bak potret raksasa dalam suatu bingkai histori. Bangunan megah berdiri dengan nuansa yang khas menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di tempat seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat Pendopo Agung dengan pernak-pernik khas berlatar bangunan renta yang tak kalah gagah memancarkan kharisma. Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya, memperbesar kuat dan sakral nuansa yang terpancar dari warisan para raja yang dahulu pernah berkuasa.
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep sehabis berganti secara birokrasi dan mulai dipimpin oleh seorang bupati sehabis masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879) menilai warisan sisa masa keemasan itu selaku suatu kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
Bangunan-bangunan di tempat keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada penggalan belakang, menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, bertentangan dengan keraton. Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk program rapat-rapat para abdnegara pemerintahan, hingga pagelaran seni dan budaya setempat.
Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya penggalan lantai yang sudah dirubah alasannya rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih dari dua kurun pernah dilaksanakan perbaikan tetapi cuma pada penggalan gentingnya. Selain itu pengecatan tetap dilaksanakan pada penggalan dinding mudah-mudahan tetap kelihatan cerah.
Bangunan utama keraton berisikan dua lantai. “Lantai atas ialah tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum munculnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab Museum Keraton Sumenep. Menurut lelaki 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai bawah terdapat empat kamar yang masing-masing didedikasikan untuk kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang renta lelaki dan orang renta wanita raja.
Secara lazim gaya arsitektural Keraton Sumenep ialah perpaduan antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China. Gaya Eropa terlihat pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China sanggup dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil gesekan bergambar Burung Hong, yang konon ialah lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada opsi warna Merah dan Hijau.
Salah seorang arsitek pembangunan keraton berjulukan Lauw Piango, yang sehabis meninggal di kebumikan di sekeliling Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) yakni lelaki berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang dikala pembangunan keraton yakni orang China, berjulukan Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan.
Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah. Konon pada masa permulaan yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. kemudian keraton juga pernah pindah ke wilayah Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460).
Beberapa wilayah lain juga diindikasi selaku keraton Sumenep, menyerupai Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan wilayah lain sebelum kesannya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang. Di Desa Pajagalan yang ialah warisan sejak raja, yakni Panembahan Somala dan enam raja berikutnya.
Panembahan Somala memiliki gagasan membangun katemenggungan atau kadipaten ini sehabis selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi.
Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, segi Timur yakni Taman Lake’, ini menurut Romli, masih ialah anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekeliling keraton. Sayang, tempat ini kini sudah ditutup alasannya difungsikan selaku sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang. Dan segi Barat hingga penggalan belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang.
Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam bahasa Indonesia memiliki arti Lama. Masjid Jami’ sebelumnya ialah masjid keraton yang langsung untuk raja dan kelompok kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum.
Pagar keraton yang ada kini yakni peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi lebih dari dua meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton, sempurna di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga selaku Monumen bukti sejarah Keraton Sumenep.
Bangunan yang dipakai kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu bekerjsama bukan penggalan dari keraton, dahulu dipahami dengan istilah Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep. Bangunan bergaya Eropa ini diresmikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air. Kehadiran gedung sempurna di depan keraton itu memang mengusik kharisma keraton secara keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang.-az.alim
--- oOo ---
Taman Sare dan Labang Mesem
Saat ini di sekeliling keraton terdapat tiga bangunan yang difungsikan selaku museum. Satu di depan keraton atau yang berseberangan dengan kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sumenep. Bangunan museum yang berdiri di penggalan selatan keraton itu, sebelumnya ialah garasi kereta kencana kerajaan.
Sekarang menjadi tempat koleksi kereta kencana dan beberapa benda bersejarah lain menyerupai dingklik pertemuan, tempat tidur raja, dingklik pengadilan pada jaman raja, serta beberapa foto raja. Kereta kencana yang dipajang di sana kabarnya ialah kado dari kerajaan Inggris, selaku balas jasa.
Konon santunan yang diberikan raja Sultan Abdurrahman yakni mengalihbahasakan suatu prasasti dengan goresan pena Sansekerta kuno, yang didapatkan pada masa Raffles. “Kereta kencana itu berjulukan My Lord, tetapi alasannya pengecap orang Madura dikala itu kurang sanggup melafalkan. Maka, kereta raja itu kemudian lebih dipahami dengan nama Melor,” urai Moh. Romli, sumber yang ditemui Eartjava Traveler.
Satu lagi di segi Barat keraton, dahulu bekas kantor Raja atau yang lazim disebut dengan Kantor Koneng. Dahulu bangunan ini dipakai oleh raja dan para bawahannya menjalankan pertemuan. Belanda kemudian menduga gedung itu selaku sentra rencana gerakan perlawanan.
