Kabupaten. Selanjutnya dia membangun Masjid Jamik pada tahuhn 1763, Asta Tinggi (tempat pemakaman Raja-Raja Sumenep dan keluarganya) juga dibangun oleh beliau.
SULTAN ABDURRACHMAN PAKUNATANINGRAT
Sultan Abdurrachman Pakunataningrat berjulukan orisinil Notonegoro putra dari Raja Sumenep yakni Panembahan Notokusumo I. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat memperoleh gelar Doktor Kesusastraan dari pemerintah Inggris, alasannya yakni dia pernah menolong Letnan Gubernur Jendral Raffles untuk menterjemahkan tulisan-tulisan antik di kerikil kedalam bahasa Melayu. Beliau memang meguasai aneka macam bahasa, menyerupai bahasa Sansekerta, Bahasa Kawi, dan sebagainya. Dan, juga ilmu wawasan dan Agama. Disamping itu cerdik menghasilkan senjata Keris. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat dipahami sungguh bijaksana dan memperhatikan rakyat Sumenep, oleh alasannya yakni itu ia sungguh disegani dan dijunjung tinggi oleh rakyat Sumenep hingga sekarang.
0 Komentar untuk "Sejarah Kota Sumenep"