Memerdekakan Kurikulum Merdeka

Oleh : Ki Darmaningtyas

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sudah meluncurkan kurikulum baru, dinamai Kurikulum Merdeka (KM). Menurut klarifikasi resmi Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo, KM ini sudah diimplementasikan di nyaris 2.500 sekolah yang mengikuti Program Sekolah Penggerak dan 901 Sekolah Menengah kejuruan Pusat Keunggulan selaku bab dari pembelajaran paradigma baru. Mulai Tahun Ajaran 2022/2023 sekolah bisa memutuskan untuk mengimplementasikan kurikulum menurut kesiapan masing-masing mulai Taman Kanak-kanak B, kelas I, IV, VII, dan X.

KM ini dikembangkan selaku kerangka kurikulum yang lebih fleksibel, sekaligus berkonsentrasi pada bahan esensial dan pengembangan abjad dan kompetensi peserta didik. Semuanya berpusat pada anak. Karakteristik utamanya: 1) Pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan abjad sesuai profil pelajar Pancasila, 2) Fokus pada bahan esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar menyerupai literasi dan numerasi. Fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai kesanggupan peserta didik dan melakukan pembiasaan dengan konteks dan muatan lokal.

Ada tiga pilihan yang sanggup ditentukan satuan pendidikan mengenai implementasi KM di Tahun Ajaran 2022/2023. Yakni: (1) Menerapkan beberapa bab dan prinsip KM, tanpa mengubah kurikulum satuan pendidikan yang sedang diterapkan; (2) Menerapkan KM dengan menggunakan perangkat didik yang sudah disediakan; (3) Menerapkan KM dengan berbagi sendiri perangkat ajar.


Perlu ada pilihan

Jujur, saya bahagia dengan prinsip keleluasaan sekolah untuk memutuskan jenis kurikulum yang tepat untuk dikembangkan di sekolahnya, Sejak permulaan reformasi politik (1998), saya beropini Indonesia yang amat beraneka ragam keadaan geografis, infrastruktur, ekonomi, sosial, dan budaya perlu memiliki minimal tiga jenis kurikulum. Lebih dari tiga lebih baik.

Kurikulum tunggal yang dipraktekkan untuk semua (one for all) tak cocok untuk Indonesia. Pertama, kurikulum yang tepat dipraktekkan di sekolah-sekolah favorit (saat masih ada sekolah favorit).

Kurikulum ini sanggup mengadopsi kurikulum negara-negara maju alasannya maksudnya untuk menyampaikan bekal terhadap bawah umur akil biar bisa berkompetisi dengan bawah umur selevel dari negara-negara maju. Lulusan dari sekolah ini orientasinya tak cuma melakukan pekerjaan saja, namun kuliah ke mancanegara dan ingin menjadi luar biasa dalam banyak sekali bidang. Mereka tidak cukup cuma diberikan bahan sebatas kurikulum nasional, namun perlu takaran yang lebih banyak lagi. Tanpa memiliki generasi lapis ini, kita akan kian tertinggal dengan negara-negara maju.

Kedua, kurikulum yang sempurna dipraktekkan di sekolah-sekolah negeri reguler/ swasta yang sejajar. Kurikulum ini sepenuhnya ialah hasil rumusan dari para luar biasa dan praktisi dalam negeri tanpa mesti mengadopsi dari kurikulum asing. Orientasi lulusan dari kalangan ini lebih pragmatis, yang penting sanggup kuliah di Perguruan Tinggi Negeri dan gampang menerima kerja. Atau bila tak bisa kuliah bisa eksklusif melakukan pekerjaan dan menerima upah layak. Mereka tak memiliki ambisi muluk-muluk, ingin mencipta ini dan itu.

Ketiga, kurikulum yang tepat dipraktekkan di daerah-daerah kepulauan, pesisir, pedesaan, kawasan terisolir, atau pada penduduk miskin perkotaan. Kurikulum ini lebih sederhana lagi, tekanannya pada mengajarkan baca, tulis, dan berhitung; serta keterampilan-keterampilan teknis yang diinginkan untuk bertahan hidup, baik dikala ini maupun setelah lulus sekolah. Pada generasi lapis ini lulusan-nya lebih pragmatis lagi, yakni yang penting setelah lulus bisa melakukan pekerjaan apa saja yang penting menciptakan duit dan bisa untuk hidup, tak mesti menjadi PNS, TNI, atau Polisi. KM tidak sesuai sama sekali untuk mereka, alasannya dianggap terlalu ribet dan tidak realistik.