Belanda menilai Sumenep, kala itu, tidak sempurna memiliki kantor raja alasannya statusnya cuma Kadipaten. Namun raja Sumenep tidak kalah akal, ia menolak istilah kantor raja. Sang Adipati berkelit, bahwa itu yakni Kantor Koneng (koneng dalam bahasa Madura memiliki arti Kuning), alasannya seluruh temboknya diwarnai kuning. Museum yang satu lagi di sebelah Utara kantor koneng ini, bangunan berupa rumah tinggal. Konon rumah ini dipakai raja untuk menyepi, karenanya rumah itu disebut dengan Romah Panyepen.
Tepat di depan segi kiri museum selatan terdapat bangunan kecil, semacam pos penjaga. Orang-orang dahulu menyebutnya Loji. Memang benar, bangunan kecil ini ialah pos penjaga keraton, alasannya itu dilengkapi dengan lonceng. Loji juga ada di sebelah Timur keraton, tak jauh dari pintu masuk ke Taman Sare. Dulu, jikalau raja kemunculan tamu, penjaga di loji depan akan memberi arahan dengan membunyikan lonceng. Bila pihak kerajaan sudah siap menerima, maka penjaga di loji dalam akan ganti membunyikan lonceng dengan arahan tertentu.
Di sebelah Timur lingkungan keraton terdapat kolam pemandian yang dipahami dengan nama Taman Sare. Nama Taman Sare berasal dari kata dalam bahasa Madura, taman dalam Bahasa Indonesia memiliki arti kolam, dan sare/asreh yang memiliki arti asri, indah atau menyenangkan. Menurut dongeng beberapa orang, air di Taman Sare ini juga memiliki khasiat menyebabkan orang infinit muda.
LABANG MESEM
Labang Mesem ialah istilah untuk gerbang keraton yang letaknya tidak jauh dari Taman Sare. Dalam Bahasa Indonesia, Labang memiliki arti pintu, dan Mesem memiliki arti senyum. Dari sekian model wacana asal undangan nama Labang Mesem, kesannya disimpulkan, bahwa nama Labang Mesem ialah symbol. Perlambang atas perilaku keramah-tamahan dan sarat senyum dari para raja dan seluruh orang keraton dalam memperoleh tamu.
Setidaknya ada tiga model yang melatari pemberian nama Labang Mesem. Pertama, pada jaman dahulu pintu gerbang menuju keraton itu dijaga oleh dua orang cebol. Hal ini sanggup dilihat dari dua ruangan dengan pintu rendah di kanan dan kiri gerbang itu. Menguatkan bukti itu, di makam Asta Tinggi terdapat kuburan-kuburan cebol. Karena yang mempertahankan orang dengan bentuk kecil, maka tak mengherankan jikalau sering mendatangkan senyum orang-orang yang melintas di gerbang tersebut.
Versi kedua menyebutkan, ruang terbuka yang berada di atas pintu gerbang tersebut ialah tempat raja untuk memantau sekitar keraton. Juga memantau putri-putri dan para istrinya yang sedang mandi di Taman Sare. Konon ketika sedang memperhatikan putri dan atau istrinya yang sedang mandi itu, raja terlihat mesam-mesem. Sebab itulah kemudian gerbang itu disebut Labang Mesem.
Sedang model yang lain, menyebutkan suatu ketika Keraton Sumenep sukses menghantam mundur pasukan dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun tiba ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah hingga di depan gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan sarat persahabatan. Kabarnya, hal itu ialah akhir terkabulnya doa raja terhadap Tuhan yang Maha Esa. Merubah api dendam menjadi air persaudaraan.
Masih banyak kekayaan sejarah yang sanggup dicicipi di keraton ini. Tak cukup goresan pena dan foto untuk mengungkap semuanya. Cara paling sempurna untuk bikin puas ingin tau hati, cuma dengan tiba dan menikmati setiap keping mozaik warisan sejarah negeri ini dengan mata kepala sendiri.-az.alim
--- oOo ---
Bagaimana Mencapai Keraton?
Sangat gampang meraih Keraton Sumenep, alasannya letaknya sekitar 200 meter arah Timur dari Taman Bunga di sentra kota Sumenep. Demikian halnya untuk hingga ke sentra kota kabupaten paling timur di Pulau Madura ini. Bila berangkat dari Surabaya, sentra propinsi Jatim, dengan kendaraan pribadi perlu waktu sekitar 4 jam perjalanan.Nama Sumenep, salah satu versinya berasal dari kata Songenep. Dalam bahasa Madura, Songenep ialah adonan dari kata Lesso dan Nginep. Dalam Bahasa Indonesia, Lesso memiliki arti kecapekan atau lelah, dan nginep memiliki arti bermalam. Jadi, sehabis kita menjalankan perjalanan menuju kita ini diusulkan bermalam. Setidaknya demikian mudah-mudahan keesokan harinya Anda sanggup menikmati kekayaan dan keindahan potensi rekreasi di wilayah ini dengan lebih leluasa. Obyek-obyek menyerupai Pantai Slopeng, Pantai Lombang, makam raja Asta Tinggi, dan yang yang lain sanggup menjadi jujukan rekreasi Anda.-az.alim
*Dimuat di Majalah EJT, April 2007
Diposkan oleh - di 20:15 0 komentar
SEJARAH SUMENEP SEBAGAI IKON JERAJAAN ISLAM DI MADURA
bak potret raksasa dalam suatu bingkai histori. Bangunan megah berdiri dengan nuansa yang khas menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di tempat seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat Pendopo Agung dengan pernak-pernik khas berlatar bangunan renta yang tak kalah gagah memancarkan kharisma. Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya, memperbesar kuat dan sakral nuansa yang terpancar dari warisan para raja yang dahulu pernah berkuasa.
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep sehabis berganti secara birokrasi dan mulai dipimpin oleh seorang bupati sehabis masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879) menilai warisan sisa masa keemasan itu selaku suatu kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
Bangunan-bangunan di tempat keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada penggalan belakang, menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, bertentangan dengan keraton. Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk program rapat-rapat para abdnegara pemerintahan, hingga pagelaran seni dan budaya setempat.
Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya penggalan lantai yang sudah dirubah alasannya rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih dari dua kurun pernah dilaksanakan perbaikan tetapi cuma pada penggalan gentingnya. Selain itu pengecatan tetap dilaksanakan pada penggalan dinding mudah-mudahan tetap kelihatan cerah.
Bangunan utama keraton berisikan dua lantai. “Lantai atas ialah tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum munculnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab Museum Keraton Sumenep. Menurut lelaki 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai bawah terdapat empat kamar yang masing-masing didedikasikan untuk kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang renta lelaki dan orang renta wanita raja.
Secara lazim gaya arsitektural Keraton Sumenep ialah perpaduan antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China. Gaya Eropa terlihat pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China sanggup dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil gesekan bergambar Burung Hong, yang konon ialah lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada opsi warna Merah dan Hijau.
Salah seorang arsitek pembangunan keraton berjulukan Lauw Piango, yang sehabis meninggal di kebumikan di sekeliling Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) yakni lelaki berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang dikala pembangunan keraton yakni orang China, berjulukan Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan.
Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah. Konon pada masa permulaan yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. kemudian keraton juga pernah pindah ke wilayah Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460).
Beberapa wilayah lain juga diindikasi selaku keraton Sumenep, menyerupai Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan wilayah lain sebelum kesannya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang. Di Desa Pajagalan yang ialah warisan sejak raja, yakni Panembahan Somala dan enam raja berikutnya.
Panembahan Somala memiliki gagasan membangun katemenggungan atau kadipaten ini sehabis selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi.
Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, segi Timur yakni Taman Lake’, ini menurut Romli, masih ialah anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekeliling keraton. Sayang, tempat ini kini sudah ditutup alasannya difungsikan selaku sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang. Dan segi Barat hingga penggalan belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang.
Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam bahasa Indonesia memiliki arti Lama. Masjid Jami’ sebelumnya ialah masjid keraton yang langsung untuk raja dan kelompok kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum.
Pagar keraton yang ada kini yakni peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi lebih dari dua meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton, sempurna di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga selaku Monumen bukti sejarah Keraton Sumenep.
Bangunan yang dipakai kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu bekerjsama bukan penggalan dari keraton, dahulu dipahami dengan istilah Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep. Bangunan bergaya Eropa ini diresmikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air. Kehadiran gedung sempurna di depan keraton itu memang mengusik kharisma keraton secara keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang.-az.alim
--- oOo ---
Taman Sare dan Labang Mesem
Saat ini di sekeliling keraton terdapat tiga bangunan yang difungsikan selaku museum. Satu di depan keraton atau yang berseberangan dengan kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sumenep. Bangunan museum yang berdiri di penggalan selatan keraton itu, sebelumnya ialah garasi kereta kencana kerajaan.
Sekarang menjadi tempat koleksi kereta kencana dan beberapa benda bersejarah lain menyerupai dingklik pertemuan, tempat tidur raja, dingklik pengadilan pada jaman raja, serta beberapa foto raja. Kereta kencana yang dipajang di sana kabarnya ialah kado dari kerajaan Inggris, selaku balas jasa.
Konon santunan yang diberikan raja Sultan Abdurrahman yakni mengalihbahasakan suatu prasasti dengan goresan pena Sansekerta kuno, yang didapatkan pada masa Raffles. “Kereta kencana itu berjulukan My Lord, tetapi alasannya pengecap orang Madura dikala itu kurang sanggup melafalkan. Maka, kereta raja itu kemudian lebih dipahami dengan nama Melor,” urai Moh. Romli, sumber yang ditemui Eartjava Traveler.
Satu lagi di segi Barat keraton, dahulu bekas kantor Raja atau yang lazim disebut dengan Kantor Koneng. Dahulu bangunan ini dipakai oleh raja dan para bawahannya menjalankan pertemuan. Belanda kemudian menduga gedung itu selaku sentra rencana gerakan perlawanan.