Sayang, ketiga jenis kurikulum ini belum pernah ada di Indonesia hingga hari ini. Kurikulum Indonesia senantiasa tunggal dan dipraktekkan untuk semua sekolah. Padahal, sekolah itu memiliki tingkatan mutu atau karakteristik menyerupai yang digambarkan di atas. Kalau kurikulumnya tunggal dan diberlakukan untuk semua sekolah di seluruh wilayah Indonesia, tentu perilaku penerimaannya berbeda: ada yang menilai kurikulumnya bagus, ada pula yang menyampaikan berat, namun ada pula yang menyampaikan tak cocok untuk dipraktekkan di sekolahnya. Kaprikornus tak bisa satu kurikulum untuk semua.

Berdasarkan dokumen dan klarifikasi yang ada, saya tak menyaksikan KM menyampaikan pilihan menyerupai yang saya kehendaki di atas. Yang diberikan keleluasaan dalam KM ini tahapan implementasinya saja. Pada tahap awal, sekolah sanggup menerapkan bab dan prinsip KM tanpa mengubah kurikulum yang sedang diterapkan. Tahap berikutnya, menerapkan KM dengan menggunakan perangkat didik yang sudah disediakan; dan alhasil menerapkan KM dengan berbagi sendiri banyak sekali perangkat ajar.

Secara substantif KM ini tak menyampaikan pilihan pada sekolah untuk menggunakan jenis kurikulum yang sesuai dengan keadaan geografis, ekonomi, sosial, dan budaya. KM ini, menyerupai kurikulum-kurikulum sebelumnya, ialah kurikulum tunggal untuk semua (one for all), sehingga perlu dimerdekakan biar menyampaikan kemerdekaan pada sekolah, kepala sekolah, guru, dan murid.


Ribet dan tidak realistis

Dua bentuk kemerdekaan yang dipersiapkan dalam KM: (1) sekolah sanggup menertibkan jam pelajaran sendiri. Selama ini mata pelajaran (mapel) itu sudah dibagi habis dalam satu tahun. Katakanlah Pelajaran Agama dalam sepekan ada tiga jam pelajaran (JP), maka selama satu tahun setiap ahad murid sanggup Pelajaran Agama tiga JP. Pada KM struktur kurikulum cuma menyebutkan ada 36 konferensi dan total JP 144. Sekolah dipersilahkan menertibkan jadwalnya sendiri, apakah akan diberikan dalam satu semester atau sarat satu tahun.

Lalu, (2) Di Sekolah Menengan Atas tak ada penjurusan lagi. Pada Kelas I Sekolah Menengan Atas (Kelas X) semua murid Sekolah Menengan Atas menerima bahan yang sama, kemudian Kelas II (XI) dan Kelas III (XII) murid memutuskan mapel sesuai minatnya. Keduanya itu kedengaran indah, namun mengandung banyak masalah.

Pertama, menertibkan jam pelajaran sendiri itu tak mudah. Selain banyak sekolah yang kelemahan guru PNS, juga banyak kepentingan guru, terkait dengan pembayaran derma profesi guru. Misalkan Pelajaran Agama tadi diberikan dalam satu semester saja, kemudian pembayaran derma profesi guru yang satu semester didasarkan pada apa?

UU Guru dan Dosen Pasal 35 Ayat (2) memutuskan bahwa beban kerja guru itu sedikitnya 24 jam tatap tampang dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap tampang dalam satu minggu. Kalau dalam satu semester tak mengajar, karena beban tugasnya sudah terselesaikan dalam satu semester, apa mereka berhak menerima derma profesi? Mustahil!

Kedua, duduk kendala penjurusan di SMA. Kalau semua murid Kelas I Sekolah Menengan Atas selama setahun berguru yang serupa dengan bahan di SMP, selain beban pelajaran di Sekolah Menengan Atas banyak, murid yang tak suka mata pelajaran tertentu akan bosan. Murid yang tak suka hafalan, akan malas mengikuti pelajaran IPS. Sebaliknya, mereka yang tak suka Matematika akan malas ikut pelajaran Matematika. Memang penjurusan menyerupai di Kurikulum 2013 yang dimulai sejak masuk Sekolah Menengan Atas kurang pas. Yang saya ajukan dahulu yakni penjurusan dijalankan semester genap. Murid-murid Sekolah Menengan Atas berguru bahan yang serupa menyerupai di Sekolah Menengah Pertama cukup satu semester saja, lima semester selanjutnya penjurusan.

Ketiga, keleluasaan murid memutuskan mapel sesuai minatnya memang keren, betul-betul menyampaikan kemerdekaan terhadap murid. Tapi sukar implementasinya alasannya ribet dan tak kongkret untuk keadaan Indonesia dikala ini yang prasarana gedung terbatas dan kriris guru PNS. Ketika keleluasaan memutuskan itu diberikan, maka jumlah kelas yang diperlukan akan lebih banyak bila daripada penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Ambil contoh, satu Sekolah Menengan Atas ada enam kelas (180 murid).