Belanda menilai Sumenep, kala itu, tidak sempurna memiliki kantor raja alasannya statusnya cuma Kadipaten. Namun raja Sumenep tidak kalah akal, ia menolak istilah kantor raja. Sang Adipati berkelit, bahwa itu yakni Kantor Koneng (koneng dalam bahasa Madura memiliki arti Kuning), alasannya seluruh temboknya diwarnai kuning. Museum yang satu lagi di sebelah Utara kantor koneng ini, bangunan berupa rumah tinggal. Konon rumah ini dipakai raja untuk menyepi, karenanya rumah itu disebut dengan Romah Panyepen.
Tepat di depan segi kiri museum selatan terdapat bangunan kecil, semacam pos penjaga. Orang-orang dahulu menyebutnya Loji. Memang benar, bangunan kecil ini ialah pos penjaga keraton, alasannya itu dilengkapi dengan lonceng. Loji juga ada di sebelah Timur keraton, tak jauh dari pintu masuk ke Taman Sare. Dulu, jikalau raja kemunculan tamu, penjaga di loji depan akan memberi arahan dengan membunyikan lonceng. Bila pihak kerajaan sudah siap menerima, maka penjaga di loji dalam akan ganti membunyikan lonceng dengan arahan tertentu.
Di sebelah Timur lingkungan keraton terdapat kolam pemandian yang dipahami dengan nama Taman Sare. Nama Taman Sare berasal dari kata dalam bahasa Madura, taman dalam Bahasa Indonesia memiliki arti kolam, dan sare/asreh yang memiliki arti asri, indah atau menyenangkan. Menurut dongeng beberapa orang, air di Taman Sare ini juga memiliki khasiat menyebabkan orang infinit muda.
LABANG MESEM
Labang Mesem ialah istilah untuk gerbang keraton yang letaknya tidak jauh dari Taman Sare. Dalam Bahasa Indonesia, Labang memiliki arti pintu, dan Mesem memiliki arti senyum. Dari sekian model wacana asal undangan nama Labang Mesem, kesannya disimpulkan, bahwa nama Labang Mesem ialah symbol. Perlambang atas perilaku keramah-tamahan dan sarat senyum dari para raja dan seluruh orang keraton dalam memperoleh tamu.
Setidaknya ada tiga model yang melatari pemberian nama Labang Mesem. Pertama, pada jaman dahulu pintu gerbang menuju keraton itu dijaga oleh dua orang cebol. Hal ini sanggup dilihat dari dua ruangan dengan pintu rendah di kanan dan kiri gerbang itu. Menguatkan bukti itu, di makam Asta Tinggi terdapat kuburan-kuburan cebol. Karena yang mempertahankan orang dengan bentuk kecil, maka tak mengherankan jikalau sering mendatangkan senyum orang-orang yang melintas di gerbang tersebut.
Versi kedua menyebutkan, ruang terbuka yang berada di atas pintu gerbang tersebut ialah tempat raja untuk memantau sekitar keraton. Juga memantau putri-putri dan para istrinya yang sedang mandi di Taman Sare. Konon ketika sedang memperhatikan putri dan atau istrinya yang sedang mandi itu, raja terlihat mesam-mesem. Sebab itulah kemudian gerbang itu disebut Labang Mesem.
Sedang model yang lain, menyebutkan suatu ketika Keraton Sumenep sukses menghantam mundur pasukan dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun tiba ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah hingga di depan gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan sarat persahabatan. Kabarnya, hal itu ialah akhir terkabulnya doa raja terhadap Tuhan yang Maha Esa. Merubah api dendam menjadi air persaudaraan.
Masih banyak kekayaan sejarah yang sanggup dicicipi di keraton ini. Tak cukup goresan pena dan foto untuk mengungkap semuanya. Cara paling sempurna untuk bikin puas ingin tau hati, cuma dengan tiba dan menikmati setiap keping mozaik warisan sejarah negeri ini dengan mata kepala sendiri.-az.alim
--- oOo ---
Bagaimana Mencapai Keraton?
Sangat gampang meraih Keraton Sumenep, alasannya letaknya sekitar 200 meter arah Timur dari Taman Bunga di sentra kota Sumenep. Demikian halnya untuk hingga ke sentra kota kabupaten paling timur di Pulau Madura ini. Bila berangkat dari Surabaya, sentra propinsi Jatim, dengan kendaraan pribadi perlu waktu sekitar 4 jam perjalanan.Nama Sumenep, salah satu versinya berasal dari kata Songenep. Dalam bahasa Madura, Songenep ialah adonan dari kata Lesso dan Nginep. Dalam Bahasa Indonesia, Lesso memiliki arti kecapekan atau lelah, dan nginep memiliki arti bermalam. Jadi, sehabis kita menjalankan perjalanan menuju kita ini diusulkan bermalam. Setidaknya demikian mudah-mudahan keesokan harinya Anda sanggup menikmati kekayaan dan keindahan potensi rekreasi di wilayah ini dengan lebih leluasa. Obyek-obyek menyerupai Pantai Slopeng, Pantai Lombang, makam raja Asta Tinggi, dan yang yang lain sanggup menjadi jujukan rekreasi Anda.-az.alim
*Dimuat di Majalah EJT, April 2007
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep sehabis berganti secara birokrasi dan mulai dipimpin oleh seorang bupati sehabis masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879) menilai warisan sisa masa keemasan itu selaku suatu kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
Bangunan-bangunan di tempat keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada penggalan belakang, menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, bertentangan dengan keraton. Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk program rapat-rapat para abdnegara pemerintahan, hingga pagelaran seni dan budaya setempat.
Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya penggalan lantai yang sudah dirubah alasannya rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih dari dua kurun pernah dilaksanakan perbaikan tetapi cuma pada penggalan gentingnya. Selain itu pengecatan tetap dilaksanakan pada penggalan dinding mudah-mudahan tetap kelihatan cerah.
Bangunan utama keraton berisikan dua lantai. “Lantai atas ialah tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum munculnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab Museum Keraton Sumenep. Menurut lelaki 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai bawah terdapat empat kamar yang masing-masing didedikasikan untuk kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang renta lelaki dan orang renta wanita raja.
Secara lazim gaya arsitektural Keraton Sumenep ialah perpaduan antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China. Gaya Eropa terlihat pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China sanggup dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil gesekan bergambar Burung Hong, yang konon ialah lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada opsi warna Merah dan Hijau.
Salah seorang arsitek pembangunan keraton berjulukan Lauw Piango, yang sehabis meninggal di kebumikan di sekeliling Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) yakni lelaki berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang dikala pembangunan keraton yakni orang China, berjulukan Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan.
Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah. Konon pada masa permulaan yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. kemudian keraton juga pernah pindah ke wilayah Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460).
Beberapa wilayah lain juga diindikasi selaku keraton Sumenep, menyerupai Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan wilayah lain sebelum kesannya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang. Di Desa Pajagalan yang ialah warisan sejak raja, yakni Panembahan Somala dan enam raja berikutnya.
Panembahan Somala memiliki gagasan membangun katemenggungan atau kadipaten ini sehabis selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi.
Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, segi Timur yakni Taman Lake’, ini menurut Romli, masih ialah anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekeliling keraton. Sayang, tempat ini kini sudah ditutup alasannya difungsikan selaku sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang. Dan segi Barat hingga penggalan belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang.
Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam bahasa Indonesia memiliki arti Lama. Masjid Jami’ sebelumnya ialah masjid keraton yang langsung untuk raja dan kelompok kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum.
Pagar keraton yang ada kini yakni peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi lebih dari dua meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton, sempurna di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga selaku Monumen bukti sejarah Keraton Sumenep.
Bangunan yang dipakai kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu bekerjsama bukan penggalan dari keraton, dahulu dipahami dengan istilah Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep. Bangunan bergaya Eropa ini diresmikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air. Kehadiran gedung sempurna di depan keraton itu memang mengusik kharisma keraton secara keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang.-az.alim
--- oOo ---
Taman Sare dan Labang Mesem
Saat ini di sekeliling keraton terdapat tiga bangunan yang difungsikan selaku museum. Satu di depan keraton atau yang berseberangan dengan kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sumenep. Bangunan museum yang berdiri di penggalan selatan keraton itu, sebelumnya ialah garasi kereta kencana kerajaan.
Sekarang menjadi tempat koleksi kereta kencana dan beberapa benda bersejarah lain menyerupai dingklik pertemuan, tempat tidur raja, dingklik pengadilan pada jaman raja, serta beberapa foto raja. Kereta kencana yang dipajang di sana kabarnya ialah kado dari kerajaan Inggris, selaku balas jasa.
Konon santunan yang diberikan raja Sultan Abdurrahman yakni mengalihbahasakan suatu prasasti dengan goresan pena Sansekerta kuno, yang didapatkan pada masa Raffles. “Kereta kencana itu berjulukan My Lord, tetapi alasannya pengecap orang Madura dikala itu kurang sanggup melafalkan. Maka, kereta raja itu kemudian lebih dipahami dengan nama Melor,” urai Moh. Romli, sumber yang ditemui Eartjava Traveler.
Satu lagi di segi Barat keraton, dahulu bekas kantor Raja atau yang lazim disebut dengan Kantor Koneng. Dahulu bangunan ini dipakai oleh raja dan para bawahannya menjalankan pertemuan. Belanda kemudian menduga gedung itu selaku sentra rencana gerakan perlawanan.
Belanda menilai Sumenep, kala itu, tidak sempurna memiliki kantor raja alasannya statusnya cuma Kadipaten. Namun raja Sumenep tidak kalah akal, ia menolak istilah kantor raja. Sang Adipati berkelit, bahwa itu yakni Kantor Koneng (koneng dalam bahasa Madura memiliki arti Kuning), alasannya seluruh temboknya diwarnai kuning. Museum yang satu lagi di sebelah Utara kantor koneng ini, bangunan berupa rumah tinggal. Konon rumah ini dipakai raja untuk menyepi, karenanya rumah itu disebut dengan Romah Panyepen.