Biasanya di saat dibagi ke jurusan komposisinya: dua kelas IPA, tiga kelas IPS, satu kelas Bahasa. Tapi di saat dibagi sesuai minat, ada yang minat di Matematika dan Fisika saja, ada yang Kimia dan Biologi, ada yang Sejarah, ada yang Bahasa, dan sebagainya. Jumlahnya bisa lebih dari enam kelas. Apakah sekolah siap menawarkan ruang kelas lebih banyak dalam waktu singkat?

Keempat, keleluasaan murid memutuskan mapel itu bila tak terintegrasi dengan bahan perkuliahan di perguruan tinggi tinggi (PT) akan membuat duduk kendala di PT khususnya terkait penguasaan wawasan dasarnya. Ambil contoh, lulusan Sekolah Menengan Atas yang kuliah ke Fakultas Ekonomi dan mengambil prodi Ekonomi Pembangunan (Ilmu Ekonomi). Karena tak tahu, dikala Sekolah Menengan Atas tak mengambil mapel Matematika, dengan argumentasi mau masuk ke IPS. Sementara bahan kuliah di Ilmu Ekonomi ternyata banyak hitungan. Ini sanggup menyusahkan mahasiswa itu sendiri.

Kerangka berpikir Kurikulum 2013 dahulu sudah tepat. Di Sekolah Menengan Atas ada penjurusan (IPA, IPS, Bahasa), namun murid sanggup mengambil pelajaran peminatan. Murid IPA yang hendak masuk ke Fakultas Teknik, bisa mengambil bahan peminatan Matematika dan Fisika. Murid yang hendak masuk ke Fakultas Kedokteran, Farmasi, dan Pertanian sanggup mengambil peminatan Biologi dan Kimia; murid IPA namun mau kuliah ke arsitektur sanggup mengambil peminatan Sejarah, dan seterusnya.

Kerangka berpikir Kurikulum 2013 ini menyampaikan dasar yang serupa terhadap lulusan SMA, namun juga menyampaikan kebe -basan murid untuk memperbesar bahan sesuai minatnya. Tapi agenda peminatan ini gagal alasannya lagi-lagi ketidak siapan sekolah dan guru. Hal serupa akan terjadi pada implementasi KM ini.

Kelima, keleluasaan murid untuk memutuskan mapel juga bisa membuat pertentangan horizontal pada guru, khususnya terkait dengan jumlah jam mengajar yang mesti mereka ampu menyerupai yang sudah dikontrol dalam UU Guru dan Dosen tadi. Dapat dipastikan, di saat murid diberikan keleluasaan memutuskan mata pelajaran yang diminati, maka ada guru yang hendak keistimewaan jam mengajar dan ada guru yang kelemahan jam mengajar. Bagaimana penyelesaian pembayaran derma profesi guru yang jumlah jam mengajarnya per ahad kurang dari 24 jam pelajaran?


Kurikulum operasional

Banyak pihak yang paham, KM ini bukan kurikulum yang dikonsepkan, namun sudah dipraktikkan di sebuah sekolah di Jakarta dan bisa sukses baik. Kaprikornus bukan kurikulum yang mengawang-awang, namun kurikulum yang operasional.

Hanya yang perlu dikenali yakni sekolah itu sekolah swasta yang mampu, duit sekolah murid per bulan jutaan rupiah, orangtua murid dari kelas menengah atas (ekonomi) dan terdidik sehingga bisa membekali anak-anaknya dengan akomodasi yang mencukupi dan menyampaikan pendampingan di rumah; kemakmuran guru mungkin cukup tanpa ada derma profesi. Pada level sekolah-sekolah menyerupai itu KM ini tak duduk kendala untuk diterapkan. Namun untuk dipraktekkan pada lebih dari 276.804 sekolah (SD-SMA/SMK) di seluruh wilayah Indonesia, tentu sulit.

Kesimpulannya, KM in bisa tetap diterapkan, namun cuma khusus untuk sekolah pelopor yang sumber daya dan dana mencukupi. Untuk sekolah-sekolah negeri reguler dan swasta yang sejajar maupun untuk sekolah-sekolah di kepulauan, kawasan terisolir, pesisir, pedesaan, dan penduduk miskin perkotaan, perlu disusun kurikulum tersendiri. Itu gres realistis. Rasanya tidak mungkin memaksakan KM dipraktekkan di semua sekolah di Indonesia yang amat beraneka ragam ini, sehingga usianya cuma semasa Mas Naediem A Makarim jadi Mendikbudristek saja, ganti rezim ganti kurikulum lagi.


Ki Darmaningtyas Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) di Yogyakarta


Dimuat di  Kompas, 14 Maret 2022


Related : Memerdekakan Kurikulum Merdeka

0 Komentar untuk "Memerdekakan Kurikulum Merdeka"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)