Tepat di depan segi kiri museum selatan terdapat bangunan kecil, semacam pos penjaga. Orang-orang dahulu menyebutnya Loji. Memang benar, bangunan kecil ini ialah pos penjaga keraton, alasannya itu dilengkapi dengan lonceng. Loji juga ada di sebelah Timur keraton, tak jauh dari pintu masuk ke Taman Sare. Dulu, jikalau raja kemunculan tamu, penjaga di loji depan akan memberi arahan dengan membunyikan lonceng. Bila pihak kerajaan sudah siap menerima, maka penjaga di loji dalam akan ganti membunyikan lonceng dengan arahan tertentu.
Di sebelah Timur lingkungan keraton terdapat kolam pemandian yang dipahami dengan nama Taman Sare. Nama Taman Sare berasal dari kata dalam bahasa Madura, taman dalam Bahasa Indonesia memiliki arti kolam, dan sare/asreh yang memiliki arti asri, indah atau menyenangkan. Menurut dongeng beberapa orang, air di Taman Sare ini juga memiliki khasiat menyebabkan orang infinit muda.
LABANG MESEM
Labang Mesem ialah istilah untuk gerbang keraton yang letaknya tidak jauh dari Taman Sare. Dalam Bahasa Indonesia, Labang memiliki arti pintu, dan Mesem memiliki arti senyum. Dari sekian model wacana asal undangan nama Labang Mesem, kesannya disimpulkan, bahwa nama Labang Mesem ialah symbol. Perlambang atas perilaku keramah-tamahan dan sarat senyum dari para raja dan seluruh orang keraton dalam memperoleh tamu.
Setidaknya ada tiga model yang melatari pemberian nama Labang Mesem. Pertama, pada jaman dahulu pintu gerbang menuju keraton itu dijaga oleh dua orang cebol. Hal ini sanggup dilihat dari dua ruangan dengan pintu rendah di kanan dan kiri gerbang itu. Menguatkan bukti itu, di makam Asta Tinggi terdapat kuburan-kuburan cebol. Karena yang mempertahankan orang dengan bentuk kecil, maka tak mengherankan jikalau sering mendatangkan senyum orang-orang yang melintas di gerbang tersebut.
Versi kedua menyebutkan, ruang terbuka yang berada di atas pintu gerbang tersebut ialah tempat raja untuk memantau sekitar keraton. Juga memantau putri-putri dan para istrinya yang sedang mandi di Taman Sare. Konon ketika sedang memperhatikan putri dan atau istrinya yang sedang mandi itu, raja terlihat mesam-mesem. Sebab itulah kemudian gerbang itu disebut Labang Mesem.
Sedang model yang lain, menyebutkan suatu ketika Keraton Sumenep sukses menghantam mundur pasukan dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun tiba ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah hingga di depan gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan sarat persahabatan. Kabarnya, hal itu ialah akhir terkabulnya doa raja terhadap Tuhan yang Maha Esa. Merubah api dendam menjadi air persaudaraan.
Masih banyak kekayaan sejarah yang sanggup dicicipi di keraton ini. Tak cukup goresan pena dan foto untuk mengungkap semuanya. Cara paling sempurna untuk bikin puas ingin tau hati, cuma dengan tiba dan menikmati setiap keping mozaik warisan sejarah negeri ini dengan mata kepala sendiri.-az.alim
--- oOo ---
Bagaimana Mencapai Keraton?
Sangat gampang meraih Keraton Sumenep, alasannya letaknya sekitar 200 meter arah Timur dari Taman Bunga di sentra kota Sumenep. Demikian halnya untuk hingga ke sentra kota kabupaten paling timur di Pulau Madura ini. Bila berangkat dari Surabaya, sentra propinsi Jatim, dengan kendaraan pribadi perlu waktu sekitar 4 jam perjalanan.Nama Sumenep, salah satu versinya berasal dari kata Songenep. Dalam bahasa Madura, Songenep ialah adonan dari kata Lesso dan Nginep. Dalam Bahasa Indonesia, Lesso memiliki arti kecapekan atau lelah, dan nginep memiliki arti bermalam. Jadi, sehabis kita menjalankan perjalanan menuju kita ini diusulkan bermalam. Setidaknya demikian mudah-mudahan keesokan harinya Anda sanggup menikmati kekayaan dan keindahan potensi rekreasi di wilayah ini dengan lebih leluasa. Obyek-obyek menyerupai Pantai Slopeng, Pantai Lombang, makam raja Asta Tinggi, dan yang yang lain sanggup menjadi jujukan rekreasi Anda.-az.alim
*Dimuat di Majalah EJT, April 2007
Diposkan oleh - di 20:15 0 komentar
SEJARAH SUMENEP SEBAGAI IKON JERAJAAN ISLAM DI MADURA
bak potret raksasa dalam suatu bingkai histori. Bangunan megah berdiri dengan nuansa yang khas menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di tempat seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat Pendopo Agung dengan pernak-pernik khas berlatar bangunan renta yang tak kalah gagah memancarkan kharisma. Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya, memperbesar kuat dan sakral nuansa yang terpancar dari warisan para raja yang dahulu pernah berkuasa.
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep sehabis berganti secara birokrasi dan mulai dipimpin oleh seorang bupati sehabis masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879) menilai warisan sisa masa keemasan itu selaku suatu kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
Bangunan-bangunan di tempat keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada penggalan belakang, menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, bertentangan dengan keraton. Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk program rapat-rapat para abdnegara pemerintahan, hingga pagelaran seni dan budaya setempat.
Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya penggalan lantai yang sudah dirubah alasannya rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih dari dua kurun pernah dilaksanakan perbaikan tetapi cuma pada penggalan gentingnya. Selain itu pengecatan tetap dilaksanakan pada penggalan dinding mudah-mudahan tetap kelihatan cerah.
Bangunan utama keraton berisikan dua lantai. “Lantai atas ialah tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum munculnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab Museum Keraton Sumenep. Menurut lelaki 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai bawah terdapat empat kamar yang masing-masing didedikasikan untuk kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang renta lelaki dan orang renta wanita raja.
Secara lazim gaya arsitektural Keraton Sumenep ialah perpaduan antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China. Gaya Eropa terlihat pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China sanggup dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil gesekan bergambar Burung Hong, yang konon ialah lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada opsi warna Merah dan Hijau.
Salah seorang arsitek pembangunan keraton berjulukan Lauw Piango, yang sehabis meninggal di kebumikan di sekeliling Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) yakni lelaki berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang dikala pembangunan keraton yakni orang China, berjulukan Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan.
Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah. Konon pada masa permulaan yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. kemudian keraton juga pernah pindah ke wilayah Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460).
Beberapa wilayah lain juga diindikasi selaku keraton Sumenep, menyerupai Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan wilayah lain sebelum kesannya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang. Di Desa Pajagalan yang ialah warisan sejak raja, yakni Panembahan Somala dan enam raja berikutnya.
Panembahan Somala memiliki gagasan membangun katemenggungan atau kadipaten ini sehabis selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi.
Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, segi Timur yakni Taman Lake’, ini menurut Romli, masih ialah anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekeliling keraton. Sayang, tempat ini kini sudah ditutup alasannya difungsikan selaku sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang. Dan segi Barat hingga penggalan belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang.
Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam bahasa Indonesia memiliki arti Lama. Masjid Jami’ sebelumnya ialah masjid keraton yang langsung untuk raja dan kelompok kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum.
Pagar keraton yang ada kini yakni peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi lebih dari dua meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton, sempurna di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga selaku Monumen bukti sejarah Keraton Sumenep.
Bangunan yang dipakai kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu bekerjsama bukan penggalan dari keraton, dahulu dipahami dengan istilah Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep. Bangunan bergaya Eropa ini diresmikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air. Kehadiran gedung sempurna di depan keraton itu memang mengusik kharisma keraton secara keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang.-az.alim
--- oOo ---
Taman Sare dan Labang Mesem
Saat ini di sekeliling keraton terdapat tiga bangunan yang difungsikan selaku museum. Satu di depan keraton atau yang berseberangan dengan kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sumenep. Bangunan museum yang berdiri di penggalan selatan keraton itu, sebelumnya ialah garasi kereta kencana kerajaan.
Sekarang menjadi tempat koleksi kereta kencana dan beberapa benda bersejarah lain menyerupai dingklik pertemuan, tempat tidur raja, dingklik pengadilan pada jaman raja, serta beberapa foto raja. Kereta kencana yang dipajang di sana kabarnya ialah kado dari kerajaan Inggris, selaku balas jasa.
Konon santunan yang diberikan raja Sultan Abdurrahman yakni mengalihbahasakan suatu prasasti dengan goresan pena Sansekerta kuno, yang didapatkan pada masa Raffles. “Kereta kencana itu berjulukan My Lord, tetapi alasannya pengecap orang Madura dikala itu kurang sanggup melafalkan. Maka, kereta raja itu kemudian lebih dipahami dengan nama Melor,” urai Moh. Romli, sumber yang ditemui Eartjava Traveler.
Satu lagi di segi Barat keraton, dahulu bekas kantor Raja atau yang lazim disebut dengan Kantor Koneng. Dahulu bangunan ini dipakai oleh raja dan para bawahannya menjalankan pertemuan. Belanda kemudian menduga gedung itu selaku sentra rencana gerakan perlawanan.
Belanda menilai Sumenep, kala itu, tidak sempurna memiliki kantor raja alasannya statusnya cuma Kadipaten. Namun raja Sumenep tidak kalah akal, ia menolak istilah kantor raja. Sang Adipati berkelit, bahwa itu yakni Kantor Koneng (koneng dalam bahasa Madura memiliki arti Kuning), alasannya seluruh temboknya diwarnai kuning. Museum yang satu lagi di sebelah Utara kantor koneng ini, bangunan berupa rumah tinggal. Konon rumah ini dipakai raja untuk menyepi, karenanya rumah itu disebut dengan Romah Panyepen.
Tepat di depan segi kiri museum selatan terdapat bangunan kecil, semacam pos penjaga. Orang-orang dahulu menyebutnya Loji. Memang benar, bangunan kecil ini ialah pos penjaga keraton, alasannya itu dilengkapi dengan lonceng. Loji juga ada di sebelah Timur keraton, tak jauh dari pintu masuk ke Taman Sare. Dulu, jikalau raja kemunculan tamu, penjaga di loji depan akan memberi arahan dengan membunyikan lonceng. Bila pihak kerajaan sudah siap menerima, maka penjaga di loji dalam akan ganti membunyikan lonceng dengan arahan tertentu.
Di sebelah Timur lingkungan keraton terdapat kolam pemandian yang dipahami dengan nama Taman Sare. Nama Taman Sare berasal dari kata dalam bahasa Madura, taman dalam Bahasa Indonesia memiliki arti kolam, dan sare/asreh yang memiliki arti asri, indah atau menyenangkan. Menurut dongeng beberapa orang, air di Taman Sare ini juga memiliki khasiat menyebabkan orang infinit muda.
LABANG MESEM
Labang Mesem ialah istilah untuk gerbang keraton yang letaknya tidak jauh dari Taman Sare. Dalam Bahasa Indonesia, Labang memiliki arti pintu, dan Mesem memiliki arti senyum. Dari sekian model wacana asal undangan nama Labang Mesem, kesannya disimpulkan, bahwa nama Labang Mesem ialah symbol. Perlambang atas perilaku keramah-tamahan dan sarat senyum dari para raja dan seluruh orang keraton dalam memperoleh tamu.
Setidaknya ada tiga model yang melatari pemberian nama Labang Mesem. Pertama, pada jaman dahulu pintu gerbang menuju keraton itu dijaga oleh dua orang cebol. Hal ini sanggup dilihat dari dua ruangan dengan pintu rendah di kanan dan kiri gerbang itu. Menguatkan bukti itu, di makam Asta Tinggi terdapat kuburan-kuburan cebol. Karena yang mempertahankan orang dengan bentuk kecil, maka tak mengherankan jikalau sering mendatangkan senyum orang-orang yang melintas di gerbang tersebut.
Versi kedua menyebutkan, ruang terbuka yang berada di atas pintu gerbang tersebut ialah tempat raja untuk memantau sekitar keraton. Juga memantau putri-putri dan para istrinya yang sedang mandi di Taman Sare. Konon ketika sedang memperhatikan putri dan atau istrinya yang sedang mandi itu, raja terlihat mesam-mesem. Sebab itulah kemudian gerbang itu disebut Labang Mesem.
Sedang model yang lain, menyebutkan suatu ketika Keraton Sumenep sukses menghantam mundur pasukan dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun tiba ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah hingga di depan gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan sarat persahabatan. Kabarnya, hal itu ialah akhir terkabulnya doa raja terhadap Tuhan yang Maha Esa. Merubah api dendam menjadi air persaudaraan.
Masih banyak kekayaan sejarah yang sanggup dicicipi di keraton ini. Tak cukup goresan pena dan foto untuk mengungkap semuanya. Cara paling sempurna untuk bikin puas ingin tau hati, cuma dengan tiba dan menikmati setiap keping mozaik warisan sejarah negeri ini dengan mata kepala sendiri.-az.alim
--- oOo ---
Bagaimana Mencapai Keraton?
Sangat gampang meraih Keraton Sumenep, alasannya letaknya sekitar 200 meter arah Timur dari Taman Bunga di sentra kota Sumenep. Demikian halnya untuk hingga ke sentra kota kabupaten paling timur di Pulau Madura ini. Bila berangkat dari Surabaya, sentra propinsi Jatim, dengan kendaraan pribadi perlu waktu sekitar 4 jam perjalanan.Nama Sumenep, salah satu versinya berasal dari kata Songenep. Dalam bahasa Madura, Songenep ialah adonan dari kata Lesso dan Nginep. Dalam Bahasa Indonesia, Lesso memiliki arti kecapekan atau lelah, dan nginep memiliki arti bermalam. Jadi, sehabis kita menjalankan perjalanan menuju kita ini diusulkan bermalam. Setidaknya demikian mudah-mudahan keesokan harinya Anda sanggup menikmati kekayaan dan keindahan potensi rekreasi di wilayah ini dengan lebih leluasa. Obyek-obyek menyerupai Pantai Slopeng, Pantai Lombang, makam raja Asta Tinggi, dan yang yang lain sanggup menjadi jujukan rekreasi Anda.-az.alim
*Dimuat di Majalah EJT, April 2007
0 Komentar untuk "Keraton Sumenep"